***
Taman rumah sakit Miranti terlihat sedikit ramai di hari minggu. Beberapa orang menjenguk anggota keluarganya yang menjadi salah satu pasien di rumah sakit ini. Yang jelas, Bina bisa melihat kebahagiaan yang terpancar dari raut wajah dan tawa mereka. Kebahagiaan yang membuatnya cukup iri.
"Bukankah tawa dan senyuman mereka membuat kita merasa iri?"
Bina menengok ke sebelah kirinya sambil sedikit memiringkan kepalanya ke kanan, karena merasa bingung pada ucapan pria di sampingnya. Sedangkan yang ditatap masih saja memandang lurus ke depan mereka.
"Beberapa orang yang tidak ditakdirkan bersama dengan keluarganya pasti merasa iri melihat pemandangan seperti ini, kan. Sama sepertimu. Kau merasa iri pada kebahagiaan mereka," jelas pria itu.
Bina terpaku. Lidahnya terasa kelu untuk sekedar membalas perkataan pria di sampingnya. Ia mengigit bibir bawahnya. Potongan-potongan kejadian delapan tahu yang lalu berputar seperti sebuah kaset yang rusak
***Pukul 13.00 WIBIbukota terlihat diguyur hujan siang ini. Beberapa orang terlihat berlari dengan terburu-buru. Mencoba mencari tempat berteduh di pinggiran toko atau tempat terdekat. Seorang wanita muda terlihat menatap hujan dari dalam toko gaun pernikahan bernama Kizura's Wedding Dress sambil berdiri. Sesekali matanya memperhatikan tetesan air hujan yang menempel di kaca toko. Sedang ia bertopang dagu. Pikirannya terbang entah kemana."Kenapa melamun kayak gitu? Lagi mikirin pacar kamu, ya?"Suara seseorang menyapanya dari belakang. Membuat wanita itu sedikit tersadarkan dari pikirannya. Kini, di depannya berdiri seorang wanita berusia 26 tahun yang sedang tersenyum jahil kepadanya. Wanita itu ikut tersenyum menyadari tingkah jahil atasannya."No, mrs. Kizura. Aku hanya senang melihat hujan," balas wanita muda itu sambil ikut tersenyum.Wanita di depannya kini mulai menyipitkan kedua matanya. Memperhatikan setiap inci tubuh karyawan di
***Rumah sakit MirantiPukul 09.00 WIBBina terlihat berjalan dengan santai di depan parkiran rumah sakit. Ditangannya, ada seikat bunga krisan berwarna ungu. Ia berjalan masuk dan melangkahkan kakinya menuju resepsionis, seperti biasanya."Apa ada yang bisa kami bantu?" Tanya seorang wanita di belakang meja resepsionis."Aku mau bertemu dengan pasien khusus dokter Je." Bina menjawab dengan wajah yang ceria.Wanita dibalik meja resepsionis terlihat menge-cek jadwal dari layar komputer. Bina menunggu sambil melihat-lihat orang yang berlalu-lalang di sekitarnya. Kebiasaan lama yang masih saja menjadi kegiatan favoritnya sampai sekarang. Matanya lalu menangkap sosok yang ia sedang cari sejak tadi. Sedang berjalan menuju taman rumah sakit dengan kursi roda yang biasa ia pakai.Seolah terhipnotis, Bina berjalan mengikuti orang itu. Mengekor di belakangnya dengan hati-hati. Pikirannya hanya terfokus pada pria yang duduk di atas
***Bina mengikuti langkah dokter Je yang mempercepat langkahnya jauh di depan. Ia lalu memutuskan untuk berlari, mengejar dokter muda itu. Kejadiannya terjadi begitu cepat. Beberapa detik yang lalu, dokter muda itu menangkap basah ia dan pasien khususnya yang sedang mengobrol. Lalu wanita itu langsung menatapnya dengan tajam, lalu pergi begitu saja dari tempat itu.GREPPBina berhasil meraih lengan dokter Je. Dokter muda itu refleks menghentikkan langkahnya seiring dengan cengkraman Bina di lengannya yang semakit menguat."Aku tidak mengerti kenapa kau se-marah ini, padahal aku hanya mengobrol dengannya, dokter Je."Ucapan Bina membuat dokter muda itu mengembuskan napas kesal. Jesselyn berkacak pinggang. Wanita itu menundukkan kepalanya. Terlihat berpikir sebentar. Bina bisa melihat kalau sahabat pamannya itu terlihat frustasi. Setelah terdiam selama hampir sepuluh menit, Jesselyn kembali mendongakkan kepalanya. Menatap Bina dengan tatapan yang ta
*** Pukul 10.00 Rumah sakit Miranti Seorang wanita terlihat berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Di tangan kanan-nya ada sebuket kecil bunga Krisan ungu. Wanita itu terlihat berpakaian sederhana, namun masih tetap menawan seperti biasanya. Kaos putih lengan pendek yang dipadukan dengan jaket jeans biru tua sepanjang pinggangnya dan celana jeans panjang dengan warna yang senada dengan jaketnya. Rambut hitamnya ia atur dengan gaya kuncir kuda setengah. Membuatnya tetap terlihat anggun meskipun style berpakaiannya yang sedikit tomboy. Langkahnya terhenti di depan sebuah kaca berukuran sedang yang memperlihatkan keadaan di dalam ruangan bertuliskan FISIOTERAPI. Wanita itu mengetuk kaca tersebut sebanyak tiga kali, lalu melambaikan tangan kirinya sambil tersenyum lebar kepada seorang pasien dan seorang perawat di dalam ruang itu. Tiba-tiba, seorang wanita memakai jas putih yang panjangnya sampai ke lututnya menyapanya. "Sepertinya kau pun
*** Bina memperlebar langkahnya dan mendorong pintu di depannya dengan bahu kanannya. Kedua tangannya sibuk memegang bunga krisan ungu dan segelas coffee latte kesukaannya. Ia mendorong pintu itu sampai terbuka lebar, lalu memberikan jalan kepada Awan dan kursi rodanya. "Lain kali aku akan tunjukkan kepada-mu foto beberapa hasil gaun buatanku. Kau pasti akan terkejut," celoteh Bina dengan riang. "Aku tidak sabar untuk melihatnya," respon Awan dengan cepat. Bina menjauhkan tubuhnya dari pintu setelah Awan masuk ke dalam. Ia kembali berceloteh dengan riang. Kini, ia dan Awan sedang berada di dalam ruang rawat Awan selama beberapa bulan terakhir. "Mungkin kita bisa pergi keluar bersama sesekali," usul Bina dengan antusias. "Aku rasa itu ide yang bagus," Awan lagi-lagi menjawab dengan penuh semangat. Bina menarik sudut-sudut bibirnya ke atas dengan senang. Ia membayangkan betapa menyenangkannya dunia di luar rumah sakit bagi
*** Jonathan terlihat masih sibuk menatap tajam tiga orang di depannya secara bergantian. Ekspresi wajahnya masih terkihat serius selama lima belas menit terakhir. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. Kaki kirinya masih asyik menyilang di atas kaki kanan-nya. Tatapan Jonathan jatuh kepada Bina yang terlihat hanya menundukkan kepalanya ke bawah. Keponakannya itu terlihat sesekali melirik ke arahnya, lalu kembali menatap ke bawah sambil menggumamkan kata-kata tidak jelas. Pria itu lalu mengalihkan pandangannya kepada wanita di sebelah kiri keponakannya yang masih setia memakai jas putih kebesarannya. Jesselyn juga terlihat beberapa kali meliriknya, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Entah itu menatap langit-langit ruangan atau hanya sekedar mengamati interior di dalam ruangan itu. Wanita itu jelas tidak ingin matanya bertemu dengan tatapan dingin Jonathan yang sedang menahan amarah. Jonathan menarik napas dengan dalam. Ia mengalihkan tatapan
*** Pukul 15.45 WIB Bina terlihat masih asyik memutar-mutar pensilnya. Sesekali ia juga menggigit ujung pensilnya yang terasa keras. Ia sekarang sedang berada di ruangannya. Sudah hampir dua jam wanita itu berada di sana. Bina menggaruk kasar bagian belakang kepalanya yang tidak terasa gatal. Otaknya terasa mengalami ke-buntu-an. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Bina menyandarkan punggungnya ke belakang. Untung saja kursinya memiliki sandaran. CEKLEK Suara pintu ruangannya terbuka. Bina kembali ke posisi duduk rapi-nya. Matanya menangkap sosok Rini yang baru saja masuk dan berbalik mendorong pintu ruangannya sampai benar-benar menutup kembali. "WAH, APA-APAAN RUANGAN KOTOR INI?" Suara Rini memenuhi ruangan Bina. Wanita itu berkacak pinggang sambil mengedarkan pandangannya ke segala penjuru di ruangan itu. Sedangkan Bina hanya melirik sebentar wanita itu, lalu membuang pandangannya ke arah lain. Memandangi beberapa lukisan di ruangan itu tanp
*** Bina berhenti di depan pintu masuk butik tempatnya bekerja. Kedua matanya menatap lurus seorang pria yang tengah asyik bersandar di samping mobil berwarna biru tua tak jauh di depannya. Bina menarik napas dan mulai berjalan mendekati pria itu. "Oh, pekerjaanmu sudah selesai semua?" Tanya pria itu begitu Bina sudah berdiri di depannya. Bina menjawabnya dengan anggukan pelan. Pria itu menyingkir dari depan pintu mobil dan membukakan pintu mobil untuk Bina. Bina menundukkan kepalanya, hendak masuk ke dalam mobil. Dengan cekatan, tangan pria itu berada di atas kepala Bina. Mencoba melindungi kepala wanita itu agar tidak terbentur dengan bagian atap mobil. Setelah ia memastikan kalau Bina sudah memasang sabuk pengamannya dengan benar, pria itu menutup pintu mobil. Ia berlari dengan cepat ke sisi lain mobil dan ikut masuk ke dalamnya. Setelah ia duduk di belakang kemudi dan memasang sabuk pengamannya, pria itu mulai menginjak pedal gas denga