Ruang rawat inap itu dominan gelap. Pada ranjang pasien, terbaring seorang wanita paruh baya dengan selang infus menancap pada punggung tangannya yang kurus kering keriput. Matanya yang cekung perlahan terbuka ketika pintu ruang rawat inap terbuka. Tampak siluet sesosok bertubuh tinggi. Meski inderanya sudah tidak mampu bekerja sempurna, tapi dia masih bisa mencium aroma parfum sosok tinggi yang baru hadir itu. "Marko ...?" Suaranya yang lemah menyapa."Ya, Bu? Ini Marko." Pintu ruang rawat inap ditutup kembali oleh Marko, lalu dia berjalan ke ranjang pasien tempat ibunya sedang terbaring lemah. "Kenapa Ibu bangun? Tidur aja lagi, apa aku ganggu Ibu?" tanya Marko hati-hati. "Mana mungkin kamu ganggu Ibu, Nak ... malahan Ibu kangen kamu, kamu yang Ibu tunggu-tunggu dari pagi ... akhirnya kamu datang juga, Ko." Meski tampak lelah dan lemah, ibu Marko berusaha memaksa diri untuk tersenyum. Matanya yang sayu menatap puteranya dengan penuh kasih sayang. "Makasih ya, Marko. Maaf ... ma
"Kerjaan apa di tempat kayak gini?" Hal itu menjadi yang pertama kali ditanyakan oleh Viona saat dirinya turun dari mobil Dion. "Jangan langsung berpikir negatif dulu, ini tempat kerjanya dekat sama toko buku tempat Biola kerja, jadi gampang kalian bisa pergi dan pulang bareng." Dion berjalan masuk ke toko bunga itu mendahului Viona.Toko Bunga Daisy, memang berada tidak jauh dari toko buku tempat Biola bekerja. Dan berhubung masih pagi hari, toko bunga itu tampaknya sedang siap-siap untuk buka. "Permisi ..." Dengan santainya Dion membuka pintu kaca toko bunga itu, dan seorang wanita muda segera menyambut mereka."Ya, Mas? Ada yang bisa kami bantu? Tapi maaf sebelumnya, kami belum buka untuk sekarang," sapa karyawan perempuan itu dengan sopan. "Oh, bukan ... kami bukan mau beli bunga, tapi saya mau ketemu sama ownernya, ada?" jawab Dion."Mbak Dinda? Mohon tunggu sebentar ya, Mas."Karyawan perempuan itu naik ke lantai atas, meninggalkan Dion dan Viona berdua saja. Selama menunggu
Nyaris selama sepuluh menit lamanya Marko dan Dinda saling terpaku, terkunci dalam kesenyapan yang sama-sama menyiksa mereka. Udara malam yang berembus lembut meniup ujung rambut Dinda menambah canggung suasana.Marko melepas jaket denim yang dia kenakan lalu memakaikannya di atas pundak Dinda. Lantaran masih kikuk, Dinda hanya mengangguk samar sebagai ucapan terima kasih."Agak dingin di sini, mau duduk di kafe aja? Atau restoran sekalian makan?" tanya Marko memecah keheningan, pada akhirnya. "Iya ... kita duduk di kafe aja kali, ya? Aku tadi udah makan, aku mau minum kopi aja, biar badan agak hangat sedikit."Marko mengangguk cepat, lantas menyalakan sepeda motornya. Dinda masuk lagi ke dalam mobilnya, mengekor sepeda motor Marko yang sudah lebih dulu meninggalkan taman di dekat toko bunga tempat mereka tadi bertemu.*** Suasana yang tadi amat canggung dan beku perlahan mencair juga setelah Marko dan Dinda menyesap segelas kopi hangat masing-masing. Sebuah kafe indoor yang sudah s
Langit gelap sudah merajai malam. Samar-samar dari kejauhan, cahaya dari rembulan menembus kaca jendela kamar, jatuh di atas tempat tidur Biola dan Dion yang terlihat agak berantakan. Biola baru keluar dari kamar mandi ketika Dion memutuskan untuk membuka balkon, dan berencana untuk menyesap sebatang rokok di sana. Biola bergegas memakai piyama tidurnya, lalu menyusul Dion yang masih berada di balkon. Dengan manja, Biola mendekat kemudian memeluk punggung Dion. "Viona kamu masukin kerja di mana sih?" tanyanya.Dion lebih dulu mengembuskan asap rokoknya sebelum menjawab, "Toko bunga punya keluarga teman aku," jawabnya sekenanya. "Sampe sekarang ibu kami belum nyariin dia, kayaknya udah capek juga sama tingkahnya. Entah sampe kapan dia bakal di sini, aku takut dia ganggu kamu, Yang ... maaf banget ya.""Hei ... jangan ngomong gitu, keluarga kamu kan keluarga aku, adik kamu ya adik aku, santai aja kali, Yang."Biola mencium aroma sisa keringat dari punggung hangat Dion yang lebar. "
Ada yang berbeda hari ini. Tak seperti biasanya, Biola hari ini punya rencana untuk membuat kue ulang tahun. Viona yang melihat gelagat lain dari kakaknya pun lantas menghampiri gadis itu di dapur. "Kakak lagi ngapain? Hari minggu gini tumben udah sibuk aja di dapur," tanya Viona usil.Tanpa beralih dari kegiatannya, Biola menjawab, "Hari ini ulang tahun Dion, kamu pergi aja ya sama temen kamu hari ini. Nonton, kek, ngapain, kek, balik malam aja nggak apa-apa, Kakak mau kasih dia kejutan, mau makan malam berdua nanti, sekarang dia lagi di rumah orang tuanya, ada acara kayaknya, Kakak sengaja nggak ikutan," urai Biola."Giliran kayak gini aja Kakak minta aku di luar ya! Ngusir!" gerutu Viona. "Tapi nggak apa-apa deh, aku juga nggak mau ganggu kegiatan kalian! Tapi ..." Viona nyengir kuda. "Mana uangnya tapi? He he ...""Ish dasar bocah!" Biola mengeluarkan uang seratus ribuan dari saku celananya. "Kamu udah kerja masih aja minta dari Kakak! Apa nggak malu?!""Kan belum gajian juga, Ka
Biola memang bukan tipe gadis yang suka ngambek atau perajuk, dia jarang menciptakan drama dengan Dion. Dalam kesehariannya pun, amat jarang dirinya bertengkar dengan kekasihnya yang satu itu. Jika ada yang mengganjal di hatinya, Biola cenderung untuk membicarakannya secara baik-baik, menyelesaikan masalahnya berdua dengan Dion dengan kepala yang dingin. Namun, justru itulah yang membuat karakter Biola menjadi sangat rumit di mata Dion, sebab kerap menumpuk rasa jengkel di hati, hingga meledak juga di saat yang tak terduga. Seperti hari ini, emosi Biola yang lama menumpuk meledak juga akhirnya, di hari yang sangat tidak pas, yaitu tepat di hari ulang tahun Dion. Seperti lazimnya ketika Biola sedang kesal, gadis itu akan memilih untuk menyendiri dulu selama beberapa waktu, setidaknya sampai dongkol di hatinya berkurang walau hanya sedikit. Tempat yang kini dipilih Biola untuk menenangkan dirinya adalah sebuah jembatan penyeberangan atau JPO yang berada tidak jauh dari area apartem
"Di sini tempatnya?" tanya Biola sambil mengedarkan pandangan.Sebuah bar kecil di sudut kota dipilih oleh Marko. Bar itu berada pada sebuah gang sempit yang bisa dibilang nyaris tidak memiliki sumber cahaya kecuali sebuah lampu jalan yang terletak di pintu masuk gang tersebut. Bar berpintu satu itu tampak kecil dari luar, tidak tampak mewah, dengan papan nama berlampu warna neon. "Ayo masuk," ajak Marko sambil membukakan pintu untuk Biola. Meski agak canggung, Biola ikut masuk ke dalam bar. Bar itu terlihat remang, sepi, hanya terlihat beberapa pengunjung saja yang sedang memesan minuman maupun camilan. "Yo, Marko! Lama nggak ke sini lu!" sapa sang pemilik bar yang tampaknya sudah mengenal baik Marko. "Iya ... lagi agak sibuk akhir-akhir ini, Bang," jawab Marko seadanya. "Satu bir ya! Kayak biasa!" Dia beralih kepada Biola. "Kak Biola mau minum apa?" tanyanya. "Vodka!" jawab Biola seenaknya.Seketika Marko dan sang pemilik bar saling berpandangan dengan terheran-heran, terlebih
Pada meja di sudut bar itu, di bawah sinar lampu yang tampak remang-remang, bibir Biola dan Marko saling bertaut erat, bahkan kini jauh lebih berani ketimbang sebelumnya. Tangan kanan Marko yang besar sudah berada di belakang kepala Biola, menahan agar kepala gadis itu tidak menjauh darinya, sementara kedua tangan Biola memegang kedua lengan Marko tak kalah kuatnya, meremas lengan kemeja pemuda itu dengan berani. Ketika Marko melepas ciuman mereka yang panas, dia menatap mata Biola yang sudah menatapnya sayu. Mata itu menuntut lebih, mata itu jelas menginginkan sesuatu. Marko sekuat tenaga melawan hasratnya sendiri, dia tak ingin menuruti mata Biola. Pelan tapi pasti Marko menjauhkan dirinya. Ini salah, pikirnya. Dia tak bisa mengikuti naluri gilanya begitu saja, hal itu jelas akan sangat berbahaya, baik baginya maupun bagi Biola. Dia tak yakin apakah setelah malam ini dia masih bisa menatap mata Biola keesokan harinya, terutama di tempat kerja. Sebelum Marko benar-benar menjauh,
Ketika Viona tahu soal rencana pernikahan Biola dan Marko, gadis itu menjerit histeris, murka luar biasa. Dengan membabi buta, Viona mengambil vas bunga yang berada di dekat lemari TV kemudian melemparkannya sampai pecah di dinding. Sontak Biola terperangah."Viona! Kamu tau kan kalau Dion udah cukup berbaik hati mau ngasih kita waktu tinggal di sini sampe Kakak dapat kos yang murah, jangan kamu malah ngulah, bisa-bisa kita diusir!!" bentak Biola berang."Kakak egois!! Aku nggak peduli! Sekalian ini rumah aku bakar juga aku nggak bakal peduli, kok!" "Kakak yang kamu sebut egois?!! Kamu yang egois, kamu kenapa nggak terima kalau Kakak bakal nikah sama Marko? Kamu pikirin gimana nasib janin yang lagi Kakak kandung sekarang, ini emang anak Marko, Viona!"Mendengar Biola menegaskan hubungannya dengan Marko justru membuat hati Viona kian geram dan panas. "Aku nggak mau dengar!! Aku nggak mau tau soal itu!!"Selama beberapa menit, Biola terhenyak, memandangi adiknya yang tampak seperti o
Marko menyeret langkah gontai keluar dari ruang rawat inap tempat ibunya terbaring, kondisi sang ibu memang kian lemah, menambah rasa sesal yang menyesaki hatinya, namun tak ada yang bisa dia perbuat. Belum lagi saat ini dirinya tengah dijauhi oleh keluarga bahkan adiknya sendiri, dia tak tahu harus pergi ke mana di saat seperti ini. Bahkan sekadar datang ke Toko Buku untuk bekerja saja rasanya sangat canggung baginya, kakinya terasa berat untuk melangkah ke sana.Mata Marko terbelalak begitu kakinya menapak di teras rumah sakit. Sesosok yang tak asing muncul di hadapannya, secara tak terduga. "Bi ... Biola?" desis Marko seraya mendekat. "Kak Biola kok ada di sini? Nyari aku?"Biola mengerling tajam, "Nggak usah kepedean deh, aku baru aja dari poli kandungan!" jawab Biola ketus. Seketika mata Marko berbinar mendengar jawaban Biola, "Habis cek kandungan? Apa kata Dokter? Apa janinnya baik-baik aja?" tanya Marko antusias. "Apa urusannya sama kamu? Kamu urus aja diri kamu sendiri!" pu
"Aku nggak nyangka kalau kamu sebrengsek ini, Dion!!" teriak Biola begitu dia dan Dion kembali ke apartemen. Tanpa terlihat merasa bersalah, Dion malah balas berkata, "Aku? Aku yang kamu sebut brengsek? Kamu nggak mau ngaca dulu gitu? Masih nggak punya malu kamu?"Dengan mata yang telah membendung air, Biola menggigit bibir bawahnya dengan pilu. "Aku tau aku salah ... tapi apa perlu kamu sejauh ini, Dion? Perlu kamu sampe harus ngancurin kebahagiaan orang lain? Pernikahan mereka batal! Apa lagi Ibu Marko lagi sakit keras gitu, kalau tadi tiba-tiba dia pingsan, tiba-tiba dia kena serangan jantung atau apa pun itu, kamu siap tanggung jawab?!!" "Halah ... nggak usah sok ngalihin topik deh kamu! Intinya, kamu emang hamil anak si bajingan itu, kan?!!" teriak Dion berang, matanya yang tajam tampak berkilat-kilat. Tangan Biola sudah terkepal di sisi gaunnya, rasanya dia ingin sekali mengelak, ingin memukul Dion dengan keras, marah, tapi nyatanya, semua itu memang benar, kini dia memang te
Suasana yang tadinya sakral seketika berubah ricuh, mulai terdengar suara bisik-bisik dari segala arah, mata para tamu silih berganti mengarah pada Dion lalu beralih kepada Marko.Plak!!!Suasana kacau itu tak bisa menjadi lebih buruk saat satu tamparan keras dilayangkan Biola tepat di pipi Dion. Semua terpana kembali. Air mata Biola sudah membendung hebat di pelupuk matanya, dia tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar dari mulut Dion. "Dion ..." lirih Biola pedih.Rahang Dion mengeras, matanya berkilat-kilat, tak terlihat sedikit pun rasa bersalah, hanya tersisa rasa muak, benci, amarah."Apa-apaan ini?! Apa maksudnya ini semua?!" pekik Dinda panik, ditatapnya Marko dengan muka tak percaya. "Please Ko ... please kasih tau aku kalau semua ini nggak benar, ini semua bohong!" teriak Dinda memohon. Alih-alih memberi jawaban tegas, sikap diam Marko justru menimbulkan kecurigaan yang lebih besar. Mata Marko nanar, kemudian sorot matanya meredup, Dinda langsung mengerti apa sebe
Sejak semalam Dinda tak bisa memejamkan matanya barang sejenak, hatinya gundah gulana tak tentu arah saking antusiasnya dia memikirkan tentang pernikahannya dengan Marko yang akan berlangsung hari ini. Wajah gadis cantik itu berseri dari ujung kuping kiri ke kuping kanan, senyum lebar tak bisa pudar dari paras indahnya. Bayangan soal pernikahan impian sudah terbayang begitu jelas dan jernih di benaknya. Sebentar lagi semua itu akan terwujud. Sebaliknya, Marko justru tak bersemangat sama sekali. Dia terus mengumpati dirinya sendiri, marah karena merasa tak punya cukup keberanian untuk menghentikan semuanya sebelum terlambat. Kegundahan yang sama pun melanda Biola pula, dia tak tahu harus pergi atau tidak ke pesta pernikahan Marko. "Kak Biola tau kan kalau hari ini Marko nikah?"Suara Viona memecah lamunan Biola, namun Biola lekas bersikap biasa saja. Gadis itu masih pura-pura asyik menonton televisi meski pikirannya sama sekali tidak berada di sana. "Hm ... tau, kenapa?" Biola bal
Keringat dingin sudah membanjiri muka serta punggung Biola, sedangkan mulutnya kaku, lidahnya kelu, dia tak tahu harus berkata apa, dan entah bagaimana juga Dion bisa tahu soal dirinya dan Marko. "Dion ..." Hanya kata-kata lirih yang bisa meluncur dari bibir pucat Biola. Dengan mata berkaca-kaca, Biola mengangkat kedua tangannya, hendak memegang lengan Dion, berusaha untuk membujuk kekasihnya itu, namun Dion tampak tak bergeming, amarah masih menguasai akal sehatnya. "Kenapa? Kok diam?" tanya Dion dingin. "Apa yang aku omongin betul, kan? Kamu sekarang bingung cara ngebantahnya? Hm?" "Sayang ... aku ..." Biola terbata-bata. "Jangan panggil aku 'sayang'!!!" teriak Dion tambah murka. "Jangan berani-berani kamu mau membujuk aku pake muka kotor kamu itu!!" bentak Dion kasar. "Aku ...""Jawab aku!! Anak siapa yang kamu kandung itu?! Anak siapa?!!" bentak Dion.Kedua tangan Dion mencengkeram kuat kedua lengan Biola, rahangnya lebih mengeras lagi. "Jawab aku, Biola ... jangan bikin ak
"Masih nggak percaya loh aku ..."Akhirnya, setelah sama-sama kompak membisu nyaris setengah jam, Dinda membuka mulutnya juga. Perhatian Dion, Biola, dan Marko langsung beralih pula kepada gadis itu, menunggu apa yang akan dia ucapkan. "Iya," lanjut Dinda, "bisa-bisanya pacar Bang Dion ternyata atasan dari pacar aku juga, kayak ... ini tuh entah kebetulan atau apa ya, dan lagian juga, kita sama-sama punya rencana menikah di waktu yang berdekatan kayak gini.""Kalau itu mungkin cuma kebetulan aja, karena kami nikah karena Biola sudah hamil sekarang."Tanpa ada ragu, tanpa rasa malu Dion mengungkap soal kehamilan Biola yang langsung membuat satu meja terpana tak percaya. "Dion!" bisik Biola, memberi isyarat agar Dion menutup mulutnya. "Hah? Kak Biola hamil?" tanya Dinda dengan muka terkejut."Dion ... kamu apa-apaan sih?" protes Biola, mukanya sudah mengeras sejak tadi. Bukannya meminta maaf atau menyadari kesalahannya, Dion malah menarik tangan Biola kemudian mengecup punggung tang
"Kamu kenapa, Ko?"Tubuh Marko tersentak ketika tangan mungil milik Dinda menyentuh pundaknya, sedang suaranya yang lembut menyapa indera pendengaran Marko yang sejak tadi berdiri melamun di balkon rumah sakit. "Nggak ada ... nggak apa-apa," jawab Marko sekenanya, meski sebetulnya sudah beberapa hari ini pikirannya diisi oleh keberadaan Biola saja, serta kabar tentang kehamilannya, Marko masih bersikeras dalam hatinya bahwa janin yang tengah dikandung oleh Biola adalah darah dagingnya. Hanya saja, dia belum bisa membuktikan kebenaran akan hal itu. "Omong-omong, hari ini kita mau fitting pakaian pengantin, loh! Kamu ingat, kan? Kita berangkat sekarang?" tanya Dinda.Marko menghela napas. Dirinya dihempas lagi pada kenyataan. "Hm, ayo ..."*** Sejak kejadian tempo hari di office toko buku, sikap Dion bertambah-tambah dingin saja kepada Biola, namun mulutnya tetap bungkam, tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Bagi Biola, Dion diam tanpa sebab. Bahkan sampai hari ini, di mana mere
Setelah beberapa waktu lalu Biola dikejutkan dengan surat undangan pernikahan Marko, hari ini malah sebaliknya, Marko yang amat terkejut saat mendapati meja kerjanya telah diisi sebuah surat undangan, lebih tepatnya surat undangan pernikahan Biola. Mata Marko menatap surat undangan itu dengan nanar, sekujur tubuhnya mendadak terasa tidak nyaman. Dan tepat saat Marko hendak meraih surat undangan, pintu office terbuka, Biola muncul begitu saja. Keduanya kompak terkejut, saling menatap satu sama lain dengan muka penuh tanda tanya. Biola langsung berbalik, hendak meninggalkan office begitu saja, tapi Marko lekas menyusul, menahan langkah Biola dengan sigap. "Kamu mau nikah juga sekarang?! Kamu sengaja?!" hardik Marko seraya berdiri kaku di depan Biola. Dalam situasi seperti ini, Marko bahkan tidak peduli lagi dengan tata krama maupun sopan santun yang berlaku di kantor."Apaan sih? Penting banget ya kamu mau tau urusan saya?! Lepasin saya! Kamu saya undang aja udah syukur tau nggak k