***
Bina berhenti di depan pintu masuk butik tempatnya bekerja. Kedua matanya menatap lurus seorang pria yang tengah asyik bersandar di samping mobil berwarna biru tua tak jauh di depannya. Bina menarik napas dan mulai berjalan mendekati pria itu.
"Oh, pekerjaanmu sudah selesai semua?" Tanya pria itu begitu Bina sudah berdiri di depannya. Bina menjawabnya dengan anggukan pelan.
Pria itu menyingkir dari depan pintu mobil dan membukakan pintu mobil untuk Bina. Bina menundukkan kepalanya, hendak masuk ke dalam mobil. Dengan cekatan, tangan pria itu berada di atas kepala Bina. Mencoba melindungi kepala wanita itu agar tidak terbentur dengan bagian atap mobil. Setelah ia memastikan kalau Bina sudah memasang sabuk pengamannya dengan benar, pria itu menutup pintu mobil. Ia berlari dengan cepat ke sisi lain mobil dan ikut masuk ke dalamnya.
Setelah ia duduk di belakang kemudi dan memasang sabuk pengamannya, pria itu mulai menginjak pedal gas denga
Selamat membaca \^0^/
***Jesselyn melangkah masuk ke dalam pekarangan rumahnya dengan langkah yang cepat. Tangan kanannya terlihat membawa sebuah kotak kecil. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Setelah membuka pintu dan melewati ruang utama, wanita itu berjalan menuju ruang bersantai di rumahnya.CEKLEKKKKMulut Jesselyn menganga dengan lebar begitu melihat keadaan ruang bersantainya. Ia mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan dengan rasa tidak percaya. Lalu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang tengah asyik membaca buku bersampul putih bertuliskan My Blue's Memoriessambil bersandar di kursi goyangnya.Jesselyn mendelik kaget begitu membaca judul sampul buku yang dipegang wanita itu. Buru-buru ia berlari ke arah wanita itu dan merebut buku itu dengan paksa. Jesselyn memeluk erat buku itu sambil memasang ekspresi ngeri."Wah, aku tidak tahu kalau Anda menyukai pria menyebalkan itu, dokter Je." Wanita itu menatap Jesselyn yang masih berd
***BRAKKKBina menutup pintu taksi yang baru saja ia naiki dengan kasar sampai-sampai sang supir melonjak kaget dan bergegas menginjak pedal gas-nya meninggalkan jalanan di depan rumah Bina yang terlihat agak sepi di siang hari.Bina melangkah masuk ke pekarangan rumahnya denga langkah tergesa-gesa. Ketika langkahnya mendekati pintu rumah, sosok pamannya terlihat keluar dari dalam rumah dengan ekspresi yang terkejut.BUGHHHSatu pukulan keras mendarat tepat di pipi kiri Jonathan. Saking kerasnya, pukulan itu mampu membuat Jonathan jatuh tersungkur di lantai.Tes!Se-tetes darah segar jatuh ke atas lantai. Membuat lantai putih itu ternodai sedikit. Jonathan menatap Bina mulai dari kaki sampai kepalanya, membuat ia mendongakkan kepalanya. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau napas keponakannya itu tersengal-sengal.'Apa yang membuatnya masih begitu marah setelah tiga hari berlalu?' Tebak Jonathan di dala
***Pukul 02.30 dini hariBina terbangun dari tidurnya dengan napas yang memburu. Ia memandang ke segala penjuru kamarnya dengan tatapan yang tajam. Setelah kesadarannya kembali sepenuhnya, wanita itu mengacak rambutnya yang terurai dengan kasar. Tangan kanannya bertopang ke atas lutut kanannya yang ditekuk.Ia merasakan kalau sebagian kaos yang dipakainya basah oleh keringat. Bina mencoba mengatur napasnya agar kembali normal. Setelah beberapa saat, napasnya kembali teratur. Bina meraih gelas di atas meja. Kosong. Bina mendesah pelan. Ia mengutuk dirinya sendiri yang pelupa di dalam hati.Dengan malas, Bina beranjak turun dari tempat tidurnya. Membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju ke dapur. Kerongkongannya terasa sangat kering. Bina segera menuju kulkas dan mengambil sebotol air putih sesampainya di dapur. Ia menenggak habis sebotol air dengan puas. Tubuhnya terasa segar kembali setelah mengeluarkan banyak keringat.Bina kembali b
***Pukul 09.30 WIBBina menggeliat pelan di atas tempat tidurnya, karena sinar matahari yang menembus celah jendela kamarnya. Wanita itu mengedipkan kedua matanya beberapa kali. Mencoba membiasakan sinar matahari masuk ke dalam matanya. Setelah matanya membuka dengan sempurna, Bina bangun dan terduduk di atas tempat tidurnya. Mencoba mengumpulkan nyawa dan berjalan ke kamar mandi setelahnya.Setengah jam kemudian, Bina sudah siap dengan setelan celana jeans hitam dan kemeja kotak hitam putih yang terlihat pas di tubuhnya. Lengan kemeja yang panjang sengaja ia lipat sampai ke siku. Rambutnya ia biarkan terurai begitu saja. Dan sepasang sneakers putih sudah melekat di kakinya. Bina mengecek penampilannya sebentar di depan kaca, lalu berjalan keluar dari kamarnya."Kau mau pergi kemana, Bina?" Suara paman Jo menyapa gendang telinga ketika Bina baru saja melangkahkan kakinya keluar kamar."Emm... Tidak pergi kemana-mana, paman."Bina menjawab t
***Langit terlihat cerah. Beberapa gumpalan putih awan ikut menghiasi langit yang cerah itu. Beberapa orang terlihat menghabiskan hari Minggu ini dengan menghabiskan waktu mereka bersama keluarga. Bina memperhatikan beberapa orang yang berjalan melewati dirinya dan Awan sambil tersenyum. Kebanyakan dari mereka menyempatkan datang ke taman ini dan menghabiskan waktu bersama keluarganya."Kau selalu terlihat bahagia setiap kali melihat sebuah keluarga." Suara pria di sampingnya sampai ke gendang telinga Bina. Bina menolehkan kepalanya ke kanan. Dalam sekian detik, kedua matanya menangkap sosok Awan yang masih tenang duduk di atas kursi roda canggih-nya."Hm? Ah, karena mereka terlihat bahagia," balas Bina seadanya. Setelah membalas perkataan Awan, wanita itu berhenti di tempat dan menengadahkan kepalanya. Mencoba meraih kehangatan sinar matahari pagi yang mengenai wajahnya. Hal itu tentu saja membuat Awan ikut berhenti.Pria itu ikut memperhatikan Bina. Se
*** Dua bulan berlalu sejak Awan kepindahan Awan dari rumah sakit ke kediaman Jonathan. Laki-laki itu juga mulai menunjukkan perkembangan atas kondisinya yang terus membaik. Di samping itu, tentu saja ada Bina yang selalu menjadi penyemangat nomer satu untuk Awan. Wanita itu selalu membantu Awan selama menjalani terapi dengan alat yang diciptakan pamannya. Awan mulai bisa berjalan, meskipun sesekali masih menggunakan Lofstrand Crutch yang dibelikan oleh Bina. Awalnya, paman Jo memberi Rollator untuk membantu Awan berjalan. Namun, menurut Bina Awan jadi kelihatan seperti orang tua jika memakai alat itu. Selain kabar baik kalau Awan mulai bisa berjalan, luka-luka di tubuh Awan juga mulai membaik. Terbukti dengan perban di tubuhnya yang mulai dibuka satu persatu. Sekarang, yang tersisa adalah perban yang masih melilit kepalanya. Pukul 21.30 WIB Kediaman Jonathan "Apa Awan sudah tidur?" Tanya Bina kepada pamannya, Jonathan. Pria itu mengangguk singkat sebagai jawaban. Wanita muda
*** Aula pernikahan Pukul 19.30 WIB Beberapa tamu undangan yang hadir terlihat menyalami pengantin secara bergantian. Setelah memberikan selamat, mereka meminta foto bersama pengantin untuk mengabadikan momen tersebut. Orang-orang yang hadir di aula itu terlihat ikut berbahagia atas acara yang digelar. Tak terkecuali seorang wanita disudut aula yang terlihat menguap dan merasa bosan. Bahkan saking merasa bosan, wanita itu memandangi beberapa tamu undangan yang masih berada di dalam aula. Ada yang masih menikmati hidangan, ada yang ikut mengobrol dengan tamu undangan lainnya dan ada yang masih asyik bercengkerama dengan pengantin pria dan wanita. Wanita itu mengembuskan napas dengan lemas. Bina pov Aku benar-benar merasa bosan. Aneh, biasanya aku tidak se-bosan ini saat melakukan pekerjaanku. Aku menganggukkan kepalaku sebagai sapaan saat seorang tamu wanita memandangku dengan tatapan yang sulit diartikan. PUKKK Seseorang menepuk pundak kananku dengan pelan. Aku menoleh dengan c
***Still Bina povAku memasuki pelataran rumah dan mendapati Chevrolet Camaro RS putih milik dokter Je sudah terparkir indah di dekat pintu utama. Aku turun dari motor dan langsung menghampiri dokter Je dan paman Jo yang masih berdiri di depan pintu."Apa yang sebenarnya terjadi, paman?" Aku melihat eskpresi Paman Jo yang panik. Paman Jo terdiam selama beberapa detik sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku."A-aku hanya meninggalkannya beberapa menit dan pergi ke minimarket terdekat untuk membeli bahan makanan. Saat aku kembali, pintu depan sudah terbuka," jelas Paman Jo.Aku menghela napas. Perasaan khawatir dan kesal bercampur aduk, "Tenanglah, BIna. Kita harus mulai mencari Awan. Kakinya belum sembuh sepenuhnya, jadi aku rasa dia pasti belum jauh dari sini." Dokter Je berusaha menenangkan aku. Aku berpikir sebentar sambil menggigit bibirku. Lalu mengangguk, memberi tanda kalau aku menyetujui usulan sahabat pamanku itu."Kalau begitu kita berpencar. Paman Jo dan dokter Je. Dan aku a