“Bajingan kau, Rob! Aku menyuruhmu membeli saham Orion, bukan menjual saham Eleven. Jelaskan padaku, Bangsat!” hardik Damian seraya melempar map yang berisi beberapa lembar kertas ke dada bidang Robert.
“Maaf, tapi aku hanya melakukan apa yang menjadi wasiat Vivian. Aku tidak bisa membiarkanmu hancur dan terjerumus karena rayuan perempuan lain, Dami.”
“Apa maksudmu?!” bentak Damian lagi.
“Mungkin kau lupa, saham Eleven tidak pernah benar-benar atas namamu, Dam. Kedua orang tuamu menyerahkan sahamnya atas nama Vivian dan Yuki. Kau hanya punya hak operasional bukan hak milik. Dan Vivian ingin aku menjual semua saham atas namanya dan Yuki pada Ranggapati. Aku hanya,”
“Dasar bajingan!”
Bug!
Damian melayangkan sebuah pukulan ke rahang Robert sebelum pria itu menyelesaikan kalimatnya. “Jangan kau pikir aku tidak tahu, Bangsat! Kau menyimpan perasaan pada istriku! Dasar bajingan!&rdq
Teriakan Rangga hampir memecahkan gendang telinga saat matanya melihat Damian makin kuat mendorong kepala Maura dan mencekik lehernya. Sekelebat bayangan berhasil di tangkap ekor mata Damian, tapi sayang, gerakannya kurang tangkas menghindari tendangan kaki Reno.Desh!Dengan satu tangan menumpu pada meja lebar di depannya, Reno melompati meja dengan kaki kiri lurus terjulur ke depan menghantam belakang kepala Damian.“Arghh ...!” Damian terhuyung ke belakang seraya memegangi kepalanya.“Ringkus dia, Pak!” seru Reno pada Anton yang sudah berdiri siaga di ambang pintu.“Maura, Maura!” Rangga menopang kepala Maura yang terkulai. “Apa kau baik-baik saja?” tanyanya cemas.“A-air,” sahut Maura serak.“Ambilkan air!” teriak Rangga memberi perintah pada siapa saja yang mendengar.Langkah kaki takut-takut bergerak mendekat. Tangan kanan yang gemetar, mengulurkan bo
“Apa?! Menculik Yuki? Kapan? Di mana?!” teriak Maura panik.Alih-alih menjawab kepanikan Maura, Anggita hanya menyeringai culas menatap wanita yang pernah merebut cinta pertamanya. “Katakan dulu pada suamimu untuk melepaskan kami dan mengembalikan semuanya. Baru setelah itu, aku akan pertimbangkan untuk memberitahumu atau tidak.”Tap. Srekk. Srekk. Brak.“Argh,”Rangga meraih leher Anggita dan menyeret tubuhnya beberapa langkah ke samping hingga punggung wanita itu menghantam dinding ruangan.“Kak! Lepaskan dia!” seru Maura panik.“Rangga! Dia bisa mati kalau kau cekik begitu!” teriakan Burhan tak kalah panik.“Persetan dengan nyawanya! Manusia yang tidak peduli dengan nyawa manusia lainnya, tidak layak hidup sebagai manusia. Bukan begitu, Anggita?” tanya Rangga seraya menekan leher Anggita ke dinding lebih kuat lagi sampai wajah mereka saling berdekatan.&
Tubuh mungil Yuki terus meronta ingin melepaskan diri, kedua kakinya sibuk menendang udara membuat pria yang meringkusnya sedikit kewalahan.“Diam.”Pria itu mendesis di telinga Yuki disertai embusan napas kasar yang membuat kuduk gadis kecil itu makin meremang. Yuki makin ketakutan saat pria gempal itu membuka pintu sebuah mobil warna hitam dan memasukkannya ke dalam.“Yu-Yuki,” panggil sebuah suara dengan nada ketakutan.Brug.Yuki tidak tahu pasti, dirinya yang melompat turun atau pria gempal itu yang menghempaskan tubuhnya ke kursi penumpang. Yang pasti, lututnya terasa ngilu dan perih karena terbentur lantai mobil berlapis karpet hitam dari karet berpermukaan kasar.“Ahh,” rintih Yuki kala kulit lututnya robek.“Yu-ki,” panggil suara itu lagi.“Duduk tenang, jangan ribut.” Pria gempal tadi melontarkan peringatan bernada ancaman yang membuat dua bocah kecil itu sal
“Aaa ... aaa ...!” Lukas menarik kuat tangan Yuki bersamanya dan menerjang pria di depan mereka sekuat tenaga. Brug. Tubuh ketiganya limbung dan jatuh ke tanah dengan keras disertai erang kesakitan yang berasal dari pria yang memeluk erat tubuh Yuki dan Lukas. “Aargghh ...!” Yuki memberanikan diri membuka mata dengan cepat dan memastikan dugaannya. Benar, ini Paman Reno-nya. “Paman!” teriak Yuki senang bercampur marah. “Aah, auwh,” erang Reno lirih. “Kenapa kalian menyerangku?” tanyanya memelas. “Haish! Lepaskan aku!” bentak Yuki setelah lepas dari keterkejutannya. Reno melepaskan pelukannya hingga dua bocah kecil di atasnya bisa menyingkir. Mereka bertiga bangkit dan merapikan diri hampir bersamaan. “Kenapa kau menyerang pamanmu?” tanya Reno lagi. Yuki mendelik tajam ke arah Reno dengan wajah merah padam. “Tanyakan saja pada dua pria itu!” tunjuk Yuki pada dua pria yang meringkus dan memba
“Paman, apa benar dia sudah meninggal?” ulang Yuki, kali ini lengkap dengan isakan dan linangan air mata.“Tidak, dia tidak meninggal. Dia masih hidup, hanya saja, kau tidak bisa bertemu dengannya,” jawab Reno akhirnya.“Kalau dia masih hidup, kenapa aku tidak bisa menemuinya?” desak Yuki sambil mengguncang lengan Reno. Matanya yang basah menatap Reno dengan sorot penuh permohonan.“Yuki, tolong jangan desak aku. Tidak ada yang bisa aku lakukan.” Reno memalingkan wajahnya dari tatapan Yuki yang memelas.“Kau mungkin tidak bisa melakukan, tapi Panda dan Opa bisa. Paman, tolong antar aku pulang ke rumah Opa,” pinta Yuki tegas.“Tidak. Maura memintaku untuk membawamu padanya.” Reno berpaling menatap Yuki. “Yuki, dengarkan aku kali ini. Aku akan menjelaskan semuanya padamu segera, tapi untuk sekarang, kita pulang ke penthouse dulu. Bisa?”Alih-alih menja
“Bagaimana? Apa Maura masih marah? Apa kau berhasil membuat Maura mengerti dan memaafkanku? Apa Mama tahu yang terjadi barusan?” Rangga memberondong Reno dengan pertanyaan sejak melihat iparnya itu membuka pintu.Reno membanting tubuhnya ke sofa, mengabaikan ekspresi ingin tahu yang jelas tergambar di wajah kakak iparnya.“Whoi, Reno! Ditanya malah bengong.”“Bos, sepertinya Maura akan memulai perang dingin denganmu. Begitu juga tentara cilik yang selalu berada di sampingnya.”“Siapa? Yuki? Kenapa?”“Hhh, ini salahku. Dua orang yang baru keluar karantina aku tugaskan untuk menjemput Yuki. Maksudnya supaya tidak ada yang mengenali, ternyata ....” Reno hanya menggeleng tanpa melanjutkan kalimatnya.“Ternyata? Apa?”“Ternyata mereka beretindak berlebihan, terlalu bersemangat hingga Yuki merasa seperti sedang diculik,” sahut Reno lemas.Puk.
Dua menit berlalu, tapi tidak ada respon dari dalam. Rangga terus berteriak memanggil Maura dan menggedor daun pintu dengan kepalan tangannya. Dengan gerakan tergesa, Rangga menekan beberapa angka dan mulai bicara.“Ren, suruh orang teknisi ke atas. Aku butuh mereka untuk membuka pintu rumahku!”Tanpa menunggu jawaban atau pertanyaan Reno, Rangga memutus sambungan dan mengulang tindakannya.“Maura! Jawab aku, Ra!”Dug dug dug.“Maura! Buka pintunya!”Klik.Pintu terbuka sedikit. Rangga melebarkan akses masuknya dengan cepat. Di depannya, Maura sedang setengah membungkuk memeluk perutnya dengan peluh membasahi dahinya.“Kak, Yuki.”Rangga mengangkat Maura dalam gendongan dan segera berbalik. Ia ingin membawa Maura ke Rumah Sakit, tapi Maura meremas bahunya.“Yuki, pingsan. Ehh,” ucapnya diselingi rintihan.“Reno sedang menuju kemari. Dia akan
Dua hari ini, Rangga sibuk mengurus Orion dan kasus terkait Damian dan Burhan. Ia nyaris tidak pernah tinggal lama di rumah, lebih banyak tinggal di kantor atau rumah Reno. Satu karena tidak ada Maura dan lainnya karena khawatir salah menjawab kecurigaan orang rumahnya. “Bang, ini titipan makanan dari Teh Yuni. Dan ini baju ganti yang diminta.” Reno mengulurkan dua buah kantong plastik ke hadapan Rangga. “Apa ada yang tanya tentangku?” tanya Rangga seraya menegakkan punggungnya. “Tidak. Mungkin karena kamu sudah memberitahu mereka akan tinggal di penthouse untuk sementara, jadi mereka tidak banyak bertanya.” Tubuh Rangga menyandar lemas ke sofa. “Baguslah,” ucapnya bertentangan dengan suasanya hatinya yang tidak bagus. “Apa Maura menghubungimu? Menanyakanku mungkin?” Reno menggeleng. “Dia bahkan tidak berkata sepatah kata pun saat aku mengantar Yuki sepulangnya dari Rumah Sakit. dia hanya sibuk memeluk dan menciumi Yuki.” Rang
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s