Dua orang siswa mengangkat tangannya secara bersamaan setelah seorang guru menyebutkan sebuah nomor. Keduanya lantas saling memandang satu sama lain, kaget dengan kebetulan yang cukup mengerikan bagi mereka. Mereka sudah cukup memanas hanya dengan saling berpapasan saja, apa kabar jika harus mengerjakan tugas bersama-sama?
"Pak, saya boleh ganti pasangan gak?" protes Arumi langsung.
Yejun yang mendengar itu lantas menyeringai dan menatap Arumi sinis.
"Tidak bisa Arumi. Salah satu poin penilaian tugas ini adalah kalian harus bisa bekerja sama dengan siapa saja, makanya bapak meminta kalian memilih nomor acak," jelas Pak Irfan.
Arumi hanya bisa mengangguk lemas. Mungkin mata pelajaran inilah yang akan menjadi mata pelajaran pertama dalam hidupnya yang akan tidak lulus. Sungguh, Arumi berharap hal itu tidak akan terjadi karena akan mengancam beasiswanya sebagai siswa berprestasi.
Bisa-bisa, ia akan berhenti sekolah karena tak mampu membayar biaya sekolah. Apalagi sekolahnya ini masuk dalam deretan sekolah dengan biaya termahal.
Arumi beruntung bisa bersekolah di tempat ini karena bantuan pamannya yang merupakan pemilik sekaligus kepala sekolah di sini, sehingga ia dengan mudah mendapatkan beasiswa dengan prestasinya.
Meski begitu, Arumi juga tidak ingin tetap mendapat beasiswa hanya karena hubungan kekerabatan untuk menghindari gosip miring orang-orang, makanya Arumi sudah belajar keras sejauh ini.
***
"Duh Citra, gimana nih?! Masa gue harus kerja tugas sama dia?!" gerutu Arumi, akhirnya selesai mengeluarkan keluh kesahnya.
Teman sebangku sekaligus sahabat Arumi yang bernama Citra itu sama sekali tidak menoleh ke arahnya, ia sibuk memilih-milih buku novel yang cocok untuk ia pinjam. Citra tampak tidak terusik sama sekali dengan kelakuan Arumi yang sedari tadi mengikuti langkahnya ke rak manapun ia pergi dan berhenti.
"Huss... volume lo kecilin dikit, Rum! Ini perpustakaan, entar lo kena tegur Bu Wana mau?"
"Alhamdulillah! Akhirnya lo buka suara juga setelah 2 dekade gue ngomong!" ucap Arumi dramatis.
Arumi sejak tadi sudah seperti orang gila berbicara sendiri. Ia memang selalu seperti itu hanya kepada Citra sahabat terdekatnya, ketika berada dalam kesulitan. Tentu saja, Citra selalu memilih membiarkan Arumi mengeluarkan semua uneg-unegnya sebelum akhirnya ia angkat bicara. Itu karena Arumi terus berbicara tanpa jeda, sehingga Citra tidak punya celah untuk sekedar memberi respon.
"Mau gimana? Lo nyerocos terus!" sungut Citra.
Arumi hanya bisa cengengesan seperti biasa. Ia juga sudah tau, kalau Citra lebih suka mendengarkannya saja ketika sedang curhat.
"Jadi gue mesti gimana?!" keluh Arumi.
"Yaudah!"
"Yaudah apa?"
"Kalian kerja tugasnya sampai selesai. Bereskan?" saran Citra enteng.
Arumi menghembuskan napas kasar.
"Nggak bisa!" gerutunya.
Citra kini menoleh ke arah Arumi.
"Kenapa nggak bisa? Lo tinggal berusaha sabar aja selama ngerjain tugasnya. Lo kan orangnya super sabar, Rum."
"Bukannya gue yang nggak bisa, tapi orang itu yang nggak bakalan mau. Gue bisa bersabar, tapi lo liat sendiri kan tadi, dia sinis banget ke gue pas di kantin."
Arumi memasang wajah cemberutnya. Masalah ini benar-benar lebih sulit baginya dari sekedar mengerjakan tugas fisika penuh rumus saat ia SMP dulu.
Citra lantas memegang bahu Arumi, menyalurkan beberapa semangat yang mungkin hampir tak tersisa pada gadis itu.
"Arumi Razita Yusuf. Dengerin gue, gue tau lo pasti bisa ngerjain tugas ini sama dia. Dia nggak mungkin nolak lah, kan dia juga butuh buat lulus mapel itu. Jangan langsung neting gitu, lo coba aja dulu!"
Arumi terlihat berpikir sejenak.
"Lo yakin?"
"Yakin 1000 persen. Lo pasti bisa lulus mapel itu!"
Arumi lantas mengangguk setuju, ia tampak sedikit ceria dari sebelumnya. Sesuai dugaan, Citra selalu memberikan saran dan semangat yang tepat untuknya.
"Tenang aja gue juga bakal bantuin lo," tambah Citra.
"Hah, beneran?" balas Arumi senang.
"Iya."
"Gimana caranya?"
"Nanti lo tau." Citra tersenyum penuh arti.
***
Triing....
My Honey
"Heh, Lo kenapa, Bas? Ada penyakit asma?" tanya Yejun agak khawatir melihat Bastian yang terlihat sesak napas tiba-tiba.
Lebih tepatnya sesak napas yang dibuat-buat oleh Bastian.
"T-tolong Jun, gue kekurangan oksigen!" balas Bastian sok dramatis sembari mengarahkan ponselnya kepada Yejun.
Yejun lantas melihat ponsel itu sekilas, lalu mendengus jengah.
"Dasar alay lo!" cibir Yejun.
"Biarin!" cicit Bastian, masih senyam-senyum sendiri sembari mulai memainkan jarinya mengetikkan chat balasan.
My Honey
Iya sayangkuh....
Ada apa, hmm?
Oh tentu bisa...
Apapun buat my honey :)Bastian kan deket sama Yejun,
bisa tolong tanyain dia gak,dia jadi tetep mau kerja tugasbareng Arumi atau nggak? √√Ahsiyaap my honey :)
Tunggu bentar ya sayangkuhIya :) √√
Yejun yang sedang asyik memainkan gitar di tangannya, lantas berhenti dan menatap Bastian bingung.
"Kenapa tiba-tiba?" balas Yejun.
"Tiba-tiba apaan?"
"Tiba-tiba nanyain itu?"
"Ya enggak, gue cuman keinget kemarin lo sempat war sama dia, kan? Ya gue kepo aja gitu!" kelit Bastian.
Yejun sama sekali tak merasa curiga dengan pertanyaan Bastian yang tiba-tiba menanyakan itu, sebab ia tidak tau bahwa pacar Bastian adalah Citra. Yejun bahkan baru tau kalau Bastian punya pacar, setelah melihat isi chat Bastian tadi.
"Dah lah gue juga pusing!" keluh Yejun.
"Kenapa?" tanya Bastian.
"Gue bingung mau kerja tugas sama dia gimana caranya? Dia sinis gitu sama gue!" imbuh Yejun, kembali memainkan gitar di tangannya asal-asalan.
"Kalo lo sendiri, mau gitu kerja tugas bareng dia?" pancing Bastian.
"Ya kali gue nolak! Bisa nggak lulus nilai gue!"
"Bisa-bisa gue kena mental lagi sama si kakek tua!" gerutu Yejun dalam hati.
Bastian lantas mengangguk-angguk.
"Semangat lo!" ucap Bastian menepuk bahu Yejun, lalu kembali mengeluarkan ponselnya dari saku celananya.
My Honey
Tapi Bastian jangan bilang
Citra yang nanya ya! √√Ahsiyaap my honey :)
Tunggu bentar ya sayangkuhIya :) √√
My honey, si Yejun katanya tetep
mau kerja tugas bareng ArumiCuman, dia keknya gengsimau ngajakOke bagus...
Kalo gitu, Citra mau minta tolongBastian lagi boleh? √√Mengetik...
Pintu dibuka dan menampakkan 2 orang siswa melewati pintu itu. Keduanya tak lain Bastian yang diikuti Yejun di belakangnya. Mereka sekarang berada di tempat paling atas dari gedung jurusan atau yang biasa mereka sebut rooftop.
"Welcome in my markas tersembunyi!" seru Bastian sembari merentangkan tangannya dengan nada percaya dirinya.
"Gue kira lo bohong!" dengus Yejun sedikit terperangah.
Hal yang harus diingat betul oleh setiap siswa-siswi di sekolah ini adalah peraturan dan tata tertib sekolah yang harus ditaati oleh mereka. Ya, dan salah satu aturannya melarang siswa berada di rooftop sekolah tanpa izin dari guru.
Bastian hanya tersenyum merekah sembari melihat-lihat pemandangan yang bisa ditangkap netranya dari ketinggian itu.
"Lo dapat kunci rooftop darimana, Bas?" selidik Yejun.
"Gue nggak sengaja nemu di jalan dekat pos satpam. Eh, pas Pak Tono muncul dia lagi nyari trus malah nanya ke gue. Gue bilang aja kagak liat, trus gue reparasi dulu. Besoknya baru gue sok nemu di parkiran, wakakakk..." terang Bastian tertawa mengingat keusilannya kepada Pak Tono satpam sekolahnya.
"Dasar gila lo!" Yejun menampol lengan Bastian pelan.
"Wadduh..." ringis Bastian.
"Eh, sorry! Perasaan gue nepuknya pelan."
"Gue kebelet! Gue ke toilet bentar, yak?" pamit Bastian dan langsung mengacir meninggalkan Yejun sendirian di rooftop itu.
"Kirain...." Gumam Yejun sembari geleng-geleng kepala.
Yejun menatap ke segala arah. Apa-apa saja yang bisa ditangkapnya dari atas gedung itu membuatnya melamun mengingat dirinya yang juga sering berkumpul di rooftop gedung agensi, dengan teman-teman se-trainee-nya di Korea dulu.
Lima menit berlalu, suara pintu dibuka dari arah belakang Yejun. Namun pria itu sama sekali tak menyadarinya karena masih tenggelam dalam lamunannya.
"Ekheem...."
Suara dehaman seseorang di belakangnya membuyarkan lamunan Yejun. Suara itu jelas bukan suara Bastian, karena suaranya jelas suara seorang perempuan.
Yejun tersentak sejenak sebelum akhirnya memutar tubuhnya menghadap orang itu.
Wajah Yejun lantas sangat kaget dengan kehadiran seseorang yang sekarang berdiri di hadapannya.
"LO?!"
"KENAPA LO BISA DI SINI?!" decak Yejun.
Itu Arumi. Perempuan yang belakangan ini terkadang memasuki pikiran Yejun, entah sekedar mengingat pertengkaran kecil mereka dan ucapan sarkas gadis itu padanya.
Arumi mendengus sebal dengan respon pria di hadapannya. Lagi-lagi, tatapan itu. Tatapan sinis yang selalu mereka tunjukkan satu sama lain ketika berpapasan atau tak sengaja bertemu pandang.
"Kenapa emang? Ini juga sekolah gue!" desis Arumi.
Yejun membeo merasa kesal dengan jawaban gadis itu.
"Siswa dilarang ke rooftop, lo nggak tau?!" sarkas Yejun.
"Tau!" jawab Arumi cepat.
"Lah, trus ngapain lo di sini?!" desak Yejun tajam.
"Lo juga ngapain di sini? Lo juga siswa, kan? Atau lo teroris?" tantang Arumi tak kalah tajam.
Yejun mengerjap. Baru kali ini ada perempuan yang berani menjawab ucapannya sampai ia tak berkutik.
Selama ini gadis-gadis yang pernah di temuinya tidak ada yang berani menjawabnya sekali pun ia berbicara sembarangan dan sarkas. Mungkin karena mereka terlanjur dimabuk cinta oleh ketampanan seorang Yejun.
Yejun mendengus kesal. Ia bergegas ingin meninggalkan tempat itu. Tadinya tempat itu cukup sejuk untuknya, tapi sekarang tiba-tiba menjadi panas.
"Gue mau bicara!" ucap Arumi tiba-tiba.
Membuat Yejun yang baru beberapa langkah melewatinya lantas menghentikan kakinya.
Arumi membalik badannya menghadap pria itu.
"Gue mau bicara sama lo," ulang Arumi lirih.
Yejun menghela berat, mau tak mau ia memutar tubuhnya juga menghadap gadis itu.
"Apa?" tanya Yejun datar.
Arumi menelan liurnya kasar, sebelum akhirnya memberanikan diri mengutarakan maksud dan tujuannya.
"Meskipun gue nggak suka dipasangkan sama lo dalam tugas Pak Irfan, tapi gue lebih nggak sudi kalau nilai gue jadi taruhannya. Jadi, lo mau nggak mau juga harus kerja tugas itu sama gue," terang Arumi.
Yejun hanya diam menatap Arumi datar dalam beberapa saat, membuat tatapan mereka kembali beradu secara intens. Namun kali ini bukan tatapan penuh emosi rasa kesal yang mereka lemparkan satu sama lain seperti biasanya, melainkan tatapan datar yang entah apa yang mereka pikirkan di kepala mereka masing-masing. Keduanya menciptakan keheningan sesaat.
"Besok..." ucap Arumi, mengusir keheningan itu.
"Besok?" tanya Yejun bingung, menaikkan sebelah alisnya.
"Besok, setidaknya kita harus diskusi-in jenis bisnis apa yang akan kita angkat menjadi tema. Jadi lo coba pikirin beberapa ide untuk diskusi kita besok. Gue juga bakal gitu," jelas Arumi.
"Hmm...."
Yejun hanya berdeham sembari menganggukkan kepalanya pelan tanda setuju dengan ucapan gadis di hadapannya.
"Udah, itu aja?" tanya Yejun datar.
Arumi terlihat berpikir sebentar.
"Oh iya, besok diskusinya di perpus aja pas selesai makan siang, gimana?" balas Arumi meminta pendapat.
"Nggak! Gue risih di perpus lama-lama," jawab Yejun langsung.
Yejun sudah sering datang ke perpustakaan untuk sekedar mencari materi tugas atau membaca komik di sana, dan ia sudah hatam dengan tatapan siswi-siswi dan bisikan mereka tentang dirinya yang masih bisa ia dengar.
Sebenarnya itu bukan masalah yang besar bagi Yejun, karena mereka juga menatap dan berbisik dengan rasa kagum dan suka kepadanya. Hanya saja, Yejun dibuat risih karena hal itu dan kali ini entah tatapan dan gosip apa yang akan keluar dari mulut mereka jika melihat dirinya dengan seorang siswi.
Yejun terkenal dengan image yang dingin dan cuek kepada perempuan, sejak kedatangannya ke sekolah ini. Yejun sama sekali belum pernah terlihat berinteraksi dengan ramah atau santai dengan siswi manapun, karena ia selalu menatap sinis pada siswi manapun yang mendekatinya. Meski begitu, tidak satu pun dari siswi itu merasa sakit hati dan lantas membencinya, karena bagi mereka itulah daya tarik seorang Yejun Adley Maheswara.
"Trus di mana?" bingung Arumi.
Gadis itu sedikit menunduk dan berpikir, lalu membuat lengkungan kecil di bibirnya. Yejun bisa melihat tingkah Arumi dengan jelas, membuat pria itu menciptakan senyum tipis di bibirnya. Bagi Yejun, gadis itu terlihat lucu dan menggemaskan dengan ekspresi itu.
"Di rumah lo aja, bisa?" tanya Yejun.
Arumi lantas mengangkat kepalanya menatap pria di hadapannya itu, sedikit tercengang dengan pertanyaan Yejun. Kenapa juga pria ini memberi saran mengerjakan tugas mereka di rumahnya? Kenapa juga pria ini harus merasa risih jika di perpus? Dan jika risih di perpus, kenapa tidak memberi saran di kafe atau tempat lain selain rumahnya?
Arumi kembali terlihat berpikir sejenak, lantas akhirnya mengiyakan saja saran itu. Toh, dengan begitu ia tidak harus keluar rumah dan uang jajannya menjadi aman karena ia tidak harus membeli minuman jika mengerjakannya di kafe. Apalagi di rumah juga ada kakaknya yang kuliah jurusan bisnis, ia juga bisa sekalian bertanya-tanya jika menemui kesulitan.
"Udah, kan?"
Yejun kembali bertanya , dan langsung diangguki lagi oleh Arumi. Pria itu lantas memutar tubuhnya dan meninggalkan Arumi sendirian di sana.
"Serius, barusan auranya dingin banget! Sekarang baru berasa hangat. Dasar 'Makhluk Antartika'! Dia dapet kunci rooftop darimana?" gumam Arumi, mengelus kedua bahunya sok dingin.
***
Pria itu lantas menaruh secarik kertas di atas meja Arumi dengan gerakan cepat saat ia melewati meja gadis itu. Tidak satu pun siswa di kelas itu yang menyadari apa yang dilakukan Yejun, karena siswa lain juga sedang sibuk membereskan barang-barang di atas mejanya ke dalam tas atau laci, dan satu persatu segera mengacir ke kantin.Namun, tentu saja si empunya meja tidak akan luput dari hal itu. Arumi tercengang saat pria itu tiba-tiba menaruh kertas kecil di atas mejanya, netranya terus mengikuti langkah Yejun menuju pintu hingga hilang dari pandangannya.Arumi langsung meraih kertas kecil itu, sebelum ada siswa lain yang melihatnya. Bahkan Citra sahabatnya yang duduk di sampingnya juga tidak menyadarinya."Arumi, yok lah ke kantin!" ajak Citra."Eh, iya Cit. Lo ke kantin duluan aja, gue mau ke toilet dulu bentar," balas Arumi sedikit gugup.Citra sahabatnya tentu saja tidak menyadari kegu
Sesuai rencana, siang ini sepulang sekolah Yejun akan bertandang ke rumah Arumi untuk mendiskusikan tugas akhir dari mata pelajaran Pak Irfan. Yejun kini sudah sampai di depan sebuah rumah minimalis bercat biru putih. Dua puluh menit yang lalu, ia mendapat kiriman shareloc dari Arumi dan langsung meluncurkan motor ninja miliknya ke tempat itu.Yejun lantas segera membuka pagar berwarna putih di depannya dan langsung masuk ke sana. Dari luar, sebenarnya Yejun sudah menangkap kehadiran seorang pria paruh baya yang sedang duduk di teras rumah."Assalaamu'alaikum. Permisi, Pak!" sapa Yejun.Pria yang sudah memasuki usia kepala 4 itu, lantas menghentikan aktifitasnya yang tengah serius membaca koran, ia mengangkat kepalanya menatap orang yang menyapanya."Wa'alaikumussalaam. Iya, Nak. Ada perlu apa, ya?" balas pria itu."Saya Yejun, teman sekelasnya Arumi. Saya ke sin
Suasana langit sore tampak mendung di tutupi oleh awan yang mulai menghitam. Mungkin sebentar lagi akan segera turun hujan. Sudah sekitar 2 jam lebih Yejun berada di rumah Arumi. Diskusi mereka baru saja selesai, setelah beberapa drama panjang antara keduanya, di mana Yejun terus-menerus bertingkah ini itu. Awalnya Yejun hanya diam menatap Arumi sok mendengarkan penjelasannya, tapi ujung-ujungnya meminta pikir ulang tentang temanya, lalu banyak menyanggah dan tidak menyetujui beberapa teknis dalam rencana Arumi, saat Arumi meminta sarannya, Yejun malah dengan santai bilang tidak tau apa-apa. Benar-benar membuat Arumi jengah. "Assalaamu'alaikum." "W*'alaikumussalaam," jawab Arumi. Arumi dan Yejun menoleh ke asal suara. Seorang pria bertubuh tinggi, berkulit putih dengan hoodie abu-abu dan celana jeans hitam, menggendong tas di punggungnya, tengah ber
Yejun baru saja pulang dan Arumi masih berdiri tercengang di depan rumah mengingat kejadian beberapa menit lalu. Ia menepuk-nepuk lembut kedua pipinya yang terasa panas sambil menyunggingkan senyum tipis. Sepertinya kedua pipinya yang cubby itu sudah memerah sejak tadi."Yejun nyadar pipi gue merah, gak ya? Duh, malu banget gue!" batin Arumi, menutup wajahnya dengan kedua tangan."Marmut! Ngapain nutup mata malam-malam di depan rumah? Main petak umpet? Sama siapa?" berondong Ali, yang baru saja masuk pekarangan rumah."Iih, Mas Ali suka banget sih manggil Arumi Marmut?! Arumi nggak suka!"Arumi mengerutkan keningnya dan menatap sok tajam pada Ali. Lebih tepatnya, ia hanya ingin mengalihkan pembicaraan dari serbuan pertanyaan kakaknya barusan."Udah terima aja! Itu panggilan sayang dari Mas Ali," goda Ali mengedipkan satu matanya."Apaan? Nggak ma
Sejak beberapa hari lalu, Arumi sudah berencana akan pergi ke toko buku untuk mencari beberapa materi penunjang tugas. Kini gadis itu baru saja melangkahkan kakinya memasuki sebuah Mall besar yang ada di Jakarta seorang diri. Beberapa menit lalu, Arumi menumpang pada kakaknya Ali sampai di depan Mall, lantas Ali langsung pergi lagi karena hari ini ada rapat di organisasinya.Tak memakan waktu lama, Arumi sudah masuk ke dalam spot yang dipenuhi dengan buku tertata rapi di rak-rak dan meja. Arumi berjalan mencari buku-buku yang berkaitan dengan tugas yang sedang dikerjakannya, matanya menangkap buku novel yang sangat ingin dibelinya, lantas ia berhenti di meja itu lebih dulu.Tangan Arumi terulur berusaha mengambil novel itu, namun tiba-tiba saja tangan seseorang berhasil mendahuluinya. Membuat Arumi refleks menatap ke wajah pemilik tangan."Eh, sorry. Lo mau beli ini?" tanya orang itu."Iy
2021, in AmerikaSeorang pria keluar dari lift lantai 7 sebuah hotel, ia berjalan santai melewati satu persatu pintu hotel yang ada di sana, sampai ia akhirnya berhenti di depan sebuah pintu bernomor 709, ia mengeluarkan sebuah kartu dari jasnya, orang itu menggunakannya membuka pintu.Pintu terbuka, pria itu masuk ke sana, berjalan menuju sebuah ruangan di dalam sana, ia mengetuk pintu."Masuk!"Samar-samar terdengar perintah dari dalam, pria itu membuka pintu, ia berdiri di hadapan seorang pria paruh baya dan menunduk memberi salam."Selamat malam, CEO Daehyun!" sapa pria itu."Ini hasil pengintaian kami selama seminggu terakhir."Pria itu menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat kepada pria yang ia sebut sebagai direktur."Bagus! Pembayaran segera ditransfer, kembalilah!" sahut direktur itu.
Cuaca siang ini sangat panas seakan mampu membakar habis lapisan bumi. Begitu juga mungkin gambaran hati seorang pria yang baru saja keluar dari pintu kedatangan penumpang pesawat asal Korea Selatan. Wajahnya tampan sebagaimana pria muda Korea yang saat ini sangat digandrungi.Pria itu bertubuh jangkung, berkulit putih pucat, memakai kaos putih, luaran kemeja hitam dan jeans warna coklat, lengkap dengan kacamata berwarna senada dengan celananya dan tas kecil yang ia kenakan. Di sisinya terdapat sebuah koper berukuran jumbo yang ia seret dengan santai sembari berjalan keluar bandara.Pria itu berhenti sejenak, melepas kacamata yang ia kenakan. Pandangannya menyapu area bandara dengan tatapan nanar."Gue benar-benar balik!" batin pria itu tak suka.Ia menghela berat, mencoba menerima situasinya saat ini."Den Yejun?!"Seseorang mengagetkan pria itu, matanya menatap
Pagi yang sangat cerah, di depan gerbang sebuah sekolah bertuliskan Highscope Indonesia, salah satu sekolah menengah atas yang elit di Ibukota.Sudah lumayan banyak siswa-siswi yang mulai berdatangan memasuki area persekolahan itu, sama seperti mobil sport berwarna putih yang juga sedang membelok dari arah kanan memasuki area sekolah.Mobil itu membelok ke tempat parkir khusus kendaraan beroda empat dan berhenti di sana, beberapa mobil lainnya tampak sudah terparkir dengan rapi. Seorang pria keluar dari mobil itu, menutup pintu mobilnya sedikit kasar, lalu memasang kacamata hitam yang ada di tangannya.Pria itu Yejun. Pria bernama lengkap Yejun Adley Maheswara, cucu tunggal dari Mahendra Maheswara, pemilik perusahaan MW Grup yang sangat terkenal di Jakarta.Yejun mulai berjalan keluar dari parkiran, menuju ke salah satu gazebo kosong terdekatnya, ia memutuskan menunggu Ibunya yang akan me
Sejak beberapa hari lalu, Arumi sudah berencana akan pergi ke toko buku untuk mencari beberapa materi penunjang tugas. Kini gadis itu baru saja melangkahkan kakinya memasuki sebuah Mall besar yang ada di Jakarta seorang diri. Beberapa menit lalu, Arumi menumpang pada kakaknya Ali sampai di depan Mall, lantas Ali langsung pergi lagi karena hari ini ada rapat di organisasinya.Tak memakan waktu lama, Arumi sudah masuk ke dalam spot yang dipenuhi dengan buku tertata rapi di rak-rak dan meja. Arumi berjalan mencari buku-buku yang berkaitan dengan tugas yang sedang dikerjakannya, matanya menangkap buku novel yang sangat ingin dibelinya, lantas ia berhenti di meja itu lebih dulu.Tangan Arumi terulur berusaha mengambil novel itu, namun tiba-tiba saja tangan seseorang berhasil mendahuluinya. Membuat Arumi refleks menatap ke wajah pemilik tangan."Eh, sorry. Lo mau beli ini?" tanya orang itu."Iy
Yejun baru saja pulang dan Arumi masih berdiri tercengang di depan rumah mengingat kejadian beberapa menit lalu. Ia menepuk-nepuk lembut kedua pipinya yang terasa panas sambil menyunggingkan senyum tipis. Sepertinya kedua pipinya yang cubby itu sudah memerah sejak tadi."Yejun nyadar pipi gue merah, gak ya? Duh, malu banget gue!" batin Arumi, menutup wajahnya dengan kedua tangan."Marmut! Ngapain nutup mata malam-malam di depan rumah? Main petak umpet? Sama siapa?" berondong Ali, yang baru saja masuk pekarangan rumah."Iih, Mas Ali suka banget sih manggil Arumi Marmut?! Arumi nggak suka!"Arumi mengerutkan keningnya dan menatap sok tajam pada Ali. Lebih tepatnya, ia hanya ingin mengalihkan pembicaraan dari serbuan pertanyaan kakaknya barusan."Udah terima aja! Itu panggilan sayang dari Mas Ali," goda Ali mengedipkan satu matanya."Apaan? Nggak ma
Suasana langit sore tampak mendung di tutupi oleh awan yang mulai menghitam. Mungkin sebentar lagi akan segera turun hujan. Sudah sekitar 2 jam lebih Yejun berada di rumah Arumi. Diskusi mereka baru saja selesai, setelah beberapa drama panjang antara keduanya, di mana Yejun terus-menerus bertingkah ini itu. Awalnya Yejun hanya diam menatap Arumi sok mendengarkan penjelasannya, tapi ujung-ujungnya meminta pikir ulang tentang temanya, lalu banyak menyanggah dan tidak menyetujui beberapa teknis dalam rencana Arumi, saat Arumi meminta sarannya, Yejun malah dengan santai bilang tidak tau apa-apa. Benar-benar membuat Arumi jengah. "Assalaamu'alaikum." "W*'alaikumussalaam," jawab Arumi. Arumi dan Yejun menoleh ke asal suara. Seorang pria bertubuh tinggi, berkulit putih dengan hoodie abu-abu dan celana jeans hitam, menggendong tas di punggungnya, tengah ber
Sesuai rencana, siang ini sepulang sekolah Yejun akan bertandang ke rumah Arumi untuk mendiskusikan tugas akhir dari mata pelajaran Pak Irfan. Yejun kini sudah sampai di depan sebuah rumah minimalis bercat biru putih. Dua puluh menit yang lalu, ia mendapat kiriman shareloc dari Arumi dan langsung meluncurkan motor ninja miliknya ke tempat itu.Yejun lantas segera membuka pagar berwarna putih di depannya dan langsung masuk ke sana. Dari luar, sebenarnya Yejun sudah menangkap kehadiran seorang pria paruh baya yang sedang duduk di teras rumah."Assalaamu'alaikum. Permisi, Pak!" sapa Yejun.Pria yang sudah memasuki usia kepala 4 itu, lantas menghentikan aktifitasnya yang tengah serius membaca koran, ia mengangkat kepalanya menatap orang yang menyapanya."Wa'alaikumussalaam. Iya, Nak. Ada perlu apa, ya?" balas pria itu."Saya Yejun, teman sekelasnya Arumi. Saya ke sin
Pria itu lantas menaruh secarik kertas di atas meja Arumi dengan gerakan cepat saat ia melewati meja gadis itu. Tidak satu pun siswa di kelas itu yang menyadari apa yang dilakukan Yejun, karena siswa lain juga sedang sibuk membereskan barang-barang di atas mejanya ke dalam tas atau laci, dan satu persatu segera mengacir ke kantin.Namun, tentu saja si empunya meja tidak akan luput dari hal itu. Arumi tercengang saat pria itu tiba-tiba menaruh kertas kecil di atas mejanya, netranya terus mengikuti langkah Yejun menuju pintu hingga hilang dari pandangannya.Arumi langsung meraih kertas kecil itu, sebelum ada siswa lain yang melihatnya. Bahkan Citra sahabatnya yang duduk di sampingnya juga tidak menyadarinya."Arumi, yok lah ke kantin!" ajak Citra."Eh, iya Cit. Lo ke kantin duluan aja, gue mau ke toilet dulu bentar," balas Arumi sedikit gugup.Citra sahabatnya tentu saja tidak menyadari kegu
Dua orang siswa mengangkat tangannya secara bersamaan setelah seorang guru menyebutkan sebuah nomor. Keduanya lantas saling memandang satu sama lain, kaget dengan kebetulan yang cukup mengerikan bagi mereka. Mereka sudah cukup memanas hanya dengan saling berpapasan saja, apa kabar jika harus mengerjakan tugas bersama-sama?"Pak, saya boleh ganti pasangan gak?" protes Arumi langsung.Yejun yang mendengar itu lantas menyeringai dan menatap Arumi sinis."Tidak bisa Arumi. Salah satu poin penilaian tugas ini adalah kalian harus bisa bekerja sama dengan siapa saja, makanya bapak meminta kalian memilih nomor acak," jelas Pak Irfan.Arumi hanya bisa mengangguk lemas. Mungkin mata pelajaran inilah yang akan menjadi mata pelajaran pertama dalam hidupnya yang akan tidak lulus. Sungguh, Arumi berharap hal itu tidak akan terjadi karena akan mengancam beasiswanya sebagai siswa berprestasi.Bisa-bisa, i
Masih ada sekitar 10 menit sebelum jam istirahat selesai. Ruang kelas sudah kembali ramai dengan siswa-siswa yang menunggu jam pelajaran selanjutnya. Meskipun sepertinya beberapa masih ada yang stay di kantin karena keasyikan makan dan mengobrol. Salah satunya Bastian yang sudah ditinggal ke kelas oleh Yejun. Yejun kini sudah berjalan di koridor kelasnya, beberapa langkah lagi ia akan segera memasuki pintu kelas di depannya. Sikap dingin dan cueknya membuat Yejun tidak peka dengan keadaan sekitarnya, ia dengan santainya berjalan masuk ke dalam kelas. Bugh. Seseorang menabrak tubuh Yejun begitu keras, membuat orang yang menabraknya itu sedikit terpental dan hampir saja terdorong jatuh ke lantai. Bagaimana tidak, orang yang bertubrukan dengannya adalah seorang perempuan, sehingga Yejun jelas menang dalam hal ketahanan. Untung saja, Yejun refleks menarik tangannya dan membawanya ke dalam dekapannya.
Sama seperti suasana kelas di sekolah pada umumnya, seperti biasa keadaan kelas pasti akan ramai dan berisik dengan suara perbincangan siswa dengan teman-temannya satu sama lain.Ada yang duduk berkumpul, entah itu membahas pelajaran, bercanda gurau, atau sekedar bergosip, dan ada pula yang sampai berlari-lari saling berkejaran dengan temannya karena bercanda kelewatan. Bahkan ada yang sampai melakukan konser raya luar biasa, memporak-porandakan kelas dengan teriakan nyanyian yang sumbang dan fales. Benar-benar masa SMA yang normal, meski bikin geleng-geleng kepala.Meski terbilang sekolah elit yang dihuni anak-anak cerdas dan tekun belajar, tetapi jiwa muda tetaplah jiwa muda. Keadaan kelas 2 jurusan bisnis dan teknologi informasi pagi ini juga tak jauh beda dengan itu, hanya saja tak ada yang sampai membuat aksi konser di depan kelas, mungkin karena masih pagi atau belum mood.Maura dan teman-teman gengnya baru
Pagi yang sangat cerah, di depan gerbang sebuah sekolah bertuliskan Highscope Indonesia, salah satu sekolah menengah atas yang elit di Ibukota.Sudah lumayan banyak siswa-siswi yang mulai berdatangan memasuki area persekolahan itu, sama seperti mobil sport berwarna putih yang juga sedang membelok dari arah kanan memasuki area sekolah.Mobil itu membelok ke tempat parkir khusus kendaraan beroda empat dan berhenti di sana, beberapa mobil lainnya tampak sudah terparkir dengan rapi. Seorang pria keluar dari mobil itu, menutup pintu mobilnya sedikit kasar, lalu memasang kacamata hitam yang ada di tangannya.Pria itu Yejun. Pria bernama lengkap Yejun Adley Maheswara, cucu tunggal dari Mahendra Maheswara, pemilik perusahaan MW Grup yang sangat terkenal di Jakarta.Yejun mulai berjalan keluar dari parkiran, menuju ke salah satu gazebo kosong terdekatnya, ia memutuskan menunggu Ibunya yang akan me