***
Bina memperlebar langkahnya dan mendorong pintu di depannya dengan bahu kanannya. Kedua tangannya sibuk memegang bunga krisan ungu dan segelas coffee latte kesukaannya. Ia mendorong pintu itu sampai terbuka lebar, lalu memberikan jalan kepada Awan dan kursi rodanya.
"Lain kali aku akan tunjukkan kepada-mu foto beberapa hasil gaun buatanku. Kau pasti akan terkejut," celoteh Bina dengan riang.
"Aku tidak sabar untuk melihatnya," respon Awan dengan cepat.
Bina menjauhkan tubuhnya dari pintu setelah Awan masuk ke dalam. Ia kembali berceloteh dengan riang. Kini, ia dan Awan sedang berada di dalam ruang rawat Awan selama beberapa bulan terakhir.
"Mungkin kita bisa pergi keluar bersama sesekali," usul Bina dengan antusias.
"Aku rasa itu ide yang bagus," Awan lagi-lagi menjawab dengan penuh semangat.
Bina menarik sudut-sudut bibirnya ke atas dengan senang. Ia membayangkan betapa menyenangkannya dunia di luar rumah sakit bagi
Hai, ini Rei . Salam kenal kembali bagi pembaca yang baru bergabung\^0^/ Penulis mohon maaf karena masih belum bisa rajin untuk update. Ke depannya, janji akan berusaha untuk rajin update. Terima kasih kepada para pembaca yang mau membaca cerita ini. Kritik, masukan dan saran akan sangat membantu bagi penulis. Terima kasih \^o^/
*** Jonathan terlihat masih sibuk menatap tajam tiga orang di depannya secara bergantian. Ekspresi wajahnya masih terkihat serius selama lima belas menit terakhir. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. Kaki kirinya masih asyik menyilang di atas kaki kanan-nya. Tatapan Jonathan jatuh kepada Bina yang terlihat hanya menundukkan kepalanya ke bawah. Keponakannya itu terlihat sesekali melirik ke arahnya, lalu kembali menatap ke bawah sambil menggumamkan kata-kata tidak jelas. Pria itu lalu mengalihkan pandangannya kepada wanita di sebelah kiri keponakannya yang masih setia memakai jas putih kebesarannya. Jesselyn juga terlihat beberapa kali meliriknya, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Entah itu menatap langit-langit ruangan atau hanya sekedar mengamati interior di dalam ruangan itu. Wanita itu jelas tidak ingin matanya bertemu dengan tatapan dingin Jonathan yang sedang menahan amarah. Jonathan menarik napas dengan dalam. Ia mengalihkan tatapan
*** Pukul 15.45 WIB Bina terlihat masih asyik memutar-mutar pensilnya. Sesekali ia juga menggigit ujung pensilnya yang terasa keras. Ia sekarang sedang berada di ruangannya. Sudah hampir dua jam wanita itu berada di sana. Bina menggaruk kasar bagian belakang kepalanya yang tidak terasa gatal. Otaknya terasa mengalami ke-buntu-an. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Bina menyandarkan punggungnya ke belakang. Untung saja kursinya memiliki sandaran. CEKLEK Suara pintu ruangannya terbuka. Bina kembali ke posisi duduk rapi-nya. Matanya menangkap sosok Rini yang baru saja masuk dan berbalik mendorong pintu ruangannya sampai benar-benar menutup kembali. "WAH, APA-APAAN RUANGAN KOTOR INI?" Suara Rini memenuhi ruangan Bina. Wanita itu berkacak pinggang sambil mengedarkan pandangannya ke segala penjuru di ruangan itu. Sedangkan Bina hanya melirik sebentar wanita itu, lalu membuang pandangannya ke arah lain. Memandangi beberapa lukisan di ruangan itu tanp
*** Bina berhenti di depan pintu masuk butik tempatnya bekerja. Kedua matanya menatap lurus seorang pria yang tengah asyik bersandar di samping mobil berwarna biru tua tak jauh di depannya. Bina menarik napas dan mulai berjalan mendekati pria itu. "Oh, pekerjaanmu sudah selesai semua?" Tanya pria itu begitu Bina sudah berdiri di depannya. Bina menjawabnya dengan anggukan pelan. Pria itu menyingkir dari depan pintu mobil dan membukakan pintu mobil untuk Bina. Bina menundukkan kepalanya, hendak masuk ke dalam mobil. Dengan cekatan, tangan pria itu berada di atas kepala Bina. Mencoba melindungi kepala wanita itu agar tidak terbentur dengan bagian atap mobil. Setelah ia memastikan kalau Bina sudah memasang sabuk pengamannya dengan benar, pria itu menutup pintu mobil. Ia berlari dengan cepat ke sisi lain mobil dan ikut masuk ke dalamnya. Setelah ia duduk di belakang kemudi dan memasang sabuk pengamannya, pria itu mulai menginjak pedal gas denga
***Jesselyn melangkah masuk ke dalam pekarangan rumahnya dengan langkah yang cepat. Tangan kanannya terlihat membawa sebuah kotak kecil. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Setelah membuka pintu dan melewati ruang utama, wanita itu berjalan menuju ruang bersantai di rumahnya.CEKLEKKKKMulut Jesselyn menganga dengan lebar begitu melihat keadaan ruang bersantainya. Ia mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan dengan rasa tidak percaya. Lalu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang tengah asyik membaca buku bersampul putih bertuliskan My Blue's Memoriessambil bersandar di kursi goyangnya.Jesselyn mendelik kaget begitu membaca judul sampul buku yang dipegang wanita itu. Buru-buru ia berlari ke arah wanita itu dan merebut buku itu dengan paksa. Jesselyn memeluk erat buku itu sambil memasang ekspresi ngeri."Wah, aku tidak tahu kalau Anda menyukai pria menyebalkan itu, dokter Je." Wanita itu menatap Jesselyn yang masih berd
***BRAKKKBina menutup pintu taksi yang baru saja ia naiki dengan kasar sampai-sampai sang supir melonjak kaget dan bergegas menginjak pedal gas-nya meninggalkan jalanan di depan rumah Bina yang terlihat agak sepi di siang hari.Bina melangkah masuk ke pekarangan rumahnya denga langkah tergesa-gesa. Ketika langkahnya mendekati pintu rumah, sosok pamannya terlihat keluar dari dalam rumah dengan ekspresi yang terkejut.BUGHHHSatu pukulan keras mendarat tepat di pipi kiri Jonathan. Saking kerasnya, pukulan itu mampu membuat Jonathan jatuh tersungkur di lantai.Tes!Se-tetes darah segar jatuh ke atas lantai. Membuat lantai putih itu ternodai sedikit. Jonathan menatap Bina mulai dari kaki sampai kepalanya, membuat ia mendongakkan kepalanya. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau napas keponakannya itu tersengal-sengal.'Apa yang membuatnya masih begitu marah setelah tiga hari berlalu?' Tebak Jonathan di dala
***Pukul 02.30 dini hariBina terbangun dari tidurnya dengan napas yang memburu. Ia memandang ke segala penjuru kamarnya dengan tatapan yang tajam. Setelah kesadarannya kembali sepenuhnya, wanita itu mengacak rambutnya yang terurai dengan kasar. Tangan kanannya bertopang ke atas lutut kanannya yang ditekuk.Ia merasakan kalau sebagian kaos yang dipakainya basah oleh keringat. Bina mencoba mengatur napasnya agar kembali normal. Setelah beberapa saat, napasnya kembali teratur. Bina meraih gelas di atas meja. Kosong. Bina mendesah pelan. Ia mengutuk dirinya sendiri yang pelupa di dalam hati.Dengan malas, Bina beranjak turun dari tempat tidurnya. Membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju ke dapur. Kerongkongannya terasa sangat kering. Bina segera menuju kulkas dan mengambil sebotol air putih sesampainya di dapur. Ia menenggak habis sebotol air dengan puas. Tubuhnya terasa segar kembali setelah mengeluarkan banyak keringat.Bina kembali b
***Pukul 09.30 WIBBina menggeliat pelan di atas tempat tidurnya, karena sinar matahari yang menembus celah jendela kamarnya. Wanita itu mengedipkan kedua matanya beberapa kali. Mencoba membiasakan sinar matahari masuk ke dalam matanya. Setelah matanya membuka dengan sempurna, Bina bangun dan terduduk di atas tempat tidurnya. Mencoba mengumpulkan nyawa dan berjalan ke kamar mandi setelahnya.Setengah jam kemudian, Bina sudah siap dengan setelan celana jeans hitam dan kemeja kotak hitam putih yang terlihat pas di tubuhnya. Lengan kemeja yang panjang sengaja ia lipat sampai ke siku. Rambutnya ia biarkan terurai begitu saja. Dan sepasang sneakers putih sudah melekat di kakinya. Bina mengecek penampilannya sebentar di depan kaca, lalu berjalan keluar dari kamarnya."Kau mau pergi kemana, Bina?" Suara paman Jo menyapa gendang telinga ketika Bina baru saja melangkahkan kakinya keluar kamar."Emm... Tidak pergi kemana-mana, paman."Bina menjawab t
***Langit terlihat cerah. Beberapa gumpalan putih awan ikut menghiasi langit yang cerah itu. Beberapa orang terlihat menghabiskan hari Minggu ini dengan menghabiskan waktu mereka bersama keluarga. Bina memperhatikan beberapa orang yang berjalan melewati dirinya dan Awan sambil tersenyum. Kebanyakan dari mereka menyempatkan datang ke taman ini dan menghabiskan waktu bersama keluarganya."Kau selalu terlihat bahagia setiap kali melihat sebuah keluarga." Suara pria di sampingnya sampai ke gendang telinga Bina. Bina menolehkan kepalanya ke kanan. Dalam sekian detik, kedua matanya menangkap sosok Awan yang masih tenang duduk di atas kursi roda canggih-nya."Hm? Ah, karena mereka terlihat bahagia," balas Bina seadanya. Setelah membalas perkataan Awan, wanita itu berhenti di tempat dan menengadahkan kepalanya. Mencoba meraih kehangatan sinar matahari pagi yang mengenai wajahnya. Hal itu tentu saja membuat Awan ikut berhenti.Pria itu ikut memperhatikan Bina. Se