***
Suasana pagi yang cerah di daratan China. Jalan-jalan kota terlihat dipadati oleh lautan manusia yang hendak mencari rezeki demi keluarga mereka.Tepat di salah satu rumah di negara tempat berdirinya tembok China itu, enam orang manusia tengah duduk berkumpul di meja makan dengan tatapan mata yang keheranan."Bina, apa kau yakin kalau dia adalah Leo Park?" Jesselyn tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi dan mulai berbisik di telinga Bina yang masih duduk terdiam menatap lurus ke arah pria yang duduk di seberangnya.Bina hanya menganggukkan kepalanya dengan mantap untuk menjawab pertanyaan dari Jesselyn. "Bukannya aku tidak percaya padamu. Tapi, dilihat dari sisi manapun, wajahnya benar-benar tidak pantas untuk disebut sebagai 'pencuri bertangan kidal.' Bagaimana menyebutnya ya? Ah, wajahnya terlalu tampan! Dia juga terlalu muda untuk usia yang sedang kita cari." Jesselyn masih saja sibuk berbisik di telinga Bina."Jadi, bagaimana***Perjalanan tim itu dimulai hari ini. Sejak dini hari sekali, ke-enam orang itu sudah berkumpul di bandara China yang terlihat sudah cukup padat dengan jadwal penerbangan. Bina baru saja kembali dari mesin kopi otomatis sambil membawa lima cup kecil kopi pesanan anggota timnya. Masing-masing dari mereka mengambil satu gelas dan mulai menyesapnya secara perlahan sebagai penghilang kantuk sekaligus sebagai penghangat dari udara dingin China di pagi hari."Wleekkkk! Kopinya tidak se-enak kopi yang biasa aku minum di kafe!" Keluh Leo Park sambil menjulurkan lidahnya keluar."Kalau mau kopi se-enak itu, silakan beli sendiri dengan kakimu." Sahut Bina ketus."Ayolah, teman-teman. Kita satu tim. Ingat, satu tim tidak boleh bertengkar apalagi sampai berkelahi," ucap Evelyn mengingatkan."Dia yang mulai duluan." Bina mempautkan bibirnya ke depan.Setelah pertengkaran kecil itu, semua anggota tim kembali terdiam di kursi tungg
***Bina terbangun di pagi harinya dengan keadaan yang cukup kacau. Rambutnya berantakan dan wajahnya masih dipenuhi dengan make up yang tidak sempat ia hapus sebelum jatuh tertidur di atas tempat tidurnya. Ditambah lagi dengan kepalanya yang berdenyut sakit, pusing dan perutnya yang mual dengan hebat. Bina buru-buru pergi ke toilet dan memuntahkan isi perutnya ke westafel.Wanita itu lalu menyalakan keran air dan membersihkan mulutnya. Bina keluar dari toilet sambil memegangi perutnya yang masih terasa mual. Kakinya perlahan melangkah menuju ke dapur. Indera penciumannya tanpa sengaja menangkap bau masakan dari arah dapur. Ia mendapati ada Evelyn di sana yang sedang sibuk mengaduk sesuatu di dalam panci di atas kompor."Kukira kau hanya pandai memimpin tim saja," ucap Bina sebagai sapaan kepada atasannya. Ia berjalan menuju ke kulkas, membukanya dan mengambil sebotol air mineral dari dalam sana."Ah, ya aku juga cukup pandai memasak. Aku buatkan
***Bina sedang berdiri di balkon seorang diri. Setelah celotehan Leo Park tadi, wanita itu tiba-tiba saja teringat pada tragedi yang menimpa orang tuanya dan berhasil merenggut nyawa mereka. Bina mengembuskan napas berat untuk kesekian kalinya. Bayangan kejadian itu selalu membuatnya merasa frustasi setiap kali ia mengingatnya."Maaf, aku tidak bermaksud membuka luka lama-mu itu." Tiba-tiba saja Leo Park muncul di belakangnya."Tak apa. Lagipula kau juga tidak tahu akan kejadian itu," jawab Bina dengan nada suara yang dingin.Leo Park kini mulai melangkah maju dan menyejajarkan tubuhnya di samping Bina. "Aku memang tidak tahu akan kejadian itu. Tapi aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang-orang yang sangat disayangi."Ucapan Leo Park membuat Bina langsung mengalihkan pandangannya kepada pria itu. Kedua alisnya kini saling bertaut saking penasarannya pada ucapan pria itu barusan. Raut wajah Bina yang berubah penasaran sukses membuat Leo Park menarik sudut bibir kanannya ke atas."
***Dua hari setelah makan malam Bina dengan Nathaniel Rothschild, wanita itu kembali diajak bertemu oleh si anak konglomerat. Bukan tanpa alasan pria kaya raya itu mengajaknya bertemu kembali. Ternyata, Nathaniel Rothschild menyanggupi syarat yang diberikan oleh Bina untuk membuktikan keseriusannya atas hubungan mereka.Maka dari itu, seluruh anggota tim terlihat sangat sibuk mempersiapkan segalanya. Bahkan Awan saja ikut sibuk membantu Jonathan untuk membuat sebuah alat yang akan dipakai oleh Bina nanti."Ini," ucap Awan sambil menyerahkan koin perak yang sama persis dengan koin perak tempo hari Bina dapatkan sebelum makan malam dengan Nathaniel.Bina mengerutkan keningnya. "Apa ini? Aku kan sudah mendapatkan alat pelacak yang sama beberapa hari yang lalu." Bina menunjukkan koin perak yang diberikan kepadanya beberapa hari yang lalu."Koin yang baru saja kuberikan berbeda. Koin perak baru itu bisa melacak keberadaanmu sekaligus memetaka
*** Bina kini masih berjalan mondar-mandir di ruang tengah sambil menggigiti kuku jari tangannya dengan cemas. Sedangkan anggota tim yang lain nampak sedang memandangi ukiran Budha asli yang berhasil mereka ambil dari tempat penyimpanan rahasia keluarga Rothschild dengan takjub. "Bina, kenapa kau terlihat cemas begitu?" Tanya Awan yang akhirnya menyadari kegelisahan rekannya. Bina menghentikan langkahnya. "Bagaimana tidak, meskipun misi pertama kita sukses dengan lancar, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya mengakhiri hubunganku dengan si anak konglomerat, Nathaniel Rothschild. Ditambah lagi, aku tidak memiliki pengalaman dalam sebuah hubungan sama sekali! Bagaimana bisa aku bertemu dengan ibunya? Sedangkan kita mendekati anaknya hanya untuk kelancaran misi saja! Apa yang harus aku katakan nanti?!
*** Matahari pagi terlihat masuk menembus kaca jendela pesawat dan menimpa wajah seorang wanita. Membuat dahi wanita tersebut sedikit berkerut karena merasa risih dengan cahaya itu. Perlahan tapi pasti, kedua matanya mulai mengintip meski masih sedikit terasa mengantuk. "Pagi, putri tidur!" Sapa seorang pria yang duduk di seberangnya dengan senyuman jahil. "Sial! Mood-ku langsung hancur begitu disapa oleh orang sepertimu!" Omel wanita itu dengan tatapan yang sinis. "Ini sarapanmu, Bina." Tiba-tiba Jonathan memberikan sepiring nasi goreng hangat buatannya sendiri. "Terima kasih, paman." Balas Bina sambil menyunggingkan senyum manis. "Tch! Lihatlah keharmonisan antara paman dan keponakan di depanku ini." Leo Park berdecih sambil memasang ekspresi seolah-olah merasa jijik pada sikap Bina yang sok manis kepada pamannya, Jonathan. "Apa kau bilang?!" Bina kini mengeluarkan nada tingginya.
Prolog"Aku sudah membereskannya. Aku harap, kau tidak melupakan kesepakatan kita." ancam seorang pria pada orang lain diseberang telepon. Pria itu bahkan menarik sudut bibirnya sambil membayangkan keuntungan yang akan ia dapatkan dari kesepakatan itu.Kakinya yang terbalut sepatu coklat berbahan suede memainkan daun-daun maple yang berguguran di atas tanah. Dan dalam sepersekian detik, pria itu tertegun."Apa? Membuangnya?" tanya pria itu pada orang di seberang telepon.Pria itu memainkan revolver ditangan kirinya. Sedikit mempertimbangkan tawaran dari lawan bicaranya ditelepon. Lalu menengok ke belakangnya. Menatap dua tubuh yang sudah terkapar tidak berdaya dan bersimbah darah."Cih! Baiklah!" jawab pria itu, akhirnya.KLIKPanggilan terputus, "Sial! Menambah beban pekerjaanku saja!" umpat pria itu sambil memasukan telepon genggamnya ke dalam saku jaket hitam miliknya yang tebal.Pria itu berbalik. Berjalan denga
*** Pukul 07.00 WIB Seorang wanita berusia awal dua puluh tahunan terlihat sedang memasak di dapur. Rambut depannya sedikit terurai dengan berantakan, sedangkan rambut belakangnya ia gulung dengan rapi. "Pagi, Bina," sapa seorang pria dari belakangnya. "Pagi, Paman Jo," balas wanita itu dengan ramah. Tak lama kemudian, dua piring nasi goreng dan dua gelas air putih sudah tersaji di atas meja makan. Wanita itu melepas celemek yang sejak tadi melekat ditubuhnya dan duduk dikursi makan, sedangkan pria yang dipanggilnya 'paman' tadi duduk di seberang meja. "Kamu kelihatan semangat sekali hari ini." "Hari ini temanku menikah, paman," jawab Bina tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel miliknya. Sesuap nasi goreng masuk ke dalam mulutnya. Paman Jo terlihat menganggukkan kepalanya,"Ah! temanmu yang namanya Rini itu, ya? Bukannya dia sudah menikah dua kali?" tanya Paman Jo penuh selidik. Wanita itu seketika mele