“Aaa ... aaa ...!”
Lukas menarik kuat tangan Yuki bersamanya dan menerjang pria di depan mereka sekuat tenaga.
Brug.
Tubuh ketiganya limbung dan jatuh ke tanah dengan keras disertai erang kesakitan yang berasal dari pria yang memeluk erat tubuh Yuki dan Lukas.
“Aargghh ...!”
Yuki memberanikan diri membuka mata dengan cepat dan memastikan dugaannya. Benar, ini Paman Reno-nya.
“Paman!” teriak Yuki senang bercampur marah.
“Aah, auwh,” erang Reno lirih. “Kenapa kalian menyerangku?” tanyanya memelas.
“Haish! Lepaskan aku!” bentak Yuki setelah lepas dari keterkejutannya.
Reno melepaskan pelukannya hingga dua bocah kecil di atasnya bisa menyingkir. Mereka bertiga bangkit dan merapikan diri hampir bersamaan.
“Kenapa kau menyerang pamanmu?” tanya Reno lagi.
Yuki mendelik tajam ke arah Reno dengan wajah merah padam. “Tanyakan saja pada dua pria itu!” tunjuk Yuki pada dua pria yang meringkus dan memba
“Paman, apa benar dia sudah meninggal?” ulang Yuki, kali ini lengkap dengan isakan dan linangan air mata.“Tidak, dia tidak meninggal. Dia masih hidup, hanya saja, kau tidak bisa bertemu dengannya,” jawab Reno akhirnya.“Kalau dia masih hidup, kenapa aku tidak bisa menemuinya?” desak Yuki sambil mengguncang lengan Reno. Matanya yang basah menatap Reno dengan sorot penuh permohonan.“Yuki, tolong jangan desak aku. Tidak ada yang bisa aku lakukan.” Reno memalingkan wajahnya dari tatapan Yuki yang memelas.“Kau mungkin tidak bisa melakukan, tapi Panda dan Opa bisa. Paman, tolong antar aku pulang ke rumah Opa,” pinta Yuki tegas.“Tidak. Maura memintaku untuk membawamu padanya.” Reno berpaling menatap Yuki. “Yuki, dengarkan aku kali ini. Aku akan menjelaskan semuanya padamu segera, tapi untuk sekarang, kita pulang ke penthouse dulu. Bisa?”Alih-alih menja
“Bagaimana? Apa Maura masih marah? Apa kau berhasil membuat Maura mengerti dan memaafkanku? Apa Mama tahu yang terjadi barusan?” Rangga memberondong Reno dengan pertanyaan sejak melihat iparnya itu membuka pintu.Reno membanting tubuhnya ke sofa, mengabaikan ekspresi ingin tahu yang jelas tergambar di wajah kakak iparnya.“Whoi, Reno! Ditanya malah bengong.”“Bos, sepertinya Maura akan memulai perang dingin denganmu. Begitu juga tentara cilik yang selalu berada di sampingnya.”“Siapa? Yuki? Kenapa?”“Hhh, ini salahku. Dua orang yang baru keluar karantina aku tugaskan untuk menjemput Yuki. Maksudnya supaya tidak ada yang mengenali, ternyata ....” Reno hanya menggeleng tanpa melanjutkan kalimatnya.“Ternyata? Apa?”“Ternyata mereka beretindak berlebihan, terlalu bersemangat hingga Yuki merasa seperti sedang diculik,” sahut Reno lemas.Puk.
Dua menit berlalu, tapi tidak ada respon dari dalam. Rangga terus berteriak memanggil Maura dan menggedor daun pintu dengan kepalan tangannya. Dengan gerakan tergesa, Rangga menekan beberapa angka dan mulai bicara.“Ren, suruh orang teknisi ke atas. Aku butuh mereka untuk membuka pintu rumahku!”Tanpa menunggu jawaban atau pertanyaan Reno, Rangga memutus sambungan dan mengulang tindakannya.“Maura! Jawab aku, Ra!”Dug dug dug.“Maura! Buka pintunya!”Klik.Pintu terbuka sedikit. Rangga melebarkan akses masuknya dengan cepat. Di depannya, Maura sedang setengah membungkuk memeluk perutnya dengan peluh membasahi dahinya.“Kak, Yuki.”Rangga mengangkat Maura dalam gendongan dan segera berbalik. Ia ingin membawa Maura ke Rumah Sakit, tapi Maura meremas bahunya.“Yuki, pingsan. Ehh,” ucapnya diselingi rintihan.“Reno sedang menuju kemari. Dia akan
Dua hari ini, Rangga sibuk mengurus Orion dan kasus terkait Damian dan Burhan. Ia nyaris tidak pernah tinggal lama di rumah, lebih banyak tinggal di kantor atau rumah Reno. Satu karena tidak ada Maura dan lainnya karena khawatir salah menjawab kecurigaan orang rumahnya. “Bang, ini titipan makanan dari Teh Yuni. Dan ini baju ganti yang diminta.” Reno mengulurkan dua buah kantong plastik ke hadapan Rangga. “Apa ada yang tanya tentangku?” tanya Rangga seraya menegakkan punggungnya. “Tidak. Mungkin karena kamu sudah memberitahu mereka akan tinggal di penthouse untuk sementara, jadi mereka tidak banyak bertanya.” Tubuh Rangga menyandar lemas ke sofa. “Baguslah,” ucapnya bertentangan dengan suasanya hatinya yang tidak bagus. “Apa Maura menghubungimu? Menanyakanku mungkin?” Reno menggeleng. “Dia bahkan tidak berkata sepatah kata pun saat aku mengantar Yuki sepulangnya dari Rumah Sakit. dia hanya sibuk memeluk dan menciumi Yuki.” Rang
[Engh, apa? Kenapa Maura pergi dari rumah, Bang?] Ponsel di tangan Rangga hampir meluncur lepas dari genggaman saat Hanna menembaknya tepat pada inti masalahnya. [Bang?] tanya Hanna dengan nada menyelidik. “Ma, Mama tahu dari mana kalau Maura pergi dari rumah?” [Tidak penting tahu dari mana. Jawab saja pertanyaan Mama, kenapa Maura pergi dari rumah?] ulang Hanna dengan nada lebih mendesak. Rangga tahu, Hanna bertanya bukan karena tidak tahu, tapi hanya untuk mendengar versi lain sebuah cerita atau masalah. Yang perlu dilakukannya sekarang adalah berkata jujur tanpa bermaksud membela diri. “Maura lihat Rangga bersikap kasar pada Anggi dan Damian beberapa hari lalu di kantor Orion. Maura kecewa dan bilang kalau dia lelah bersamaku. Lelah fisik dan mental.” Sebuah desahan lega lolos dari bibir Rangga. Bercerita pada mamanya selalu pilihan paling tepat untuk membagi bebannya, selalu. [Hal itu mungkin mengecewakannya, tapi tidak aka
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Mbak Warsih,” panggil Rangga begitu turun dari taksi dan melihat asisten rumah tangga yang sudah dikenalnya sejak kecil.“Den! Kok ndak telfon dulu? Mbak Warsih belum siapkan kamarnya, lho.” Wanita berbadan subur berbalut kebaya dan kain panjang itu terkejut dan merasa bersalah.“Rangga langsung berangkat tadi, gak sempat kasih kabar. Eyang ada, Mbak?”Rangga tidak sempat melihat perubahan mimik Warsih karena sibuk membayar ongkos taksi dan mengeluarkan tasnya. Saat berpaling menatap Warsih lagi karena tidak mendapat jawaban atas pertanyaannya, Rangga mengernyit heran.“Mbak, Eyang ada?”“Maaf, Den. Mbak Warsih jadi ingat pesan Ndoro Putri kalau hari ini, Puri Mangkunegaran tidak menerima tamu. Maaf, Den.” Warsih setengah membungkuk memberi hormat dan hendak berbalik pergi.“Tunggu, Mbak.” Rangga mencekal lengan
Setelah membersihkan hampir setengah halaman yang penuh semak belukar dan tanaman rambat, mendobrak pintu rahasia yang sudah usang dimakan musim dengan penuh semangat, Rangga harus menelan kekecewaan. Pasalnya, di depannya berdiri tembok beton dua kali tinggi badannya berbentuk U yang artinya, Rangga masih tidak bisa menembus Puri Mangkunegaran lewat jalur rahasia miliknya.“Astaga ... sejak kapan kau berdiri di situ?!” geram Rangga kesal.“Sejak bulan lalu,” sahut Jelita dari balik punggung Rangga.Rangga tersentak kaget dan berbalik cepat menghadap Jelita. “Eyang!”“Aku sudah tahu kamu akan membuka kembali jalur rahasia milikmu.” Jelita maju satu langkah mendekati Rangga.“Sebelum aku menghadiri pernikahan Alina, ada seekor ulat piton yang cukup besar masuk ke dalam puri. Jadi, aku menyuruh Kirman membersihkan halaman belakang dan berakhir menemukan jalur rahasia milikmu. Saat itu, aku langsun
Dua hari berlalu, Rangga masih setia duduk di kursi ukiran kayu, menunggu pintu di depan rumah utama dan berharap pintu itu terbuka. Warsih dan Kirman bergantian mengantar makanan dan baju ganti untuk Rangga—yang tidak pernah disentuhnya, tanpa sepatah kata keluar dari mulut mereka.Cemas dan putus asa berhasil membuat mata Rangga terus terjaga tanpa istirahat selama dua hari. Matanya merah dan sembab, wajahnya kusut karena mengantuk, aura Ranggapati meredup. Hanya air segar yang diambil dari sumur belakang puri yang memberinya tenaga untuk bertahan.Hidup seperti mati, itu yang sekarang Rangga rasakan. Tubuhnya bergerak, tapi tidak bernyawa. Semua karena Maura, kekasih hati yang baru belakangan benar-benar ia sadari arti hadirnya dalam kehidupan Rangga.Selama ini, Rangga berpikir bahwa ia mencintai Maura dan itu lebih dari cukup untuk melandasi sebuah pernikahan. Nyatanya, lebih dari itu. Ia membutuhkan Maura, wanita itu adalah istrinya, garwa d