“Tuan Hans Suroso, sekali lagi saya tanya. Siapa yang menyuruh Anda?!” bentak Reno lebih keras dari sebelum-sebelumnya.
Hans mengkerut sambil terus menggelengkan kepalanya.
“Anda keras kepala juga, rupanya. Kalau begitu, saya terpaksa menghentikan pengobatan putri Anda satu-satunya.” Reno berlagak memainkan ponsel dan menghubungi seseorang.
“Tidak! Jangan lakukan itu. Saya mohon.” Hans berusaha menggapai tangan Reno yang memegang ponsel. “Saya, saya akan katakan semuanya. Tolong, jangan hentikan obatnya!” Hans menangkup kedua tangannya penuh permohonan.
Reno menyeringai. Penjahat kelas kakap saja bisa dikorek semua rahasianya, apalagi seorang Hans yang baru terjun ke dunia hitam dan itupun Reno yakin karena terpaksa atau ketidaksengajaan.
“Katakan!”
“Saat saya mencuri jamur di gudang, seseorang memergokinya dan mengancam saya akan melaporkan pada Pak Armand kalau saya tidak ma
“Dolf, kau menyisir area depan. Aku belakang. Dia tidak akan mungkin lolos, kecuali melompat dari lantai dua.” Hulk menginstruksikan sesuai dengan apa yang Reno perintahkan. Dua taekwondoin yang mengantongi sabuk hitam dengan empat strip putih itu mulai bergerak ke tempat yang telah disepakati. Dolfin menyisir restoran, minibar, lobi sampai pada pintu masuk utama, sedangkan Hulk menyisir gudang penyimpanan, dapur, laundry sampai ke pintu keluar bagian belakang. Hulk berpapasan dengan salah satu karyawan hotel yang berjalan keluar dari arah dapur. Awalnya Hulk hanya mengangguk sopan saat mereka berpapasan, sampai ia menyadari sesuatu tentang pria itu. “Tunggu!” panggil Hulk menghentikan langkah karyawan hotel. Pria itu berhenti, tapi tidak segera berbalik, membuat Hulk meningkatkan kewaspadaannya. “Hei,” panggil Hulk lagi seraya bergerak perlahan menghampiri pria yang tetap diam itu. Sret. Pria itu berbalik sambil mengulas senyum. “Ada
Perasaan Reno makin tak karuan, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat manakala matanya menangkap pergerakan di bawah rak perkakas, di antara tumpukan benda keras.“Pic!” seru Reno bergegas mendekat. “Jangan bergerak. Aku akan mengeluarkanmu!”“Nyo-nya,” lirih Picollo nyaris tak tertangkap indera pendengar.“Jangan banyak bicara, aku akan mengeluarkanmu.” Reno berdiri, mengambil ancang-ancang untuk menggeser rak yang menindih Picollo. “Hyaa ...! Akhh ...!”Sraakk ... krakk ... prang ...Rak perkakas bergeser satu jengkal, menyisakan celah sempit untuk Reno masuk. Reno menyelinap perlahan masuk di bawah reruntuhan rak dan berlutut di samping Picollo.“Apa yang kau rasakan? Ada yang patah? Aku akan mengeluarkanmu.” Reno bersiap membalik badan Picollo, membantunya bangkit.Tap.Pic menahan pergelangan tangan Reno. “Pak, ujung rak itu.” Picollo me
Keinginannya untuk segera kembali ke Jakarta ternyata tidak terjadi secepat perkiraannya. Tepat pukul tujuh malam, Rangga turun dari dalam perut burung besi yang mengantarnya dari Singapura. Ada rasa lega melingkupinya, memikirkan menit-menit pertemuannya dengan istri tercintanya setelah berpisah dan dipenuhi rasa khawatir.“Kamu bisa kembali. Besok, temui sekretaris saya di kantor. Dia akan memberikan gaji dan bonusmu,” ucap Rangga pada Nurul.“Baik, terima kasih banyak, Pak.” Nurul mengangguk hormat sebelum masuk ke dalam taksi yang sudah Potter siapkan untuknya.“Potter, hubungi Reno. Ajak dia bertemu di tempat biasa. Aku merasa tidak akan sanggup mengatakan semua dalam kondisi sadar. Aku ingin minum sedikit.”Potter hanya mengangguk seraya membuka pintu mobil untuk bosnya. Ia berdiri diam dan menata hatinya sebelum menekan nomor atasannya. Bebannya memang tidak sebesar Rangga, tapi Potter tahu bahwa apa yang akan di
“Mau ke mana kamu?” ulang Galih saat Rangga tak segera menjawabnya. “Mencari orang yang membuat Maura dan orang-orangku celaka.” “Papa sudah minta Martin untuk menangkap Toni, orang yang melakukan semua ini. Kamu, tetap di sini!” tunjuk Galih pada Rangga. “Pa, Rangga tidak bisa hanya diam di sini. Rangga bisa menemukan Toni lebih cepat dari orang suruhan Papa.” Rangga tetap berkeras. “Mereka memang tidak bisa mengalahkan kecepatanmu dalam mencari orang, tapi mereka bisa melakukannya tanpa melanggar hukum. Jangan mendebat Papa!” hardik Galih. Siapa yang tidak kenal Ranggapati? Siapa yang tidak tahu caranya menyelesaikan masalah? Orang terdekatnya tahu betul bagaimana Rangga membalas orang yang menyinggungnya, apalagi sekarang, Maura yang jadi korban. “Jangan menambah masalah! Ingat, istrimu sedang hamil. Prioritasmu sekarang adalah dia, bukan melampiaskan marahmu.” Rangga menghela napas dalam seraya memejamkan matanya. Hati keci
Food Court Plaza Himalaya, 09.00 amSeorang pria duduk gelisah di salah satu stan makanan nusantara. Kepalanya tak henti menoleh ke samping dan belakang, seolah mencari seseorang yang dikenalnya. Kupluk jaketnya hampir menutup separuh wajahnya yang menggunakan kacamata hitam. Dari penampilannya, pria ini mengesankan tidak ingin ada orang lain yang mengenalinya, tapi penyangga lengan yang digunakannya sangat mencolok.Setiap dua detik, dia akan melirik arloji atau memeriksa ponselnya. Kegelisahannya memuncak saat orang yang ditunggunya tak kunjung datang, bahkan setelah terlambat tiga puluh menit dari yang disepakati. Jemarinya cekatan menari di atas papan tombol ponselnya.“Halo, saya sudah menunggu lebih dari satu jam. Kapan Anda datang?” tanya pria itu saat panggilannya diterima.Tidak ada jawaban dari seberang, hanya suara bising alunan musik rock dari Deep Purple seolah sengaja menyambutnya.“Halo, halo!”Bug.
Remasan di bahunya membuat Maura menoleh, Rangga sedang mengirimkan isyarat melalui sentuhan dan tatapan matanya. ‘Apa dia menyuruhku diam? Berbohong? Tapi kenapa?’“Maaf, bisa kita lanjutkan setelah dokter memeriksa kondisi istri saya?” tawar Rangga.Dua petugas itu saling pandang, tapi tidak bisa memaksa karena Maura korban sekaligus saksi, bukan tersangka. “Baik, kami tunggu di luar,” putus Anton akhirnya. Pria yang usianya jauh lebih tua di atas Rangga itu menepuk bahu rekannya, mengajaknya keluar bersama.“Pak, dari gelagatnya, sepertinya ingin menyusun siasat dengan kedok pemeriksaan dokter,” ujar petugas yang lebih muda pada Anton.Anton melirik, merasa tertarik dengan ketajaman insting rekan barunya. “Biar saja, kita yang salah waktu. Coba kamu tanyakan ke anak2, apa saja yang sudah Hans ceritakan.”Polisi muda itu segera melaksanakan perintah seniornya. Setelah beberapa menit berb
Kediaman Danutirta“Oma,” sapa Yuki sambil menempati kursinya.“Ya, Sayang?”“Bunda mana? Sejak kemarin, Yuki belum melihatnya.” Gadis kecil itu menatap Hanna sambil meraih sebuah roti lapis alpukat kesukaannya.“Sore ini kamu akan melihat Bunda,” jawab Hanna diplomatis, tidak berbohong, tapi juga tidak memberitahukan yang terjadi pada Maura.“Selamat pagi, Yuki!” Alina mencubit pipi gembil yang sibuk mengunyah hingga memerah.“Awh, sakit, Aunt!” protes Yuki sambil menggosok pipinya yang sakit.“Hehehe, maaf. Hari ini, Onti yang akan mengantarmu ke sekolah. Suka gak?” Alina meraih selembar roti dan botol selai cokelat.“Suka, tapi kenapa dengan Paman Reno? Apa dia juga belum pulang?”“Paman Reno sedang memeriksa pekerjaannya di hotel, jadi tidak bisa mengantarmu. Ayo, segera habiskan sarapanmu. Kita berangkat setelah ini
Alina menatap Reno penuh tanya. “Apa kau sudah tahu pelakunya?”“Belum. Rangga sibuk mengurus Maura, sedangkan aku sibuk mengurus dua anak buahku yang terluka. Kami belum sempat menyelidikinya secara detail dan polisi sudah mulai turun tangan.”“Tunggu.” Wajah Alina mengkerut curiga. “Kalian tidak berencana menyembunyikan sesuatu seperti kata Maura, ‘kan? Ingat, Papa sudah menekankan untuk tidak ikut campur urusan ini.”Reno meraih bahu Alina. “Ya, kamu tenang saja. Kami tidak berencana menyembunyikan sesuatu, malah sebaliknya, membantu polisi mengungkap sesuatu.”“Tidak.” Alina menjauh melepaskan diri. “Itu termasuk ikut campur. Papa tidak akan suka dengan keputusan kalian. Sebaiknya kamu bujuk Bang Rangga untuk menyerahkan semuanya pada pihak berwajib, jangan campur tangan.”Reno tidak menjawab.“Ren, jawab aku.”“Aku tidak bi