Sudah lebih dari satu menit Biola memegang surat undangan di tangannya dengan perasaan gelisah tak menentu. Sejak peristiwa gila beberapa waktu lalu, hubungannya dengan Dion masih sangat tawar dan dingin, keduanya nyaris belum pernah terlibat dalam percakapan lagi, sama-sama memilih diam. Beberapa malam terakhir ini saja, Dion lebih banyak tidur di sofa di ruang depan ketimbang tidur di kamar bersama Biola.Namun, untuk urusan kali ini tampaknya Biola harus memberanikan diri untuk mengajak Dion bicara. "Dion ..." Biola memanggil pelan.Dion yang tengah menonton TV pura-pura tidak mendengar. "Dion ..."Sekali lagi Biola memanggil. "Hm?" gumam Dion pada akhirnya membalas.Biola mendekat, duduk di samping Dion dengan ragu-ragu. "Gini ..." Biola memberanikan diri untuk membuka mulutnya. "Hm?" Dion menggumam lagi tanpa menoleh sedikit pun. "Ini ..." Biola menyerahkan surat undangan ke hadapan Dion. "Ada undangan pesta ulang tahun perusahaan, akhir bulan ini, artinya awal minggu depan
Saking terlalu pusing memikirkan segala kebetulan yang terjadi, selera makan Biola sampai berkurang drastis. Makanan yang tersaji di hadapannya hanya dia aduk-aduk saja, nyaris tidak bisa dia nikmati, meskipun pesta itu tentu menyediakan segala macam menu yang dapat menggoyang lidah siapa saja.Biola bingung mana yang lebih mengganggu pikirannya, apakah mengetahui gadis yang dimaksud Dion ternyata memang sangat cantik, atau justru karena gadis itu ternyata adalah kekasih Marko? Biola sungguh tak mengerti. Namun, tentu bukan hanya Biola yang terusik pikirannya, Viona pun merasakan hal yang sama. Diam-diam, sejak tadi Viona menatap tajam pada Dinda. Rasa kagumnya sirna seketika, mengapa harus gadis itu yang menjadi rivalnya? Tentu Viona tak akan bisa menyaingi Dinda barang seujung kuku sekalipun, hal itu rasanya mustahil. Beberapa waktu lalu, Viona merasa dewi fortuna berada di dekatnya sebab dia bisa berjumpa kembali dengan Marko, cinta pertamanya di masa SMA, tapi dalam sekejap kebe
"Hah?" ulang Viona meniru Marko. "Aku tanya, kamu ada apaan sama kakak aku? Malam itu ... apa yang terjadi sama kalian? Malam apa yang dia maksud?" Viona terdengar kian berani untuk mengkonfrontasi Marko, langkahnya perlahan mendekat dengan pasti, berdiri tepat di depan Marko. "Aku tanya kamu, Marko!" Suara Viona meninggi. "Apa yang salah sama kamu? Itu bukan urusan kamu, Viona," tegas Marko berlagak cuek, meski hatinya sendiri sudah kacau sejak tadi. "Aku nggak mau memperpanjang apa pun sama kamu, aku masuk dulu--"Marko berniat untuk kembali ke dalam ballroom, tapi Viona menahan pemuda itu dengan cara merentangkan tangannya ke depan dada Marko. "Aku nggak punya urusan apa pun sama kamu, please menyingkir, aku mau masuk," tegas Marko.Suasana di antara keduanya dengan cepat berubah menjadi dingin. Viona tampaknya juga tak akan mudah untuk ditakhlukkan, dia jelas tahu apa yang dia mau. Dan sebelum apa yang dia mau tercapai, dia tak akan gentar tampaknya. "Viona!" Marko meninggika
"Ya! Kamu bilang sendiri, kan? Kalau perasaan aku masih sama kayak dulu, kita bisa coba pacaran, kamu ingat?!" hardik Viona tak gentar. Marko menepuk keningnya sendiri. "Kamu masih megang omongan aku yang waktu itu? Ya ampun, Viona--""Janji tetap janji! Kamu nggak bisa ingkar gitu aja!""Tapi kamu tau sendiri ... aku udah punya pacar sekarang, dan gilanya lagi, pacar aku itu bos kamu sendiri--""Aku nggak peduli! Aku nggak peduli sama sekali! Pokoknya, aku mau nuntut kamu buat nepatin janji kamu! Atau, kalau kamu nggak mau nepatin janji kamu, aku bisa bongkar soal kamu ama Kak Biola!" ancam Viona. "jangan gila kamu, Na!" Marko panik seketika."Iya! Aku emang udah gila! Makanya, pilihan kamu sekarang cuma dua, kamu jadian juga sama aku, atau aku buka semuanya sekalian! Kamu mungkin bakal kehilangan Dinda sama Kak Biola sekaligus! Pilih mana!"Marko menghela napas pasrah. Dia tahu sendiri, seberapa keras kepala Viona, dia masih sama seperti yang dulu. "Oke, aku setuju, tapi ... jang
Pelukan Dinda merayap sampai ke punggung atas Marko. Dengan seduktif, ujung jemari Dinda membelai leher belakang Marko, sementara bibirnya yang mungil meniup telinga Marko, menimbulkan perasaan campur aduk yang amat sulit dijelaskan oleh Marko. Di satu sisi, Marko ingin sekali meninggalkan rumah Dinda begitu saja, melarikan diri dari gadis ini secepat yang dia bisa. Namun di sisi lain, Marko juga memiliki keinginan untuk bertahan di tempatnya sebab sentuhan Dinda mulai membius akal sehatnya. Tanpa ragu-ragu, Dinda mencium daun telinga Marko lalu berbisik lembut, "Aku suka aroma parfum kamu, Sayang."Jantung Marko berdebar kencang, npaasnya mulai sesak. Ketika Dinda mendekatkan wajahnya hendak mencium Marko, Marko sempat menghindar untuk sekian detik. "Kenapa, Yang?" tanya Dinda sambil menatap lekat ke dalam mata Marko. "Nggak, nggak ada," tandas Marko berkilah, kemudian dia sendiri yang menarik Dinda lalu melumat bibir lembut milik si gadis cantik itu.Dinda amat menikmati permain
Matahari sudah tinggi saat mata Marko terbuka, yang pertama dia temukan adalah cahaya silau yang menembus kaca jendela kamar yang besar, tapi kesadaran Marko belum sepenuhnya kembali. "Pagi, Sayang ... aku bikin sarapan sop sayur ama teh hangat loh buat kamu, bangun dong ..." sapa Dinda dengan lembut seraya meletakkan nampan di atas meja lampu di samping tempat tidurnya.Mata Marko mengerjap beberapa kali, lalu tiba-tiba tubuhnya tersentak. "Ini udah jam berapa?!" teriaknya panik.Dinda menjawab tenang, "Hampir jam sembilan sih ... kenapa?"Seperti tersambar gledek, Marko bangkit dari tempat tidurnya. "Ya ampun! Jam sembilan?! Kok kamu nggak bangunin aku, sih?!! Aku telat masuk kerja, Din!" Marko seperti orang kesetanan, bergerak cepat turun dari tempat tidur lalu berlari ke kamar mandi."Maaf ... aku nggak tau kalau hari ini kamu masuk kerja, maaf banget, Yang!""Ya udahlah, aku pinjam kamar mandinya buat mandi, ya!""Tapi seragam kamu--""Nggak apa-apa, aku ada seragam cadangan di
Hari itu tak ada firasat buruk sama sekali saat Marko datang ke tempat kerja seperti biasanya. Hubungannya dengan Biola sudah jauh lebih membaik meski masih terasa canggung yang amat sangat.Sampai lewat tengah hari, tiba-tiba adik kandung Marko, Riko, datang ke toko buku dengan muka pucat panik dan agak tergesa-gesa. "Bang Marko! Di mana Bang Marko?!" tanyanya pada salah satu karyawan. "Maaf, adik ini siapa, ya? Ada urusan apa sama Pak Marko?" Kasir yang dia tanyai bertanya balik pula."Saya harus ketemu Marko sekarang!"Karena menimbulkan suara yang agak berisik, percakapan mereka cukup menyedot perhatian, menarik perhatian Biola yang kebetulan melintas pula di dekat meja kassa."Siapa, ya? Ada urusan apa?" tanya Biola ramah.Ketika Riko berbalik badan, Biola langsung sadar orang ini adalah saudara Marko sebab wajah keduanya amat mirip. "Maaf, tapi saya harus ketemu Bang Marko sekarang! Saya udah menghubungi nomor hapenya tapi nggak diangkat-angkat, makanya saya lari ke sini! Ibu
Hampir seminggu lamanya Marko merenungi wasiat yang diberikan ibunya yang masih dalam keadaan kritis hingga saat ini. "Perkiraan kami waktu ibu Anda bertahan hidup kayaknya nggak akan lama lagi ..."Dan ucapan dokter yang menangani ibunya hari itu tambah lagi menambah beban di benak Marko. Dia kini harus berbuat apa? Menuruti permintaan sang ibu atau memilih mengikuti kata hatinya? Bagaimana dengan Biola dan perasaannya terhadap Biola? Otak Marko seakan mau meledak rasanya. Sementara itu, sang ibu masih menuntut ingin menemui Dinda, Marko tidak punya pilihan selain menuruti permintaan itu kali ini, dia putuskan untuk mengundang Dinda datang ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya. Undangan itu jelas kabar baik bagi Dinda, memang sudah lama dia nantikan hari ini.Wajah pucat pasi sang ibu berubah agak cerah saat dia lihat Dinda berjalan mendekati ranjang pasien. Dinda pun bergegas memegang tangan ibu Marko. "Tante ..." lirih Dinda seraya duduk di tepi ranjang pasien. "Nak Dinda ... k
Ketika Viona tahu soal rencana pernikahan Biola dan Marko, gadis itu menjerit histeris, murka luar biasa. Dengan membabi buta, Viona mengambil vas bunga yang berada di dekat lemari TV kemudian melemparkannya sampai pecah di dinding. Sontak Biola terperangah."Viona! Kamu tau kan kalau Dion udah cukup berbaik hati mau ngasih kita waktu tinggal di sini sampe Kakak dapat kos yang murah, jangan kamu malah ngulah, bisa-bisa kita diusir!!" bentak Biola berang."Kakak egois!! Aku nggak peduli! Sekalian ini rumah aku bakar juga aku nggak bakal peduli, kok!" "Kakak yang kamu sebut egois?!! Kamu yang egois, kamu kenapa nggak terima kalau Kakak bakal nikah sama Marko? Kamu pikirin gimana nasib janin yang lagi Kakak kandung sekarang, ini emang anak Marko, Viona!"Mendengar Biola menegaskan hubungannya dengan Marko justru membuat hati Viona kian geram dan panas. "Aku nggak mau dengar!! Aku nggak mau tau soal itu!!"Selama beberapa menit, Biola terhenyak, memandangi adiknya yang tampak seperti o
Marko menyeret langkah gontai keluar dari ruang rawat inap tempat ibunya terbaring, kondisi sang ibu memang kian lemah, menambah rasa sesal yang menyesaki hatinya, namun tak ada yang bisa dia perbuat. Belum lagi saat ini dirinya tengah dijauhi oleh keluarga bahkan adiknya sendiri, dia tak tahu harus pergi ke mana di saat seperti ini. Bahkan sekadar datang ke Toko Buku untuk bekerja saja rasanya sangat canggung baginya, kakinya terasa berat untuk melangkah ke sana.Mata Marko terbelalak begitu kakinya menapak di teras rumah sakit. Sesosok yang tak asing muncul di hadapannya, secara tak terduga. "Bi ... Biola?" desis Marko seraya mendekat. "Kak Biola kok ada di sini? Nyari aku?"Biola mengerling tajam, "Nggak usah kepedean deh, aku baru aja dari poli kandungan!" jawab Biola ketus. Seketika mata Marko berbinar mendengar jawaban Biola, "Habis cek kandungan? Apa kata Dokter? Apa janinnya baik-baik aja?" tanya Marko antusias. "Apa urusannya sama kamu? Kamu urus aja diri kamu sendiri!" pu
"Aku nggak nyangka kalau kamu sebrengsek ini, Dion!!" teriak Biola begitu dia dan Dion kembali ke apartemen. Tanpa terlihat merasa bersalah, Dion malah balas berkata, "Aku? Aku yang kamu sebut brengsek? Kamu nggak mau ngaca dulu gitu? Masih nggak punya malu kamu?"Dengan mata yang telah membendung air, Biola menggigit bibir bawahnya dengan pilu. "Aku tau aku salah ... tapi apa perlu kamu sejauh ini, Dion? Perlu kamu sampe harus ngancurin kebahagiaan orang lain? Pernikahan mereka batal! Apa lagi Ibu Marko lagi sakit keras gitu, kalau tadi tiba-tiba dia pingsan, tiba-tiba dia kena serangan jantung atau apa pun itu, kamu siap tanggung jawab?!!" "Halah ... nggak usah sok ngalihin topik deh kamu! Intinya, kamu emang hamil anak si bajingan itu, kan?!!" teriak Dion berang, matanya yang tajam tampak berkilat-kilat. Tangan Biola sudah terkepal di sisi gaunnya, rasanya dia ingin sekali mengelak, ingin memukul Dion dengan keras, marah, tapi nyatanya, semua itu memang benar, kini dia memang te
Suasana yang tadinya sakral seketika berubah ricuh, mulai terdengar suara bisik-bisik dari segala arah, mata para tamu silih berganti mengarah pada Dion lalu beralih kepada Marko.Plak!!!Suasana kacau itu tak bisa menjadi lebih buruk saat satu tamparan keras dilayangkan Biola tepat di pipi Dion. Semua terpana kembali. Air mata Biola sudah membendung hebat di pelupuk matanya, dia tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar dari mulut Dion. "Dion ..." lirih Biola pedih.Rahang Dion mengeras, matanya berkilat-kilat, tak terlihat sedikit pun rasa bersalah, hanya tersisa rasa muak, benci, amarah."Apa-apaan ini?! Apa maksudnya ini semua?!" pekik Dinda panik, ditatapnya Marko dengan muka tak percaya. "Please Ko ... please kasih tau aku kalau semua ini nggak benar, ini semua bohong!" teriak Dinda memohon. Alih-alih memberi jawaban tegas, sikap diam Marko justru menimbulkan kecurigaan yang lebih besar. Mata Marko nanar, kemudian sorot matanya meredup, Dinda langsung mengerti apa sebe
Sejak semalam Dinda tak bisa memejamkan matanya barang sejenak, hatinya gundah gulana tak tentu arah saking antusiasnya dia memikirkan tentang pernikahannya dengan Marko yang akan berlangsung hari ini. Wajah gadis cantik itu berseri dari ujung kuping kiri ke kuping kanan, senyum lebar tak bisa pudar dari paras indahnya. Bayangan soal pernikahan impian sudah terbayang begitu jelas dan jernih di benaknya. Sebentar lagi semua itu akan terwujud. Sebaliknya, Marko justru tak bersemangat sama sekali. Dia terus mengumpati dirinya sendiri, marah karena merasa tak punya cukup keberanian untuk menghentikan semuanya sebelum terlambat. Kegundahan yang sama pun melanda Biola pula, dia tak tahu harus pergi atau tidak ke pesta pernikahan Marko. "Kak Biola tau kan kalau hari ini Marko nikah?"Suara Viona memecah lamunan Biola, namun Biola lekas bersikap biasa saja. Gadis itu masih pura-pura asyik menonton televisi meski pikirannya sama sekali tidak berada di sana. "Hm ... tau, kenapa?" Biola bal
Keringat dingin sudah membanjiri muka serta punggung Biola, sedangkan mulutnya kaku, lidahnya kelu, dia tak tahu harus berkata apa, dan entah bagaimana juga Dion bisa tahu soal dirinya dan Marko. "Dion ..." Hanya kata-kata lirih yang bisa meluncur dari bibir pucat Biola. Dengan mata berkaca-kaca, Biola mengangkat kedua tangannya, hendak memegang lengan Dion, berusaha untuk membujuk kekasihnya itu, namun Dion tampak tak bergeming, amarah masih menguasai akal sehatnya. "Kenapa? Kok diam?" tanya Dion dingin. "Apa yang aku omongin betul, kan? Kamu sekarang bingung cara ngebantahnya? Hm?" "Sayang ... aku ..." Biola terbata-bata. "Jangan panggil aku 'sayang'!!!" teriak Dion tambah murka. "Jangan berani-berani kamu mau membujuk aku pake muka kotor kamu itu!!" bentak Dion kasar. "Aku ...""Jawab aku!! Anak siapa yang kamu kandung itu?! Anak siapa?!!" bentak Dion.Kedua tangan Dion mencengkeram kuat kedua lengan Biola, rahangnya lebih mengeras lagi. "Jawab aku, Biola ... jangan bikin ak
"Masih nggak percaya loh aku ..."Akhirnya, setelah sama-sama kompak membisu nyaris setengah jam, Dinda membuka mulutnya juga. Perhatian Dion, Biola, dan Marko langsung beralih pula kepada gadis itu, menunggu apa yang akan dia ucapkan. "Iya," lanjut Dinda, "bisa-bisanya pacar Bang Dion ternyata atasan dari pacar aku juga, kayak ... ini tuh entah kebetulan atau apa ya, dan lagian juga, kita sama-sama punya rencana menikah di waktu yang berdekatan kayak gini.""Kalau itu mungkin cuma kebetulan aja, karena kami nikah karena Biola sudah hamil sekarang."Tanpa ada ragu, tanpa rasa malu Dion mengungkap soal kehamilan Biola yang langsung membuat satu meja terpana tak percaya. "Dion!" bisik Biola, memberi isyarat agar Dion menutup mulutnya. "Hah? Kak Biola hamil?" tanya Dinda dengan muka terkejut."Dion ... kamu apa-apaan sih?" protes Biola, mukanya sudah mengeras sejak tadi. Bukannya meminta maaf atau menyadari kesalahannya, Dion malah menarik tangan Biola kemudian mengecup punggung tang
"Kamu kenapa, Ko?"Tubuh Marko tersentak ketika tangan mungil milik Dinda menyentuh pundaknya, sedang suaranya yang lembut menyapa indera pendengaran Marko yang sejak tadi berdiri melamun di balkon rumah sakit. "Nggak ada ... nggak apa-apa," jawab Marko sekenanya, meski sebetulnya sudah beberapa hari ini pikirannya diisi oleh keberadaan Biola saja, serta kabar tentang kehamilannya, Marko masih bersikeras dalam hatinya bahwa janin yang tengah dikandung oleh Biola adalah darah dagingnya. Hanya saja, dia belum bisa membuktikan kebenaran akan hal itu. "Omong-omong, hari ini kita mau fitting pakaian pengantin, loh! Kamu ingat, kan? Kita berangkat sekarang?" tanya Dinda.Marko menghela napas. Dirinya dihempas lagi pada kenyataan. "Hm, ayo ..."*** Sejak kejadian tempo hari di office toko buku, sikap Dion bertambah-tambah dingin saja kepada Biola, namun mulutnya tetap bungkam, tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Bagi Biola, Dion diam tanpa sebab. Bahkan sampai hari ini, di mana mere
Setelah beberapa waktu lalu Biola dikejutkan dengan surat undangan pernikahan Marko, hari ini malah sebaliknya, Marko yang amat terkejut saat mendapati meja kerjanya telah diisi sebuah surat undangan, lebih tepatnya surat undangan pernikahan Biola. Mata Marko menatap surat undangan itu dengan nanar, sekujur tubuhnya mendadak terasa tidak nyaman. Dan tepat saat Marko hendak meraih surat undangan, pintu office terbuka, Biola muncul begitu saja. Keduanya kompak terkejut, saling menatap satu sama lain dengan muka penuh tanda tanya. Biola langsung berbalik, hendak meninggalkan office begitu saja, tapi Marko lekas menyusul, menahan langkah Biola dengan sigap. "Kamu mau nikah juga sekarang?! Kamu sengaja?!" hardik Marko seraya berdiri kaku di depan Biola. Dalam situasi seperti ini, Marko bahkan tidak peduli lagi dengan tata krama maupun sopan santun yang berlaku di kantor."Apaan sih? Penting banget ya kamu mau tau urusan saya?! Lepasin saya! Kamu saya undang aja udah syukur tau nggak k