Tiga hari aku tidak main ke pesantren Udin, ada rasa rindu di hati ini. Selalu dan ingin selalu memandang wajah mbak santri tersebut, rindu yang ada di hati tidak bisa lagi kureda.
"Kok aku rindu dia ya," gumamku, sambil tiduran di karpet tipis.
"Aku sudah tiga hari tidak ke sana, apa aku ke sana ya nanti."
Aku menimbang-nimbangkannya. Daripada aku gelisah lebih baik aku ke sana saja sekarang. Kulihat jam lima sore, aku mengambil jaket levis berjalan mencari Kang Rois.
"Kang, aku mau jenguk Udin dulu kok aku ke pikiran." Tentu itu hanya alasanku saja. Aku berdiri di ambang pintu kamar Kang Rois.
"Oh iya Kang, sekalian aku nitip Kang." Dia yang awalnya tengkurap kini berdiri berjalan menghampiriku.
"Apa?"
"Tolong belikan gorengan yang ada di perapatan yang ada di pojokkan sana." Ia mengulurkan uang satu lembar pecahan sepuluh ribu.
"Beli berapa?" Kuambil uangnya dari tangannya"
"Lima ribu aja."
"Nanti pulangnya jam berapa?"
"Mungkin setelah salat isya."
"Ya udah Kang, aku berangkat ya, takut magrib masih di jalan," ucapku sambil berlalu dari hadapannya.
***
"Itu lho yang berdiri, yang sedang salat ba'diah magrib."
"Bukan, yang itu yang duduk menghadap ke utara yang paling ujung timur."
"Ngawur kamu, bukan. Itu Mbak Anis, di sampingnya Mbak Anis itu." Aku yang mendengar mereka ribut sendiri, mengintip santri wati mengaji Tafsir Jalalen.
"Hei kenapa kalian ribut-ribut?" Udin membuka setengah pintu kamar pondok induk. Ada jendela yang langsung mengarah ke mushola.
"Ah kamu Kang, mengageti kita aja," jawab salah satu dari mereka. Mereka semua langsung menoleh ke arah kami.
"Kalian mengintip apa sih?" tanya Udin.
"Itu primadona pesantren," jawab santri putra yang berbadan kecil juga kurus.
"Primadona?" Dahiku mengernyit. Karena aku penasaran aku ikut melihat keadaan di dalam kamar. Ada lima anak yang mengintip santri wati. Mereka mengerubungi cendela dan saling tumpang tindih.
"Yang itu lhoo, duh manisnya dia." Aku juga mendengar suara di sebelah kamar.
"Iya-iya, dia cantik, apa lagi lesung pipinya itu duh, ke duanya ada lesungnya." Aku yang mendengar sedikit terkejut.
"Lesung pipi? Ah mungkin itu santri wati yang lain." Aku menenangkan diriku. Semoga saja santri wati yang mereka maksud bukan santri wati yang aku sukai, bisa banyak saingan kalau begitu.
"Ayok Kang." Udin merangkulku dan berjalan ke kantin yang ada di pondok. Letaknya ada di sebelah kanan pondok putra dan bersanding dengan pondok putri. Tapi lumayan jauh.
***
Aku dan Udin membuat kopi di dapur belakang rumah Mbah Yai."Hahaha iya." Ada suara perempuan dari arah samping dapur. Langkahnya semakin mendekati dapur.
"Dek," sapa Udin yang berdiri di sebelahku.
"Hemmm, iya ada apa?" Karena ditegur Udin, dia berhenti dan menoleh ke arah kami.
"Apa hanya dia yang dipanggil Dek, oleh Udin?" Kini pikiranku tidak karuan. "Ah paling karena dia kecil." Aku mencoba menenangkan diri. Santri wati yang lain pergi, meninggal mereka berdua, justru temannya salah tingkah.
"Udah pulang, Dek?" tanya Udin.
"I ...."
"Iya Kang." Temannya memotong ucapan santri yang dipanggil Udin tadi.
Dari gelagatnya dia suka sama Udin, karena Udin ikut hadrah dan menjadi vokal, suara yang merdu juga enak didengar. Juga tampang yang cukup lumayan, putih juga tinggi. Hampir semua wanita dibikin klepek-klepek sama dia. Tapi sayang umur yang hampir mendekati kepala tiga, dia belum kunjung nikah, selalu saja gagal.
"Kok cepat banget?"
"Iya karena gusnya ada acara," jawabnya lagi.
"Kamu ngapain di sini Kang?" tanya santri wati. Justru mbak santri yang dipanggil Udin diam saja.
"Ini mau bikin kopi," ucap Uddin cuek.
Aku yang melihat menahan tawa, bagaimana tidak alih-alih ingin berbicara dengannya malah dijawab terus oleh temannya. Ah manisnya dia, kapan lagi kami bisa ketemu seperti ini, jarak kami hanya tiga meter. Jadi wajahnya kelihatan cantik dan manis di terangi lampu lima what. Saat aku memperhatikan wajahnya, dia malah pergi begitu saja tanpa pamit dan meninggalkan temannya di sini bersama kami.
'Apa dia tahu kalu aku sedang memperhatikannya?' gumamku dalam hati.
***
"Assalamualaikum." Aku berdiri di luar pintu Kang Rois.
"Waalaikumsalam," jawab Kang Rois dari dalam. Tidak berapa lama dia membukakan pintu.
"Ini Kang titipannya." Kusodorkah keresek putih besar dan sedikit ada uapnya di dalam karena gorengan yang masih panas di bungkus.
"Oh ya Kang, makasih." Dia mengambil keresek putih.
"Ayok Kang sini, makan bersama!" Ajaknya. Aku ikut masuk ke kamar Kang Rois. Membuka ikatan lalu membukanya lebar-lebar. Masih ada asapnya bertanda gorengan yang kubeli masih panas.
"Kok sudah dijenguk lagi?" Ia ambil satu gelas kopi hitam yang ada di samping kirinya.
"Iya, kan dia baru di sini. Apa lagi si Udin belum tahu karakter orang sini, takutnya dia tersinggung. Jadi aku menasihati dia agar betah di sini." imbuhku.
"Memang dulu dia mondok di mana?"
"Iya hanya sekitar Jawa tengah saja." Kami mengobrol sambil memakan gorengan dan berbagi kopi hitam. Nikmatnya.
"Di sini sama di sana itu beda jauh, kalau di sini perkataan sedikit kasar tapi kalau di daerahku kalem," jelasku panjang lebar.
"Assalamualaikum," ucap seseorang dari arah luar. Dan ternyata itu Gus Ulin.
"Waalaikumsalam," jawab kami kompak dan menoleh Gus Ulin yang sudah duduk di antara kami.
"Kenapa Gus kok kelihatan susah gitu?" tanyaku heran.
"Iya Kang, abah sakit." Ada rasa gelisah yang ia tampakkan.
"Sejak kapan?" tanya Kang Rois.
"Udah dua hari ini, sejak memanen padi kemarin,” imbuhnya.
"Mungkin kecapek-an Gus!" hiburku. "Sini Gus makan gorengan dulu sambil minum kopi," tawarku
"Iya," jawabnya lesu. Kami mengobrol sampai tengah malam, aku melihat Kang Rois sudah menahan kantuk.
"Kang aku balik ke kamar dulu."
"Aku juga pamit Kang." Gus Ulin juga ikut pamit.
Kami berdua berdiri bersamaan, Gus Ulin berjalan lebih dahulu dan aku berjalan di belakangnya. Aku berbelok ke arah kamar sedangkan Gus Ulin berjalan lurus menuju ndalem. Ndalem yang artinya rumah.
***
Di saat aku mengaji sendiri terdengar suara jeritan dan juga tangisan.
"Abah!"
Aku yang mendengar langsung lari keluar, saat aku keluar sudah banyak santri yang berkumpul. Saling pandang dan saling tanya. Berbondong-bondong menuju ndalem, saat kulihat sudah banyak santri wati yang berkerumun di sebelah samping ndalem.
Semua santri berbondong-bondong menuju rumah Pak Kyai. Di sana sudah banyak santri wati. Kudekati Gus Ulin. Sebagian dari santri masih kasak kusuk apa yang terjadi. Begitu kerasnya Bu nyai menangis, sehingga menimbulkan tanda tanya. Tidak ada yang berani masuk meski santri putri."Ada apa Gus?" Ada kegelisahan yang terpancar dari wajahnya. Tiba-tiba dia memelukku."Abah, Kang abah," ucapnya terbata-bata."Kenapa Abah?" Kini aku mulai gelisah."Abah wafat." Seketika tangisnya pecah di pelukanku."Innililahiwainnailahirojiun.” Kuelus punggungnya."Yang sabar, Gus." Kulepas pelukannya dan kuarahkan dia duduk di kursi."Minum dulu, Gus." Kusodorkan air putih.Tidak lama keluarlah Gus Fuad dari dalam kamar, memerintah beberapa santri putra untuk menyiapkan segalanya. Juga pengurus tidak lupa mengumumkan perihal wafatnya pak kyai, aku sendiri tidak percaya abah meninggalkan kita semua, umur yang belum terlalu sepuh yaitu empat
"Assalamualaikum," ucap Kang Rois di depan pintu Bu Nyai."Waalaikumsalam," ucap seseorang dari arah dalam.Seorang perempuan hampir berkepala lima keluar dari kamar masih menggunakan mukena pajang. Sedikit gemuk tapi cantik."Ayo Kang silakan masuk," titah Bu nyai."Inggih."Bu nyai duduk di atas sofa sedangkan kami duduk di atas karpet. Ya itulah salah satu cara santri menghormati gurunya. Seorang santri berjajar dengan Guru merasa tidak pantas dan suul adabnya kurang."Jangan duduk di bawah dingin," ucap beliau.Kami menurut dengan ucapan Bu Nyai dari bawah kini kami duduk di sofa. Berhadapan dengan Bu Nyai. Hanya meja kecil yang menjadi pembatas kami."Kok baru datang jam segini Kang?"Kami memang sengaja datang setelah Shalat isya, agar bisa mengobrol dengan nyaman dan sedikit lama."Iya Bu, tadi saya mencari Kang Rois tidak ketemu-temu," jawabku dengan kepala menunduk."Lho emang tadi ke mana?"
Jam lima sore Kang Rois datang sambil mendorong motornya. Berhenti di depanku. "Apes wes apes." Stelah menstandarkan motornya, ia berjalan ke arahku dan merobohkan badannya di sampungku. "Kenapa Kang?” tanyaku heran. "Itu motornya Kang Usman malah mogok." Kang Usman juga salah pengurus tapi. "Kok bisa,” kupandangi motor, di lihat motornya tidak kenapa-napa. "Gak tau!” jawab Kang Rois ngos-ngosan setelah mendorong motor. "Mana lagi dorongnya dari perempatan sana, hadeh capek," cerocosnya. "Kenapa tidak di titipin ke bengkel aja tadi.” "Mana ada duit aku Kang-kang?" "Kan pinjam sama aku bisa.” "Emang kamu punya?" tanyanya. "Belum tahu hahaha.” "Edan samean." "Tadi udah di cek tangki bensinnya?" kudekati motor, dan kugenjot. "Asthofirrulloh egak.e Kang." seketika Kang Rois bangun dari tidurnya dan menepuk jidatnya sendiri. "Man
Akhir-akhir ini aku dan Kang Rois di sibukkan dengan pekerjaan baru, meskipun lelah tidak apa, asal pesantren mendapatkan keringanan meski, itu listrik tapi sangat membantu kami para santri."Kang aku pinjam motormu." Entah sejak kapan ia berdiri di depan pintu kamar."Mau kemana Kang?" kuserahkan kunci motor ke padanya."Ada deh, aku pinjam dulu ya!" ucapnya sambil berlalu.Sejak jadi penarik listrik Kang Rois orangnya sibuk."Assalmualaikum." Suara seseorang dari aula.Suaranya sangat familiar tapi siapa ya."Waalaikumsalam", jawabku. Tapi aku malas beranjak dari tempat dudukku."Waahhh rajinnya," ucapnya.Seketika aku mendongakkan kepala."Ehh Kamu, sama siapa kesini?" ternyata Udin."Sendiri aja, aku mau ngobrol serius sama kamu," kini dia duduk di samping kananku.Kut
Saat mata ini ingin terpejam, terdengar suara langkah kaki yang menaiki tangga.Saat kulihat ternyata Kang Abdul, duduk di samping Udin tanpa permisi Kang Abdul menyeruput kopi Udin."Apa aku tanya aja, dari pada aku suudzon sama dia."Kubuka songkok yang tadi kubuat menutup muka, dan mengubah posisiku menjadi duduk bersila."Kang Abdul!""Hemm...."Dia menyalakan sebatang rokok kretek, ada kata pepatah setelah makan tidak merokok bagaikan beol tanpa cebok."Sudah berapa tahun menikah?"Mendengar perkataanku, Kang Abdul tersedak asap rokoknya. Sedangkan Udin malah mengrenyitkan dahinya. Merasa bingung dengan pertanyaanku. Mungkin."Menikah?! kamu dengar dari siapa?!" ucap Kang Abdul bingung."Iya, tadi santri perempuan yang makan bareng sama kamu itu, istrimu kan Kang?" tanyaku santai."Hahahahah hahaha hahaha...."Tiba-tiba Udin dan Kang Abdul tertawa terbahak-bahak, sampai aku bingung dan men
Sebulan alu tidak memikirkan mbak santri, karena aku pikir dia istrinya Kag Abdul ternyata salah.Seketika kesunggingkan senyum yang lebar. Indah orang jatuh cinta tapi kalau sudah kecewa ah jangan di tanya seperti apa sakitnya."Kenepa Kang senyum-senyum sendiri?" tanya Kang Rois."Ah egak kok Kang." Kang Rois membawa kresek hitam mebuat aku penasaran."Apa itu Kang?" tanyaku.Setelah di buka ternyata gorengan."Monggo Kang di makan!" tawarnya."Baru kiriman ya Kang?" tanyaku."Hehe iya." "Tiga bulan macet baru sekarang orang tua punya rejeki." Aku hanya oh ria saja, yang penting makan.*****Sudah dua minggu aku tidak mendengar kabar dari orang yang minta tolong padaku tempo lalu.Triing..Tiba-tiba poselku berbunyi dengan cepat aku buka pesan tersebut. Dari nomor yangbtidk di kenal.[Kang nanti bisa kesini] isi pesan tersebut.Triiing... Ada pesan masuk lagi.[Ini saya orang yang minta tolong sama kamu waktu lalu]Dengan cepat aku balas pesan singkat tersebut.[Insya Alloh] cent
"Itu dia yang pakek jilbab...""Kang Udin?" teriak Kang Abdul dari bawah."Sebentar ya Kang," ucap udi sambil berlalu."Aaahhhh ada aja halangannya, padahal udah antusias mendengarkannya ujung-ujungnya gatot." rasanya aku ingin makan orang.Aku sangat kesal gimana tidak, ingin tahu seperti apa dia eh ada aja halangannya.Karena di tinggal sendiri, kuputuskan membeli kopi di kantin pesantren siapa tau bisa ketemu dia.Saat aku melewati asrama putra yang ada di sebelah utara. Samar-samar mendengarkan obrolan santri."Tadi aku jumpa dia?""Dimana?" jawab mereka bersamaan. Dengan antusiasnya."Tadi pas aku ke kantin, cantiknya. Tidak salah kalau di jadikan primadona pesantren udah cantik hafalan pula.""Apa lagi Abangnya sebagai tangan kanan Mbah Yai," imbuhnya.Aku yang lewat cuek aja toh juga tidak kenal juga sama primadona pesantren ini."Kopi Mbak satu," pesanku pada penunggu kantin pesantren. Dia adalah alumni sini dan sudah menikah.Setelah menikah dia menetap di sini dan membuka ka
Hari-hari yang sangat melelahkan belakangan ini, ku rebahkan badanku ke kramik. Sekilas bayangan Mbak santri melintas di benakku.Melambaikan tangan dan tersenyum. Cantiknya.Drrttt drrttt"Siapa sih ganggu orang?" grutuku.Segara ku ambil posel yang ada di sampingku.[Kang, buruan kemari]Ternyata dari Bapak yang kemarin minta tolong."Ngapain aku di auruh kesana?! apa anaknya kumat lagi ya?!" batinku.Aku begegas mencari Kang Rois tapi tidak ada, di sungai pun juga tidak hampir satu jam aku mencarinya tapi tak kunjung temu.[Kok lama banget Kang] satu pesan masuk lagi.[Tunggu sebentar] balasku.Karena sudah di tunhgu jadi aku berangkat sendiri. Kurang lebih tiga puluh menit, aku sampai di sana."Assalamualaikum," ucapku sedikit keras.Kuamati rumahnya sepi, juga tidak ada suara orang yang mengamuk. Aku sedikit bingung.Saat aku bingung keluarlah seorang wanita cantik menggunaka drees warna biru dan jilbab yang senada dengan bajunya."Waalaikumsalam," ucapnya malu-malu.Ada perasaan
"Ya bisa lah kenapa gak?" kuelus bahunya. Kutenangkan dia."Makasih ya Kang, ntar aku tanya sama orang tuaku, semoga saja di bolehin," ucapnya semangat.Kehumbuskan nafas pelan.*****"Kang ayok berangkat."Setelah kopiku habis aku melangkah ke kamar Kang Rois."Aduh Kang, aku libur dulu ya, aku lagi masuk angin."Mendengar Kang rois sakit, aku masuk ke dalam dan mengecek badanya. Kutempelkan punggung tanganku ke keningnya. Panas."Sejak kapan Kang?""Tadi pagi."Ia bungkus badan kecilnya dengan sarung."Kamu ajak dulu Kang Usman." Usulnya"Baik kalau begitu. Kamu mau menitip apa Kang, biar sekalian aku beliin," tawarku padanya."Obat penurun demam saja Kang.""Ehm bodrex*n ya.""Emang aku anak kecil," ujarnya."Hahaha.""Ah sudah sana pergi!" Usrinya."Ya ya ya."Aku keluar dari kamar Kang rois langsung menuju ke kamar Kang Usman.Letak kamar kang usman, sebelah kiri kamar kang rois selang satu kamar."Assalamualaikum." Aku berdiri di depan pintu."Waalaikumsalam," jawabnya.Tidak be
Hari-hari yang sangat melelahkan belakangan ini, ku rebahkan badanku ke kramik. Sekilas bayangan Mbak santri melintas di benakku.Melambaikan tangan dan tersenyum. Cantiknya.Drrttt drrttt"Siapa sih ganggu orang?" grutuku.Segara ku ambil posel yang ada di sampingku.[Kang, buruan kemari]Ternyata dari Bapak yang kemarin minta tolong."Ngapain aku di auruh kesana?! apa anaknya kumat lagi ya?!" batinku.Aku begegas mencari Kang Rois tapi tidak ada, di sungai pun juga tidak hampir satu jam aku mencarinya tapi tak kunjung temu.[Kok lama banget Kang] satu pesan masuk lagi.[Tunggu sebentar] balasku.Karena sudah di tunhgu jadi aku berangkat sendiri. Kurang lebih tiga puluh menit, aku sampai di sana."Assalamualaikum," ucapku sedikit keras.Kuamati rumahnya sepi, juga tidak ada suara orang yang mengamuk. Aku sedikit bingung.Saat aku bingung keluarlah seorang wanita cantik menggunaka drees warna biru dan jilbab yang senada dengan bajunya."Waalaikumsalam," ucapnya malu-malu.Ada perasaan
"Itu dia yang pakek jilbab...""Kang Udin?" teriak Kang Abdul dari bawah."Sebentar ya Kang," ucap udi sambil berlalu."Aaahhhh ada aja halangannya, padahal udah antusias mendengarkannya ujung-ujungnya gatot." rasanya aku ingin makan orang.Aku sangat kesal gimana tidak, ingin tahu seperti apa dia eh ada aja halangannya.Karena di tinggal sendiri, kuputuskan membeli kopi di kantin pesantren siapa tau bisa ketemu dia.Saat aku melewati asrama putra yang ada di sebelah utara. Samar-samar mendengarkan obrolan santri."Tadi aku jumpa dia?""Dimana?" jawab mereka bersamaan. Dengan antusiasnya."Tadi pas aku ke kantin, cantiknya. Tidak salah kalau di jadikan primadona pesantren udah cantik hafalan pula.""Apa lagi Abangnya sebagai tangan kanan Mbah Yai," imbuhnya.Aku yang lewat cuek aja toh juga tidak kenal juga sama primadona pesantren ini."Kopi Mbak satu," pesanku pada penunggu kantin pesantren. Dia adalah alumni sini dan sudah menikah.Setelah menikah dia menetap di sini dan membuka ka
Sebulan alu tidak memikirkan mbak santri, karena aku pikir dia istrinya Kag Abdul ternyata salah.Seketika kesunggingkan senyum yang lebar. Indah orang jatuh cinta tapi kalau sudah kecewa ah jangan di tanya seperti apa sakitnya."Kenepa Kang senyum-senyum sendiri?" tanya Kang Rois."Ah egak kok Kang." Kang Rois membawa kresek hitam mebuat aku penasaran."Apa itu Kang?" tanyaku.Setelah di buka ternyata gorengan."Monggo Kang di makan!" tawarnya."Baru kiriman ya Kang?" tanyaku."Hehe iya." "Tiga bulan macet baru sekarang orang tua punya rejeki." Aku hanya oh ria saja, yang penting makan.*****Sudah dua minggu aku tidak mendengar kabar dari orang yang minta tolong padaku tempo lalu.Triing..Tiba-tiba poselku berbunyi dengan cepat aku buka pesan tersebut. Dari nomor yangbtidk di kenal.[Kang nanti bisa kesini] isi pesan tersebut.Triiing... Ada pesan masuk lagi.[Ini saya orang yang minta tolong sama kamu waktu lalu]Dengan cepat aku balas pesan singkat tersebut.[Insya Alloh] cent
Saat mata ini ingin terpejam, terdengar suara langkah kaki yang menaiki tangga.Saat kulihat ternyata Kang Abdul, duduk di samping Udin tanpa permisi Kang Abdul menyeruput kopi Udin."Apa aku tanya aja, dari pada aku suudzon sama dia."Kubuka songkok yang tadi kubuat menutup muka, dan mengubah posisiku menjadi duduk bersila."Kang Abdul!""Hemm...."Dia menyalakan sebatang rokok kretek, ada kata pepatah setelah makan tidak merokok bagaikan beol tanpa cebok."Sudah berapa tahun menikah?"Mendengar perkataanku, Kang Abdul tersedak asap rokoknya. Sedangkan Udin malah mengrenyitkan dahinya. Merasa bingung dengan pertanyaanku. Mungkin."Menikah?! kamu dengar dari siapa?!" ucap Kang Abdul bingung."Iya, tadi santri perempuan yang makan bareng sama kamu itu, istrimu kan Kang?" tanyaku santai."Hahahahah hahaha hahaha...."Tiba-tiba Udin dan Kang Abdul tertawa terbahak-bahak, sampai aku bingung dan men
Akhir-akhir ini aku dan Kang Rois di sibukkan dengan pekerjaan baru, meskipun lelah tidak apa, asal pesantren mendapatkan keringanan meski, itu listrik tapi sangat membantu kami para santri."Kang aku pinjam motormu." Entah sejak kapan ia berdiri di depan pintu kamar."Mau kemana Kang?" kuserahkan kunci motor ke padanya."Ada deh, aku pinjam dulu ya!" ucapnya sambil berlalu.Sejak jadi penarik listrik Kang Rois orangnya sibuk."Assalmualaikum." Suara seseorang dari aula.Suaranya sangat familiar tapi siapa ya."Waalaikumsalam", jawabku. Tapi aku malas beranjak dari tempat dudukku."Waahhh rajinnya," ucapnya.Seketika aku mendongakkan kepala."Ehh Kamu, sama siapa kesini?" ternyata Udin."Sendiri aja, aku mau ngobrol serius sama kamu," kini dia duduk di samping kananku.Kut
Jam lima sore Kang Rois datang sambil mendorong motornya. Berhenti di depanku. "Apes wes apes." Stelah menstandarkan motornya, ia berjalan ke arahku dan merobohkan badannya di sampungku. "Kenapa Kang?” tanyaku heran. "Itu motornya Kang Usman malah mogok." Kang Usman juga salah pengurus tapi. "Kok bisa,” kupandangi motor, di lihat motornya tidak kenapa-napa. "Gak tau!” jawab Kang Rois ngos-ngosan setelah mendorong motor. "Mana lagi dorongnya dari perempatan sana, hadeh capek," cerocosnya. "Kenapa tidak di titipin ke bengkel aja tadi.” "Mana ada duit aku Kang-kang?" "Kan pinjam sama aku bisa.” "Emang kamu punya?" tanyanya. "Belum tahu hahaha.” "Edan samean." "Tadi udah di cek tangki bensinnya?" kudekati motor, dan kugenjot. "Asthofirrulloh egak.e Kang." seketika Kang Rois bangun dari tidurnya dan menepuk jidatnya sendiri. "Man
"Assalamualaikum," ucap Kang Rois di depan pintu Bu Nyai."Waalaikumsalam," ucap seseorang dari arah dalam.Seorang perempuan hampir berkepala lima keluar dari kamar masih menggunakan mukena pajang. Sedikit gemuk tapi cantik."Ayo Kang silakan masuk," titah Bu nyai."Inggih."Bu nyai duduk di atas sofa sedangkan kami duduk di atas karpet. Ya itulah salah satu cara santri menghormati gurunya. Seorang santri berjajar dengan Guru merasa tidak pantas dan suul adabnya kurang."Jangan duduk di bawah dingin," ucap beliau.Kami menurut dengan ucapan Bu Nyai dari bawah kini kami duduk di sofa. Berhadapan dengan Bu Nyai. Hanya meja kecil yang menjadi pembatas kami."Kok baru datang jam segini Kang?"Kami memang sengaja datang setelah Shalat isya, agar bisa mengobrol dengan nyaman dan sedikit lama."Iya Bu, tadi saya mencari Kang Rois tidak ketemu-temu," jawabku dengan kepala menunduk."Lho emang tadi ke mana?"
Semua santri berbondong-bondong menuju rumah Pak Kyai. Di sana sudah banyak santri wati. Kudekati Gus Ulin. Sebagian dari santri masih kasak kusuk apa yang terjadi. Begitu kerasnya Bu nyai menangis, sehingga menimbulkan tanda tanya. Tidak ada yang berani masuk meski santri putri."Ada apa Gus?" Ada kegelisahan yang terpancar dari wajahnya. Tiba-tiba dia memelukku."Abah, Kang abah," ucapnya terbata-bata."Kenapa Abah?" Kini aku mulai gelisah."Abah wafat." Seketika tangisnya pecah di pelukanku."Innililahiwainnailahirojiun.” Kuelus punggungnya."Yang sabar, Gus." Kulepas pelukannya dan kuarahkan dia duduk di kursi."Minum dulu, Gus." Kusodorkan air putih.Tidak lama keluarlah Gus Fuad dari dalam kamar, memerintah beberapa santri putra untuk menyiapkan segalanya. Juga pengurus tidak lupa mengumumkan perihal wafatnya pak kyai, aku sendiri tidak percaya abah meninggalkan kita semua, umur yang belum terlalu sepuh yaitu empat