Semua santri berbondong-bondong menuju rumah Pak Kyai. Di sana sudah banyak santri wati. Kudekati Gus Ulin. Sebagian dari santri masih kasak kusuk apa yang terjadi. Begitu kerasnya Bu nyai menangis, sehingga menimbulkan tanda tanya. Tidak ada yang berani masuk meski santri putri.
"Ada apa Gus?" Ada kegelisahan yang terpancar dari wajahnya. Tiba-tiba dia memelukku.
"Abah, Kang abah," ucapnya terbata-bata.
"Kenapa Abah?" Kini aku mulai gelisah.
"Abah wafat." Seketika tangisnya pecah di pelukanku.
"Innililahiwainnailahirojiun.” Kuelus punggungnya.
"Yang sabar, Gus." Kulepas pelukannya dan kuarahkan dia duduk di kursi.
"Minum dulu, Gus." Kusodorkan air putih.
Tidak lama keluarlah Gus Fuad dari dalam kamar, memerintah beberapa santri putra untuk menyiapkan segalanya. Juga pengurus tidak lupa mengumumkan perihal wafatnya pak kyai, aku sendiri tidak percaya abah meninggalkan kita semua, umur yang belum terlalu sepuh yaitu empat puluh lima tahun.
***
Empat puluh hari sudah pak kyai pergi. Setelah acara aku putuskan malam ini juga untuk pergi ke pesantrennya Udin. Tiga puluh menit aku sudah sampai di pesantren Udin.
"Assalamualaikum." Kebetulan Udin ada di bawah jadi aku tidak usah repot-repot mencari dia.
"Waalaikumsalam." Dia senyum-senyum memamerkan gigi glowingnya.
"Lama sekali tidak ke sini," ucapnya.
"Iya di pesantren sibuk." Kini aku berdiri sejajar dengan Udin.
"Ayok ke kantin dulu," ajaknya. Aku berjalan beriringan dengan Udin, tidak sengaja aku melihat Kang Abdul berduaan dengan santri wati. Santri yang membuat hati ini luluh.
'Apa dia pacarnya Kang Abdul? Mesra banget,' gumamku dalam hati.
Kulihat Udin dia santai saja, seperti tidak melihat mereka berdua. Jarak antara kami sedikit jauh meskipun begitu semua orang bisa melihat jelas. Timbul beberapa pertanyaan di kepala ini. Setelah membeli jajan dan kopi aku dan Udin berjalan ke kamar Udin. Aku sudah tidak melihat mereka.
"Mungkin dia malu kalau dilihat yang lain." Aku kaget melihat mereka duduk di teras rumah yang berdiri di belakang musala.
"Berduaan saja!" sapa Udin.
"Udah sana jangan ganggu," ucap Kang Abdul. Sedangkan si perempuan hanya senyum-senyum saja. Ada rasa nyeri ketika melihat mereka berdua apalagi di depan umum.
"Kayak tidak punya urat malu saja, berduaan di bawah lampu yang tidak terlalu terang, apalagi masih kawasan pesantren," pikirku.
***
"Bengong saja!" Udin menepuk bahuku.
"Hah ... enggak kok," jawabku kaget.
"Halah, dari tadi di ajak bicara gak nyaut-nyaut," ucap Udin.
"Apa iya?" jawabku.
"Ngelamunin apa sih, Kang?"
"Mikir pesantren," jawabku bohong.
"Terus sekarang bagaimana?" ia memoncongkan bibirnya dan menyeruput kopi susu yang dibeli tadi.
"Gak tahu ini." Kuubah posisi dudukku. Menyenderkan punggung ke dinding yang terbuat dari kayu.
"Sekarang yang memegang siapa?"
"Sementara belum ada, soalnya baru kemarin pak kyai meninggal, mau ngomong itu jelas gak enak," jawabku tertunduk.
Aku juga bingung siapa yang akan memegang pesantren, sedangkan Gus Ulin sama Gus Fuad masih kecil. Tiba-tiba Kang Abdul datang.
"Sudah Kang?" tanya Udin ke Kang Abdul.
"Oh sudah, katanya ingin bantu yang lain masak untuk acara besok," jawab Kang Abdul.
"Oh gitu." Aku yang mendengar, entah kenapa ada perasaan yang tidak kumengerti. Kesal juga sedih, orang yang kuharapkan sudah memiliki tambatan hati.
'Wajah mereka hampir mirip, bukannya orang jodoh itu mirip 'Kan?' gumamku dalam hati.
Kupandangi Kang Abdul saksama. Ya, wajahnya hampir sama. Sekarang aku harus melupakan dia. Karena melihat mereka berduaan, aku sudah tidak nyaman lagi di sini. kulirik jam di ponsel sudah menunjukkan pukul sembilan. Padahal rencananya tadi ingin melepas penat juga kegelisahan, eh sampai sini malah melihat seseorang yang di cintai berduaan dengan orang lain. Tambah kesal saja.
"Ya udah aku pamit pulang dulu ya!" Aku langsung berdiri.
"Kok buru-buru, padahal kan belum mengobrol." Kang Abdul juga ikutan berdiri. Disusul Udin.
"Iya kenapa buru-buru?" tanya Udin.
"Gak enak kalau lama-lama kan kalian harus buat setoran buat besok." Tentu itu hanya alasanku.
"Kan sekarang hari Jumat jadi besok libur mengajinya." Udin mencoba menyegehku.
"Gak apa-apa, aku balik saja. Lain waktu aku akan kesini lagi," kekehku.
Saat kami turun, mbak santri yang tidak kuketahui namanya melintas di hadapan kami. Menoleh menyunggingkan kedua sudut bibirnya dan tercetaklah sebuah senyuman yang memperlihatkan kedua lesung pipinya. Aku baru tahu kalau dia punya dua lesung pipi. Manis sekali. Setelah melihat dia aku berganti menatap Udin dan Kang Abdul mereka berdua juga senyum. Melihat itu hatiku nyeri.
"Ya sudah aku pulang assalamualaikum," ucapku pada mereka. Tidak lupa kami berjabat tangan. Menembus dinginnya angin malam, membuat pikiranku sedikit lega.
"Ingin meredakan hati juga pikiran eh malah melihat dia berduaan. Aa tidak tahu itukan masih kawasan pesantren." Hampir sepanjang jalan aku menggerutu. Karena merasa lapar kubelokkan motor ke penjual mia ayam.
"Mie ayam satu, makan sini." Kulihat warung tampak sepi. Kupilih duduk di pojokkan depan. Mengambil satu gorengan.
***
Jam dua belas aku baru sampek ke pesantren, aku langsung masuk kamar dan istirahat. Alih-alih bisa tidur justru pikiranku ke mana-mana, memikirkan nasib pesantren ini dan juga mbak santri yang ada di dalam hati ini.
***
Setelah salat zuhur aku membuka kitab kuningku, memahami apa yang belum aku pahami.
"Kang! Kang Jono!" Dari suaranya seperti suara Gus Ulin.
"Iya, Gus?" Kuhampiri dia di aula.
"Dicari Ibu," ucapnya.
"Sekarang, Gus?" tanyaku heran. Aku dan bu nyai sudah biasa, jika aku punya masalah dan tidak bisa kuatasi. Aku selali minta pendapat beliau.
"Iya," jawabnya singkat. Kami mengobrol sambil berdiri.
"Sendiri atau mengajak teman."
"Mengajak teman juga tidak apa-apa kok, Kang."
"Buruan ke sana, sudah ditunggu." Gus Ulin berlalu dari hadapanku.
"Aku harus mengajak siapa ya!" Aku bingung.
"Aku ajak Kang Rois sajalah." Aku langsung berjalan menuju ke kamarnya.
"Kang! Kang!" Karena tidak ada jawaban kubuka sedikit pintunya. Tidak ada, kosong.
"Apa aku ke sana nanti saja ya, kalau sendiri malu. Tapi sudah di tunggu." Aku malah bingung sendiri.
"Aku cari saja dulu." Aku berjalan ke satu tempat ke tempat lain. Menyusuri area pesantren tapi tidak ada juga.
"Ah, malah perut sakit lagi." Aku berjalan menuju sungai yang ada di belakang pesantren. Dinding yang terbuat dari anyaman bambu, kusibakkan daun pisang yang sudah kering untuk pintu tersebut.
"Aaa!"
"Aaa!" Karena kaget aku juga berteriak. Saat aku menoleh ternyata di dalam ada orang, aku pun buru-buru keluar.
"Maaf Kang aku tidak tahu kalau di dalam ada kamu!" teriakku.
"Ah kamu itu Kang, tadi kamu sempat lihat senjataku tidak?" tanya Kang Rois.
"Ah paling bentuknya juga sama sepertiku hahaha," ledekku.
"Ah sial kamu itu."
"Ternyata kamu nongkrong di sini to, tak cariin ke mana-mana kok gak ada."
"Emang kenapa? Kangen? Sampai menyusul ke sini haha."
"Dari pada aku mengangeni kamu lebih baik aku mengangeni santri wati yang ada di pesantren Udin."
"Apa?"
'Aduh aku malah keceplosan,' gumamku dalam hati.
"Apa to, Kang? Oh ya Kang cepetan, kita dicari bu nyai," imbuhku mengalihkan pembicaraan.
"Ada apa kok dicari?"
"Aku juga tidak tahu," jawabku jujur. Kang Rois keluar dari dalam, menggulung sarung sampai ke lutut agar tidak basah.
"Kamu mau ke mana?" tanyanya saat kami sejajar.
"Ya mau setorlah, ikut?" tawarku.
"Idih ogah." Kang Rois berlalu begitu saja.
"Oh ya Kang nanti kalau ke sana tunggu aku ya, kalau Gus Ulin datang lagi bilang aku masih di sungai" teriaku dari dalam. Memberi pesan kepada Kang Rois.
"Assalamualaikum," ucap Kang Rois di depan pintu Bu Nyai."Waalaikumsalam," ucap seseorang dari arah dalam.Seorang perempuan hampir berkepala lima keluar dari kamar masih menggunakan mukena pajang. Sedikit gemuk tapi cantik."Ayo Kang silakan masuk," titah Bu nyai."Inggih."Bu nyai duduk di atas sofa sedangkan kami duduk di atas karpet. Ya itulah salah satu cara santri menghormati gurunya. Seorang santri berjajar dengan Guru merasa tidak pantas dan suul adabnya kurang."Jangan duduk di bawah dingin," ucap beliau.Kami menurut dengan ucapan Bu Nyai dari bawah kini kami duduk di sofa. Berhadapan dengan Bu Nyai. Hanya meja kecil yang menjadi pembatas kami."Kok baru datang jam segini Kang?"Kami memang sengaja datang setelah Shalat isya, agar bisa mengobrol dengan nyaman dan sedikit lama."Iya Bu, tadi saya mencari Kang Rois tidak ketemu-temu," jawabku dengan kepala menunduk."Lho emang tadi ke mana?"
Jam lima sore Kang Rois datang sambil mendorong motornya. Berhenti di depanku. "Apes wes apes." Stelah menstandarkan motornya, ia berjalan ke arahku dan merobohkan badannya di sampungku. "Kenapa Kang?” tanyaku heran. "Itu motornya Kang Usman malah mogok." Kang Usman juga salah pengurus tapi. "Kok bisa,” kupandangi motor, di lihat motornya tidak kenapa-napa. "Gak tau!” jawab Kang Rois ngos-ngosan setelah mendorong motor. "Mana lagi dorongnya dari perempatan sana, hadeh capek," cerocosnya. "Kenapa tidak di titipin ke bengkel aja tadi.” "Mana ada duit aku Kang-kang?" "Kan pinjam sama aku bisa.” "Emang kamu punya?" tanyanya. "Belum tahu hahaha.” "Edan samean." "Tadi udah di cek tangki bensinnya?" kudekati motor, dan kugenjot. "Asthofirrulloh egak.e Kang." seketika Kang Rois bangun dari tidurnya dan menepuk jidatnya sendiri. "Man
Akhir-akhir ini aku dan Kang Rois di sibukkan dengan pekerjaan baru, meskipun lelah tidak apa, asal pesantren mendapatkan keringanan meski, itu listrik tapi sangat membantu kami para santri."Kang aku pinjam motormu." Entah sejak kapan ia berdiri di depan pintu kamar."Mau kemana Kang?" kuserahkan kunci motor ke padanya."Ada deh, aku pinjam dulu ya!" ucapnya sambil berlalu.Sejak jadi penarik listrik Kang Rois orangnya sibuk."Assalmualaikum." Suara seseorang dari aula.Suaranya sangat familiar tapi siapa ya."Waalaikumsalam", jawabku. Tapi aku malas beranjak dari tempat dudukku."Waahhh rajinnya," ucapnya.Seketika aku mendongakkan kepala."Ehh Kamu, sama siapa kesini?" ternyata Udin."Sendiri aja, aku mau ngobrol serius sama kamu," kini dia duduk di samping kananku.Kut
Saat mata ini ingin terpejam, terdengar suara langkah kaki yang menaiki tangga.Saat kulihat ternyata Kang Abdul, duduk di samping Udin tanpa permisi Kang Abdul menyeruput kopi Udin."Apa aku tanya aja, dari pada aku suudzon sama dia."Kubuka songkok yang tadi kubuat menutup muka, dan mengubah posisiku menjadi duduk bersila."Kang Abdul!""Hemm...."Dia menyalakan sebatang rokok kretek, ada kata pepatah setelah makan tidak merokok bagaikan beol tanpa cebok."Sudah berapa tahun menikah?"Mendengar perkataanku, Kang Abdul tersedak asap rokoknya. Sedangkan Udin malah mengrenyitkan dahinya. Merasa bingung dengan pertanyaanku. Mungkin."Menikah?! kamu dengar dari siapa?!" ucap Kang Abdul bingung."Iya, tadi santri perempuan yang makan bareng sama kamu itu, istrimu kan Kang?" tanyaku santai."Hahahahah hahaha hahaha...."Tiba-tiba Udin dan Kang Abdul tertawa terbahak-bahak, sampai aku bingung dan men
Sebulan alu tidak memikirkan mbak santri, karena aku pikir dia istrinya Kag Abdul ternyata salah.Seketika kesunggingkan senyum yang lebar. Indah orang jatuh cinta tapi kalau sudah kecewa ah jangan di tanya seperti apa sakitnya."Kenepa Kang senyum-senyum sendiri?" tanya Kang Rois."Ah egak kok Kang." Kang Rois membawa kresek hitam mebuat aku penasaran."Apa itu Kang?" tanyaku.Setelah di buka ternyata gorengan."Monggo Kang di makan!" tawarnya."Baru kiriman ya Kang?" tanyaku."Hehe iya." "Tiga bulan macet baru sekarang orang tua punya rejeki." Aku hanya oh ria saja, yang penting makan.*****Sudah dua minggu aku tidak mendengar kabar dari orang yang minta tolong padaku tempo lalu.Triing..Tiba-tiba poselku berbunyi dengan cepat aku buka pesan tersebut. Dari nomor yangbtidk di kenal.[Kang nanti bisa kesini] isi pesan tersebut.Triiing... Ada pesan masuk lagi.[Ini saya orang yang minta tolong sama kamu waktu lalu]Dengan cepat aku balas pesan singkat tersebut.[Insya Alloh] cent
"Itu dia yang pakek jilbab...""Kang Udin?" teriak Kang Abdul dari bawah."Sebentar ya Kang," ucap udi sambil berlalu."Aaahhhh ada aja halangannya, padahal udah antusias mendengarkannya ujung-ujungnya gatot." rasanya aku ingin makan orang.Aku sangat kesal gimana tidak, ingin tahu seperti apa dia eh ada aja halangannya.Karena di tinggal sendiri, kuputuskan membeli kopi di kantin pesantren siapa tau bisa ketemu dia.Saat aku melewati asrama putra yang ada di sebelah utara. Samar-samar mendengarkan obrolan santri."Tadi aku jumpa dia?""Dimana?" jawab mereka bersamaan. Dengan antusiasnya."Tadi pas aku ke kantin, cantiknya. Tidak salah kalau di jadikan primadona pesantren udah cantik hafalan pula.""Apa lagi Abangnya sebagai tangan kanan Mbah Yai," imbuhnya.Aku yang lewat cuek aja toh juga tidak kenal juga sama primadona pesantren ini."Kopi Mbak satu," pesanku pada penunggu kantin pesantren. Dia adalah alumni sini dan sudah menikah.Setelah menikah dia menetap di sini dan membuka ka
Hari-hari yang sangat melelahkan belakangan ini, ku rebahkan badanku ke kramik. Sekilas bayangan Mbak santri melintas di benakku.Melambaikan tangan dan tersenyum. Cantiknya.Drrttt drrttt"Siapa sih ganggu orang?" grutuku.Segara ku ambil posel yang ada di sampingku.[Kang, buruan kemari]Ternyata dari Bapak yang kemarin minta tolong."Ngapain aku di auruh kesana?! apa anaknya kumat lagi ya?!" batinku.Aku begegas mencari Kang Rois tapi tidak ada, di sungai pun juga tidak hampir satu jam aku mencarinya tapi tak kunjung temu.[Kok lama banget Kang] satu pesan masuk lagi.[Tunggu sebentar] balasku.Karena sudah di tunhgu jadi aku berangkat sendiri. Kurang lebih tiga puluh menit, aku sampai di sana."Assalamualaikum," ucapku sedikit keras.Kuamati rumahnya sepi, juga tidak ada suara orang yang mengamuk. Aku sedikit bingung.Saat aku bingung keluarlah seorang wanita cantik menggunaka drees warna biru dan jilbab yang senada dengan bajunya."Waalaikumsalam," ucapnya malu-malu.Ada perasaan
"Ya bisa lah kenapa gak?" kuelus bahunya. Kutenangkan dia."Makasih ya Kang, ntar aku tanya sama orang tuaku, semoga saja di bolehin," ucapnya semangat.Kehumbuskan nafas pelan.*****"Kang ayok berangkat."Setelah kopiku habis aku melangkah ke kamar Kang Rois."Aduh Kang, aku libur dulu ya, aku lagi masuk angin."Mendengar Kang rois sakit, aku masuk ke dalam dan mengecek badanya. Kutempelkan punggung tanganku ke keningnya. Panas."Sejak kapan Kang?""Tadi pagi."Ia bungkus badan kecilnya dengan sarung."Kamu ajak dulu Kang Usman." Usulnya"Baik kalau begitu. Kamu mau menitip apa Kang, biar sekalian aku beliin," tawarku padanya."Obat penurun demam saja Kang.""Ehm bodrex*n ya.""Emang aku anak kecil," ujarnya."Hahaha.""Ah sudah sana pergi!" Usrinya."Ya ya ya."Aku keluar dari kamar Kang rois langsung menuju ke kamar Kang Usman.Letak kamar kang usman, sebelah kiri kamar kang rois selang satu kamar."Assalamualaikum." Aku berdiri di depan pintu."Waalaikumsalam," jawabnya.Tidak be
"Ya bisa lah kenapa gak?" kuelus bahunya. Kutenangkan dia."Makasih ya Kang, ntar aku tanya sama orang tuaku, semoga saja di bolehin," ucapnya semangat.Kehumbuskan nafas pelan.*****"Kang ayok berangkat."Setelah kopiku habis aku melangkah ke kamar Kang Rois."Aduh Kang, aku libur dulu ya, aku lagi masuk angin."Mendengar Kang rois sakit, aku masuk ke dalam dan mengecek badanya. Kutempelkan punggung tanganku ke keningnya. Panas."Sejak kapan Kang?""Tadi pagi."Ia bungkus badan kecilnya dengan sarung."Kamu ajak dulu Kang Usman." Usulnya"Baik kalau begitu. Kamu mau menitip apa Kang, biar sekalian aku beliin," tawarku padanya."Obat penurun demam saja Kang.""Ehm bodrex*n ya.""Emang aku anak kecil," ujarnya."Hahaha.""Ah sudah sana pergi!" Usrinya."Ya ya ya."Aku keluar dari kamar Kang rois langsung menuju ke kamar Kang Usman.Letak kamar kang usman, sebelah kiri kamar kang rois selang satu kamar."Assalamualaikum." Aku berdiri di depan pintu."Waalaikumsalam," jawabnya.Tidak be
Hari-hari yang sangat melelahkan belakangan ini, ku rebahkan badanku ke kramik. Sekilas bayangan Mbak santri melintas di benakku.Melambaikan tangan dan tersenyum. Cantiknya.Drrttt drrttt"Siapa sih ganggu orang?" grutuku.Segara ku ambil posel yang ada di sampingku.[Kang, buruan kemari]Ternyata dari Bapak yang kemarin minta tolong."Ngapain aku di auruh kesana?! apa anaknya kumat lagi ya?!" batinku.Aku begegas mencari Kang Rois tapi tidak ada, di sungai pun juga tidak hampir satu jam aku mencarinya tapi tak kunjung temu.[Kok lama banget Kang] satu pesan masuk lagi.[Tunggu sebentar] balasku.Karena sudah di tunhgu jadi aku berangkat sendiri. Kurang lebih tiga puluh menit, aku sampai di sana."Assalamualaikum," ucapku sedikit keras.Kuamati rumahnya sepi, juga tidak ada suara orang yang mengamuk. Aku sedikit bingung.Saat aku bingung keluarlah seorang wanita cantik menggunaka drees warna biru dan jilbab yang senada dengan bajunya."Waalaikumsalam," ucapnya malu-malu.Ada perasaan
"Itu dia yang pakek jilbab...""Kang Udin?" teriak Kang Abdul dari bawah."Sebentar ya Kang," ucap udi sambil berlalu."Aaahhhh ada aja halangannya, padahal udah antusias mendengarkannya ujung-ujungnya gatot." rasanya aku ingin makan orang.Aku sangat kesal gimana tidak, ingin tahu seperti apa dia eh ada aja halangannya.Karena di tinggal sendiri, kuputuskan membeli kopi di kantin pesantren siapa tau bisa ketemu dia.Saat aku melewati asrama putra yang ada di sebelah utara. Samar-samar mendengarkan obrolan santri."Tadi aku jumpa dia?""Dimana?" jawab mereka bersamaan. Dengan antusiasnya."Tadi pas aku ke kantin, cantiknya. Tidak salah kalau di jadikan primadona pesantren udah cantik hafalan pula.""Apa lagi Abangnya sebagai tangan kanan Mbah Yai," imbuhnya.Aku yang lewat cuek aja toh juga tidak kenal juga sama primadona pesantren ini."Kopi Mbak satu," pesanku pada penunggu kantin pesantren. Dia adalah alumni sini dan sudah menikah.Setelah menikah dia menetap di sini dan membuka ka
Sebulan alu tidak memikirkan mbak santri, karena aku pikir dia istrinya Kag Abdul ternyata salah.Seketika kesunggingkan senyum yang lebar. Indah orang jatuh cinta tapi kalau sudah kecewa ah jangan di tanya seperti apa sakitnya."Kenepa Kang senyum-senyum sendiri?" tanya Kang Rois."Ah egak kok Kang." Kang Rois membawa kresek hitam mebuat aku penasaran."Apa itu Kang?" tanyaku.Setelah di buka ternyata gorengan."Monggo Kang di makan!" tawarnya."Baru kiriman ya Kang?" tanyaku."Hehe iya." "Tiga bulan macet baru sekarang orang tua punya rejeki." Aku hanya oh ria saja, yang penting makan.*****Sudah dua minggu aku tidak mendengar kabar dari orang yang minta tolong padaku tempo lalu.Triing..Tiba-tiba poselku berbunyi dengan cepat aku buka pesan tersebut. Dari nomor yangbtidk di kenal.[Kang nanti bisa kesini] isi pesan tersebut.Triiing... Ada pesan masuk lagi.[Ini saya orang yang minta tolong sama kamu waktu lalu]Dengan cepat aku balas pesan singkat tersebut.[Insya Alloh] cent
Saat mata ini ingin terpejam, terdengar suara langkah kaki yang menaiki tangga.Saat kulihat ternyata Kang Abdul, duduk di samping Udin tanpa permisi Kang Abdul menyeruput kopi Udin."Apa aku tanya aja, dari pada aku suudzon sama dia."Kubuka songkok yang tadi kubuat menutup muka, dan mengubah posisiku menjadi duduk bersila."Kang Abdul!""Hemm...."Dia menyalakan sebatang rokok kretek, ada kata pepatah setelah makan tidak merokok bagaikan beol tanpa cebok."Sudah berapa tahun menikah?"Mendengar perkataanku, Kang Abdul tersedak asap rokoknya. Sedangkan Udin malah mengrenyitkan dahinya. Merasa bingung dengan pertanyaanku. Mungkin."Menikah?! kamu dengar dari siapa?!" ucap Kang Abdul bingung."Iya, tadi santri perempuan yang makan bareng sama kamu itu, istrimu kan Kang?" tanyaku santai."Hahahahah hahaha hahaha...."Tiba-tiba Udin dan Kang Abdul tertawa terbahak-bahak, sampai aku bingung dan men
Akhir-akhir ini aku dan Kang Rois di sibukkan dengan pekerjaan baru, meskipun lelah tidak apa, asal pesantren mendapatkan keringanan meski, itu listrik tapi sangat membantu kami para santri."Kang aku pinjam motormu." Entah sejak kapan ia berdiri di depan pintu kamar."Mau kemana Kang?" kuserahkan kunci motor ke padanya."Ada deh, aku pinjam dulu ya!" ucapnya sambil berlalu.Sejak jadi penarik listrik Kang Rois orangnya sibuk."Assalmualaikum." Suara seseorang dari aula.Suaranya sangat familiar tapi siapa ya."Waalaikumsalam", jawabku. Tapi aku malas beranjak dari tempat dudukku."Waahhh rajinnya," ucapnya.Seketika aku mendongakkan kepala."Ehh Kamu, sama siapa kesini?" ternyata Udin."Sendiri aja, aku mau ngobrol serius sama kamu," kini dia duduk di samping kananku.Kut
Jam lima sore Kang Rois datang sambil mendorong motornya. Berhenti di depanku. "Apes wes apes." Stelah menstandarkan motornya, ia berjalan ke arahku dan merobohkan badannya di sampungku. "Kenapa Kang?” tanyaku heran. "Itu motornya Kang Usman malah mogok." Kang Usman juga salah pengurus tapi. "Kok bisa,” kupandangi motor, di lihat motornya tidak kenapa-napa. "Gak tau!” jawab Kang Rois ngos-ngosan setelah mendorong motor. "Mana lagi dorongnya dari perempatan sana, hadeh capek," cerocosnya. "Kenapa tidak di titipin ke bengkel aja tadi.” "Mana ada duit aku Kang-kang?" "Kan pinjam sama aku bisa.” "Emang kamu punya?" tanyanya. "Belum tahu hahaha.” "Edan samean." "Tadi udah di cek tangki bensinnya?" kudekati motor, dan kugenjot. "Asthofirrulloh egak.e Kang." seketika Kang Rois bangun dari tidurnya dan menepuk jidatnya sendiri. "Man
"Assalamualaikum," ucap Kang Rois di depan pintu Bu Nyai."Waalaikumsalam," ucap seseorang dari arah dalam.Seorang perempuan hampir berkepala lima keluar dari kamar masih menggunakan mukena pajang. Sedikit gemuk tapi cantik."Ayo Kang silakan masuk," titah Bu nyai."Inggih."Bu nyai duduk di atas sofa sedangkan kami duduk di atas karpet. Ya itulah salah satu cara santri menghormati gurunya. Seorang santri berjajar dengan Guru merasa tidak pantas dan suul adabnya kurang."Jangan duduk di bawah dingin," ucap beliau.Kami menurut dengan ucapan Bu Nyai dari bawah kini kami duduk di sofa. Berhadapan dengan Bu Nyai. Hanya meja kecil yang menjadi pembatas kami."Kok baru datang jam segini Kang?"Kami memang sengaja datang setelah Shalat isya, agar bisa mengobrol dengan nyaman dan sedikit lama."Iya Bu, tadi saya mencari Kang Rois tidak ketemu-temu," jawabku dengan kepala menunduk."Lho emang tadi ke mana?"
Semua santri berbondong-bondong menuju rumah Pak Kyai. Di sana sudah banyak santri wati. Kudekati Gus Ulin. Sebagian dari santri masih kasak kusuk apa yang terjadi. Begitu kerasnya Bu nyai menangis, sehingga menimbulkan tanda tanya. Tidak ada yang berani masuk meski santri putri."Ada apa Gus?" Ada kegelisahan yang terpancar dari wajahnya. Tiba-tiba dia memelukku."Abah, Kang abah," ucapnya terbata-bata."Kenapa Abah?" Kini aku mulai gelisah."Abah wafat." Seketika tangisnya pecah di pelukanku."Innililahiwainnailahirojiun.” Kuelus punggungnya."Yang sabar, Gus." Kulepas pelukannya dan kuarahkan dia duduk di kursi."Minum dulu, Gus." Kusodorkan air putih.Tidak lama keluarlah Gus Fuad dari dalam kamar, memerintah beberapa santri putra untuk menyiapkan segalanya. Juga pengurus tidak lupa mengumumkan perihal wafatnya pak kyai, aku sendiri tidak percaya abah meninggalkan kita semua, umur yang belum terlalu sepuh yaitu empat