***
Bina kini masih berjalan mondar-mandir di ruang tengah sambil menggigiti kuku jari tangannya dengan cemas. Sedangkan anggota tim yang lain nampak sedang memandangi ukiran Budha asli yang berhasil mereka ambil dari tempat penyimpanan rahasia keluarga Rothschild dengan takjub. "Bina, kenapa kau terlihat cemas begitu?" Tanya Awan yang akhirnya menyadari kegelisahan rekannya. Bina menghentikan langkahnya. "Bagaimana tidak, meskipun misi pertama kita sukses dengan lancar, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya mengakhiri hubunganku dengan si anak konglomerat, Nathaniel Rothschild. Ditambah lagi, aku tidak memiliki pengalaman dalam sebuah hubungan sama sekali! Bagaimana bisa aku bertemu dengan ibunya? Sedangkan kita mendekati anaknya hanya untuk kelancaran misi saja! Apa yang harus aku katakan nanti?!*** Matahari pagi terlihat masuk menembus kaca jendela pesawat dan menimpa wajah seorang wanita. Membuat dahi wanita tersebut sedikit berkerut karena merasa risih dengan cahaya itu. Perlahan tapi pasti, kedua matanya mulai mengintip meski masih sedikit terasa mengantuk. "Pagi, putri tidur!" Sapa seorang pria yang duduk di seberangnya dengan senyuman jahil. "Sial! Mood-ku langsung hancur begitu disapa oleh orang sepertimu!" Omel wanita itu dengan tatapan yang sinis. "Ini sarapanmu, Bina." Tiba-tiba Jonathan memberikan sepiring nasi goreng hangat buatannya sendiri. "Terima kasih, paman." Balas Bina sambil menyunggingkan senyum manis. "Tch! Lihatlah keharmonisan antara paman dan keponakan di depanku ini." Leo Park berdecih sambil memasang ekspresi seolah-olah merasa jijik pada sikap Bina yang sok manis kepada pamannya, Jonathan. "Apa kau bilang?!" Bina kini mengeluarkan nada tingginya.
Prolog"Aku sudah membereskannya. Aku harap, kau tidak melupakan kesepakatan kita." ancam seorang pria pada orang lain diseberang telepon. Pria itu bahkan menarik sudut bibirnya sambil membayangkan keuntungan yang akan ia dapatkan dari kesepakatan itu.Kakinya yang terbalut sepatu coklat berbahan suede memainkan daun-daun maple yang berguguran di atas tanah. Dan dalam sepersekian detik, pria itu tertegun."Apa? Membuangnya?" tanya pria itu pada orang di seberang telepon.Pria itu memainkan revolver ditangan kirinya. Sedikit mempertimbangkan tawaran dari lawan bicaranya ditelepon. Lalu menengok ke belakangnya. Menatap dua tubuh yang sudah terkapar tidak berdaya dan bersimbah darah."Cih! Baiklah!" jawab pria itu, akhirnya.KLIKPanggilan terputus, "Sial! Menambah beban pekerjaanku saja!" umpat pria itu sambil memasukan telepon genggamnya ke dalam saku jaket hitam miliknya yang tebal.Pria itu berbalik. Berjalan denga
*** Pukul 07.00 WIB Seorang wanita berusia awal dua puluh tahunan terlihat sedang memasak di dapur. Rambut depannya sedikit terurai dengan berantakan, sedangkan rambut belakangnya ia gulung dengan rapi. "Pagi, Bina," sapa seorang pria dari belakangnya. "Pagi, Paman Jo," balas wanita itu dengan ramah. Tak lama kemudian, dua piring nasi goreng dan dua gelas air putih sudah tersaji di atas meja makan. Wanita itu melepas celemek yang sejak tadi melekat ditubuhnya dan duduk dikursi makan, sedangkan pria yang dipanggilnya 'paman' tadi duduk di seberang meja. "Kamu kelihatan semangat sekali hari ini." "Hari ini temanku menikah, paman," jawab Bina tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel miliknya. Sesuap nasi goreng masuk ke dalam mulutnya. Paman Jo terlihat menganggukkan kepalanya,"Ah! temanmu yang namanya Rini itu, ya? Bukannya dia sudah menikah dua kali?" tanya Paman Jo penuh selidik. Wanita itu seketika mele
***Rumah sakit MirantiPukul 09.00 WIBBina dan paman Jo menunggu dengan cemas di depan ruang Unit Gawat Darurat. Mereka tiba di rumah sakit tiga puluh menit yang lalu dan langsung menuju ruangan itu. Jonathan melihat keponakannya yang cemas, namun masih berusaha untuk bersikap tenang. Pria itu lantas meraih tangan Bina dan menggenggamnya. Berusaha mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja melalui tatapan matanya. Bina mengangguk lemah seolah mengerti maksud dari tatapan paman Jo.Tidak lama kemudian, seorang dokter perempuan keluar dari dalam ruang UGD diikuti beberapa perawat di belakangnya."Segera siapkan semua yang aku sebutkan barusan, mengerti?" ucap dokter itu dan dijawab anggukan patuh dari kelima perawat di belakangnya."Jadi, bisa ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi?" Dokter perempuan itu bertanya ketika kelima perawat tadi meninggalkan mereka bertiga."Kami menemukannya pagi ini di depan rumah kami, dok
***~Delapan tahun lalu~Seorang pria terlihat berlari di antara reruntuhan bangunan. Mencoba mencari tempat persembunyian dari kejaran musuh yang terus bergerak menyusulnya di belakang. Ia berhenti, bersembunyi tepat dibalik sebuah Fiat 1200 berwarna biru yang entah bagaimana bisa terparkir disana Namun rasanya akan sia-sia saja ia bersembunyi ketika melihat darah yang terus mengalir dari lengan kirinya yang terluka.'Sial! Luka ini benar-benar membuatku tidak bisa bersembunyi!' umpat pria itu dalam hati.Benar saja dugaannya. Tak lama kemudian, musuh yang sejak tadi mengejar di belakangnya, tiba-tiba muncul dari balik reruntuhan bangunan yang lain. Menatapnya sambil menyunggingkan senyum kepuasan, seolah berkata 'Kau tak akan bisa lari dariku, bodoh!'Pria berambut pirang dengan tinggi sekitar 172 cm itu mengangkat senapan berjenis M16 miliknya tepat di depan mukanya, bersiap membidik mangsanya yang sudah jelas berada di depan mata."Bersi
Bina terbangun dengan napas yang memburu. Pakaiannya basah karena keringat. Wanita itu terdiam selama beberapa saat. Mencoba mengatur napasnya yang masih terengah-engah. Setelah napasnya mulai teratur kembali, wanita itu baru menyadari kalau pamannya sedang duduk di sampingnya. Menatapnya dengan raut wajah yang khawatir.“Apa kamu baik-baik saja, Bina?” Tanya Paman Jo.Bina hanya menganggukkan kepalanya sebagai balasan. Pandangan Paman Jo kini beralih menatap tangan kanan keponakannya itu. Bina memutar kepalanya, mengikuti pandangan pamannya dan terkejut. Wanita itu segera melepaskan benda yang berada di tangan kanannya.“A-aku—Aku tidak bermaksud untuk—“ Bina tergagap. Raut wajahnya panic saat akan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Paman Jo hanya mengembuskan napas pasrah.“Kamu bermimpi buruk, kan?” Tanya Paman Jo. Wanita itu hanya bias menundukkan kepalanya, sedih.“S
Jesselyn berjalan menuju ruang tamu. Ia baru saja membuatkan secangkir coklat panas. Ia lalu meletakkan cangkir itu di atas meja ruang tamu. Lebih tepatnya, di depan laki-laki berusia empat puluh tahun-an yang masih saja duduk di atas lantai."Minumlah! Aku sudah susah payah membuatkannya untukmu, jadi habiskan!" Ucap Jesselyn.Pria itu hanya menganggukkan kepalanya, seolah mengerti. Sedangkan mulutnya tidak mau terbuka sedikit pun. Seolah terkunci dan ia tidak berniat membukannya. Jesselyn yang melihat hal itu tentu saja merasa gemas. Wanita itu menutup matanya dan menarik napas panjang. Berusaha menenangkan dirinya agar tidak terbawa emosi."Baiklah, aku saja yang minum," ucapnya acuh. Wanita itu lalu mengambil camngkir yang tadi dibawanya dan mulai meminumnya. Menyeruput isinya sedikit demi sedikit sambil mengaduh kepanasan."Ahh... Ini enak sekali. Tidak mengherankan kalau kau jadi maniak coklat selama sepuluh tahun terakhir," celotehnya sambil terus
Lampu di depan salah satu ruang operasi berubah warna menjadi hijau, tanda operasi sudah selesai. Seorang wanita paruh baya berdiri sambil terus memandang pintu ruang operasi yang perlahan terbuka. Dari dalam, muncul seorang dokter yang masih mengenakan scrub operasi berwarna biru. Wanita paruh baya itu berjalan mendekati dokter itu. "Bagaimana keadaan anakku, dokter?" Tanya wanita paruh baya itu dengan khawatir. Dokter itu tersenyum sambil menjawab dengan lembut,"Anak perempuan-mu hebat sekali. Dia sudah berhasil melewati masa kritisnya. Setelah ini dia akan dipindahkan di ruang rawat biasa dan hanya perlu menjalani pemulihan." Wanita paruh baya itu mengembuskan napas lega mendengan ucapan dokter di depannya. Tidak lama kemudian, dari dalam ruang operasi terlihat beberapa perawat mendorong tempat tidur pasien ke luar. Memindahkan pasien yang baru saja di operasi ke ruang pemulihan. Wanita paruh baya itu mengikuti dari belakang. Pergi bersama para per