Lampu di depan salah satu ruang operasi berubah warna menjadi hijau, tanda operasi sudah selesai. Seorang wanita paruh baya berdiri sambil terus memandang pintu ruang operasi yang perlahan terbuka. Dari dalam, muncul seorang dokter yang masih mengenakan scrub operasi berwarna biru.
Wanita paruh baya itu berjalan mendekati dokter itu.
"Bagaimana keadaan anakku, dokter?" Tanya wanita paruh baya itu dengan khawatir.
Dokter itu tersenyum sambil menjawab dengan lembut,"Anak perempuan-mu hebat sekali. Dia sudah berhasil melewati masa kritisnya. Setelah ini dia akan dipindahkan di ruang rawat biasa dan hanya perlu menjalani pemulihan."
Wanita paruh baya itu mengembuskan napas lega mendengan ucapan dokter di depannya. Tidak lama kemudian, dari dalam ruang operasi terlihat beberapa perawat mendorong tempat tidur pasien ke luar. Memindahkan pasien yang baru saja di operasi ke ruang pemulihan. Wanita paruh baya itu mengikuti dari belakang. Pergi bersama para per
*** "Kau yakin baik-baik saja?" Dokter Je bertanya pada Bina dengan khawatir. Pasalnya, alih-alih mendapat pertolongan pertama, Bina malah meminta beristirahat di ruangannya. Jadilah sekarang wanita itu tengah berbaring di sofa coklat di dalam ruangan dokter Je. "Aku tidak apa-apa, dokter Je," jawab Bina dengan pelan. "Beruntung aku masih punya stok teh chamomile untuk membuat-mu merasa lebih tenang." "Hm. Terima kasih, dokter Je," sahut Bina, lagi. "Jadi, apa dia benar-benar dalam keadaan koma sebelumnya?" Tanya Bina, penasaran. "Aku harus memeriksa keadaannya lagi, Bina. Tapi, melihat dari kejadian tadi, kemungkinan dia sudah sadar," jawab dokter Je. Bina hanya menjawabnya dengan anggukan. Mereka berdua saling hanyut dalam pikiran masing-masing selama beberapa saat sampai suara dokter Je kembali memecah keheningan di dalam ruangan itu. "Aku akan membiarkanmu beristirahat. Kau bisa pulang ketika sudah merasa ba
*** Jonathan menunggu di depan ruangan dokter Je dengan cemas. Tidak lama kemudian, sahabatnya keluar dari dalam ruangan. Pria itu segera menghampiri wanita itu. "Ba-bagaimana keadaan Bina?" Tanya-nya pada dokter Je. " Dia tidak apa-apa. Hanya perlu istirahat sebentar. Aku sudah memberinya teh chamomile untuk membuatnya merasa lebih tenang," jelas dokter Je. "Apa aku boleh masuk?" "Tidak perlu. kekhawatiran-mu hanya akan membuatnya merasa terganggu," jelas wanita itu, lagi. Jonathan hanya mengangguk pasrah. Yah, bukannya wajar kalau seorang paman merasa khawatir pada keponakan sekaligus anggota keluarga satu-satunya, kan? "Jadi, apa kau sudah menemukan identitas pria itu?" Dokter Je mengambil gilirannya untuk melemparkan pertanyaan. Jonathan memilih menjawabnya dengan gelengan kepala. "Aku sudah berusaha mencari dari berbagai kalangan mulai dari orang biasa sampai mafia sekalipun. Tapi tidak ada DNA yang c
*** Taman rumah sakit Miranti terlihat sedikit ramai di hari minggu. Beberapa orang menjenguk anggota keluarganya yang menjadi salah satu pasien di rumah sakit ini. Yang jelas, Bina bisa melihat kebahagiaan yang terpancar dari raut wajah dan tawa mereka. Kebahagiaan yang membuatnya cukup iri. "Bukankah tawa dan senyuman mereka membuat kita merasa iri?" Bina menengok ke sebelah kirinya sambil sedikit memiringkan kepalanya ke kanan, karena merasa bingung pada ucapan pria di sampingnya. Sedangkan yang ditatap masih saja memandang lurus ke depan mereka. "Beberapa orang yang tidak ditakdirkan bersama dengan keluarganya pasti merasa iri melihat pemandangan seperti ini, kan. Sama sepertimu. Kau merasa iri pada kebahagiaan mereka," jelas pria itu. Bina terpaku. Lidahnya terasa kelu untuk sekedar membalas perkataan pria di sampingnya. Ia mengigit bibir bawahnya. Potongan-potongan kejadian delapan tahu yang lalu berputar seperti sebuah kaset yang rusak
***Pukul 13.00 WIBIbukota terlihat diguyur hujan siang ini. Beberapa orang terlihat berlari dengan terburu-buru. Mencoba mencari tempat berteduh di pinggiran toko atau tempat terdekat. Seorang wanita muda terlihat menatap hujan dari dalam toko gaun pernikahan bernama Kizura's Wedding Dress sambil berdiri. Sesekali matanya memperhatikan tetesan air hujan yang menempel di kaca toko. Sedang ia bertopang dagu. Pikirannya terbang entah kemana."Kenapa melamun kayak gitu? Lagi mikirin pacar kamu, ya?"Suara seseorang menyapanya dari belakang. Membuat wanita itu sedikit tersadarkan dari pikirannya. Kini, di depannya berdiri seorang wanita berusia 26 tahun yang sedang tersenyum jahil kepadanya. Wanita itu ikut tersenyum menyadari tingkah jahil atasannya."No, mrs. Kizura. Aku hanya senang melihat hujan," balas wanita muda itu sambil ikut tersenyum.Wanita di depannya kini mulai menyipitkan kedua matanya. Memperhatikan setiap inci tubuh karyawan di
***Rumah sakit MirantiPukul 09.00 WIBBina terlihat berjalan dengan santai di depan parkiran rumah sakit. Ditangannya, ada seikat bunga krisan berwarna ungu. Ia berjalan masuk dan melangkahkan kakinya menuju resepsionis, seperti biasanya."Apa ada yang bisa kami bantu?" Tanya seorang wanita di belakang meja resepsionis."Aku mau bertemu dengan pasien khusus dokter Je." Bina menjawab dengan wajah yang ceria.Wanita dibalik meja resepsionis terlihat menge-cek jadwal dari layar komputer. Bina menunggu sambil melihat-lihat orang yang berlalu-lalang di sekitarnya. Kebiasaan lama yang masih saja menjadi kegiatan favoritnya sampai sekarang. Matanya lalu menangkap sosok yang ia sedang cari sejak tadi. Sedang berjalan menuju taman rumah sakit dengan kursi roda yang biasa ia pakai.Seolah terhipnotis, Bina berjalan mengikuti orang itu. Mengekor di belakangnya dengan hati-hati. Pikirannya hanya terfokus pada pria yang duduk di atas
***Bina mengikuti langkah dokter Je yang mempercepat langkahnya jauh di depan. Ia lalu memutuskan untuk berlari, mengejar dokter muda itu. Kejadiannya terjadi begitu cepat. Beberapa detik yang lalu, dokter muda itu menangkap basah ia dan pasien khususnya yang sedang mengobrol. Lalu wanita itu langsung menatapnya dengan tajam, lalu pergi begitu saja dari tempat itu.GREPPBina berhasil meraih lengan dokter Je. Dokter muda itu refleks menghentikkan langkahnya seiring dengan cengkraman Bina di lengannya yang semakit menguat."Aku tidak mengerti kenapa kau se-marah ini, padahal aku hanya mengobrol dengannya, dokter Je."Ucapan Bina membuat dokter muda itu mengembuskan napas kesal. Jesselyn berkacak pinggang. Wanita itu menundukkan kepalanya. Terlihat berpikir sebentar. Bina bisa melihat kalau sahabat pamannya itu terlihat frustasi. Setelah terdiam selama hampir sepuluh menit, Jesselyn kembali mendongakkan kepalanya. Menatap Bina dengan tatapan yang ta
*** Pukul 10.00 Rumah sakit Miranti Seorang wanita terlihat berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Di tangan kanan-nya ada sebuket kecil bunga Krisan ungu. Wanita itu terlihat berpakaian sederhana, namun masih tetap menawan seperti biasanya. Kaos putih lengan pendek yang dipadukan dengan jaket jeans biru tua sepanjang pinggangnya dan celana jeans panjang dengan warna yang senada dengan jaketnya. Rambut hitamnya ia atur dengan gaya kuncir kuda setengah. Membuatnya tetap terlihat anggun meskipun style berpakaiannya yang sedikit tomboy. Langkahnya terhenti di depan sebuah kaca berukuran sedang yang memperlihatkan keadaan di dalam ruangan bertuliskan FISIOTERAPI. Wanita itu mengetuk kaca tersebut sebanyak tiga kali, lalu melambaikan tangan kirinya sambil tersenyum lebar kepada seorang pasien dan seorang perawat di dalam ruang itu. Tiba-tiba, seorang wanita memakai jas putih yang panjangnya sampai ke lututnya menyapanya. "Sepertinya kau pun
*** Bina memperlebar langkahnya dan mendorong pintu di depannya dengan bahu kanannya. Kedua tangannya sibuk memegang bunga krisan ungu dan segelas coffee latte kesukaannya. Ia mendorong pintu itu sampai terbuka lebar, lalu memberikan jalan kepada Awan dan kursi rodanya. "Lain kali aku akan tunjukkan kepada-mu foto beberapa hasil gaun buatanku. Kau pasti akan terkejut," celoteh Bina dengan riang. "Aku tidak sabar untuk melihatnya," respon Awan dengan cepat. Bina menjauhkan tubuhnya dari pintu setelah Awan masuk ke dalam. Ia kembali berceloteh dengan riang. Kini, ia dan Awan sedang berada di dalam ruang rawat Awan selama beberapa bulan terakhir. "Mungkin kita bisa pergi keluar bersama sesekali," usul Bina dengan antusias. "Aku rasa itu ide yang bagus," Awan lagi-lagi menjawab dengan penuh semangat. Bina menarik sudut-sudut bibirnya ke atas dengan senang. Ia membayangkan betapa menyenangkannya dunia di luar rumah sakit bagi