Marko menyeret langkah gontai keluar dari ruang rawat inap tempat ibunya terbaring, kondisi sang ibu memang kian lemah, menambah rasa sesal yang menyesaki hatinya, namun tak ada yang bisa dia perbuat. Belum lagi saat ini dirinya tengah dijauhi oleh keluarga bahkan adiknya sendiri, dia tak tahu harus pergi ke mana di saat seperti ini. Bahkan sekadar datang ke Toko Buku untuk bekerja saja rasanya sangat canggung baginya, kakinya terasa berat untuk melangkah ke sana.Mata Marko terbelalak begitu kakinya menapak di teras rumah sakit. Sesosok yang tak asing muncul di hadapannya, secara tak terduga. "Bi ... Biola?" desis Marko seraya mendekat. "Kak Biola kok ada di sini? Nyari aku?"Biola mengerling tajam, "Nggak usah kepedean deh, aku baru aja dari poli kandungan!" jawab Biola ketus. Seketika mata Marko berbinar mendengar jawaban Biola, "Habis cek kandungan? Apa kata Dokter? Apa janinnya baik-baik aja?" tanya Marko antusias. "Apa urusannya sama kamu? Kamu urus aja diri kamu sendiri!" pu
Ketika Viona tahu soal rencana pernikahan Biola dan Marko, gadis itu menjerit histeris, murka luar biasa. Dengan membabi buta, Viona mengambil vas bunga yang berada di dekat lemari TV kemudian melemparkannya sampai pecah di dinding. Sontak Biola terperangah."Viona! Kamu tau kan kalau Dion udah cukup berbaik hati mau ngasih kita waktu tinggal di sini sampe Kakak dapat kos yang murah, jangan kamu malah ngulah, bisa-bisa kita diusir!!" bentak Biola berang."Kakak egois!! Aku nggak peduli! Sekalian ini rumah aku bakar juga aku nggak bakal peduli, kok!" "Kakak yang kamu sebut egois?!! Kamu yang egois, kamu kenapa nggak terima kalau Kakak bakal nikah sama Marko? Kamu pikirin gimana nasib janin yang lagi Kakak kandung sekarang, ini emang anak Marko, Viona!"Mendengar Biola menegaskan hubungannya dengan Marko justru membuat hati Viona kian geram dan panas. "Aku nggak mau dengar!! Aku nggak mau tau soal itu!!"Selama beberapa menit, Biola terhenyak, memandangi adiknya yang tampak seperti o
Mata indah milik Biola perlahan terbuka ketika dia bisa merasakan benda lembut agak basah menyentuh ujung bibirnya yang manis. "Hnggg ...."Sambil bergumam pelan, dia mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping. Rasanya nyaman, hangat, aroma tubuh Dion yang khas menyapa indera penciumannya dengan cepat. "Selamat pagi, Tuan Puteri ..."Pagi itu menjadi lebih sempurna ketika sebuah suara yang lembut dan agak dalam menyapa lembut telinga Biola. Itu jelas suara Dion."Hm ... pagi, Sayang ..." sapa Biola seraya merenggangkan kedua tangannya yang kaku. Kedua mata almond itu terbuka, dilihatnya wajah tampan Dion begitu dekat dengannya, hanya berjarak sekitar lima senti saja darinya. Pria berkulit putih pucat itu tersenyum lebar dengan mata yang agak bengkak. Meski sejak dua bulan lalu memutuskan tinggal bersama dan membuat keduanya selalu bertemu setiap hari, rasanya Biola tak pernah bosan menatap wajah tampan kekasihnya itu. Masih bisa dia ingat jelas, bagaimana pertemuan mereka sekita
Kulitnya yang sawo matang terlihat sehat, hidungnya mancung dengan mata besar yang berbinar. Untuk ukuran pemuda berusia dua puluh tiga tahun, tubuhnya terbilang cukup tinggi, Biola hanya selehernya saja.Semua pendapat yang dominan memuji itu terus mengisi kepala Biola sejak pertama kali dia bertemu mata dengan Marko, Asisten Kepala Toko Buku yang baru. *** "Hari ini ada suplai baru dari pusat, tolong di-cek ya apa semuanya udah benar," perintah Biola berusaha terlihat biasa saja.Alih-alih menyahut dengan jelas dan lantang, Marko justru mengumbar senyum yang tampak nakal, membuat Biola bergidik ngeri. Apa maksud tatapan bocah ini? batin Biola kebingungan."Kenapa kamu ngeliatin saya kayak gitu?!" tanya Biola terus terang, mulai terusik."Ah, maaf." Marko malah memberi respons setengah hati sambil tertawa kecil, membuat hati Biola justru tambah jengkel. "Saya terlalu fokus ngeliat muka Kakak makanya saya jadi nggak fokus sama apa yang Kakak bilang."Biola melongo, baru kali ini di
"Jadi, Asisten Kepala Toko yang baru itu laki-laki atau perempuan?"Pertanyaan tepat sasaran itu langsung menyapa telinga Biola ketika dia baru memginjakkan kaki di apartemen Dion. Dihelanya napas panjang. Kekasihnya yang satu ini memang paling tidak bisa menunda jika ada hal yang mengganjal hatinya.Mencoba santai dan tetap bersikap setenang mungkin, Biola membuka jaketnya terlebih dahulu lalu ikut duduk bersama Dion di sofa berwarna abu-abu di depan Televisi yang tengah memutar siaran berita malam."Kamu kenapa sih? Cemas banget! Mau dia laki-laki atau perempuan, itu nggak penting banget kok!" Dia usap manja lengan Dion yang sudah merangkulnya dengan posesif. "Aku mandi aja dulu kali, ya ... nanti kita cerita lagi."Baru saja Biola mengangkat pantatnya dari sofa abu-abu itu, tangan besar Dion terjulur meraih pergelangan tangan kirinya. Biola agak tersentak saat Dion menariknya, lalu memaksanya untuk duduk kembali, kini bahkan duduk di atas pangkuan Dion. Kedua tangan Dion memeluk p
Sudah hampir lima menit lamanya Biola melongo menatap Viona yang kini duduk manis di hadapannya dengan muka takjub campur canggung. Bagaimana tidak? Tak satu pun orang di keluarganya mengetahui soal Biola yang tinggal satu atap dengan Dion. Selama ini dia mengaku tinggal di indekos seorang diri saja. Lantas, dari mana Viona tahu? Dan mengapa dia datang?"Kamu ..." Biola bersuara ketika Viona meneguk ice lemon yang baru disuguhkan kepadanya, sesekali diliriknya Dion yang duduk kikuk di ujung sofa, diam tak berkutik. "Kamu tau dari mana kalau Kakak tinggal di sini? Ibu tau kamu ke sini?" tanya Biola ragu-ragu.Viona dengan santainya menggeleng. "Aku lagi bete sama Ibu!""Ya ... kamu mungkin lagi bete sama Ibu ... tapi--""Tenang aja, Kak. Aku udah lama tau, kok," sambar Viona dengan entengnya.Biola melongo lagi. "Iya, aku udah tau kok kalau Kakak nggak nge-kos selama ini, cuma aku diam-diam aja, pura-pura nggak tau." Viona nyengir kuda. "Lagian kenapa juga Kakak harus nutup-nutupin? S
Terdengar langkah berderap dari arah punggung Biola ketika dia hendak masuk ke dalam lift, namun dia memilih untuk tidak acuh saja. Ketika pintu lift terbuka, dan Biola masuk, seseorang ikut masuk dengan agak tergesa-gesa di sampingnya.Aroma parfum maskulin dengan sedikit aroma manis menguar menyapa indera penciuman Biola dan dia segera tahu siapa orang yang kini berada satu lift bersamanya, Marko. "Kak Biola mau ke kafetaria, kan? Kita break sama-sama aja, ganti yang kemarin," ujar Marko seenaknya sendiri.Sebetulnya Biola ingin tak acuh saja, tapi ucapan Marko kali ini tidak bisa dia abaikan begitu saja. "Kamu ini udah kayak hantu aja ..." gerutunya pelan secara spontan."Saya ini kan asisten Kakak, artinya saya harus berada di dekat Kakak terus." Marko tersenyum jahil, membuat Biola ingin segera melarikan diri dari sana.Walau sesungguhnya Biola ingin meninggalkan Marko lagi seperti semalam, tapi gejolak lapar yang menyerang perutnya terlalu sulit untuk dia tepis. Apa boleh buat
Kepala Viona celingak-celinguk memperhatikan sekeliling halaman tempat dirinya tengah menunggu Biola keluar dari toko buku. "Harusnya jam segini Kak Biola udah balik," bisik Viona berdesis pada dirinya sendiri. Ketika dia tengah menghadap sebuah pohon besar di dekat halaman parkir, matanya menangkap sesosok yang dia kenali. Matanya terbelalak, bibirnya setengah terbuka. Setelah kembali pada kesadarannya, Viona bergegas setengah berlari ke arah sosok yang dia kenali itu. "Marko?!" panggil Viona agak memekik.Marko yang tampak bersiap untuk menyalakan sepeda motornya menoleh ke arah sumber suara. Cahaya senja yang jatuh tepat pada wajah cantik Viona sempat membuatnya mengernyitkan kening."Siapa ...?""Viona! Viona!" seru Viona sambil menunjuk mukanya sendiri. "Masa sih kamu nggak ingat aku?! Teman SMA kamu! Viona!"Wajah Marko yang sebelumnya agak redup seketika berubah cerah."Eh?! Viona?! Kamu ... kok ada di sini?!" seru Marko tak percaya."Iya ... aku lagi nunggu kakak aku yang k
Ketika Viona tahu soal rencana pernikahan Biola dan Marko, gadis itu menjerit histeris, murka luar biasa. Dengan membabi buta, Viona mengambil vas bunga yang berada di dekat lemari TV kemudian melemparkannya sampai pecah di dinding. Sontak Biola terperangah."Viona! Kamu tau kan kalau Dion udah cukup berbaik hati mau ngasih kita waktu tinggal di sini sampe Kakak dapat kos yang murah, jangan kamu malah ngulah, bisa-bisa kita diusir!!" bentak Biola berang."Kakak egois!! Aku nggak peduli! Sekalian ini rumah aku bakar juga aku nggak bakal peduli, kok!" "Kakak yang kamu sebut egois?!! Kamu yang egois, kamu kenapa nggak terima kalau Kakak bakal nikah sama Marko? Kamu pikirin gimana nasib janin yang lagi Kakak kandung sekarang, ini emang anak Marko, Viona!"Mendengar Biola menegaskan hubungannya dengan Marko justru membuat hati Viona kian geram dan panas. "Aku nggak mau dengar!! Aku nggak mau tau soal itu!!"Selama beberapa menit, Biola terhenyak, memandangi adiknya yang tampak seperti o
Marko menyeret langkah gontai keluar dari ruang rawat inap tempat ibunya terbaring, kondisi sang ibu memang kian lemah, menambah rasa sesal yang menyesaki hatinya, namun tak ada yang bisa dia perbuat. Belum lagi saat ini dirinya tengah dijauhi oleh keluarga bahkan adiknya sendiri, dia tak tahu harus pergi ke mana di saat seperti ini. Bahkan sekadar datang ke Toko Buku untuk bekerja saja rasanya sangat canggung baginya, kakinya terasa berat untuk melangkah ke sana.Mata Marko terbelalak begitu kakinya menapak di teras rumah sakit. Sesosok yang tak asing muncul di hadapannya, secara tak terduga. "Bi ... Biola?" desis Marko seraya mendekat. "Kak Biola kok ada di sini? Nyari aku?"Biola mengerling tajam, "Nggak usah kepedean deh, aku baru aja dari poli kandungan!" jawab Biola ketus. Seketika mata Marko berbinar mendengar jawaban Biola, "Habis cek kandungan? Apa kata Dokter? Apa janinnya baik-baik aja?" tanya Marko antusias. "Apa urusannya sama kamu? Kamu urus aja diri kamu sendiri!" pu
"Aku nggak nyangka kalau kamu sebrengsek ini, Dion!!" teriak Biola begitu dia dan Dion kembali ke apartemen. Tanpa terlihat merasa bersalah, Dion malah balas berkata, "Aku? Aku yang kamu sebut brengsek? Kamu nggak mau ngaca dulu gitu? Masih nggak punya malu kamu?"Dengan mata yang telah membendung air, Biola menggigit bibir bawahnya dengan pilu. "Aku tau aku salah ... tapi apa perlu kamu sejauh ini, Dion? Perlu kamu sampe harus ngancurin kebahagiaan orang lain? Pernikahan mereka batal! Apa lagi Ibu Marko lagi sakit keras gitu, kalau tadi tiba-tiba dia pingsan, tiba-tiba dia kena serangan jantung atau apa pun itu, kamu siap tanggung jawab?!!" "Halah ... nggak usah sok ngalihin topik deh kamu! Intinya, kamu emang hamil anak si bajingan itu, kan?!!" teriak Dion berang, matanya yang tajam tampak berkilat-kilat. Tangan Biola sudah terkepal di sisi gaunnya, rasanya dia ingin sekali mengelak, ingin memukul Dion dengan keras, marah, tapi nyatanya, semua itu memang benar, kini dia memang te
Suasana yang tadinya sakral seketika berubah ricuh, mulai terdengar suara bisik-bisik dari segala arah, mata para tamu silih berganti mengarah pada Dion lalu beralih kepada Marko.Plak!!!Suasana kacau itu tak bisa menjadi lebih buruk saat satu tamparan keras dilayangkan Biola tepat di pipi Dion. Semua terpana kembali. Air mata Biola sudah membendung hebat di pelupuk matanya, dia tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar dari mulut Dion. "Dion ..." lirih Biola pedih.Rahang Dion mengeras, matanya berkilat-kilat, tak terlihat sedikit pun rasa bersalah, hanya tersisa rasa muak, benci, amarah."Apa-apaan ini?! Apa maksudnya ini semua?!" pekik Dinda panik, ditatapnya Marko dengan muka tak percaya. "Please Ko ... please kasih tau aku kalau semua ini nggak benar, ini semua bohong!" teriak Dinda memohon. Alih-alih memberi jawaban tegas, sikap diam Marko justru menimbulkan kecurigaan yang lebih besar. Mata Marko nanar, kemudian sorot matanya meredup, Dinda langsung mengerti apa sebe
Sejak semalam Dinda tak bisa memejamkan matanya barang sejenak, hatinya gundah gulana tak tentu arah saking antusiasnya dia memikirkan tentang pernikahannya dengan Marko yang akan berlangsung hari ini. Wajah gadis cantik itu berseri dari ujung kuping kiri ke kuping kanan, senyum lebar tak bisa pudar dari paras indahnya. Bayangan soal pernikahan impian sudah terbayang begitu jelas dan jernih di benaknya. Sebentar lagi semua itu akan terwujud. Sebaliknya, Marko justru tak bersemangat sama sekali. Dia terus mengumpati dirinya sendiri, marah karena merasa tak punya cukup keberanian untuk menghentikan semuanya sebelum terlambat. Kegundahan yang sama pun melanda Biola pula, dia tak tahu harus pergi atau tidak ke pesta pernikahan Marko. "Kak Biola tau kan kalau hari ini Marko nikah?"Suara Viona memecah lamunan Biola, namun Biola lekas bersikap biasa saja. Gadis itu masih pura-pura asyik menonton televisi meski pikirannya sama sekali tidak berada di sana. "Hm ... tau, kenapa?" Biola bal
Keringat dingin sudah membanjiri muka serta punggung Biola, sedangkan mulutnya kaku, lidahnya kelu, dia tak tahu harus berkata apa, dan entah bagaimana juga Dion bisa tahu soal dirinya dan Marko. "Dion ..." Hanya kata-kata lirih yang bisa meluncur dari bibir pucat Biola. Dengan mata berkaca-kaca, Biola mengangkat kedua tangannya, hendak memegang lengan Dion, berusaha untuk membujuk kekasihnya itu, namun Dion tampak tak bergeming, amarah masih menguasai akal sehatnya. "Kenapa? Kok diam?" tanya Dion dingin. "Apa yang aku omongin betul, kan? Kamu sekarang bingung cara ngebantahnya? Hm?" "Sayang ... aku ..." Biola terbata-bata. "Jangan panggil aku 'sayang'!!!" teriak Dion tambah murka. "Jangan berani-berani kamu mau membujuk aku pake muka kotor kamu itu!!" bentak Dion kasar. "Aku ...""Jawab aku!! Anak siapa yang kamu kandung itu?! Anak siapa?!!" bentak Dion.Kedua tangan Dion mencengkeram kuat kedua lengan Biola, rahangnya lebih mengeras lagi. "Jawab aku, Biola ... jangan bikin ak
"Masih nggak percaya loh aku ..."Akhirnya, setelah sama-sama kompak membisu nyaris setengah jam, Dinda membuka mulutnya juga. Perhatian Dion, Biola, dan Marko langsung beralih pula kepada gadis itu, menunggu apa yang akan dia ucapkan. "Iya," lanjut Dinda, "bisa-bisanya pacar Bang Dion ternyata atasan dari pacar aku juga, kayak ... ini tuh entah kebetulan atau apa ya, dan lagian juga, kita sama-sama punya rencana menikah di waktu yang berdekatan kayak gini.""Kalau itu mungkin cuma kebetulan aja, karena kami nikah karena Biola sudah hamil sekarang."Tanpa ada ragu, tanpa rasa malu Dion mengungkap soal kehamilan Biola yang langsung membuat satu meja terpana tak percaya. "Dion!" bisik Biola, memberi isyarat agar Dion menutup mulutnya. "Hah? Kak Biola hamil?" tanya Dinda dengan muka terkejut."Dion ... kamu apa-apaan sih?" protes Biola, mukanya sudah mengeras sejak tadi. Bukannya meminta maaf atau menyadari kesalahannya, Dion malah menarik tangan Biola kemudian mengecup punggung tang
"Kamu kenapa, Ko?"Tubuh Marko tersentak ketika tangan mungil milik Dinda menyentuh pundaknya, sedang suaranya yang lembut menyapa indera pendengaran Marko yang sejak tadi berdiri melamun di balkon rumah sakit. "Nggak ada ... nggak apa-apa," jawab Marko sekenanya, meski sebetulnya sudah beberapa hari ini pikirannya diisi oleh keberadaan Biola saja, serta kabar tentang kehamilannya, Marko masih bersikeras dalam hatinya bahwa janin yang tengah dikandung oleh Biola adalah darah dagingnya. Hanya saja, dia belum bisa membuktikan kebenaran akan hal itu. "Omong-omong, hari ini kita mau fitting pakaian pengantin, loh! Kamu ingat, kan? Kita berangkat sekarang?" tanya Dinda.Marko menghela napas. Dirinya dihempas lagi pada kenyataan. "Hm, ayo ..."*** Sejak kejadian tempo hari di office toko buku, sikap Dion bertambah-tambah dingin saja kepada Biola, namun mulutnya tetap bungkam, tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Bagi Biola, Dion diam tanpa sebab. Bahkan sampai hari ini, di mana mere
Setelah beberapa waktu lalu Biola dikejutkan dengan surat undangan pernikahan Marko, hari ini malah sebaliknya, Marko yang amat terkejut saat mendapati meja kerjanya telah diisi sebuah surat undangan, lebih tepatnya surat undangan pernikahan Biola. Mata Marko menatap surat undangan itu dengan nanar, sekujur tubuhnya mendadak terasa tidak nyaman. Dan tepat saat Marko hendak meraih surat undangan, pintu office terbuka, Biola muncul begitu saja. Keduanya kompak terkejut, saling menatap satu sama lain dengan muka penuh tanda tanya. Biola langsung berbalik, hendak meninggalkan office begitu saja, tapi Marko lekas menyusul, menahan langkah Biola dengan sigap. "Kamu mau nikah juga sekarang?! Kamu sengaja?!" hardik Marko seraya berdiri kaku di depan Biola. Dalam situasi seperti ini, Marko bahkan tidak peduli lagi dengan tata krama maupun sopan santun yang berlaku di kantor."Apaan sih? Penting banget ya kamu mau tau urusan saya?! Lepasin saya! Kamu saya undang aja udah syukur tau nggak k