Biola memang bukan tipe gadis yang suka ngambek atau perajuk, dia jarang menciptakan drama dengan Dion. Dalam kesehariannya pun, amat jarang dirinya bertengkar dengan kekasihnya yang satu itu. Jika ada yang mengganjal di hatinya, Biola cenderung untuk membicarakannya secara baik-baik, menyelesaikan masalahnya berdua dengan Dion dengan kepala yang dingin. Namun, justru itulah yang membuat karakter Biola menjadi sangat rumit di mata Dion, sebab kerap menumpuk rasa jengkel di hati, hingga meledak juga di saat yang tak terduga. Seperti hari ini, emosi Biola yang lama menumpuk meledak juga akhirnya, di hari yang sangat tidak pas, yaitu tepat di hari ulang tahun Dion. Seperti lazimnya ketika Biola sedang kesal, gadis itu akan memilih untuk menyendiri dulu selama beberapa waktu, setidaknya sampai dongkol di hatinya berkurang walau hanya sedikit. Tempat yang kini dipilih Biola untuk menenangkan dirinya adalah sebuah jembatan penyeberangan atau JPO yang berada tidak jauh dari area apartem
"Di sini tempatnya?" tanya Biola sambil mengedarkan pandangan.Sebuah bar kecil di sudut kota dipilih oleh Marko. Bar itu berada pada sebuah gang sempit yang bisa dibilang nyaris tidak memiliki sumber cahaya kecuali sebuah lampu jalan yang terletak di pintu masuk gang tersebut. Bar berpintu satu itu tampak kecil dari luar, tidak tampak mewah, dengan papan nama berlampu warna neon. "Ayo masuk," ajak Marko sambil membukakan pintu untuk Biola. Meski agak canggung, Biola ikut masuk ke dalam bar. Bar itu terlihat remang, sepi, hanya terlihat beberapa pengunjung saja yang sedang memesan minuman maupun camilan. "Yo, Marko! Lama nggak ke sini lu!" sapa sang pemilik bar yang tampaknya sudah mengenal baik Marko. "Iya ... lagi agak sibuk akhir-akhir ini, Bang," jawab Marko seadanya. "Satu bir ya! Kayak biasa!" Dia beralih kepada Biola. "Kak Biola mau minum apa?" tanyanya. "Vodka!" jawab Biola seenaknya.Seketika Marko dan sang pemilik bar saling berpandangan dengan terheran-heran, terlebih
Pada meja di sudut bar itu, di bawah sinar lampu yang tampak remang-remang, bibir Biola dan Marko saling bertaut erat, bahkan kini jauh lebih berani ketimbang sebelumnya. Tangan kanan Marko yang besar sudah berada di belakang kepala Biola, menahan agar kepala gadis itu tidak menjauh darinya, sementara kedua tangan Biola memegang kedua lengan Marko tak kalah kuatnya, meremas lengan kemeja pemuda itu dengan berani. Ketika Marko melepas ciuman mereka yang panas, dia menatap mata Biola yang sudah menatapnya sayu. Mata itu menuntut lebih, mata itu jelas menginginkan sesuatu. Marko sekuat tenaga melawan hasratnya sendiri, dia tak ingin menuruti mata Biola. Pelan tapi pasti Marko menjauhkan dirinya. Ini salah, pikirnya. Dia tak bisa mengikuti naluri gilanya begitu saja, hal itu jelas akan sangat berbahaya, baik baginya maupun bagi Biola. Dia tak yakin apakah setelah malam ini dia masih bisa menatap mata Biola keesokan harinya, terutama di tempat kerja. Sebelum Marko benar-benar menjauh,
Cahaya matahari pagi menembus kaca jendela motel, dan jatuh tepat di atas muka Biola, memaksa gadis itu untuk membuka matanya yang sedari tadi terpejam. Jauh dari dugaannya, yang pertama dia temukan di sampingnya justru sosok Marko, dalam posisi masih terlelap dalam dunia mimpinya. Wajah pemuda itu tampak tenang, damai, tarikan napasnya terlihat cukup stabil. Selama beberapa detik Biola terdiam pula, kesulitan mencerna informasi yang ada di hadapannya, namun tiba-tiba saja dia berteriak histeris, "Argh ...!!!"Teriakan kencang itu mengejutkan Marko, memaksanya untuk detik itu juga membuka mata. Marko mengerjap sedetik, menatap Biola tak kalah kagetnya dengan mata yang masih membengkak. "Hng?" gumam Marko kebingungan. Sadar bahwa Marko tengah memandanginya, Biola menarik selimutnya sampai menutupi dada. Di bawah selimut yang menutupi tubuhnya, Biola tak memakai sehelai kain pun, dan semalaman dirinya tidur dalam kondisi seperti ini di hadapan Marko? Tunggu dulu!Apa yang terjadi k
Satu menit sudah berlalu sejak Marko mengungkap perasaannya di hadapan Biola. Biola masih membeku, pikirannya gamang, matanya mengerjap beberapa kali. "Ya, saya emang dari awal udah suka sama Kakak," aku Marko lagi, mempertegas ucapannya tadi. Setelah kesadarannya kembali, Biola melayangkan satu pukulan keras di lengan atas Marko. "Jadi karena itu kamu udah ngincar hari ini?! Itu yang kamu cari?! Ini yang kamu tunggu-tunggu, ya?! Sialan! Jahat kamu! Kamu kenapa egois sih?!" teriak Biola tak terima. "Bukan! Sama sekali bukan gitu, Kak! tolong jangan salah paham kayak gini, nggak mungkin saya punya niat buruk sama Kakak!" sanggah Marko. "Yang semalam ... yang semalam terjadi ..." Suara Marko mengecil, membuat Biola tambah bingung. "Terus?!""Apa Kak BIola nggak ngerasain? Kak Biola betul-betul nggak ngeh, ya?" tanya Marko pelan, matanya menatap ke dalam mata Biola dengan sendu, berharap perasaannya dapat tersampaikan dengan tepat. Kening Biola mengerut, tak paham apa maksud Marko.
Dunia di sekitar Biola serasa menyempit, mencekik dirinya seiring Dion mendekat lebih lagi hingga tak ada lagi jarak di antara mereka. "Hm? Kamu masih nggak mau bilang iya atau enggak?" ancam Dion mengintimidasi. "Kamu salah paham, Sayang ... sumpah aku--"Dion mendekatkan mukanya ke muka Biola, sengaja ingin memastikan sesuatu. "Mulut kamu bau alkohol!"Bhug!Satu pukulan mendarat lagi di muka Biola, membuat gadis itu memekik lebih keras. "Pelacur nggak tau diri!!"Biola merunduk, pasrah menerima pukulan selanjutnya, tapi sebelum hal itu terjadi, terdengar suara pintu apartemen terbuka. Baik Dion maupun Biola kompak mematung, keduanya langsung menoleh ke arah pintu apartemen. Dengan muka kaget, Viona berdiri di ambang pintu. Gadis itu membisu selama beberapa detik sebelum bibirnya terbuka pelan, "Kak ... Kak Biola?" desisnya takut. "Viona ..." lirih Biola, matanya menatap sang adik lekat-lekat, berharap diselamatkan saat itu juga. Menyadari posisi mereka yang mencurigakan, Di
Sudah lebih dari satu menit Biola memegang surat undangan di tangannya dengan perasaan gelisah tak menentu. Sejak peristiwa gila beberapa waktu lalu, hubungannya dengan Dion masih sangat tawar dan dingin, keduanya nyaris belum pernah terlibat dalam percakapan lagi, sama-sama memilih diam. Beberapa malam terakhir ini saja, Dion lebih banyak tidur di sofa di ruang depan ketimbang tidur di kamar bersama Biola.Namun, untuk urusan kali ini tampaknya Biola harus memberanikan diri untuk mengajak Dion bicara. "Dion ..." Biola memanggil pelan.Dion yang tengah menonton TV pura-pura tidak mendengar. "Dion ..."Sekali lagi Biola memanggil. "Hm?" gumam Dion pada akhirnya membalas.Biola mendekat, duduk di samping Dion dengan ragu-ragu. "Gini ..." Biola memberanikan diri untuk membuka mulutnya. "Hm?" Dion menggumam lagi tanpa menoleh sedikit pun. "Ini ..." Biola menyerahkan surat undangan ke hadapan Dion. "Ada undangan pesta ulang tahun perusahaan, akhir bulan ini, artinya awal minggu depan
Saking terlalu pusing memikirkan segala kebetulan yang terjadi, selera makan Biola sampai berkurang drastis. Makanan yang tersaji di hadapannya hanya dia aduk-aduk saja, nyaris tidak bisa dia nikmati, meskipun pesta itu tentu menyediakan segala macam menu yang dapat menggoyang lidah siapa saja.Biola bingung mana yang lebih mengganggu pikirannya, apakah mengetahui gadis yang dimaksud Dion ternyata memang sangat cantik, atau justru karena gadis itu ternyata adalah kekasih Marko? Biola sungguh tak mengerti. Namun, tentu bukan hanya Biola yang terusik pikirannya, Viona pun merasakan hal yang sama. Diam-diam, sejak tadi Viona menatap tajam pada Dinda. Rasa kagumnya sirna seketika, mengapa harus gadis itu yang menjadi rivalnya? Tentu Viona tak akan bisa menyaingi Dinda barang seujung kuku sekalipun, hal itu rasanya mustahil. Beberapa waktu lalu, Viona merasa dewi fortuna berada di dekatnya sebab dia bisa berjumpa kembali dengan Marko, cinta pertamanya di masa SMA, tapi dalam sekejap kebe
Ketika Viona tahu soal rencana pernikahan Biola dan Marko, gadis itu menjerit histeris, murka luar biasa. Dengan membabi buta, Viona mengambil vas bunga yang berada di dekat lemari TV kemudian melemparkannya sampai pecah di dinding. Sontak Biola terperangah."Viona! Kamu tau kan kalau Dion udah cukup berbaik hati mau ngasih kita waktu tinggal di sini sampe Kakak dapat kos yang murah, jangan kamu malah ngulah, bisa-bisa kita diusir!!" bentak Biola berang."Kakak egois!! Aku nggak peduli! Sekalian ini rumah aku bakar juga aku nggak bakal peduli, kok!" "Kakak yang kamu sebut egois?!! Kamu yang egois, kamu kenapa nggak terima kalau Kakak bakal nikah sama Marko? Kamu pikirin gimana nasib janin yang lagi Kakak kandung sekarang, ini emang anak Marko, Viona!"Mendengar Biola menegaskan hubungannya dengan Marko justru membuat hati Viona kian geram dan panas. "Aku nggak mau dengar!! Aku nggak mau tau soal itu!!"Selama beberapa menit, Biola terhenyak, memandangi adiknya yang tampak seperti o
Marko menyeret langkah gontai keluar dari ruang rawat inap tempat ibunya terbaring, kondisi sang ibu memang kian lemah, menambah rasa sesal yang menyesaki hatinya, namun tak ada yang bisa dia perbuat. Belum lagi saat ini dirinya tengah dijauhi oleh keluarga bahkan adiknya sendiri, dia tak tahu harus pergi ke mana di saat seperti ini. Bahkan sekadar datang ke Toko Buku untuk bekerja saja rasanya sangat canggung baginya, kakinya terasa berat untuk melangkah ke sana.Mata Marko terbelalak begitu kakinya menapak di teras rumah sakit. Sesosok yang tak asing muncul di hadapannya, secara tak terduga. "Bi ... Biola?" desis Marko seraya mendekat. "Kak Biola kok ada di sini? Nyari aku?"Biola mengerling tajam, "Nggak usah kepedean deh, aku baru aja dari poli kandungan!" jawab Biola ketus. Seketika mata Marko berbinar mendengar jawaban Biola, "Habis cek kandungan? Apa kata Dokter? Apa janinnya baik-baik aja?" tanya Marko antusias. "Apa urusannya sama kamu? Kamu urus aja diri kamu sendiri!" pu
"Aku nggak nyangka kalau kamu sebrengsek ini, Dion!!" teriak Biola begitu dia dan Dion kembali ke apartemen. Tanpa terlihat merasa bersalah, Dion malah balas berkata, "Aku? Aku yang kamu sebut brengsek? Kamu nggak mau ngaca dulu gitu? Masih nggak punya malu kamu?"Dengan mata yang telah membendung air, Biola menggigit bibir bawahnya dengan pilu. "Aku tau aku salah ... tapi apa perlu kamu sejauh ini, Dion? Perlu kamu sampe harus ngancurin kebahagiaan orang lain? Pernikahan mereka batal! Apa lagi Ibu Marko lagi sakit keras gitu, kalau tadi tiba-tiba dia pingsan, tiba-tiba dia kena serangan jantung atau apa pun itu, kamu siap tanggung jawab?!!" "Halah ... nggak usah sok ngalihin topik deh kamu! Intinya, kamu emang hamil anak si bajingan itu, kan?!!" teriak Dion berang, matanya yang tajam tampak berkilat-kilat. Tangan Biola sudah terkepal di sisi gaunnya, rasanya dia ingin sekali mengelak, ingin memukul Dion dengan keras, marah, tapi nyatanya, semua itu memang benar, kini dia memang te
Suasana yang tadinya sakral seketika berubah ricuh, mulai terdengar suara bisik-bisik dari segala arah, mata para tamu silih berganti mengarah pada Dion lalu beralih kepada Marko.Plak!!!Suasana kacau itu tak bisa menjadi lebih buruk saat satu tamparan keras dilayangkan Biola tepat di pipi Dion. Semua terpana kembali. Air mata Biola sudah membendung hebat di pelupuk matanya, dia tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar dari mulut Dion. "Dion ..." lirih Biola pedih.Rahang Dion mengeras, matanya berkilat-kilat, tak terlihat sedikit pun rasa bersalah, hanya tersisa rasa muak, benci, amarah."Apa-apaan ini?! Apa maksudnya ini semua?!" pekik Dinda panik, ditatapnya Marko dengan muka tak percaya. "Please Ko ... please kasih tau aku kalau semua ini nggak benar, ini semua bohong!" teriak Dinda memohon. Alih-alih memberi jawaban tegas, sikap diam Marko justru menimbulkan kecurigaan yang lebih besar. Mata Marko nanar, kemudian sorot matanya meredup, Dinda langsung mengerti apa sebe
Sejak semalam Dinda tak bisa memejamkan matanya barang sejenak, hatinya gundah gulana tak tentu arah saking antusiasnya dia memikirkan tentang pernikahannya dengan Marko yang akan berlangsung hari ini. Wajah gadis cantik itu berseri dari ujung kuping kiri ke kuping kanan, senyum lebar tak bisa pudar dari paras indahnya. Bayangan soal pernikahan impian sudah terbayang begitu jelas dan jernih di benaknya. Sebentar lagi semua itu akan terwujud. Sebaliknya, Marko justru tak bersemangat sama sekali. Dia terus mengumpati dirinya sendiri, marah karena merasa tak punya cukup keberanian untuk menghentikan semuanya sebelum terlambat. Kegundahan yang sama pun melanda Biola pula, dia tak tahu harus pergi atau tidak ke pesta pernikahan Marko. "Kak Biola tau kan kalau hari ini Marko nikah?"Suara Viona memecah lamunan Biola, namun Biola lekas bersikap biasa saja. Gadis itu masih pura-pura asyik menonton televisi meski pikirannya sama sekali tidak berada di sana. "Hm ... tau, kenapa?" Biola bal
Keringat dingin sudah membanjiri muka serta punggung Biola, sedangkan mulutnya kaku, lidahnya kelu, dia tak tahu harus berkata apa, dan entah bagaimana juga Dion bisa tahu soal dirinya dan Marko. "Dion ..." Hanya kata-kata lirih yang bisa meluncur dari bibir pucat Biola. Dengan mata berkaca-kaca, Biola mengangkat kedua tangannya, hendak memegang lengan Dion, berusaha untuk membujuk kekasihnya itu, namun Dion tampak tak bergeming, amarah masih menguasai akal sehatnya. "Kenapa? Kok diam?" tanya Dion dingin. "Apa yang aku omongin betul, kan? Kamu sekarang bingung cara ngebantahnya? Hm?" "Sayang ... aku ..." Biola terbata-bata. "Jangan panggil aku 'sayang'!!!" teriak Dion tambah murka. "Jangan berani-berani kamu mau membujuk aku pake muka kotor kamu itu!!" bentak Dion kasar. "Aku ...""Jawab aku!! Anak siapa yang kamu kandung itu?! Anak siapa?!!" bentak Dion.Kedua tangan Dion mencengkeram kuat kedua lengan Biola, rahangnya lebih mengeras lagi. "Jawab aku, Biola ... jangan bikin ak
"Masih nggak percaya loh aku ..."Akhirnya, setelah sama-sama kompak membisu nyaris setengah jam, Dinda membuka mulutnya juga. Perhatian Dion, Biola, dan Marko langsung beralih pula kepada gadis itu, menunggu apa yang akan dia ucapkan. "Iya," lanjut Dinda, "bisa-bisanya pacar Bang Dion ternyata atasan dari pacar aku juga, kayak ... ini tuh entah kebetulan atau apa ya, dan lagian juga, kita sama-sama punya rencana menikah di waktu yang berdekatan kayak gini.""Kalau itu mungkin cuma kebetulan aja, karena kami nikah karena Biola sudah hamil sekarang."Tanpa ada ragu, tanpa rasa malu Dion mengungkap soal kehamilan Biola yang langsung membuat satu meja terpana tak percaya. "Dion!" bisik Biola, memberi isyarat agar Dion menutup mulutnya. "Hah? Kak Biola hamil?" tanya Dinda dengan muka terkejut."Dion ... kamu apa-apaan sih?" protes Biola, mukanya sudah mengeras sejak tadi. Bukannya meminta maaf atau menyadari kesalahannya, Dion malah menarik tangan Biola kemudian mengecup punggung tang
"Kamu kenapa, Ko?"Tubuh Marko tersentak ketika tangan mungil milik Dinda menyentuh pundaknya, sedang suaranya yang lembut menyapa indera pendengaran Marko yang sejak tadi berdiri melamun di balkon rumah sakit. "Nggak ada ... nggak apa-apa," jawab Marko sekenanya, meski sebetulnya sudah beberapa hari ini pikirannya diisi oleh keberadaan Biola saja, serta kabar tentang kehamilannya, Marko masih bersikeras dalam hatinya bahwa janin yang tengah dikandung oleh Biola adalah darah dagingnya. Hanya saja, dia belum bisa membuktikan kebenaran akan hal itu. "Omong-omong, hari ini kita mau fitting pakaian pengantin, loh! Kamu ingat, kan? Kita berangkat sekarang?" tanya Dinda.Marko menghela napas. Dirinya dihempas lagi pada kenyataan. "Hm, ayo ..."*** Sejak kejadian tempo hari di office toko buku, sikap Dion bertambah-tambah dingin saja kepada Biola, namun mulutnya tetap bungkam, tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Bagi Biola, Dion diam tanpa sebab. Bahkan sampai hari ini, di mana mere
Setelah beberapa waktu lalu Biola dikejutkan dengan surat undangan pernikahan Marko, hari ini malah sebaliknya, Marko yang amat terkejut saat mendapati meja kerjanya telah diisi sebuah surat undangan, lebih tepatnya surat undangan pernikahan Biola. Mata Marko menatap surat undangan itu dengan nanar, sekujur tubuhnya mendadak terasa tidak nyaman. Dan tepat saat Marko hendak meraih surat undangan, pintu office terbuka, Biola muncul begitu saja. Keduanya kompak terkejut, saling menatap satu sama lain dengan muka penuh tanda tanya. Biola langsung berbalik, hendak meninggalkan office begitu saja, tapi Marko lekas menyusul, menahan langkah Biola dengan sigap. "Kamu mau nikah juga sekarang?! Kamu sengaja?!" hardik Marko seraya berdiri kaku di depan Biola. Dalam situasi seperti ini, Marko bahkan tidak peduli lagi dengan tata krama maupun sopan santun yang berlaku di kantor."Apaan sih? Penting banget ya kamu mau tau urusan saya?! Lepasin saya! Kamu saya undang aja udah syukur tau nggak k