Share

RAHASIA LAINNYA

Jesselyn berjalan menuju ruang tamu. Ia baru saja membuatkan secangkir coklat panas. Ia lalu meletakkan cangkir itu di atas meja ruang tamu. Lebih tepatnya, di depan laki-laki berusia empat puluh tahun-an yang masih saja duduk di atas lantai.

"Minumlah! Aku sudah susah payah membuatkannya untukmu, jadi habiskan!" Ucap Jesselyn.

Pria itu hanya menganggukkan kepalanya, seolah mengerti. Sedangkan mulutnya tidak mau terbuka sedikit pun. Seolah terkunci dan ia tidak berniat membukannya. Jesselyn yang melihat hal itu tentu saja merasa gemas. Wanita itu menutup matanya dan menarik napas panjang. Berusaha menenangkan dirinya agar tidak terbawa emosi.

"Baiklah, aku saja yang minum," ucapnya acuh. Wanita itu lalu mengambil camngkir yang tadi dibawanya dan mulai meminumnya. Menyeruput isinya sedikit demi sedikit sambil mengaduh kepanasan.

"Ahh... Ini enak sekali. Tidak mengherankan kalau kau jadi maniak coklat selama sepuluh tahun terakhir," celotehnya sambil terus menyeruput.

Tiba-tiba pria di sampingnya merebut cangkir yang dipegang Jesselyn. Lalu menenggak habis sisa coklat di dalam cangkir. Jesselyn menelan ludahnya dengan kasar. Menyadari betapa sexy-nya pria empat puluh tahun-an di depannya. Sedangkan pria di depannya seolah acuh dan justru menyeka mulutnya dengan kasar.

"Hei, bisa tidak kau jangan bersikap so sexy begitu?!" Protes Jesselyn.

"Hm? Aku tidak bersikap sexy, kok." Pria itu akhirnya menoleh ke Jeseelyn dengan tampang tidak berdosa-nya.

"Jadi, apa yang Bina katakan kali ini, Jonathan?" Jesselyn langsung melemparkan pertanyaan pada sahabatnya itu.

Jonathan langsung terdiam. Raut wajahnya kembali murung. Pria itu menghela napas berat sebelum mulai membuka mulutnya.

"Masih dengan spekulasi yang sama, Je."

Jesselyn menarik sudut kiri bibirnya ke atas. Menunjukkan senyum sinisnya dengan sengaja.

"Sudah aku katakan, bukan? Insting anak itu sangat kuat. Mau sampai kapan kau menyia-nyiakan bakat luar biasanya?" Tanya Jesselyn.

"Aku bersumpah kepada diriku sendiri kalau aku akan menjaganya tetap aman setelah kejadian itu, Je."

"Dan itu alasan kenapa kau tidak mau menikah meskipun banyak wanita cantik di luar sana yang tergila-gila padamu?" Jesselyn menaikkan sebelah alisnya.

"What?? Jesselyn, kita sedang membahas tentang Bina," protes Jonathan.

Jesselyn bangkit dari duduknya.

"Yah, terserahlah. Aku mau kembali ke kamarku, karena seseorang sudah mengganggu tidurku dini hari begini," ucap Jesselyn sambil berjalan ke arah kamarnya.

Jonathan hanya menatap punggung wanita itu dengan pasrah. Ia tahu benar kalau wanita itu pasti lelah menghadapi sahabat sepertinya.

***

Rumah sakit Miranti

Pukul 09.00

Bina berjalan di koridor rumah sakit dengan terburu-buru. Matanya terus memperhatikan orang-orang disekitarnya, mencari sosok seseorang yang ia butuhkan untuk saat ini. Saat matanya menangkap sosok itu, ia segera berlari menghampirinya.

"Pagi, dokter Je," sapanya ramah.

"Oh, hai, Bina. Apa yang kau lakukan disini?" Jesselyn balas menyapa.

Bina menggaruk belakang lehernya yang tidak terasa gatal. Wanita itu merasa kikuk sendiri.

"Ehm, begini dokter Je. A-aku--" Bina tergagap. Sedangkan dokter di depannya masih menunggunya untuk membuka suara.

"A-apa kau melihat pamanku? Mungkin di sekitar rumah sakit?" Tanya Bina, akhirnya.

"Apa terjadi sesuatu pada kalian berdua?" Selidik Jesselyn.

Bina mengedipkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya menjawab,"Se-sebenarnya iya. Kami sedikit beradu argumen, lalu paman Jo pergi begitu saja dari rumah." Bina mencoba menjelaskan.

Dokter Je tersenyum. lalu berkata,"Jonathan menginap di rumahku. Aku rasa dia butuh tempat untuk menenangkan dirinya, Bina. Kau tak usah khawatir. Dia akan baik-baik saja."

Bina menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan. Berusaha bersikap tenang. Lalu, tiba-tiba rasa ingin tahunya muncul begitu saja. Ia kembali menatap dokter Je yang masih berdiri di depannya.

"Jadi-- Ba-bagaimana keadaan pria itu?" Tanya Bina.

Butuh beberapa detik untuk Jesselyn menyadari siapa yang dimaksud keponakan sahabatnya itu.

"Ah, keadaannya kurang begitu bagus. Luka-luka ditubuhnya itu luka yang--"

"Disengaja. Ya, aku tahu. Itu luka yang disengaja agar korbannya merasakan sakitnya mati secara perlahan." Bina memotong ucapan Jesselyn. Membuat wanita itu lagi-lagi tersenyum.

"Ya, kau benar, Bina. Seperti yang diharapkan. Kau selalu jeli dalam segala hal," ucap Jesselyn.

"Bawaan dari ayahku, dokter Je."

"Ya, gen yang bagus selalu menghasilkan yang bagus juga. Jadi, apa kau mau melihat keadaannya sekarang, karena aku masih ada jadwal operasi lain"" Jesselyn bertanya sambil sesekali melihat beberapa kertas di atas papan yang ia pegang.

Bina mengangguk setuju. Jeselyn lalu berjalan lebih dulu, sedangkan Bina mengikuti dari belakang. Tidak lama kemudian, mereka sampai di depan sebuah ruangan.

"Dokter Je, kenapa kau menempatkannya di sini?" Bina bertanya dengan heraan.

"Aku tahu, Bina. Pasien sepertinya seharusnya memang di tempatkan di ruang ICU. Tapi, aku dan pamanmu sepakat untuk memberinya ruangan khusus," jelas dokter Je. Bina mengangguk sebagai jawaban bahwa ia bisa mengerti keputusan paman Jo dan dokter Je.

Setelah berbicara sebentar, dokter Je pamit dan segera pergi menuju ruang operasi. Sedangkan Bina mulai masuk ke dalam. Wanita itu tidak akan menyangka kalau dalam beberapa detik ke depan, nyawa-nya akan terancam, karena memasuki kamar itu. Hal yang juga tidak akan disangka-sangka oleh Jonathan dan Jesselyn.

*Bersambung*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status