Setelah melewati pasar sore, kini aku ke pikiran lagi kepada santri wati tadi, yang dipanggil Udin dengan sebutan 'Dek'. Siapa dia? Wajahnya yang cantik juga manis seakan-akan menari-nari di otakku.
"Ah penyakit pikiran sudah datang."
Apakah aku sedang jatuh cinta. Karena aku sudah lama tidak merasakan yang namanya jatuh cinta? Yang terbayang adalah alis tebal, lesung pipitnya dan juga belahan yang ada di dagunya. Ah bikin hati ini meleleh kayak lilin.
"Oh mbak santri, siapa namamu. Love You mbak santri." Kini aku dimabuk cinta. Karena memikirkan mbak santri tadi, sampai-sampai aku keterusan.
"Lah kenapa aku sampai di kelurahan," gerutuku. Setelah kupastikan aman, tidak ada kendaraan yang lewat aku langsung memutar motorku balik arah.
"Aahhh ini gara-gara mbak santri tadi, sampi kelewat jauh aku," gumamku. Sampai di pondok adzan magrib berkumandang, kustandarkan motor di depan kamarku.
***
Selesai salat isya', kubunyikan kentungan di pondok bertanda muroja'ah di mulai. Saat aku membuka kitab, ada bayangan wajah mbak santri dan kutatap dalam-dalam. Ah, cantiknya. Aku ingin memilikimu. Apakah aku bisa memilikimu? Aku dan engkau bagaikan rembulan yang merindukan pungguk. Ah, manisnya. Sampai-sampai aku tidak sadar di hadapanku ada orang.
"Kang!"
"Kang!"
"Kangg!" ucapnya sedikit teriak.
"Eh iya, ada apa." Sontak saja aku kaget dan gelagapan. Bayangan mbak santri seketika hilang seperti di telan bumi.
'Ah sial ganggu saja anak ini,' kataku dalam hati.
"Aku mau setor," ucapnya. Sambil menyodorkan kitab kecil berwarna kuning yang cukup tebal.
"Oh ya mana?" Kuambil kitabnya yang sudah ia bukak halamannya, jadi aku tidak repot mencarinya lagi. Ah merdu sekali mendengarkan setiap lafadz yang ia ucapkan dengan bibirnya, bagaikan musik jaz. Kurang lebih lima menit ia ucapkan lafadz-lafadz tersebut.
"Berapa hari hapalannya?" tanyaku, seraya menutup kitabnya dan mengembalikannya.
"Satu minggu, Kang." Ia ulurkan tangnya mengambil kitabnya.
"Cepat juga kamu," ucapku kagum.
"Tapi ya gitu, belum paham. Cuman hafal-hafal saja," keluhnya. Memukul jidatnya dengan kitab kecilnya.
"Pelan-pelan saja, diulangi lagi sampai paham." Kumencoba menyemangati dia. Karena dia termasuk murid yang cerdas.
"Iya, Kang," ucapnya menunduk lesu.
Dia ke kembali duduk di tempat semula tadi, kami murojaah di aula tengah. Satu jam sudah kami murojaah, semua santri menutup bukunya dan menaruhnya ke kamarnya masing-masing. Satu kamar berisi lima santri. Tapi aku belum selesai masih membaca kitab kuningku yang tipis, tidak ada maknanya hanya tulisan arab tanpa harakat. Di saat asyik mengaji tiba-tiba wajah mbak santri melintas. Iya tersenyum. Melambaikan tangannya. Cium jauh ia berikan padaku. Cantik, wajah polosnya itu bikin gemes, ingin kucubit rasanya.
***
Adzan subuh berkumandang, membangunkan sebagian dari santri. Tok! Tok! Tok!
"Ayok bangun, sudah subuh!" Kuketuk pintu kamar yang masih tertutup.
Bertanda sang penghuni belum bangun. Ah, malasnya. Udara dingin di subuh hari, membuat siapa saja enggan bangun dari tidurnya, kugedor pintu berulang kalai, jika belum ada jawaban, aku tidak akan pergi.
"Iya, Kang," jawab salah satu santri yang ada di dalam kamar.
Semua santri mengantri di depan kamar mandi, berbaris rapi ada juga yang menyenderkan tubuhnya ke tembok yang sudah pudar warnanya untuk tidur. Pemandangan yang eksotis. Suasana seperti inilah, yang akan di rindukan ketika pulang dari pondok. Semuanya mengantari dan saling berbagi satu sama lain. Tolong-menolong, ada juga yang mementingkan diri sendiri tapi hanya sebagian.
***
"Kang, Kang Jono!" Karena ada yang memanggil namaku, aku yang membaca kitab langsung keluar.
"Eh, Pak Kyai." Aku langsung menunduk.
"Kamu sibuk tidak?" tanya beliau.
"Boten (Tidak), Pak," jawabku.
"Kalau gitu nanti ke sawah ya, memanen padi. Ajak beberapa pengurus," pesan pak kyai lagi.
'Aku ajak semua aja.' Dalam hatiku. Aku mengajak lima santri seumuranku. Memakai pakaian umumnya orang ke sawah, memakai topi dari anyaman bambu dan tidak lupa celurit untuk memanen padi nanti.
***
Panasnya di siang hari membuat tenggorokanku kering, karena lelah kami putuskan untuk istirahat sejenak. Ah, pemandangan sawah yang indah, hamparan padi yang menguning siap untuk di panen. Kami di sawah di bantu para pekerja lain, kami yang memotong mereka yang memasukkan padinya ke mesin. Kami melihat dari kejauhan, ada rasa iba di hati melihat mereka bekerja keras agar asap di dapur terus mengebul.
"Ini Kang makanannya," tawar Kang Rois.
Membuat lamunanku hilang. Aku membuka tas yang tadi aku bawa dan mengeluarkan isinya, mengambil satu potong gorengan tempe lalu kutawarkan pada yang lain.
"Ah enak juga ya, makan di sawah. Makan sambil menikmati pemandang dan juga angin yang semilir, menyejukkan," ucap Ucup sambil memasukkan roti kering ke mulutnya.
Aku yang menikmati pemandangan tiba-tiba teringat dengan mbak santri kemarin. Wajah polos nan cantik menari-nari di kepalaku.
"Kang!"
"Kang!" Rois menyenggol pinggangku dengan sikunya.
"Iya, Kang," jawabku.
"Melamuni apa sih, sampai di panggil tidak dengar," ucap Rois.
"Gak ada, Kang," elakku. Kalau aku cerita bisa malu aku.
"Ah yang bener?" ejeknya.
"Terus cewek itu gimana?" celetuk Kang Hendra.
"Jangan mengada-ngada, ntar kalau ada yang dengar bisa heboh pondok hahaha," jawabku.
"Ya iyalah heboh, Kang Jono yang terkenal jomblo akut tiba-tiba punya pacar hahaha," ucap Ucup.
"Senang sekali kalian melihat temannya menderita," jawabku santai.
"Mungkin jodohmu belum lahir, Kang" timpal Hendra.
"Kenalin gitu," candaku pada mereka.
"Yang muda apa yang tua?" tanya Hendra.
"Ya kalau yang ada yang mudalah."
"Kalau ada aku pesan satu, Kang," celetuk Ucup.
"Kan kamu sudah punya," ucapku sembari menatapnya curiga.
"Baru satu Kang hahaha," jawabnya.
"Memang mau berapa?" tanyaku.
"Kan di agama kita boleh punya istri empat."
"Kamu mau punya istri empat?" potongku cepat.
"Aduh Kang, gak berani aku haha."
"Aku kira mau punya istri empat, satu aja belum punya kok ngimpi punya istri empat hahaha."
"Hahahahah."
Kami tertawa bersama, melepaskan beban yang di kepala, apa lagi kalau bukan hapalan. Soal jodoh nomor sepuluh. Tapi senggaknya aku punya seseorang yang membuat hati ini kelayung-layung.
'Tunggu aku mbak santri,' kataku dalam hati. Karena sudah siang kami siap-siap untuk pulang. Sebagian dari pekerjaan diselesaikan para buruh.
***
"Mau ke mana, Kang?" tanya seseorang dari arah belakang. Kutengok ternyata Kang Rois.
"Mau mandi, bau asem," ucapku cengengesan.
"Ayok mandi di sungai," tawarnya.
"Ayok." Kami berjalan beriringan menuju sawah.
"Kok bawa jaring buat apa, Kang?" tanyaku heran.
"Jaring jodoh hahaha."
"Kalau dapat nanti aku pinjam jaringnya ya."
Setelah sampai di sungai kuletakkan baju di batu agar tidak kecipratan air. Kang Rois berjalan ke bawah mencari sesuatu.
"Mau jaring ikan ya Kang?!" teriakku.
"Iya." Kudekati dia.
"Ikan kecil-kecil gitu."
"Kalau mau besar ya sana di laut," cerocosnya tanpa menoleh ke arahku. Matanya masih fokus pada ikan. Dengan kecepatan kilat ia arahkan jaring ke pada ikan.
"Ini Kang dapat." Dengan gembira dia menunjukkan ke padaku.
"Hebat kamu Kang," pujiku.
"Mana aku juga mau." Kuserobot jaringnya tanpa seizinnya. Pelan-pelan kuarahkan jaring ke ikan dan byur!
"Dapat juga aku Kang."
Meskipun ikannya kecil-kecil tapi lumayan untuk makan malam nanti. Setelah mendapat cukup banyak, kami putuskan untuk mandi. Kalau tidak begitu tidak akan ada rasa bosan mencari ikan.
Tiga hari aku tidak main ke pesantren Udin, ada rasa rindu di hati ini. Selalu dan ingin selalu memandang wajah mbak santri tersebut, rindu yang ada di hati tidak bisa lagi kureda."Kok aku rindu dia ya," gumamku, sambil tiduran di karpet tipis."Aku sudah tiga hari tidak ke sana, apa aku ke sana ya nanti."Aku menimbang-nimbangkannya. Daripada aku gelisah lebih baik aku ke sana saja sekarang. Kulihat jam lima sore, aku mengambil jaket levis berjalan mencari Kang Rois."Kang, aku mau jenguk Udin dulu kok aku ke pikiran." Tentu itu hanya alasanku saja. Aku berdiri di ambang pintu kamar Kang Rois."Oh iya Kang, sekalian aku nitip Kang." Dia yang awalnya tengkurap kini berdiri berjalan menghampiriku."Apa?""Tolong belikan gorengan yang ada di perapatan yang ada di pojokkan sana." Ia mengulurkan uang satu lembar pecahan sepuluh ribu."Beli berapa?" Kuambil uangnya dari tangannya""Lima ribu aja.""Nanti pulangnya jam
Semua santri berbondong-bondong menuju rumah Pak Kyai. Di sana sudah banyak santri wati. Kudekati Gus Ulin. Sebagian dari santri masih kasak kusuk apa yang terjadi. Begitu kerasnya Bu nyai menangis, sehingga menimbulkan tanda tanya. Tidak ada yang berani masuk meski santri putri."Ada apa Gus?" Ada kegelisahan yang terpancar dari wajahnya. Tiba-tiba dia memelukku."Abah, Kang abah," ucapnya terbata-bata."Kenapa Abah?" Kini aku mulai gelisah."Abah wafat." Seketika tangisnya pecah di pelukanku."Innililahiwainnailahirojiun.” Kuelus punggungnya."Yang sabar, Gus." Kulepas pelukannya dan kuarahkan dia duduk di kursi."Minum dulu, Gus." Kusodorkan air putih.Tidak lama keluarlah Gus Fuad dari dalam kamar, memerintah beberapa santri putra untuk menyiapkan segalanya. Juga pengurus tidak lupa mengumumkan perihal wafatnya pak kyai, aku sendiri tidak percaya abah meninggalkan kita semua, umur yang belum terlalu sepuh yaitu empat
"Assalamualaikum," ucap Kang Rois di depan pintu Bu Nyai."Waalaikumsalam," ucap seseorang dari arah dalam.Seorang perempuan hampir berkepala lima keluar dari kamar masih menggunakan mukena pajang. Sedikit gemuk tapi cantik."Ayo Kang silakan masuk," titah Bu nyai."Inggih."Bu nyai duduk di atas sofa sedangkan kami duduk di atas karpet. Ya itulah salah satu cara santri menghormati gurunya. Seorang santri berjajar dengan Guru merasa tidak pantas dan suul adabnya kurang."Jangan duduk di bawah dingin," ucap beliau.Kami menurut dengan ucapan Bu Nyai dari bawah kini kami duduk di sofa. Berhadapan dengan Bu Nyai. Hanya meja kecil yang menjadi pembatas kami."Kok baru datang jam segini Kang?"Kami memang sengaja datang setelah Shalat isya, agar bisa mengobrol dengan nyaman dan sedikit lama."Iya Bu, tadi saya mencari Kang Rois tidak ketemu-temu," jawabku dengan kepala menunduk."Lho emang tadi ke mana?"
Jam lima sore Kang Rois datang sambil mendorong motornya. Berhenti di depanku. "Apes wes apes." Stelah menstandarkan motornya, ia berjalan ke arahku dan merobohkan badannya di sampungku. "Kenapa Kang?” tanyaku heran. "Itu motornya Kang Usman malah mogok." Kang Usman juga salah pengurus tapi. "Kok bisa,” kupandangi motor, di lihat motornya tidak kenapa-napa. "Gak tau!” jawab Kang Rois ngos-ngosan setelah mendorong motor. "Mana lagi dorongnya dari perempatan sana, hadeh capek," cerocosnya. "Kenapa tidak di titipin ke bengkel aja tadi.” "Mana ada duit aku Kang-kang?" "Kan pinjam sama aku bisa.” "Emang kamu punya?" tanyanya. "Belum tahu hahaha.” "Edan samean." "Tadi udah di cek tangki bensinnya?" kudekati motor, dan kugenjot. "Asthofirrulloh egak.e Kang." seketika Kang Rois bangun dari tidurnya dan menepuk jidatnya sendiri. "Man
Akhir-akhir ini aku dan Kang Rois di sibukkan dengan pekerjaan baru, meskipun lelah tidak apa, asal pesantren mendapatkan keringanan meski, itu listrik tapi sangat membantu kami para santri."Kang aku pinjam motormu." Entah sejak kapan ia berdiri di depan pintu kamar."Mau kemana Kang?" kuserahkan kunci motor ke padanya."Ada deh, aku pinjam dulu ya!" ucapnya sambil berlalu.Sejak jadi penarik listrik Kang Rois orangnya sibuk."Assalmualaikum." Suara seseorang dari aula.Suaranya sangat familiar tapi siapa ya."Waalaikumsalam", jawabku. Tapi aku malas beranjak dari tempat dudukku."Waahhh rajinnya," ucapnya.Seketika aku mendongakkan kepala."Ehh Kamu, sama siapa kesini?" ternyata Udin."Sendiri aja, aku mau ngobrol serius sama kamu," kini dia duduk di samping kananku.Kut
Saat mata ini ingin terpejam, terdengar suara langkah kaki yang menaiki tangga.Saat kulihat ternyata Kang Abdul, duduk di samping Udin tanpa permisi Kang Abdul menyeruput kopi Udin."Apa aku tanya aja, dari pada aku suudzon sama dia."Kubuka songkok yang tadi kubuat menutup muka, dan mengubah posisiku menjadi duduk bersila."Kang Abdul!""Hemm...."Dia menyalakan sebatang rokok kretek, ada kata pepatah setelah makan tidak merokok bagaikan beol tanpa cebok."Sudah berapa tahun menikah?"Mendengar perkataanku, Kang Abdul tersedak asap rokoknya. Sedangkan Udin malah mengrenyitkan dahinya. Merasa bingung dengan pertanyaanku. Mungkin."Menikah?! kamu dengar dari siapa?!" ucap Kang Abdul bingung."Iya, tadi santri perempuan yang makan bareng sama kamu itu, istrimu kan Kang?" tanyaku santai."Hahahahah hahaha hahaha...."Tiba-tiba Udin dan Kang Abdul tertawa terbahak-bahak, sampai aku bingung dan men
Sebulan alu tidak memikirkan mbak santri, karena aku pikir dia istrinya Kag Abdul ternyata salah.Seketika kesunggingkan senyum yang lebar. Indah orang jatuh cinta tapi kalau sudah kecewa ah jangan di tanya seperti apa sakitnya."Kenepa Kang senyum-senyum sendiri?" tanya Kang Rois."Ah egak kok Kang." Kang Rois membawa kresek hitam mebuat aku penasaran."Apa itu Kang?" tanyaku.Setelah di buka ternyata gorengan."Monggo Kang di makan!" tawarnya."Baru kiriman ya Kang?" tanyaku."Hehe iya." "Tiga bulan macet baru sekarang orang tua punya rejeki." Aku hanya oh ria saja, yang penting makan.*****Sudah dua minggu aku tidak mendengar kabar dari orang yang minta tolong padaku tempo lalu.Triing..Tiba-tiba poselku berbunyi dengan cepat aku buka pesan tersebut. Dari nomor yangbtidk di kenal.[Kang nanti bisa kesini] isi pesan tersebut.Triiing... Ada pesan masuk lagi.[Ini saya orang yang minta tolong sama kamu waktu lalu]Dengan cepat aku balas pesan singkat tersebut.[Insya Alloh] cent
"Itu dia yang pakek jilbab...""Kang Udin?" teriak Kang Abdul dari bawah."Sebentar ya Kang," ucap udi sambil berlalu."Aaahhhh ada aja halangannya, padahal udah antusias mendengarkannya ujung-ujungnya gatot." rasanya aku ingin makan orang.Aku sangat kesal gimana tidak, ingin tahu seperti apa dia eh ada aja halangannya.Karena di tinggal sendiri, kuputuskan membeli kopi di kantin pesantren siapa tau bisa ketemu dia.Saat aku melewati asrama putra yang ada di sebelah utara. Samar-samar mendengarkan obrolan santri."Tadi aku jumpa dia?""Dimana?" jawab mereka bersamaan. Dengan antusiasnya."Tadi pas aku ke kantin, cantiknya. Tidak salah kalau di jadikan primadona pesantren udah cantik hafalan pula.""Apa lagi Abangnya sebagai tangan kanan Mbah Yai," imbuhnya.Aku yang lewat cuek aja toh juga tidak kenal juga sama primadona pesantren ini."Kopi Mbak satu," pesanku pada penunggu kantin pesantren. Dia adalah alumni sini dan sudah menikah.Setelah menikah dia menetap di sini dan membuka ka
"Ya bisa lah kenapa gak?" kuelus bahunya. Kutenangkan dia."Makasih ya Kang, ntar aku tanya sama orang tuaku, semoga saja di bolehin," ucapnya semangat.Kehumbuskan nafas pelan.*****"Kang ayok berangkat."Setelah kopiku habis aku melangkah ke kamar Kang Rois."Aduh Kang, aku libur dulu ya, aku lagi masuk angin."Mendengar Kang rois sakit, aku masuk ke dalam dan mengecek badanya. Kutempelkan punggung tanganku ke keningnya. Panas."Sejak kapan Kang?""Tadi pagi."Ia bungkus badan kecilnya dengan sarung."Kamu ajak dulu Kang Usman." Usulnya"Baik kalau begitu. Kamu mau menitip apa Kang, biar sekalian aku beliin," tawarku padanya."Obat penurun demam saja Kang.""Ehm bodrex*n ya.""Emang aku anak kecil," ujarnya."Hahaha.""Ah sudah sana pergi!" Usrinya."Ya ya ya."Aku keluar dari kamar Kang rois langsung menuju ke kamar Kang Usman.Letak kamar kang usman, sebelah kiri kamar kang rois selang satu kamar."Assalamualaikum." Aku berdiri di depan pintu."Waalaikumsalam," jawabnya.Tidak be
Hari-hari yang sangat melelahkan belakangan ini, ku rebahkan badanku ke kramik. Sekilas bayangan Mbak santri melintas di benakku.Melambaikan tangan dan tersenyum. Cantiknya.Drrttt drrttt"Siapa sih ganggu orang?" grutuku.Segara ku ambil posel yang ada di sampingku.[Kang, buruan kemari]Ternyata dari Bapak yang kemarin minta tolong."Ngapain aku di auruh kesana?! apa anaknya kumat lagi ya?!" batinku.Aku begegas mencari Kang Rois tapi tidak ada, di sungai pun juga tidak hampir satu jam aku mencarinya tapi tak kunjung temu.[Kok lama banget Kang] satu pesan masuk lagi.[Tunggu sebentar] balasku.Karena sudah di tunhgu jadi aku berangkat sendiri. Kurang lebih tiga puluh menit, aku sampai di sana."Assalamualaikum," ucapku sedikit keras.Kuamati rumahnya sepi, juga tidak ada suara orang yang mengamuk. Aku sedikit bingung.Saat aku bingung keluarlah seorang wanita cantik menggunaka drees warna biru dan jilbab yang senada dengan bajunya."Waalaikumsalam," ucapnya malu-malu.Ada perasaan
"Itu dia yang pakek jilbab...""Kang Udin?" teriak Kang Abdul dari bawah."Sebentar ya Kang," ucap udi sambil berlalu."Aaahhhh ada aja halangannya, padahal udah antusias mendengarkannya ujung-ujungnya gatot." rasanya aku ingin makan orang.Aku sangat kesal gimana tidak, ingin tahu seperti apa dia eh ada aja halangannya.Karena di tinggal sendiri, kuputuskan membeli kopi di kantin pesantren siapa tau bisa ketemu dia.Saat aku melewati asrama putra yang ada di sebelah utara. Samar-samar mendengarkan obrolan santri."Tadi aku jumpa dia?""Dimana?" jawab mereka bersamaan. Dengan antusiasnya."Tadi pas aku ke kantin, cantiknya. Tidak salah kalau di jadikan primadona pesantren udah cantik hafalan pula.""Apa lagi Abangnya sebagai tangan kanan Mbah Yai," imbuhnya.Aku yang lewat cuek aja toh juga tidak kenal juga sama primadona pesantren ini."Kopi Mbak satu," pesanku pada penunggu kantin pesantren. Dia adalah alumni sini dan sudah menikah.Setelah menikah dia menetap di sini dan membuka ka
Sebulan alu tidak memikirkan mbak santri, karena aku pikir dia istrinya Kag Abdul ternyata salah.Seketika kesunggingkan senyum yang lebar. Indah orang jatuh cinta tapi kalau sudah kecewa ah jangan di tanya seperti apa sakitnya."Kenepa Kang senyum-senyum sendiri?" tanya Kang Rois."Ah egak kok Kang." Kang Rois membawa kresek hitam mebuat aku penasaran."Apa itu Kang?" tanyaku.Setelah di buka ternyata gorengan."Monggo Kang di makan!" tawarnya."Baru kiriman ya Kang?" tanyaku."Hehe iya." "Tiga bulan macet baru sekarang orang tua punya rejeki." Aku hanya oh ria saja, yang penting makan.*****Sudah dua minggu aku tidak mendengar kabar dari orang yang minta tolong padaku tempo lalu.Triing..Tiba-tiba poselku berbunyi dengan cepat aku buka pesan tersebut. Dari nomor yangbtidk di kenal.[Kang nanti bisa kesini] isi pesan tersebut.Triiing... Ada pesan masuk lagi.[Ini saya orang yang minta tolong sama kamu waktu lalu]Dengan cepat aku balas pesan singkat tersebut.[Insya Alloh] cent
Saat mata ini ingin terpejam, terdengar suara langkah kaki yang menaiki tangga.Saat kulihat ternyata Kang Abdul, duduk di samping Udin tanpa permisi Kang Abdul menyeruput kopi Udin."Apa aku tanya aja, dari pada aku suudzon sama dia."Kubuka songkok yang tadi kubuat menutup muka, dan mengubah posisiku menjadi duduk bersila."Kang Abdul!""Hemm...."Dia menyalakan sebatang rokok kretek, ada kata pepatah setelah makan tidak merokok bagaikan beol tanpa cebok."Sudah berapa tahun menikah?"Mendengar perkataanku, Kang Abdul tersedak asap rokoknya. Sedangkan Udin malah mengrenyitkan dahinya. Merasa bingung dengan pertanyaanku. Mungkin."Menikah?! kamu dengar dari siapa?!" ucap Kang Abdul bingung."Iya, tadi santri perempuan yang makan bareng sama kamu itu, istrimu kan Kang?" tanyaku santai."Hahahahah hahaha hahaha...."Tiba-tiba Udin dan Kang Abdul tertawa terbahak-bahak, sampai aku bingung dan men
Akhir-akhir ini aku dan Kang Rois di sibukkan dengan pekerjaan baru, meskipun lelah tidak apa, asal pesantren mendapatkan keringanan meski, itu listrik tapi sangat membantu kami para santri."Kang aku pinjam motormu." Entah sejak kapan ia berdiri di depan pintu kamar."Mau kemana Kang?" kuserahkan kunci motor ke padanya."Ada deh, aku pinjam dulu ya!" ucapnya sambil berlalu.Sejak jadi penarik listrik Kang Rois orangnya sibuk."Assalmualaikum." Suara seseorang dari aula.Suaranya sangat familiar tapi siapa ya."Waalaikumsalam", jawabku. Tapi aku malas beranjak dari tempat dudukku."Waahhh rajinnya," ucapnya.Seketika aku mendongakkan kepala."Ehh Kamu, sama siapa kesini?" ternyata Udin."Sendiri aja, aku mau ngobrol serius sama kamu," kini dia duduk di samping kananku.Kut
Jam lima sore Kang Rois datang sambil mendorong motornya. Berhenti di depanku. "Apes wes apes." Stelah menstandarkan motornya, ia berjalan ke arahku dan merobohkan badannya di sampungku. "Kenapa Kang?” tanyaku heran. "Itu motornya Kang Usman malah mogok." Kang Usman juga salah pengurus tapi. "Kok bisa,” kupandangi motor, di lihat motornya tidak kenapa-napa. "Gak tau!” jawab Kang Rois ngos-ngosan setelah mendorong motor. "Mana lagi dorongnya dari perempatan sana, hadeh capek," cerocosnya. "Kenapa tidak di titipin ke bengkel aja tadi.” "Mana ada duit aku Kang-kang?" "Kan pinjam sama aku bisa.” "Emang kamu punya?" tanyanya. "Belum tahu hahaha.” "Edan samean." "Tadi udah di cek tangki bensinnya?" kudekati motor, dan kugenjot. "Asthofirrulloh egak.e Kang." seketika Kang Rois bangun dari tidurnya dan menepuk jidatnya sendiri. "Man
"Assalamualaikum," ucap Kang Rois di depan pintu Bu Nyai."Waalaikumsalam," ucap seseorang dari arah dalam.Seorang perempuan hampir berkepala lima keluar dari kamar masih menggunakan mukena pajang. Sedikit gemuk tapi cantik."Ayo Kang silakan masuk," titah Bu nyai."Inggih."Bu nyai duduk di atas sofa sedangkan kami duduk di atas karpet. Ya itulah salah satu cara santri menghormati gurunya. Seorang santri berjajar dengan Guru merasa tidak pantas dan suul adabnya kurang."Jangan duduk di bawah dingin," ucap beliau.Kami menurut dengan ucapan Bu Nyai dari bawah kini kami duduk di sofa. Berhadapan dengan Bu Nyai. Hanya meja kecil yang menjadi pembatas kami."Kok baru datang jam segini Kang?"Kami memang sengaja datang setelah Shalat isya, agar bisa mengobrol dengan nyaman dan sedikit lama."Iya Bu, tadi saya mencari Kang Rois tidak ketemu-temu," jawabku dengan kepala menunduk."Lho emang tadi ke mana?"
Semua santri berbondong-bondong menuju rumah Pak Kyai. Di sana sudah banyak santri wati. Kudekati Gus Ulin. Sebagian dari santri masih kasak kusuk apa yang terjadi. Begitu kerasnya Bu nyai menangis, sehingga menimbulkan tanda tanya. Tidak ada yang berani masuk meski santri putri."Ada apa Gus?" Ada kegelisahan yang terpancar dari wajahnya. Tiba-tiba dia memelukku."Abah, Kang abah," ucapnya terbata-bata."Kenapa Abah?" Kini aku mulai gelisah."Abah wafat." Seketika tangisnya pecah di pelukanku."Innililahiwainnailahirojiun.” Kuelus punggungnya."Yang sabar, Gus." Kulepas pelukannya dan kuarahkan dia duduk di kursi."Minum dulu, Gus." Kusodorkan air putih.Tidak lama keluarlah Gus Fuad dari dalam kamar, memerintah beberapa santri putra untuk menyiapkan segalanya. Juga pengurus tidak lupa mengumumkan perihal wafatnya pak kyai, aku sendiri tidak percaya abah meninggalkan kita semua, umur yang belum terlalu sepuh yaitu empat