Kediaman Keluarga Danutirta
“Astaga, apa yang terjadi padamu, Al?! Ren?!” Hanna bergegas menghampiri putrinya. “Kenapa bisa begini?”
“Alina hampir dirampok, Ma. Untung ada Reno lewat, jadi masih selamat.”
“Kenapa pulang gak minta tolong Asep untuk antar? Kamu juga gak bilang kalau mau pulang. Ada apa, sih?”
Reno yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Maaf, Bu. Sebenarnya Alina sudah sampai Jakarta sejak sebelum petang, tapi dia langsung ke rumah saya karena kami bertengkar.”
“Bertengkar?” Hanna ingin bertanya lebih lanjut, tapi dia tahu itu bukan urusannya selama Reno dan Alina tidak saling melukai. “Lalu, perampoknya? Ini sudah diperiksa? Baru keluar dari Rumah Sakit kalian?”
Kini giliran Alina yang diam. Hanna bukan orang kuno dan kolot, terlebih sejak Alina terjun ke dunia modeling. Namun, tetap ada batasan antara laki-laki dan perempuan yang tidak bo
Hai, dear. Sudahkah tekan bintang 5 dan tinggalkan komen? Yuk, rate dan review dulu agar makin semangat untuk menulis cerita. Terima kasih, dear.
Vila Ranggapati, Bandung Dari tempatnya duduk, Rangga melihat istrinya dan gadis kecil yang tiba-tiba hadir di antara mereka sedang bermain air di dalam kolam. Mereka begitu natural layaknya ibu dan anak yang sedang menghabiskan waktu bersama. Entah kenapa, sejak melihat Yuki dari dekat, Rangga yakin sekali bahwa gadis kecil itu bukan darah dagingnya. “Kak, sini.” Maura melambaikan tangan mengundang Rangga ikut bergabung. “Tidak, aku masih harus membaca beberapa laporan yang Reno kirimkan,” tolak Rangga setengah hati. Pria mana yang akan sanggup menolak ajakan Maura yang melambai dengan begitu menggoda ditambah tubuhnya yang basah dalam balutan baju renang warna merah. Tapi kali ini, Rangga harus meneguhkan hatinya untuk menolak. Ia tidak ingin Maura salah mengira bahwa dirinya bersedia masuk ke dalam air karena ingin lebih akrab dengan Yuki. ‘Tahan, Ranggapati. Akan ada banyak waktu lain untukmu bermain dengan Maura di dalam air.’ Rangga meng
Yuki sibuk memilih berbagai macam es krim yang tersedia di depannya bersama Maura, sedangkan Rangga hanya berdiri dengan tangan dilipat di depan dada sambil melihat interaksi antara Maura dan Yuki.“Masih lama? Atau kalian beli saja semua isinya.”Maura berpaling dengan kesal. “Kamu kenapa, sih? Dari tadi sewot. Diajak belanja bulanan sekalian ngomel, pilih mangga kelamaan ngedumel. Tadi yang minta ikutan siapa?”“Haish, cepat sedikit. Kakiku mulai pegel, mana bau keringat di mana-mana.”“Kak! Apaan, sih?!” Maura menurunkan Yuki yang sedang asyik memilih es krim. “Yuki, kita pulang saja. Paman Rangga sedang tidak enak badan.”Dalam perjalanan pulang, terjadi sebuah kecelakaan di jalan yang mereka lalui, menyebabkan lalu lintas padat merayap. Maura melirik wajah Rangga yang menggembung seperti ikan fugu dan mengulurkan tangannya menyentuh dahi lebar yang sedang berkerut menahan sesuatu.
“Kenapa Paman Rangga harus menerimaku?” tanya Yuki.“Sayang, sini.” Vivian menepuk sebelah ranjang yang kosong, meminta Yuki naik bersamanya. “Yuki, ada yang harus Mama lakukan sementara waktu dan tidak bisa membawamu serta. Jadi, selama aku tidak ada, kau akan tinggal bersama Paman Rangga.”“Kenapa harus bersama pria dingin dan kaku itu? Bukankah saudaramu itu Paman Reno?”Vivian mengernyit mendengar julukan Yuki untuk Rangga. “Dingin dan kaku?”“Ya, aku dan Tante Maura memanggilnya begitu.” Yuki terkikik. “Tapi dia begitu lembut saat Tante Maura mulai kesal dan melotot ke arahnya. Sama seperti saat kau marah pada Daddy.”Reno melirik Vivian yang sibuk menyembunyikan rasa tidak suka karena Yuki menggambarkan hubungan Maura dan Rangga. “Mereka saling mencintai, Eve. Urungkan niatmu untuk memisahkan mereka.”Vivian menarik napas panjang. “Yuk
Kondisi Rangga makin parah, ia tak hanya mual dan demam. Sore ini, ia sudah dua kali muntah hingga mulutnya terasa pahit. Maura yang selalu berada di sampingnya merasa cemas dan memaksanya pergi ke dokter. “Sebaiknya kita ke Rumah Sakit. Kamu akan lemas dan kekurangan cairan bila terus begini, Kak.” “Aku masih bisa menahannya, Ra. Aku hanya ingin tidur sambil memelukmu,” pinta Rangga memelas. “Baiklah, aku akan memelukmu dan menemanimu tidur. Dengan syarat, kita akan segera ke dokter bila –.” Rangga meletakkan telunjuknya di bibir Maura agar wanita itu berhenti bicara. “Pening kepalaku mendengar kau terus bicara dan mengomel.” Maura diam, hanya bernapas dan mengusap punggung Rangga perlahan. Berusaha memberikan kehangatan seperti yang biasa mamanya lakukan saat Maura merasa tidak enak badan. “Apa kamu mencemaskan kondisi Vivian, Kak?” “Kenapa kau bilang begitu?” tanya Rangga sambil tetap terpejam dan menggeser kepalanya makin m
Maura bangun karena terkejut merasakan tubuhnya basah oleh keringat dan merasa gerah. Diliriknya jam analog di atas nakas dengan malas. ‘Dua satu tiga puluh,’ batin Maura.“Astaga, sudah malam.” Maura menarik tubuhnya seraya mengangkat kepala Rangga agar pindah dari atas tubuhnya. “Lho, kamu menggigil, Kak!” paniknya segera bangkit. “Kak, Kak!” Maura menepuk pipi Rangga pelan.“Engh, engh.”“Panas banget ini, mana keringatnya banyak yang keluar.” Maura bergegas turun dari ranjang, membuka lemari pakaian dan mengambil baju ganti.“Kak, kita harus ke Rumah Sakit sekarang.” Sekuat tenaga di tariknya tubuh Rangga agar bersandar pada kepala ranjang. “Kak, dorong badanmu. Akuh, ehk, gak bisa. Hufth, berat banget.”Tubuh Rangga tidak bergeser dari tempatnya semula.“Oke, kita ganti baju dulu, basah banget ini kaosnya. Kamu bisa masuk angin nanti.&r
“Selamat pagi, Pak. Bagaimana kabarnya, sudah lebih enak?” seorang dokter masuk ke kamar Rangga diikuti seorang suster paruh baya.“Pagi, Dok. Masih sama, mualnya bahkan makin parah.”Pria berkacamata bulat berbingkai emas itu melipat bibirnya seraya membaca hasil laboratorium. “Hasil laboratnya semua normal, hanya ada sedikit kenaikan pada fungsi hati. Memang menimbulkan rasa tidak nyaman di daerah perut. Untuk sementara, hindari makanan berlemak dan asam.”“Apa terlalu lelah juga berpengaruh, Dok?”“Bisa juga, ditambah telat makan dan kurang tidur. Bisa menyebabkan demam dan asam lambung naik.” Dokter itu mengernyit melihat suster di sebelahnya mengulum senyuman. “Kenapa, Sus?”“Saya teringat suami saya, Dok. Dia juga pernah mengalami sakit seperti ini saat saya hamil anak pertama.”“Oh, ya? Lalu?” tanya dokter penyakit dalam itu penasaran.
“Hei, Anak Pintar. Kenapa duduk sendiri di sini?”Yuki mendongak mendengar seseorang menyapanya. “Tante!” Yuki menghambur memeluk pinggang ramping Maura. “Mama,” ucapnya diikuti isak tangis.“Kita duduk dulu, yuk.” Maura membantu Yuki duduk dan berjongkok di depannya. “Sekarang, ceritakan apa yang membuat wajah cantikmu cemberut, hmm?”Yuki mengusap matanya yang basah. “Mama bilang, dia harus pergi ke Singapura untuk berobat. Apa dia akan meninggal?”“Stt, tidak separah itu, Sayang. Mama hanya pergi berobat untuk menyembuhkan sakitnya. Makin cepat dia pergi, makin cepat sembuh dan berkumpul lagi denganmu.”“Kenapa dia tidak membawaku? Kenapa dia ingin aku tinggal bersama Paman Reno? Apa aku terlalu merepotkan?”Maura berpindah duduk di samping Yuki. “Mana ada merepotkan? Dia hanya tidak ingin kau mengorbankan sekolahmu untuk menemaninya. Di
“Tunggu, kalian akan bertunangan minggu depan? Lalu, bagaimana dengan Singapura? Kenapa kau bahkan tidak mengatakannya padaku?”“Dengan sangat terpaksa harus ditunda untuk sementara, paling tidak sampai acara pertunangan selesai.” Reno memasang wajah penuh penyesalan.“Sudah, Kak. Jangan mengganggu hari bahagia mereka. Menunda dua-tiga hari tidak akan jauh berbeda. Tapi, Alina sungguh keterlaluan, dia tidak mengatakan apapun tentang rencana kalian.”“Kita kembali saja ke kamar, kepalaku tiba-tiba pening.” Rangga menggerakkan roda kursinya menjauhi Reno.“Kalian memang sesuatu, Ren.” Maura menggeleng kesal kemudian bersiap menyusul Rangga“Kak, bisa kita bicara sebentar?”“Apa?” tanya Maura kembali berpaling menatap Reno.“Ini tentang Pak Galih. Ada saran, bagaimana aku harus menghadapi Alina kalau sampai dia dengar tentang Vivian?”M
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s