Judul: Lenyapnya Suami Durjana.Part: 14.***Semenjak Rama mengetahui kebenaran tentang Sukma, ia sudah tak merasa gelisah atau cemas lagi. Bagi Rama, Sukma tidaklah berbahaya. Namun, tetap harus waspada.Sore ini, setelah pulang bekerja, Rama kembali terpana melihat keberadaan Shanum di depan pintu rumahnya."Bu Shanum," lirih Rama."Hay, Ram! Saya harap kehadiran saya di sini tidak mengganggumu ya," ucap Shanum sambil mengukir senyum manisnya."Nggak dong, Nak Shanum! Ayo silakan masuk!" sambung Lasmi yang turut keluar.Senyum Shanum semakin mengambang. Niatnya mendekati Lasmi sepertinya tampak begitu mudah.Sedangkan Rama merasa tak nyaman ada atasannya di rumah. Karena ia ingin keluar sembari mencaritahu di mana Sukma tinggal.Namun, kehadiran Shanum menghalangi langkahnya."Hm, Bu Shanum ada perlu apa ya datang ke sini?" tanya Rama."Hus! Apa-apaan kamu, Ram! Pertanyaanmu itu nggak sopan!" hardik Lasmi sambil membesarkan matanya menatap Rama."Bukan maksudku begitu, Bu. Bu Shan
Judul: Lenyapnya Suami Durjana.Part: 15.***Lasmi sampai di rumah diantarkan Shanum menggunakan mobil pribadi miliknya. Sementara Sukma mengikuti secara sembunyi-sembunyi lewat motor tua yang ia punya.Saat Lasmi turun dari mobil, Sukma dengan cepat melancarkan aksinya. Motor tua itu kembali ia nyalakan dengan kecepatan penuh.Brak!Sukma menyenggol tubuh tua Lasmi. Ia terpental ke samping dan tangan serta kakinya tampak terluka.Sekilas Sukma melihat dari kaca spion. Lasmi menjerit kesakitan. Ia tersenyum puas dan segera melaju dengan cepat.''Itu hanya pembalasan kecil. Jika aku mau, bisa saja tadi aku langsung menabrak tubuhnya. Namun, permainan tidak akan seru kalau wanita tua bangka itu mati begitu saja,'' seru Sukma sambil tertawa di atas motornya.Shanum yang melihat Lasmi tersenggol motor, ia pun tak jadi menyalakan mesin mobilnya."Tante!" teriak Shanum.Tak lama kemudian Lena datang."Lho, Ibu ... kenapa bisa jadi begini?" tanya Lena panik."Tadi, Tante Lasmi disenggol mot
Judul: Lenyapnya Suami Durjana.Part: 16.***Sejak kejadian sore itu, Shanum merasa tak enak. Ia dapat melihat dengan jelas kalau yang menabrak Lasmi benar-benar sengaja."Mungkin aku bisa memenangkan hati Rama dengan cepat, jika aku mengatakan hal yang sebenarnya. Aku juga bisa menggunakan kekayaanku untuk melacak pelaku penabrakan Tante Lasmi itu," gumam Shanum sambil memutar-mutar pulpen yang ada di tangannya."Permisi," ucap seseorang sambil membuka pintu ruangan kerja Shanum.Seketika wajah wanita cantik itu merona melihat Rama yang masuk."Eh, kamu Ram. Saya baru saja memikirkanmu.""Memikirkan saya?" Rama menyipitkan matanya heran."Hm, maksud saya ... tadi saya ingin mengatakan sesuatu padamu. Makanya saya memikirkanmu, Ram. Ini tentang Ibumu," seru Shanum salah tingkah."Ibu? Ada apa, Bu Shanum?" tanya Rama menyelidik."Iya, Ram. Sebenarnya sore itu saya melihat seseorang yang menabrak Tante Lasmi itu melakukan aksinya secara sengaja. Akan tetapi, saya tidak bisa mengejarnya
Judul: Lenyapnya Suami Durjana.Part: 17.***Hari berikutnya, Rama dan Shanum mencaritahu bersama tentang pelaku tabrak lari itu. Rama juga telah memasukan laporan ke kantor polisi. Hasil visum, serta keterangan saksi yang tak lain adalah Shanum, membuat penyidikan mulai berjalan."Terima kasih, Nak Shanum. Saya berhutang budi padamu. Entah dengan cara apa saya bisa membalas kebaikan Nak Shanum ini," ujar Lasmi sambil memasang wajah melas."Tidak apa-apa, Tante. Saya ikhlas kok. Lagian kejahatan memang harus dilawan," sahut Shanum.Rama hanya ikut tersenyum. Ia merasa kurang nyaman dengan sikap sang Ibu. Terlebih lagi saat Rama sudah membaca maksud dari keramahan Lasmi. Ibunya itu berharap Shanum menjadi menantunya."Oya, Tante. Saya juga berhasil meminta rekaman cctv yang ada di halaman rumah sebelah itu, tapi saya belum memutarnya. Mari kita lihat sama-sama. Ini akan menjadi petunjuk bagi kita," seru Shanum pula.Rama, Shanum dan Lasmi memutar rekaman yang dikirim ke ponsel Shanum
Judul: Lenyapnya Suami Durjana.Part: 18.***"Kendis," lirih Lasmi tak percaya.Sementara Shanum ikut melotot melihat sosok wanita yang pernah ditemuinya di rumah Rama waktu itu."Bukankah namanya, Sukma?" tanya Shanum tak mengerti."Ya, benar. Namanya Sukma," ujar penyidik.Lasmi bingung. Ia menatap ke arah Shanum. "Kamu kenal?"Shanum mengangguk. "Iya, Tante. Kemarin wanita ini pernah ke rumah Tante. Benar kan, Ram?"Lasmi menoleh pula ke arah Rama."Jelaskan, Ram? Apa maksudnya ini? Siapa Sukma? Dan apa sebenarnya yang kamu sembunyikan? Sejak kapan Kendis berubah nama?" Lasmi melontarkan banyak pernyataan."Tenang dulu, Bu Lasmi! Sukma ini adalah saudari kembar Kendis," sambung penyidik.Lasmi semakin terkejut hingga mulutnya terbuka lebar."Oh, jadi selama ini yang meneror keluarga saya itu kamu? Rupanya kamu manusia biasa? Dasar Kakak beradik kriminal. Yang satu pembunuh, dan satu lagi juga ingin mengikuti jejaknya," cecar Lasmi.Mata Sukma menampakan sorot tajam yang penuh de
Judul: Lenyapnya Suami Durjana.Part: 19.***Sukma urungkan langkahnya keluar. Ia meminta Dokter Mega untuk bertukar pakaian dengannya.Dokter Mega tak bisa menolak. Setelah itu Sukma memakai masker dan mengikat rambutnya persis seperti sang Dokter.Sementara Dokter Mega terbaring di atas ranjang rawat. Ia melukai sendiri kepalanya agar team kepolisian mengira Sukma telah melakukan kejatahan padanya.Sukma keluar melalui pintu depan. Team kepolisian sedikit heran melihat sang Dokter yang tiba-tiba pergi."Dok, bagaimana? Apa saudari Sukma sudah ditangani?" tanya penyidik.Sukma memberi isyarat lewat gerakan tangannya. Ia meminta team untuk menunggu.Semua mengangguk. Pikiran team penyidik ialah Dokter Mega ingin mengambil sesuatu. Langkah Sukma semakin cepat. Ia berhasil mengelabui polisi. Kini ia bergegas kabur dari sana.--Kurang lebih tiga puluh menit berlalu, team polisi merasa ada yang janggal. Pasalnya sang dokter sudah tak kembali sejak tadi."Coba periksa ke dalam! Kemudia
Judul: Lenyapnya Suami Durjana.Part: 20.Pencarian Sukma terus berlangsung. Padahal Rama sudah meminta pada keluarganya untuk mencabut saja laporan itu dan berdamai. Namun, Lasmi dan Lena bersikeras tak mau menyudahi perang di antara mereka."Maafkan, aku, Mbak Kendis! Semua ini terjadi karena keegoisan keluargaku," ujar Rama saat menjenguk kembali Kakak iparnya."Aku juga meminta maaf padamu, Ram. Aku sadar, kau sangat baik dan berbeda. Yang terjadi sekarang sebab dendamku, tapi aku sendiri juga sudah mengatakan pada Sukma untuk tidak meneruskan pembalasan lagi," sahut Kendis. Rama menatap lekat mata lelah sang wanita pujaan. Debar di hatinya tak pernah hilang setiap kali berhadapan dengan Kendis."Aku memaklumi rasa sakit yang Mbak alami, bahkan aku juga tak menyalahkan Sukma saat ini.""Hidupku sudah tak ada artinya lagi, Ram. Kehilangan calon bayiku seolah meruntuhkan kewarasan di diriku. Aku pasra, selamanya aku akan berada di sini sambil menunggu giliranku tiba meghadap-Nya."
Judul: Lenyapnya Suami Durjana.Part: 21.Mobil yang melaju kini sudah berhenti. Rama menoleh ke arah Shanum yang terang-terangan mengungkap perasaannya."Saya hanya karyawan biasa. Tak pantas menerima cinta darimu, Bu Shanum. Lupakan saja! Dan tolong jangan ikut campur lagi dengan urusan pribadi keluarga saya!" Tegas kalimat Rama membuat Shanum meneteskan air mata."Tapi, Ram ... saya benar-benar mencintaimu. Katakan, apakah kau mau menikah dengan saya?"Rama menggeleng cepat. "Maaf, Bu Shanum. Saya sudah nemiliki sosok lain yang akan saya nikahi."Shanum semakin terguncang. Ia tak terima kekalahan. Kedua tangannya mengepal penuh dendam. Ia bersumpah dalam hatinya akan menyingkirkan siapa saja yang berani mendekati Rama."Baiklah, Ram. Saya turun di sini saja. Rasanya saya butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri," ujarnya.Rama tak keberatan. Ia mempersilakan Shanum keluar dari mobilnya. Detik berikutnya Rama menghidupkan kembali mesin mobil dan segera berlalu.Seperginya Rama, Sh
Ros ingin berdiri dan menyelamatkan diri dari sana. Namun, kedua kakinya terasa lemah. Ia hanya mencoba menarik napas agar sedikit tenang."Ibu, saya sungguh tak menyangka kalau Ibu sama sekali tak bisa berubah. Ibu rela menjebak Anak Ibu sendiri demi ambisi yang tak ada hasilnya itu!" papar Husein dengan sorot mata siap menerkam."Husein ... itu semua belum tentu benar, Nak! Nona Khana pasti sudah merekayasanya. Kalau tidak, dari mana dia bisa menemukan rekaman yang dua puluh tahun lalu? Itu omong kosong, bukan?"Husein beralih menatap ke arah Khana."Aku mendapatkannya di hotel tempat kejadian itu, Tuan. Aku memang curiga, dan aku menyelidikinya. Kalau Tuan tak percya, silakan cek keaslian video rekaman ini!"Husein ingin semuanya jelas tanpa menduga-duga lagi. Ia mengundang seseorng yang ahli mengamati semua konten.Kurang lebih tiga puluh menit berlalu, Flo dan Riva akhirnya tiba di rumah utama. Bersamaan dengan orang suruhan Husein."Ada apa kami dipanggil malam-malam begini?" ta
Husein mengambil bantal dan berbaring di sofa yang ada di kamar tersebut."Kenapa Tuan tidur di situ?" tanya Flo dengan suara gemetar. Ia gugup bercampur terlalu senang."Lalu saya harus tidur di ranjang denganmu?" Wajah Husein sangar menatap ke arahnya.Flo menunduk dan menjawab, "Saya pikir Tuan memang mau tidur di kamar ini satu ranjang dengan saya.""Jangan mimpi! Saya pun sebenarnya tak sudi berada di sini. Semua saya lakukan hanya semata-semata untuk Riva," hardik Husein.Flo tak berani lagi membuka suara. Ia naik ke atas ranjang seraya memperhatikan secara diam-diam sosok lelaki yang menutup mata di atas sofa. Ia tersenyum miris, tapi hatin ya tetap saja merasakan senang karena setidaknya ia bisa berada dalam satu ruangan yang sama sepanjang malam ini.'Mungkin sekarang Tuan memang tak mau satu ranjang dengan saya, tapi suatu hari nanti saya yakin Tuan akan luluh juga. Riva akan tetap jadi senjata bagi saya melemahkanmu, Tuan," batin Flo.__Pagi sekali Husein telah menghilang
Malam harinya, semua kembali berkumpul di meja makan. Khana dan Ara tak pernah melewatkan makan malam bersama di rumah utama. Keduanya selalu memenuhi perintah Husein.Namun, malam ini Areta dan Arsya yang tak terlihat batang hidungnya. Sedangkan Riva bersama Flo turut hadir berkunjung, karena besok adalah wekeend."Ke mana Areta?" tanya Husein menatap ke arah Khana."Mungkin di kamar Arsya," sahut Khana dengan santai."Panggil dan ajak makan bersama!" titah Husein pula."Biar Ara saja yang memanggil Mama dan Arsya," sambung Ara yang dengan sugap berdiri.Ia melangkah perlahan dan mencoba memeberanikan diri menemui Arsya. Ia tahu, pasti Arsya juga sakit hatinya padanya.Sampai di depan kamar, Ara mengetuk pintu yang tak terkunci itu. Kemudian ia menerobos masuk."Mama, Arsya ... Papa sedang menunggu kalian untuk makan malam," ujar Ara mengukir senyum kaku."Kau makan saja dengan yang lain, Ara! Arsya tidak mau keluar kamarnya. Mama akan mengimbanginya makan di sini nanti," papar Areta
Areta dan Husein saling melempar pandangan mendengar penuturan dari Khana."Nona Khana ... apa maksudmu?" tanya Husein menyelidik.Ros seketika langsung pucat dan ketar-ketir."Husein, jangan dengarkan omong kosong dari istrimu yang tak setia ini. Dia mencoba memfitnah Flo! Padahal dirinya dulu pernah berkhianat."Suasana memanas. Arsya yang tengah terluka hatinya, ia memberontak dan berteriak akan kekacauan yang seolah tak menghiraukan keadaannya."Semua sama saja! Tidak ada yang mengerti perasaanku saat ini!" teriaknya, kemudian ia berlari ke dalam kamar.Areta menyusulnya. Untuk sesaat Areta tak mau memikirkan masalah lain. Arsya jauh lebih penting baginya."Nona Khana ... tolong kau jelaskan apa maksud ucapanmu barusan?" tanya Husein mengulang kalimatnya.Khana melemparkan pandangan tajam ke arah Ros dan seketika ia menyeringai sinis. "Ibu yang paling mengerti. Maka, tanyakanlah padanya!""Ibu sama sekali tak tahu apa yang dibicarakan istrimu ini, Husein. Ibu rasa dia sudah gila!'
Malam semakin larut, tamu undangan yang hadir pun sudah pulang. Hanya tersisa Raka dan Bagas di sana."Kau ke sini membawa mobil sendiri atau diantar jemput?" tanya Raka pada Ara."Aku membawa mobil sendiri. Kenapa?""Kalau begitu, aku ikut di mobilmu, boleh?""Tidak!" Ara menolak dengan cepat. Sebab ia melihat wajah Arsya sudah berubah menjadi tegang."Pelit sekali," cibir Raka.Ara tak merespon apa-apa lagi. Ia hanya berharap Raka dan Bagas segera pergi dari rumah utama."Ya sudah, sekarang ayo pulang!" ajak Bagas pula."Kau duluan saja," sahut Ara."Aku tak akan tenang pulang duluan, sementara ada seorang wanita yang menyetir sendirian tengah malam begini."Raka melotot mendengar bentuk perhatian Bagas yang tecurah untuk Ara, wanita impiannya."Ara, ayo pulang. Aku akan mengikutimu di belakang," sambung Raka yang tak mau kalah."Tapi, bukankah kau pulang bersama Ayahmu? Lihatlah, Ayahmu sudah menunggu di dalam mobil. Sebaiknya kau segera ke sana! Urusan Ara, kau tak perlu khawatir!
Seharian hari ini suasana hati Riva tak baik-baik saja. Ia terngiang-ngiang akan ucapan Husein yang mengatakan kalau pernikahan dirinya dengan Flo hanyalah sebuah kecelakaan."Kenapa? Kenapa aku harus mendengar pernyataan yang menyakitkan itu? Jika, memang pernikahan Mami dan Papa cuma karena keterpaksaan, berarti aku juga adalah Anak yang tak diinginkan," gumamnya seorang diri di dalam ruangan kerja.Tak lama, Husein pun sampai di sana. Riva menatap datar ke arah sang ayah yang menyapa. "Selamat pagi, sayang! Kenapa kau pergi dari rumah tanpa pamit dengan Papa?""Hem, maaf Tuan Husein! Sebaiknya kita bersikap profesional di sini. Takut ada yang mendengar, lalu identitasku terbongkar. Nanti akan membuat Tuan malu," desis Riva seraya menyeringai miris.Husein terkejut mendapati sikap Riva pagi ini. Tak biasanya Riva berbicara seserius itu ketika sedang berdua."Tidak akan ada siapa-siapa yang mendengar di sini, Nak. Ruangan ini dibangun kedap suara," ujar Husein pula.Riva membuang muk
"katakan kalau tebakan Bundamu salah, Ara! Katakan kau masih menginginkan Bagas seorang,' gumam Arsya dalam hatinya.Ia cemas, takut Ara memikirkan pernyataan cinta dari Raka."Ara hanya sedang ingin fokus pada karir Ara, Bunda. Saat ini, Ara tak mau memikirkan hal lain, apa lagi cinta. Ara masih muda. Biarlah Ara menyelesaikan impian Ara terlebih dahulu,'' paparnya."Itu sangat keren, sayang." Husein memujinya dengan bangga.Namun, Arsya semakin gelisah. 'Kenapa sikap Ara seolah benar-benar sudah tak mengharapkan Bagas? Apa perasaan bisa dihapuskan semudah itu?'.Malam harinya, Riva dan Flo tak juga beranjak dari rumah utama."Sayang, ini sudah larut. Kau mau pulang jam berapa? Papa mengkhawatirkanmu menyetir sendiri malam-malam begini," ujar Husein."Papa, sebenarnya aku ingin meminta izin untuk menginap di sini malam ini. Besok pagi-pagi sekali aku akan berangkat agar tak telat. Boleh, Papa?""Tentu saja boleh. Kau tak perlu mempertanyakan itu, sayang.""Terima kasih, Papa. Selama
Akhirnya Raka memutuskan bergabung di perusahaan Husein. Hari ini ia membawa semua kelengkapan berkas lamaran untuk memenuhi syarat diterima di sana."Raka, kamu akan menjadi asisten pribadiku di sini. Bagaimana? Apa posisi itu cukup?" tanya Arsya seraya mengukir senyum senang."Apa tidak berlebihan mengangkat aku di posisi itu dengan waktu seawal ini, Arsya?""Aku rasa tidak. Kau kan pintar dan berprestasi. Perusahaan butuh semangat juang anak muda. Jadi, kau hanya perlu melakukan tugasmu sebaik mungkin setelah ini," papar Arsya pula.Raka mengangguk setuju. "Terima kasih, Nona muda."Arsya tertawa lepas mendengar panggilan itu dari Raka. Namun, ia juga tak membantahnya, sebab dirinya harus profesional kerja.__Di sisi lain, Ara juga tengah bersemangat menjalani tugas-tugasnya sebagai penulis sekaligus penerbit. Bagas yang setiap hari berada satu kantor dengan Ara, pun akhirnya menyadari kalau benih cintanya semakin tumbuh bersemi.Namun, sebaliknya. Ara sudah tak merasakan apa-apa
Luna merasa sial, semenjak Riva turut bergabung di sana. Kini, diirnya harus menerima kehilangan pekerjaan yang sudah sangat membantu biaya kehidupannya selama ini.'Aku bersumpah akan membalas Riva nanti,' batinnya seraya meninggalkan perusahaan tersebut.Sementara di sisi lain, Arsya juga sedang memprsiapkan meeting penting yang pertama kali dipimpin olehnya. Seluruh harga penjualan saham dan sebagainya telah dijelaskan Jingga.Saat ini, semua bergantung pada keputusan Arsya."Pertama-tama, aku ucapkan terima kasih atas kerjasama kalian di perusahaan ini. Sungguh, tanpa bantuan kalian, maka aku tak akan mampu mengontrolnya sendiri. Rapat kali ini untuk menentukan harga penjualan produk yang akan diluncurkan minggu depan. Aku dan Bu Jingga sudah mendiskusikannya. Aku sudah mengambil keputusan," ujar Arsya dengan ekspresi yang tenang."Maaf, Nona Muda ... tapi, list harga yang tertera ini jauh lebih tinggi dari harga yang kita pasarkan bulan lalu. Apa tidak salah?" protes admin pemasa