“Aku kira kau tidak akan datang Ra.” Megi tersenyum. Megi seorang pria yang cukup mahir dibidang olahraga besket, tidak hanya dia ada Tao, Kenan, Arka dan yang terakhir Keyle. Nira satu-satunya gadis di ekstra kulikuler ini.
“Eyy tidak mungkin.” balas Nira
Mereka mulai bermain dengan sengit dan Nira terjatuh. Pergelangan tangan kanannya tampak membiru karena terkilir akibat mendrible bola, meskipun sudah membiru ia tetap melajutkan permainan karena ia berpikir ‘aku bukan pecundang yang akan berhenti karena terluka.’
Meskipun tangan kanannya terluka setidaknya masih ada tangan kiri yang membantunya. Pertandingan selesai dan pertandingan itu dimenangkan oleh kelompok Megi. Semuanya tampak senang dengan kemenangan itu, gadis itu tidak menampakan kesakitannya. Dia meminta izin untuk pulang terlebih dahulu dan ia mendapatkan izinnya.
Semua orang berada di ruang keluarga, Nira masuk dan berjalan ke kamarnya. Tidak ada yang meliriknya, bukan tidak ada tapi mereka tidak boleh melakukannya. Gadis itu membersihkan dirinya dan tertidur. Dia tidak berniat untuk makan malam ataupun meminum seteguk air putih, yang ia inginkan sekarang adalah tidur dan bermimpi.
Jam sudah menunjukan pukul 03:30 pagi, Nira terbangun karena pergelangan tangannya yang membiru tampan membengkak. Gadis itu bangun dan keluar dari kamarnya dengan handuk kecil di pundaknya. Dia berjalan ke arah lemari es dan mengambil beberapa potong es yang akan digunakan untuk mengompres tangannya yang bengkak. Potongan es itu ia letakan di atas handuk yang dibawanya dan kemudian ditutup menggunakan sisi henduk yang lain. Handuk dingin itu dia letakan di atas pergelangan tangannya yang bengkak, ia berjalan kembali ke kamarnya dan duduk di meja belajarnya.
Nira menggerakan pergelangan tangan kanannya, raut wajah kesakitan langsung terlukis. Gadis itu membuka laci meja riasnya dan mengambil sebuah kain berwarna putih yang kemudian dililitkan pada tangan pergelangan tangannya untuk mengurangi rasa sakitnya.
“Apa yang harus kulakukan sekarang? ini masih pagi dan hari ini hari libur.” Dia berfikir sebentar, kemudian sekelebat kata terpikir olehnya. Gadis itu berlari ke arah lemari pakaiannya dan kemudian mengambil sepasang trainingnya. Training berwarna abu dengan tulisan ‘Save Me’ di belakang sweater training itu. Sebuah arloji berwarna hitang melilit di tangan kirinya, arloji itu sudah menunjukan pukul 04:03 pagi. Dia mengikat asal rambut panjang berponinya dan mengambil topi hitam kesayangannya. Ia duduk dilantai kemudian menjulurkan tangan kirinya ke bawa kolong kasur dan mengambil kotak sepatu. Dibukanya kotak itu, sebuah sepatu kets khusus olahraga berwarna abu-abu itu diambil dan dipakainya.
Nira berjalan mengendap agar tidak membangunkan keluarganya yang sedang tertidur pulas, dibukanya pintu rumahnya dan keluar. Gadis itu mengambil jalan yang berada di sebelah kirinya, dia berlari kecil menuju sebuah taman bermain anak-anak yang jaraknya kurang lebih 3 km. Ia terus berlari sampai akhirnya setitik cairan bening terjatuh, ia menangis dengan wajah datarnya.
Tidak banyak yang memperhatikan karena hari memang masih pagi tapi tidak jarang beberapa orang yang melewatinya menatap dengan tatapan aneh. Nira menggeledah untuk mencari benda persegi panjangnya namun naas gadis itu tidak menemukannya karena pada kenyataannya ia tidak membawanya.
Matahari sudah berada tepat di atas kepalanya, Nira berdiri dan berlari untuk kembali kerumahnya. Semua orang sudah berada di kegiatannya masing-masing, dan gadis itu pun memutuskan untuk membersihkan dirinya.
Tok tok tok
Suara pintu diketuk, pintu itu masih mengeluarkan bunyi yang sangat nyaring. Si pemilik kamar membukanya dan melihat siapa yang mengetuknya. Serina, adik dari si pemilik kamar yaitu Nira.
“Ada apa?” ucap Nira
“Itu, aku ingin mengatakannya tapi....” Gadis itu belum juga mengatakan apa yang ingin ia katakana sampai akhirnya si pemilik kamar ingin menutup kembali pintu kamarnya.
“Ajari aku matematika, ayah tidak ada di sini jadi kumohon ajari aku.” Ucap sang adik
“Baiklah, ayo.” Balas Nira
Nira mulai mengajari adiknya mata pelajaran itu, sampai akhirnya suara mobil sang ayah terdengar.
“Sorry.” Setelah mengucapkan sepatah kata itu Nira kembali ke kamarnya
“Terimakasih.” Balas sang adik
Liza duduk di sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu, seorang gadis berusia 7 tahuna-an duduk disampingnya.
“Ada apa Tina?” ucapnya
“Tidak ada, hanya ingin bermain bersama kakak.” Gadis yang dipanggil Tina itu tersenyum dengan manis.
Tina Talia gadis manis, adik dari Liza yang hampir mirip dengannya. Bahkan suara keduanya sama-sama lembut seperti ibu mereka. Liza, ayah, ibu dan adiknya hidup harmonis seperti keluarga kecil lainnya.
“Tina, Liza.” Seorang wanita paruh baya memanggil kedua kakak-beradik itu, suara lembut yang terdengan keras.
“Ya ibu, kami disini.” keduanya berlari kedalam rumah
“Ayo makan siang, panggil ayahmu.” Ucap seorang wanita paruh baya
“Siap bu.” Liza keluar dan memanggil ayahnya yang berada di warung milik keluarga mereka, warung yang cukup besar seperti mini market.
“Ayah, ayo makan siang dulu bersama kami.” Sang ayah menyuruh seorang kariyawannya untuk menjaga kasir dan kemudian beliau pergi kerumahnya bersama sang anak. Mereka duduk mengelilingi meja makan, mereka berdo’a bersama dan kemudian mulai memakan makanan yang disajikan. Begitu pula dengan keluarga Afriya, ia juga mempunyai seorang adik yang bernama Kenia Anjania. Ia diumur yang sama seperti Tina dan mereka juga berada di sekolah dasar yang sama.
Ibu Afriya membuka sebuah salon kecantikan dan sang ayah adalah direktur di sebuah perusahaan di kota itu.
Afriya, Liza dan Nira berjalan berdampingan menuju kelas, karena rumah mereka berjauhan maka mereka harus bertemu di tempat parkir untuk menuju ke kelas bersama. Saat diperjalanan Nira melihat seorang pria tinggi, kulit putih, mata sayu dan cukup tampan. Ia masih menatapnya dengan serius sampai akhirnya koridor menelan mereka.
“Apa ada murid baru di sekolah kita?” Nira membuka suara gara-gara ia melihat pria itu“Tidak.” Balas kedua temannya dan Nira menggukan kepalanya sebagai responnya“Memangnya ada apa?” tanya Afriya menyelidik“Tidak ada apapun hanya bertanya.” Balas Nira sekenanya“Kau tidak akan bertanya tanpa alasan bodoh, kami berdua tahu sifatmu.” Ucap Liza“Si bijak memang yang terbaik.” Afriya memuji Liza karena ucapannya tadi“Forget it.” Nira berjalan mendahului mereka dan duduk di bangkunyaTidak ada bel yang berbunyi, tidak ada pelajaran yang memuakan dan hanya ada waktu luang yang menyenangkan. Nira membuka mulut dengan senyum lebarnya .“Apa kalian tidak merasa bosan?” tanya Nira“Tentu saja kami bosan bahkan sangat.” Balas Afriya&
Mereka mulai memasang tenda, Nirea cukup kesuliran karena pergelangan tangannya tapi itu tidak menghambat perkerjaanya. Tenda yang akan mereka sudah berdiri dengan sempurna, mereka meneguk minum yang mereka bawa karena kehausan. Mereka mulai membagi tugas, Nira dan Darrel mendapatkan tugas untuk mencari kayu bakar, Liza dan Tao memasak sedangkan Afriya dan Arka mencari air untuk mereka minum. Mereka mulai berpencar kecuali Liza dan Tao. Nira dan Darrel berjalan ke sebelah timur dan masuk kedalam hutan untuk mencairkan suasana Nira bertanya dengan beribu kupu-kupu yang ingin keluar dalam perutnya. “Apa kau murid baru? maksudku aku tidak pernah melihatmu, itulah mengapa aku menanyakannya.” Nira menjelaskan pertanyaannya “Tidak, aku mendaftar bersama dengan Tao dan yang lainnya. Mungkin karena aku jarang keluar kelas itulah kenapa aku terlihat asing.” Balas Darrel “Ohh.” Nira ber'oh' ria “Yeah. Apa kau tipe orang yang ceroboh?” tany
Mereka meninggalkan Nira sendiri, gadis itu membaringkan tubuhnya dengan kaki yang di masukan kedalam sungi itu, Darrel meliriknya sebentar dan melanjutkan kembali langkahnya. Segarnya air sungai itu membuat Nira menyukainya. Sudah sepuluh menit gadis itu melakukan hal itu, dia bangun dan batu licin di pijak kaki kirinya. Ia tergelincir sehingga membuatnya terjatuh. Pelipis kirinya tergores batu, begitupun kaki kirinya. Tidak ada yang terluka kecuali kedua anggota tubuh itu. Nira bangun dengan hati-hati. Untung saja air sungai yang mengalir itu tidak deras sehingga ia tidak terbawa arus. Gadis itu berjalan dengan memegangi pelipis kirinya, darah segar keluar dari sana dan dia menyeret kaki kirinya. Luka di kakinya lebih parah dari luka pelipisnya, karena itu ia melakukannya. Nira melihat Liza begitupun dengan Liza. “Nira!” Liza berteriak, ia berlari kearah Nira dan otomatis pasang-pasang mata itu tertuju pada gadis yang diucapkan namanya. Gadis ya
Darrel keluar dari toko ice-cream, ia mengeluarkan benda persegi panjangnya yang berwarna putih tulang. Ia memainkannya sebentar. “Hallo Tao.” Ucap Darrel “ Ya Darrel, apa kau sudah bersama Nira?” balas pria di seberang sana “Ya dia bersamaku, aku baru saja membeli ice-cream untuknya. Katakan pada kedua temannya kalau dia baik-baik saja.” Balas Darrel “Oke.” Setelah terdengar kata oke Darrel mematikan teleponnya dan memasukan kembali kedalam saku celananya. Afriya dan Liza kembali ke rumah Liza, mereka berdua membawa perlengkapan yang mereka bawa untuk berkemah. Mereka membereskan baju yang telah dipakai dan yang belum dipakai. “Kenapa sudah kembali?” entah dari mana datangnya tiba-tiba ibu Liza sudah berdiri di pintu kamarnya. “Nira mengalami kecelakaan Ma dan sekarang mungkin dia di rumah sakit.” Balas Liza “Bagaimana bisa mungkin? bukankah kalian juga mengantarnya?” tanya wanita paruh baya itu “Tentu sa
Sebuah nama terlontar, suaranya terdengar lembut dan parau. Empu si pemilik nama menggeliat dalam tidurannya, si pria menajamkan pendengarannya lagi. Sebuah nama terlontarkan lagi dan sekarang dapat dipastikan jika suara itu adalah suara Nira. Si pemilik nama membuka matanya sedikit dan mengangkat kepalanya. “Kau sudah bangun?, apa kau baik-baik saja sekarang?” Tanya Darrel “Sepertinya begitu, terimakasih sudah membantuku.” Suara lemah dan pelan yang dapat terdengar “Tidak apa-apa, ini akan baik-baik saja. Apa kau ingin sesuatu?” tanyanya lagi “ Aku haus.” Balas Nira Darrel bangun dari duduknya, ia mengambil gelas di meja kecil di samping ranjang tidurnya. Dia mengisi gelas kosong itu dengan air dan menyimpannya di atas meja itu. Ia membantu Nira untuk duduk bersandar di ranjang tidurnya. Darrel mengambil gelas yang berisi air minum itu dan memberikannya kepada Nira. Setelah selesai minum si gadis tersenyum tipis dan berter
Nira menutup matanya, dia menikmati sentuhan lembut Darrel di kepalanya. Sentuhan lembut yang pernah dirasakannya, sentuhan lembut yang dirindukannya, sentuhan lembut yang bisa membuatnya senang dan sentuhan lembut dengan kasih sayang yang banyak. Gadis itu merindukannya bahkan sangat. Kepingan kenangan muncul di kepalanya, kenangan-kenangan yang berputar bertolak belakang dengan putaran jarum jam. Kenangan bak film hitam putih yang mulai pudar. Gadis itu melihat dirinya tersenyum dengan sang ibu yang sedang menggendongnya, dia melihat dirinya bermain sepeda dengan kakak dan adiknya, ia melihat dirinya bermain catur dengan sang ayah. Airmatanya menerobos keluar, sedetik kemudian dihapusnya. “Apa kau baik-baik saja Ra?” ucap Darrel yang membuat sang gadis membuka matanya dan menatap Darrel “Uhmm.” Balasnya singkat “Aku serius.” Ucap Darrel lagi “Aku juga.” Balas si gadis lagi “Baiklah, lakukan apapun yang kau inginkan.
21 JUNI 2021“Tenang saja, dia aman. Aku akan mengajaknya pulang sekarang juga.” ucap seorang pria yang sedang menelepon seseorang di seberang sana. Kemudian pria itu menatap seorang gadis yang sedang duduk dengan mulut yang ditutup lakban dan tangan yang diikat.Mr. Ahmad menyuruh pria yang menculik Gadis itu untuk mengangkatnya dan memasukannya ke dalam mobil miliknya. Tidak memakan waktu lama mereka sudah berada di pekarangan rumahnya. Dia membuka ikatan dan lakban yang berada di tubuh si gadis.Keduanya masuk dengan si gadis yang diseret, Pria itu membanting pintu. Di dalam sudah ada seluruh anggota keluarga mereka.“Apa yang kau lakukan? apa kau sudah gila? dia anakmu!” ucap seorang wanita paruh baya“Aku sudah mengatakan padamu jangan mengatakan hal itu aku sudah tahu. Aku tahu dia anakku dan aku sadar dengan apa yang sudah aku lakukan.” balas si pria“Lalu apa yang kau inginkan sekarang?&rdquo