"Assalamualaikum," ucap Kang Rois di depan pintu Bu Nyai.
"Waalaikumsalam," ucap seseorang dari arah dalam.
Seorang perempuan hampir berkepala lima keluar dari kamar masih menggunakan mukena pajang. Sedikit gemuk tapi cantik.
"Ayo Kang silakan masuk," titah Bu nyai.
"Inggih."
Bu nyai duduk di atas sofa sedangkan kami duduk di atas karpet. Ya itulah salah satu cara santri menghormati gurunya. Seorang santri berjajar dengan Guru merasa tidak pantas dan suul adabnya kurang.
"Jangan duduk di bawah dingin," ucap beliau.
Kami menurut dengan ucapan Bu Nyai dari bawah kini kami duduk di sofa. Berhadapan dengan Bu Nyai. Hanya meja kecil yang menjadi pembatas kami.
"Kok baru datang jam segini Kang?"
Kami memang sengaja datang setelah Shalat isya, agar bisa mengobrol dengan nyaman dan sedikit lama.
"Iya Bu, tadi saya mencari Kang Rois tidak ketemu-temu," jawabku dengan kepala menunduk.
"Lho emang tadi ke mana?"
"Di sungai Bu," Kang Rois menjawab dengan sedikit malu-malu. Pipinya seperti udang rebus.
"Ngapain!"
Kami saling menyikut.
"Eh itu Bu anu." jawabku Kang Rois gugup.
"Ada panggilan alam Bu yang tidak bisa di tunda lagi," jawabku cengengesan.
"Oh itu."
Entah tahu atau pura-pura tahu Bu Nyai.
"Saya bingung," ucap Bu Nyai.
"Bingung kenapa Bu?" tanya Kang Rois.
"Setelah di tinggal Abah, hidup Ibu seperti hampa kayak orang linglung!"
"Saya juga bingung dengan nasib pesantren ini nanti jadi bagaimana, apalagi ada seseorang yang ingin menguasai pesantren ini" Bu Nyai mendongakkan kepala sedangkan matanya mengelilingi setiap sudut ruangan, menahan air yang mengandung garam.
Seakan-akan rumah ini saksi biksu pengorbanan Abah.
Deeg..
"Ada yang ingin menguasai, siapa dia? beraninya dia!" gumamku dalam hati. Sedikit Geram.
aku sedikit terkejut karena, pesantren ini yang mendirikan Abah dari nol.
"Terus Ibu memberikannya begitu saja?" tanya Kang Rois yang tidak sabaran.
"Maka dari itu saya tanya sama kalian, karena kalian pengurus."
"Kalau menurut saya, Ibu pertahankan pesantren ini jika Ibu pergi bagaimana nasib para santri," imbuhku
"Doakan saja supaya saya bisa mempertahankan pesantren."
Dari raut wajah Bu Nyai ada rasa sedih yang sangat mendalam, dua puluh lima tahun sudah Bu Nyai hidup bersama dengan Abah di rumah ini. Dan sekarang ingin di ambil orang.
"Yang sabar ya Bu." ucapku.
Agar mendapat semangat menjalani hidup setelah di tinggal pergi Abah.
"Iya, oh ya sekarang kalian ambil uang listrik ke masyarakat, Nanti dari pihak PLN akan memberikan keringanan pada pesantren jadi lumayan. Uang pesantren bisa buat keperluan yang lain."
"Nanti kalian setor ke cabangnya," imbuh Bu Nyai.
"Inggih Bu."
Jam sepuluh kami kembali ke pesantren, setelah berbincang panjang lebar dengan Bu Nyai.
"Eh Kang kira-kira siapa ya," tanya Kang Rois.
"Entahlah Kang."
Kami berjalan menuju kamar Kang Rois setelah membuat kopi.
"Apa dia ingin di panggil Pak Kyai gitu ya," imbuhku.
"Di dengar sana sudah tidak enak, apa lagi benar-benar terjadi apa dia tidak malu."
"Malu kenapa." tanyaku.
"Kan Abah punya anak, kan bisa di teruskan Gus Fuad."
Kang Rois mengeluarkan sebungkus rokok berbungkus oren yang tinggal lima batang. Meletakkan di antara kami.
"Iya juga ya."
Meskipun tidak di suruh, aku mengambil satu batang rokok. Kuhisap dalam-dalam.
"Padahal, pangkat Pak Kyai itu gelar yang di berikan Allah. Tidak semua orang bisa menyandang itu. Ya, meskipun dia pintar tapi kalau bukan jatahnya ya tidak bisa," ucap Kang Rois.
Aku memikirkan ucapan Kang Rois barusan.
"Benar Kang kata kamu."
Kuseruput kopiku, menghangatkan badan dari dinginnya malam.
******
"Kang Rois."
Tidak ada jawaban.
Kubuka pintu kamarnya ternyata dia tidur.
"Duhh pulesnya."
Kupandangi dia. Berbantal tangan berselimutkan kain sarung yang sudah si potong menjadi persegi panjang, beralaskan karpet yang sudah tipis. Dengan posisi kaki di tekuk ke atas mengenai perutnya.
"Kang bangun," kugoyangkan badannya.
"Hemmm...."
"Bangun."
"Iyaaa"
Kutunggu beberapa menit tapi belum kujung bangun juga.
"Kang ayo mengopi." sengaja aku berbohong agar dia cepat bangun.
"Ayok."
Seketika dia langsung duduk bersila dan mengelap air liur yang di pipi.
"Giliran kopi saja semangat."
"Ada apa sih Kang?" tanyanya sambil menggulingkan badannya ingin tidur lagi.
"Ya mengambil uang listrik."
Sebelum itu terjadi, kutahan lengannya.
"Besok saja kenapa?"
"Sekarang sudah tanggal lima, sedangkan menyetor tanggal 23. Nanti kalau kita tidak cepat, orang-orang akan bayar listrik sendiri Nanti, kita malah di marahi Bu Nyai," cerocosku panjang lebar.
"Iya iya ayo," dengan rasa masih katung melanda. Ia paksakan untuk berdiri.
"Sana cuci muka dulu, baru deh berangkat." Saranku.
"Iya iya tunggu."
Saat dia berjalan keluar, Kang Rois hampir saja menabrak cendela.
"Eh eh, sejak kapan ada cendela di sini," ia pukul cendela itu dengan pelan.
Kugelengkan kepala melihat tingkahnya.
****
"Kang kita bagi saja biar cepat ya." Usulku.
"Gitu juga bagus."
"Kamu ke mana."
"Aku ke selatan kamu ke utara bagaimana?" imbuhnya.
"Ok kalau begitu".
Kami langsung bergegas melaksanakan tugas masing-masing dengan mengendarai motor butut.
Kumulai dari rumah dekat pesantren dulu.
"Assalamualaikum."
Hening...
"Assalamualaikum." kini aku sedikit keras.
Tidak ada jawaban.
"Assalamualaikum." kucoba sekali lagi.
"Jika tidak ada jawaban, aku akan pergi." Pikirku.
Hampir dua menit tidak ada tanda-tanda orang akan datang, aku pun berjalan menuju motor dan menaiki. Saat ingin menggenjot tiba-tiba ada yang memanggil.
"Kang!"
Seketika aku menoleh. Pemilik rumah keluar aku yang di atas motor langsung turun.
"Assalamualaikum." Aku berjalan di belakang pemilik rumah.
"Waalaikumsalam," jawab bapak tersebut yang belum terlalu tua.
"Pertama kedatangan saya silaturahmi dan yang ke dua saya ingin memberi tahukan ke pada Bapak, kalau saat ini penarikan listrik di serahkan ke pada pihak pesantren. Jadi Bapak tenang saja, yang mengambil anak-anak santri lalu di setorkan ke pihak PLN. Bapak tidak usah repot-repot ke kantor lagi sekarang." Jelasku pada Bapak berkepala plontos.
"Ya syukur kalau begitu, jadi saya tidak usah capek-capek ke sana, sekarang sudah di ambil sendiri ke rumah. Bagus itu nak, sangat bagus." Ucap Bapak menanggap positif.
Setelah semua selesai kini aku lanjutkan lagi ke rumah samping. Kulakukan sama persis ke pada masyarakat sekitar.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," ucap seorang Ibu-ibu dari arah dalam. Tidak begitu lama keluarlah seorang Ibu yang gempal juga putih. Memakai perhiasan yang tidak karuan bukan terlihat bagus malah seperti toko perhiasan berjalan.
Setiap kali menggerakkan tangannya benda yang berwarna emas selalu mengikuti arah geraknya sehingga menimbulkan suara.
Kerincing... Kerincing...
"Ada apa? mau minta sumbangan?" Tanyanya ketus.
"Bukan Bu saya ke..."
"Terus kalu bukan minta sumbangan apa."
Belum selesai kujelaskan sudah di potong ucapku.
"Maka dari itu Ibu, dengarkan penjelasan saya dulu. Jangan buru-buru di potong dulu"
Dari raut wajahnya dia tidak suka.
Kujelaskan maksud dan tujuanku datang kesini.
"Oh gitu." Hanya itu tanggapan yang ia berikan.
Setelah selesai aku berjalan lagi ke rumah-rumah yang lain, ada yang menanggapi secara positif dan ada juga yang menanggapi dengan negatif, tapi tidak kupedulikan lagi.
Setelah selesai aku pulang ke pesantren.
"Capek juga."
Setelah kuamati Kang Rois belum pulang, jadi aku menunggu Kang Rois untuk menyetorkan uang tersebut.
Sambil menunggu Kang Rois datang aku memilih mengopi sambil menikmati rokok kretek di bawah pohon mangga. Menikmati indahnya udara dan juga pemandangan di sore hari.
Jam lima sore Kang Rois datang sambil mendorong motornya. Berhenti di depanku. "Apes wes apes." Stelah menstandarkan motornya, ia berjalan ke arahku dan merobohkan badannya di sampungku. "Kenapa Kang?” tanyaku heran. "Itu motornya Kang Usman malah mogok." Kang Usman juga salah pengurus tapi. "Kok bisa,” kupandangi motor, di lihat motornya tidak kenapa-napa. "Gak tau!” jawab Kang Rois ngos-ngosan setelah mendorong motor. "Mana lagi dorongnya dari perempatan sana, hadeh capek," cerocosnya. "Kenapa tidak di titipin ke bengkel aja tadi.” "Mana ada duit aku Kang-kang?" "Kan pinjam sama aku bisa.” "Emang kamu punya?" tanyanya. "Belum tahu hahaha.” "Edan samean." "Tadi udah di cek tangki bensinnya?" kudekati motor, dan kugenjot. "Asthofirrulloh egak.e Kang." seketika Kang Rois bangun dari tidurnya dan menepuk jidatnya sendiri. "Man
Akhir-akhir ini aku dan Kang Rois di sibukkan dengan pekerjaan baru, meskipun lelah tidak apa, asal pesantren mendapatkan keringanan meski, itu listrik tapi sangat membantu kami para santri."Kang aku pinjam motormu." Entah sejak kapan ia berdiri di depan pintu kamar."Mau kemana Kang?" kuserahkan kunci motor ke padanya."Ada deh, aku pinjam dulu ya!" ucapnya sambil berlalu.Sejak jadi penarik listrik Kang Rois orangnya sibuk."Assalmualaikum." Suara seseorang dari aula.Suaranya sangat familiar tapi siapa ya."Waalaikumsalam", jawabku. Tapi aku malas beranjak dari tempat dudukku."Waahhh rajinnya," ucapnya.Seketika aku mendongakkan kepala."Ehh Kamu, sama siapa kesini?" ternyata Udin."Sendiri aja, aku mau ngobrol serius sama kamu," kini dia duduk di samping kananku.Kut
Saat mata ini ingin terpejam, terdengar suara langkah kaki yang menaiki tangga.Saat kulihat ternyata Kang Abdul, duduk di samping Udin tanpa permisi Kang Abdul menyeruput kopi Udin."Apa aku tanya aja, dari pada aku suudzon sama dia."Kubuka songkok yang tadi kubuat menutup muka, dan mengubah posisiku menjadi duduk bersila."Kang Abdul!""Hemm...."Dia menyalakan sebatang rokok kretek, ada kata pepatah setelah makan tidak merokok bagaikan beol tanpa cebok."Sudah berapa tahun menikah?"Mendengar perkataanku, Kang Abdul tersedak asap rokoknya. Sedangkan Udin malah mengrenyitkan dahinya. Merasa bingung dengan pertanyaanku. Mungkin."Menikah?! kamu dengar dari siapa?!" ucap Kang Abdul bingung."Iya, tadi santri perempuan yang makan bareng sama kamu itu, istrimu kan Kang?" tanyaku santai."Hahahahah hahaha hahaha...."Tiba-tiba Udin dan Kang Abdul tertawa terbahak-bahak, sampai aku bingung dan men
Sebulan alu tidak memikirkan mbak santri, karena aku pikir dia istrinya Kag Abdul ternyata salah.Seketika kesunggingkan senyum yang lebar. Indah orang jatuh cinta tapi kalau sudah kecewa ah jangan di tanya seperti apa sakitnya."Kenepa Kang senyum-senyum sendiri?" tanya Kang Rois."Ah egak kok Kang." Kang Rois membawa kresek hitam mebuat aku penasaran."Apa itu Kang?" tanyaku.Setelah di buka ternyata gorengan."Monggo Kang di makan!" tawarnya."Baru kiriman ya Kang?" tanyaku."Hehe iya." "Tiga bulan macet baru sekarang orang tua punya rejeki." Aku hanya oh ria saja, yang penting makan.*****Sudah dua minggu aku tidak mendengar kabar dari orang yang minta tolong padaku tempo lalu.Triing..Tiba-tiba poselku berbunyi dengan cepat aku buka pesan tersebut. Dari nomor yangbtidk di kenal.[Kang nanti bisa kesini] isi pesan tersebut.Triiing... Ada pesan masuk lagi.[Ini saya orang yang minta tolong sama kamu waktu lalu]Dengan cepat aku balas pesan singkat tersebut.[Insya Alloh] cent
"Itu dia yang pakek jilbab...""Kang Udin?" teriak Kang Abdul dari bawah."Sebentar ya Kang," ucap udi sambil berlalu."Aaahhhh ada aja halangannya, padahal udah antusias mendengarkannya ujung-ujungnya gatot." rasanya aku ingin makan orang.Aku sangat kesal gimana tidak, ingin tahu seperti apa dia eh ada aja halangannya.Karena di tinggal sendiri, kuputuskan membeli kopi di kantin pesantren siapa tau bisa ketemu dia.Saat aku melewati asrama putra yang ada di sebelah utara. Samar-samar mendengarkan obrolan santri."Tadi aku jumpa dia?""Dimana?" jawab mereka bersamaan. Dengan antusiasnya."Tadi pas aku ke kantin, cantiknya. Tidak salah kalau di jadikan primadona pesantren udah cantik hafalan pula.""Apa lagi Abangnya sebagai tangan kanan Mbah Yai," imbuhnya.Aku yang lewat cuek aja toh juga tidak kenal juga sama primadona pesantren ini."Kopi Mbak satu," pesanku pada penunggu kantin pesantren. Dia adalah alumni sini dan sudah menikah.Setelah menikah dia menetap di sini dan membuka ka
Hari-hari yang sangat melelahkan belakangan ini, ku rebahkan badanku ke kramik. Sekilas bayangan Mbak santri melintas di benakku.Melambaikan tangan dan tersenyum. Cantiknya.Drrttt drrttt"Siapa sih ganggu orang?" grutuku.Segara ku ambil posel yang ada di sampingku.[Kang, buruan kemari]Ternyata dari Bapak yang kemarin minta tolong."Ngapain aku di auruh kesana?! apa anaknya kumat lagi ya?!" batinku.Aku begegas mencari Kang Rois tapi tidak ada, di sungai pun juga tidak hampir satu jam aku mencarinya tapi tak kunjung temu.[Kok lama banget Kang] satu pesan masuk lagi.[Tunggu sebentar] balasku.Karena sudah di tunhgu jadi aku berangkat sendiri. Kurang lebih tiga puluh menit, aku sampai di sana."Assalamualaikum," ucapku sedikit keras.Kuamati rumahnya sepi, juga tidak ada suara orang yang mengamuk. Aku sedikit bingung.Saat aku bingung keluarlah seorang wanita cantik menggunaka drees warna biru dan jilbab yang senada dengan bajunya."Waalaikumsalam," ucapnya malu-malu.Ada perasaan
"Ya bisa lah kenapa gak?" kuelus bahunya. Kutenangkan dia."Makasih ya Kang, ntar aku tanya sama orang tuaku, semoga saja di bolehin," ucapnya semangat.Kehumbuskan nafas pelan.*****"Kang ayok berangkat."Setelah kopiku habis aku melangkah ke kamar Kang Rois."Aduh Kang, aku libur dulu ya, aku lagi masuk angin."Mendengar Kang rois sakit, aku masuk ke dalam dan mengecek badanya. Kutempelkan punggung tanganku ke keningnya. Panas."Sejak kapan Kang?""Tadi pagi."Ia bungkus badan kecilnya dengan sarung."Kamu ajak dulu Kang Usman." Usulnya"Baik kalau begitu. Kamu mau menitip apa Kang, biar sekalian aku beliin," tawarku padanya."Obat penurun demam saja Kang.""Ehm bodrex*n ya.""Emang aku anak kecil," ujarnya."Hahaha.""Ah sudah sana pergi!" Usrinya."Ya ya ya."Aku keluar dari kamar Kang rois langsung menuju ke kamar Kang Usman.Letak kamar kang usman, sebelah kiri kamar kang rois selang satu kamar."Assalamualaikum." Aku berdiri di depan pintu."Waalaikumsalam," jawabnya.Tidak be
Jam tiga sore, aku berangkat menuju ke pesantren di mana Udin, menyelesaikan hapalan Al-Qur'an-nya. Kukendarai motor kesayanganku, menembus ramainya jalan, banyak orang mencari sesuatu untuk menikmati indahnya sore hari.***Setelah memarkirkan motor yang sudah kupastikan tidak roboh. Aku langsung menaiki tangga di mana kamar Udin berada. Sebelum masuk kurapikan pakaianku, juga rambut panjangku sepunggung, tidak lupa songkok yang sudah pudar warnanya dari hitam menjadi coklat, Jaket juga sarung tidak lupa kurapikan. Kamar Udin terletak di atas mushola, khusus anak tahfidz yang berada di sini, jadi sedikit melelahkan."Assalamualaikum," ucapku di ambang pintu kamar.Krieeetttt. Gesekan kayu dengan lantai sehingga menimbulkan suara."Waalaikumsalam," jawab orang tersebut. Keluarlah seorang lelaki santri memakai pakaian yang lusuh, maklum santri putra."Eh, Kang Jono," sapa Kang Abdul. Berkulit hitam tapi manis, wajahnya yang ke arab-arab
"Ya bisa lah kenapa gak?" kuelus bahunya. Kutenangkan dia."Makasih ya Kang, ntar aku tanya sama orang tuaku, semoga saja di bolehin," ucapnya semangat.Kehumbuskan nafas pelan.*****"Kang ayok berangkat."Setelah kopiku habis aku melangkah ke kamar Kang Rois."Aduh Kang, aku libur dulu ya, aku lagi masuk angin."Mendengar Kang rois sakit, aku masuk ke dalam dan mengecek badanya. Kutempelkan punggung tanganku ke keningnya. Panas."Sejak kapan Kang?""Tadi pagi."Ia bungkus badan kecilnya dengan sarung."Kamu ajak dulu Kang Usman." Usulnya"Baik kalau begitu. Kamu mau menitip apa Kang, biar sekalian aku beliin," tawarku padanya."Obat penurun demam saja Kang.""Ehm bodrex*n ya.""Emang aku anak kecil," ujarnya."Hahaha.""Ah sudah sana pergi!" Usrinya."Ya ya ya."Aku keluar dari kamar Kang rois langsung menuju ke kamar Kang Usman.Letak kamar kang usman, sebelah kiri kamar kang rois selang satu kamar."Assalamualaikum." Aku berdiri di depan pintu."Waalaikumsalam," jawabnya.Tidak be
Hari-hari yang sangat melelahkan belakangan ini, ku rebahkan badanku ke kramik. Sekilas bayangan Mbak santri melintas di benakku.Melambaikan tangan dan tersenyum. Cantiknya.Drrttt drrttt"Siapa sih ganggu orang?" grutuku.Segara ku ambil posel yang ada di sampingku.[Kang, buruan kemari]Ternyata dari Bapak yang kemarin minta tolong."Ngapain aku di auruh kesana?! apa anaknya kumat lagi ya?!" batinku.Aku begegas mencari Kang Rois tapi tidak ada, di sungai pun juga tidak hampir satu jam aku mencarinya tapi tak kunjung temu.[Kok lama banget Kang] satu pesan masuk lagi.[Tunggu sebentar] balasku.Karena sudah di tunhgu jadi aku berangkat sendiri. Kurang lebih tiga puluh menit, aku sampai di sana."Assalamualaikum," ucapku sedikit keras.Kuamati rumahnya sepi, juga tidak ada suara orang yang mengamuk. Aku sedikit bingung.Saat aku bingung keluarlah seorang wanita cantik menggunaka drees warna biru dan jilbab yang senada dengan bajunya."Waalaikumsalam," ucapnya malu-malu.Ada perasaan
"Itu dia yang pakek jilbab...""Kang Udin?" teriak Kang Abdul dari bawah."Sebentar ya Kang," ucap udi sambil berlalu."Aaahhhh ada aja halangannya, padahal udah antusias mendengarkannya ujung-ujungnya gatot." rasanya aku ingin makan orang.Aku sangat kesal gimana tidak, ingin tahu seperti apa dia eh ada aja halangannya.Karena di tinggal sendiri, kuputuskan membeli kopi di kantin pesantren siapa tau bisa ketemu dia.Saat aku melewati asrama putra yang ada di sebelah utara. Samar-samar mendengarkan obrolan santri."Tadi aku jumpa dia?""Dimana?" jawab mereka bersamaan. Dengan antusiasnya."Tadi pas aku ke kantin, cantiknya. Tidak salah kalau di jadikan primadona pesantren udah cantik hafalan pula.""Apa lagi Abangnya sebagai tangan kanan Mbah Yai," imbuhnya.Aku yang lewat cuek aja toh juga tidak kenal juga sama primadona pesantren ini."Kopi Mbak satu," pesanku pada penunggu kantin pesantren. Dia adalah alumni sini dan sudah menikah.Setelah menikah dia menetap di sini dan membuka ka
Sebulan alu tidak memikirkan mbak santri, karena aku pikir dia istrinya Kag Abdul ternyata salah.Seketika kesunggingkan senyum yang lebar. Indah orang jatuh cinta tapi kalau sudah kecewa ah jangan di tanya seperti apa sakitnya."Kenepa Kang senyum-senyum sendiri?" tanya Kang Rois."Ah egak kok Kang." Kang Rois membawa kresek hitam mebuat aku penasaran."Apa itu Kang?" tanyaku.Setelah di buka ternyata gorengan."Monggo Kang di makan!" tawarnya."Baru kiriman ya Kang?" tanyaku."Hehe iya." "Tiga bulan macet baru sekarang orang tua punya rejeki." Aku hanya oh ria saja, yang penting makan.*****Sudah dua minggu aku tidak mendengar kabar dari orang yang minta tolong padaku tempo lalu.Triing..Tiba-tiba poselku berbunyi dengan cepat aku buka pesan tersebut. Dari nomor yangbtidk di kenal.[Kang nanti bisa kesini] isi pesan tersebut.Triiing... Ada pesan masuk lagi.[Ini saya orang yang minta tolong sama kamu waktu lalu]Dengan cepat aku balas pesan singkat tersebut.[Insya Alloh] cent
Saat mata ini ingin terpejam, terdengar suara langkah kaki yang menaiki tangga.Saat kulihat ternyata Kang Abdul, duduk di samping Udin tanpa permisi Kang Abdul menyeruput kopi Udin."Apa aku tanya aja, dari pada aku suudzon sama dia."Kubuka songkok yang tadi kubuat menutup muka, dan mengubah posisiku menjadi duduk bersila."Kang Abdul!""Hemm...."Dia menyalakan sebatang rokok kretek, ada kata pepatah setelah makan tidak merokok bagaikan beol tanpa cebok."Sudah berapa tahun menikah?"Mendengar perkataanku, Kang Abdul tersedak asap rokoknya. Sedangkan Udin malah mengrenyitkan dahinya. Merasa bingung dengan pertanyaanku. Mungkin."Menikah?! kamu dengar dari siapa?!" ucap Kang Abdul bingung."Iya, tadi santri perempuan yang makan bareng sama kamu itu, istrimu kan Kang?" tanyaku santai."Hahahahah hahaha hahaha...."Tiba-tiba Udin dan Kang Abdul tertawa terbahak-bahak, sampai aku bingung dan men
Akhir-akhir ini aku dan Kang Rois di sibukkan dengan pekerjaan baru, meskipun lelah tidak apa, asal pesantren mendapatkan keringanan meski, itu listrik tapi sangat membantu kami para santri."Kang aku pinjam motormu." Entah sejak kapan ia berdiri di depan pintu kamar."Mau kemana Kang?" kuserahkan kunci motor ke padanya."Ada deh, aku pinjam dulu ya!" ucapnya sambil berlalu.Sejak jadi penarik listrik Kang Rois orangnya sibuk."Assalmualaikum." Suara seseorang dari aula.Suaranya sangat familiar tapi siapa ya."Waalaikumsalam", jawabku. Tapi aku malas beranjak dari tempat dudukku."Waahhh rajinnya," ucapnya.Seketika aku mendongakkan kepala."Ehh Kamu, sama siapa kesini?" ternyata Udin."Sendiri aja, aku mau ngobrol serius sama kamu," kini dia duduk di samping kananku.Kut
Jam lima sore Kang Rois datang sambil mendorong motornya. Berhenti di depanku. "Apes wes apes." Stelah menstandarkan motornya, ia berjalan ke arahku dan merobohkan badannya di sampungku. "Kenapa Kang?” tanyaku heran. "Itu motornya Kang Usman malah mogok." Kang Usman juga salah pengurus tapi. "Kok bisa,” kupandangi motor, di lihat motornya tidak kenapa-napa. "Gak tau!” jawab Kang Rois ngos-ngosan setelah mendorong motor. "Mana lagi dorongnya dari perempatan sana, hadeh capek," cerocosnya. "Kenapa tidak di titipin ke bengkel aja tadi.” "Mana ada duit aku Kang-kang?" "Kan pinjam sama aku bisa.” "Emang kamu punya?" tanyanya. "Belum tahu hahaha.” "Edan samean." "Tadi udah di cek tangki bensinnya?" kudekati motor, dan kugenjot. "Asthofirrulloh egak.e Kang." seketika Kang Rois bangun dari tidurnya dan menepuk jidatnya sendiri. "Man
"Assalamualaikum," ucap Kang Rois di depan pintu Bu Nyai."Waalaikumsalam," ucap seseorang dari arah dalam.Seorang perempuan hampir berkepala lima keluar dari kamar masih menggunakan mukena pajang. Sedikit gemuk tapi cantik."Ayo Kang silakan masuk," titah Bu nyai."Inggih."Bu nyai duduk di atas sofa sedangkan kami duduk di atas karpet. Ya itulah salah satu cara santri menghormati gurunya. Seorang santri berjajar dengan Guru merasa tidak pantas dan suul adabnya kurang."Jangan duduk di bawah dingin," ucap beliau.Kami menurut dengan ucapan Bu Nyai dari bawah kini kami duduk di sofa. Berhadapan dengan Bu Nyai. Hanya meja kecil yang menjadi pembatas kami."Kok baru datang jam segini Kang?"Kami memang sengaja datang setelah Shalat isya, agar bisa mengobrol dengan nyaman dan sedikit lama."Iya Bu, tadi saya mencari Kang Rois tidak ketemu-temu," jawabku dengan kepala menunduk."Lho emang tadi ke mana?"
Semua santri berbondong-bondong menuju rumah Pak Kyai. Di sana sudah banyak santri wati. Kudekati Gus Ulin. Sebagian dari santri masih kasak kusuk apa yang terjadi. Begitu kerasnya Bu nyai menangis, sehingga menimbulkan tanda tanya. Tidak ada yang berani masuk meski santri putri."Ada apa Gus?" Ada kegelisahan yang terpancar dari wajahnya. Tiba-tiba dia memelukku."Abah, Kang abah," ucapnya terbata-bata."Kenapa Abah?" Kini aku mulai gelisah."Abah wafat." Seketika tangisnya pecah di pelukanku."Innililahiwainnailahirojiun.” Kuelus punggungnya."Yang sabar, Gus." Kulepas pelukannya dan kuarahkan dia duduk di kursi."Minum dulu, Gus." Kusodorkan air putih.Tidak lama keluarlah Gus Fuad dari dalam kamar, memerintah beberapa santri putra untuk menyiapkan segalanya. Juga pengurus tidak lupa mengumumkan perihal wafatnya pak kyai, aku sendiri tidak percaya abah meninggalkan kita semua, umur yang belum terlalu sepuh yaitu empat