Judul: Lenyapnya Suami Durjana.Part 22.Seminggu kemudian.Lasmi dan Shanum merencanakan segala cara agar Rama bersedia menikah dengannya."Sukma sudah ditemukan. Dia tertembak dan sekarang kritis di rumah sakit," ujar Lasmi seraya menjatuhkan tubuhnya ke sofa yang ada di sebelah Rama.Mata Rama membelalak mendengar berita duka tersebut. "Apa, Bu?""Ya, Ram. Ibu rasa wanita laknat itu tidak akan bisa selamat.""Jaga ucapan Ibu!""Kenapa? Apa ada yang salah dari ucapan Ibu?"Rama tak merespon lagi. Ia bergegas meraih kunci mobilnya dan segera melaju ke rumah sakit tempat Sukma dirawat.Kurang lebih dua puluh menit berjalan. Akhirnya Rama sampai di ruangan rawat Sukma. Wanita serupa Kendis itu terbaring kaku dengan selang oksigen di tubuhnya.Tak lama, team dokter masuk dan kembali memeriksa. Rama menunggu di luar dengan perasaan cemas. Ia memikirkan Kendis. Apa jadinya, jika bekas kakak iparnya itu sampai tahu kondisi saudari kembarnya yang sedang berjuang hidup dengan menyedihkan.La
.Judul: Selir muda Tuan HuseinPart: 1***Sebuah apartemen mewah yang letaknya di pusat kota, hidup seorang wanita belia berparas paripurna. Lesung pipi di sebelah kirinya tercetak jelas saat dia menarik lekuk bibir untuk tersenyum.Adriana Zulaikha adalah nama lengkapnya. Namun, dia lebih senang dipanggil Khana."Nona Khana ... seseorang tengah mencari Nona," ucap Mani, pelayan paruh baya."Siapa? Apa penting? Kau tahu sendiri bukan, bagi yang mau bertemu denganku harus bertujuan jelas saja," desisnya sambil memainkan rambut."Saya tahu, Nona. Namun, kali ini gawat! Wanita yang menunggu di luar itu mengaku sebagai istri Tuan Husein."Wajah Mani pucat pasi ketika mengungkapkan hal itu pada sang majikan. Kedua kakinya terasa lemah membayangkan perang pertama akan dimulai."Bagaimana bisa? Hampir satu tahun sudah posisiku menjadi selir muda Tuan Husein, dan tak pernah sekali pun keberadaanku terekspos keluar. Lalu dari mana istri pertama suamiku bisa tahu tempat ini?" Intonasi suara K
Part 2.***Namun, otak liciknya berfungsi dengan baik kali ini. "Hah! Itu bukan perkara sulit, Khana."Sebuah ponsel mahal ia keluarkan dari tas jinjingnya. Kemudian panggilan telepon segera dilakukannya."Naik!" titahnya.Hanya satu kata, kemudian telepon genggamnya kembali ia masukan ke dalam tas.Tak berapa lama dua lelaki berbadan kekar muncul. Khana menyipitkan mata melihat kehadiran pesuruh Areta tersebut.Darah yang masih mengalir di dahinya membuat kedua bodyguard Areta sedikit tercengang."Kami harus melakukan apa, Nyonya?" tanya salah satu dari bodyguard itu."Hancurkan cctv itu!" perintah Areta dengan senyum penuh kebanggaan."Siap laksanakan, Nyonya."Dengan sigap keduanya menaiki kursi dan segera memusnahkan benda yang bisa membawa petaka untuk Areta.Tanpa disadari, ternyata Khana jauh lebih cerdik. Ia meraih ponsel miliknya yang tadi sempat diletakan Mani di pas bunga sudut ruangan.Ponsel tersebut sudah merekam semua kejadian. Khana menyudahi aksi rekam di telepon mil
***Di istana mewah yang dihuni Areta, kini ia merasa cemas serta ketakutan.Areta tak menduga kalau suaminya akan menyusul ke apartemen. Sebab, malam ini adalah jadwal kunjungan sesama pengusaha kaya di salah satu pertemuan penting.Suara bel berbunyi membuat jantung Areta semakin berdetak kencang. Salah satu pelayan di rumah besar itu bergegas keluar untuk membukakan pintu.Suara derap kaki mulai terdengar oleh Areta. Ia hafal betul ciri khas suaminya berjalan.Tubuh Areta menegang karena sangat ketakutan. Keringan dingin membanjiri tubuh seksinya malam ini."Sejak kapan seorang istri dari Husein bisa bersikap sangat ceroboh begitu?" tanya Husein dengan tatapan menggerikan."A--aku ... aku hanya ingin memberi pelajaran pada gundikmu itu, Tuan. Aku tak menyangka kalau Tuan sanggup menduakan aku yang selama ini selalu setia mengabdikan hidup penuh sukarela," papar Areta diiringi air mata.Husein menyeringai. Ia sebenarnya tak tega menyakiti Areta. Sesungguhnya Areta adalah cinta perta
***Dokter Hans masuk ke dalam apartemen yang ditempatinya. Degup di jantungnya masih berdetak kencang. Tindakan Khana tadi sungguh membuatnya nyaris pingsan.Tanpa disadari, kedua tangan Dokter tampan itu gemetar. Tubuhnya sungguh tegang. Khana adalah wanita pertama yang pernah menciumnya."Nona Khana benar-benar gila. Jika tadi Tuan Husein melihat, maka aku pasti celaka," gumam Dokter Hans.Ia sangat cemas, tapi di sisi lain dirinya juga merasa senang. Bunga cinta di hatinya seolah bermekaran. Namun, tentunya salah sasaran. Khana adalah seorang selir muda dari lelaki terkaya di kotanya berada.--"Saya sudah memberikan peringatan pada Areta. Nona tak perlu cemas lagi! Saya berjanji akan mengupayakan perlindungan terbaik untukmu, Nona Khana!" ujar Husein."Aku percaya, Tuan. Sedikit pun aku tak pernah meragukanmu. Masalah ini biarlah berlalu. Terpenting Tuan Husein masih berdiri di depanku untuk memberikan pembelaan," sahut Khana dengan manja.Kacantikkan, serta kelembutan sikap Kha
***Husein sampai di rumah dengan perasaan tak menentu. Di depan gerbang halamannya telah berkumpul banyak wartawan.Husein menarik napas panjang. Ia masih berada di dalam mobil. Tak lama, salah satu wartawan menunjuk ke arahnya."Itu mobil, Tuan Husein!" serunya.Dengan cepat para wartawan itu berkerumun mendatangi Husein."Tuan, tolong sedikit tanggapannya tentang video yang beredar tadi!""Siapa Nona Khana, Tuan? Benarkah dia istri muda Tuan?""Lalu, bagaimana kondisinya sekarang? Semua pengagum Tuan Husein dan pengagum Nyonya Areta sangat terkejut. Ternyata sikap Nyonya Areta bisa sekasar itu."Riuh terdengar berbagai macam pertanyaan menyerang Husein. Ia turun dan dua bodyguardnya melindungi agar kerumunan itu tak menghalangi jalan Husein menuju masuk ke dalam.Tak lama kemudian, datang kuasa hukum Husein untuk memberi penjelasan.Sementara Husein telah berhasil melewati kerumunan wartawan yang tengah haus mencari jawaban itu."Mohon maaf sebelumnya, tapi untuk sekarang masalah i
***Sepanjang perjalanan pulang Husein memikirkan permintaan Khana. Sungguh, puncak kehancuran seolah sudah menunggunya di garis depan.Di tengah kegalauan hatinya, tiba-tiba dering ponsel berbunyi. Husein dengan cepat menjawab panggilan dari mata-mata yang ditugaskan untuk mencaritahu tentang si pengunggah video viral itu."Ya. Berikan saya kabar baik, karena saat ini saya sedang tak mau mendengar kegagalan," ujar Husein."Baik, Tuan. Saya sudah berhasil menangkap pelaku. Sekarang orang tersebut ada bersama saya. Silakan, Tuan ke sini!" Roy berkata dengan antusias.Roy adalah mata-mata terhandal bagi Husein. Ia telah lama bekerja dengan setia.Husein menarik lekuk bibirnya mendengar pernyataan dari Roy."Oke. Saya segera ke sana."Panggilan ditutup. Detik berikutnya Husein mempercepat laju mobil ke arah yang disebutkan Roy.--Husein akhirnya sampai di sebuah markas rahasia miliknya. Tempat di mana Roy berhasil mengamankan si pembuat masalah."Silakan Tuan introgasi sendiri, karena
*** Mata Khana membelalak mendengar perkataan Alex. Ia menggeleng-geleng dengan cepat sambil menoleh ke arah Husein. "Dia memfitnahku, Tuan. Aku sungguh tak mengenalnya," seru Khana. "Saya tidak berbohong, Tuan. Nona Khana memang sudah membayar saya untuk melancarkan rencananya. Kalau bukan Nona Khana siapa lagi? Rekaman itu hanya ada padanya, bukan?" Alex terus menyudutkan Khana. "Bajingan! Kau benar-benar bajingan!" teriak Khana sembari melayangkan pukulan ke wajah Alex. "Hentikan, Nona Khana! Sekarang kau sudah tak bisa mengelak. Saya sangat benci pengkhianatan. Harusnya kau tahu itu! Saat ini seluruh liputan televisi serta sosial media lainnya tengah ramai memperbincangkan masalah ini. Saya tidak bisa mentoleransi kesalahanmu kali ini, Nona Khana. Reputasi saya sedang dipertaruhkan. Sungguh saya telah salah menyimpanmu sebagai permata, nyatanya kau bunga yang penuh dengan duri," papar Husein. Hati Khana seketika berdenyut nyeri. Kalimat sang suami begitu tajam melukai perasaa
Ros ingin berdiri dan menyelamatkan diri dari sana. Namun, kedua kakinya terasa lemah. Ia hanya mencoba menarik napas agar sedikit tenang."Ibu, saya sungguh tak menyangka kalau Ibu sama sekali tak bisa berubah. Ibu rela menjebak Anak Ibu sendiri demi ambisi yang tak ada hasilnya itu!" papar Husein dengan sorot mata siap menerkam."Husein ... itu semua belum tentu benar, Nak! Nona Khana pasti sudah merekayasanya. Kalau tidak, dari mana dia bisa menemukan rekaman yang dua puluh tahun lalu? Itu omong kosong, bukan?"Husein beralih menatap ke arah Khana."Aku mendapatkannya di hotel tempat kejadian itu, Tuan. Aku memang curiga, dan aku menyelidikinya. Kalau Tuan tak percya, silakan cek keaslian video rekaman ini!"Husein ingin semuanya jelas tanpa menduga-duga lagi. Ia mengundang seseorng yang ahli mengamati semua konten.Kurang lebih tiga puluh menit berlalu, Flo dan Riva akhirnya tiba di rumah utama. Bersamaan dengan orang suruhan Husein."Ada apa kami dipanggil malam-malam begini?" ta
Husein mengambil bantal dan berbaring di sofa yang ada di kamar tersebut."Kenapa Tuan tidur di situ?" tanya Flo dengan suara gemetar. Ia gugup bercampur terlalu senang."Lalu saya harus tidur di ranjang denganmu?" Wajah Husein sangar menatap ke arahnya.Flo menunduk dan menjawab, "Saya pikir Tuan memang mau tidur di kamar ini satu ranjang dengan saya.""Jangan mimpi! Saya pun sebenarnya tak sudi berada di sini. Semua saya lakukan hanya semata-semata untuk Riva," hardik Husein.Flo tak berani lagi membuka suara. Ia naik ke atas ranjang seraya memperhatikan secara diam-diam sosok lelaki yang menutup mata di atas sofa. Ia tersenyum miris, tapi hatin ya tetap saja merasakan senang karena setidaknya ia bisa berada dalam satu ruangan yang sama sepanjang malam ini.'Mungkin sekarang Tuan memang tak mau satu ranjang dengan saya, tapi suatu hari nanti saya yakin Tuan akan luluh juga. Riva akan tetap jadi senjata bagi saya melemahkanmu, Tuan," batin Flo.__Pagi sekali Husein telah menghilang
Malam harinya, semua kembali berkumpul di meja makan. Khana dan Ara tak pernah melewatkan makan malam bersama di rumah utama. Keduanya selalu memenuhi perintah Husein.Namun, malam ini Areta dan Arsya yang tak terlihat batang hidungnya. Sedangkan Riva bersama Flo turut hadir berkunjung, karena besok adalah wekeend."Ke mana Areta?" tanya Husein menatap ke arah Khana."Mungkin di kamar Arsya," sahut Khana dengan santai."Panggil dan ajak makan bersama!" titah Husein pula."Biar Ara saja yang memanggil Mama dan Arsya," sambung Ara yang dengan sugap berdiri.Ia melangkah perlahan dan mencoba memeberanikan diri menemui Arsya. Ia tahu, pasti Arsya juga sakit hatinya padanya.Sampai di depan kamar, Ara mengetuk pintu yang tak terkunci itu. Kemudian ia menerobos masuk."Mama, Arsya ... Papa sedang menunggu kalian untuk makan malam," ujar Ara mengukir senyum kaku."Kau makan saja dengan yang lain, Ara! Arsya tidak mau keluar kamarnya. Mama akan mengimbanginya makan di sini nanti," papar Areta
Areta dan Husein saling melempar pandangan mendengar penuturan dari Khana."Nona Khana ... apa maksudmu?" tanya Husein menyelidik.Ros seketika langsung pucat dan ketar-ketir."Husein, jangan dengarkan omong kosong dari istrimu yang tak setia ini. Dia mencoba memfitnah Flo! Padahal dirinya dulu pernah berkhianat."Suasana memanas. Arsya yang tengah terluka hatinya, ia memberontak dan berteriak akan kekacauan yang seolah tak menghiraukan keadaannya."Semua sama saja! Tidak ada yang mengerti perasaanku saat ini!" teriaknya, kemudian ia berlari ke dalam kamar.Areta menyusulnya. Untuk sesaat Areta tak mau memikirkan masalah lain. Arsya jauh lebih penting baginya."Nona Khana ... tolong kau jelaskan apa maksud ucapanmu barusan?" tanya Husein mengulang kalimatnya.Khana melemparkan pandangan tajam ke arah Ros dan seketika ia menyeringai sinis. "Ibu yang paling mengerti. Maka, tanyakanlah padanya!""Ibu sama sekali tak tahu apa yang dibicarakan istrimu ini, Husein. Ibu rasa dia sudah gila!'
Malam semakin larut, tamu undangan yang hadir pun sudah pulang. Hanya tersisa Raka dan Bagas di sana."Kau ke sini membawa mobil sendiri atau diantar jemput?" tanya Raka pada Ara."Aku membawa mobil sendiri. Kenapa?""Kalau begitu, aku ikut di mobilmu, boleh?""Tidak!" Ara menolak dengan cepat. Sebab ia melihat wajah Arsya sudah berubah menjadi tegang."Pelit sekali," cibir Raka.Ara tak merespon apa-apa lagi. Ia hanya berharap Raka dan Bagas segera pergi dari rumah utama."Ya sudah, sekarang ayo pulang!" ajak Bagas pula."Kau duluan saja," sahut Ara."Aku tak akan tenang pulang duluan, sementara ada seorang wanita yang menyetir sendirian tengah malam begini."Raka melotot mendengar bentuk perhatian Bagas yang tecurah untuk Ara, wanita impiannya."Ara, ayo pulang. Aku akan mengikutimu di belakang," sambung Raka yang tak mau kalah."Tapi, bukankah kau pulang bersama Ayahmu? Lihatlah, Ayahmu sudah menunggu di dalam mobil. Sebaiknya kau segera ke sana! Urusan Ara, kau tak perlu khawatir!
Seharian hari ini suasana hati Riva tak baik-baik saja. Ia terngiang-ngiang akan ucapan Husein yang mengatakan kalau pernikahan dirinya dengan Flo hanyalah sebuah kecelakaan."Kenapa? Kenapa aku harus mendengar pernyataan yang menyakitkan itu? Jika, memang pernikahan Mami dan Papa cuma karena keterpaksaan, berarti aku juga adalah Anak yang tak diinginkan," gumamnya seorang diri di dalam ruangan kerja.Tak lama, Husein pun sampai di sana. Riva menatap datar ke arah sang ayah yang menyapa. "Selamat pagi, sayang! Kenapa kau pergi dari rumah tanpa pamit dengan Papa?""Hem, maaf Tuan Husein! Sebaiknya kita bersikap profesional di sini. Takut ada yang mendengar, lalu identitasku terbongkar. Nanti akan membuat Tuan malu," desis Riva seraya menyeringai miris.Husein terkejut mendapati sikap Riva pagi ini. Tak biasanya Riva berbicara seserius itu ketika sedang berdua."Tidak akan ada siapa-siapa yang mendengar di sini, Nak. Ruangan ini dibangun kedap suara," ujar Husein pula.Riva membuang muk
"katakan kalau tebakan Bundamu salah, Ara! Katakan kau masih menginginkan Bagas seorang,' gumam Arsya dalam hatinya.Ia cemas, takut Ara memikirkan pernyataan cinta dari Raka."Ara hanya sedang ingin fokus pada karir Ara, Bunda. Saat ini, Ara tak mau memikirkan hal lain, apa lagi cinta. Ara masih muda. Biarlah Ara menyelesaikan impian Ara terlebih dahulu,'' paparnya."Itu sangat keren, sayang." Husein memujinya dengan bangga.Namun, Arsya semakin gelisah. 'Kenapa sikap Ara seolah benar-benar sudah tak mengharapkan Bagas? Apa perasaan bisa dihapuskan semudah itu?'.Malam harinya, Riva dan Flo tak juga beranjak dari rumah utama."Sayang, ini sudah larut. Kau mau pulang jam berapa? Papa mengkhawatirkanmu menyetir sendiri malam-malam begini," ujar Husein."Papa, sebenarnya aku ingin meminta izin untuk menginap di sini malam ini. Besok pagi-pagi sekali aku akan berangkat agar tak telat. Boleh, Papa?""Tentu saja boleh. Kau tak perlu mempertanyakan itu, sayang.""Terima kasih, Papa. Selama
Akhirnya Raka memutuskan bergabung di perusahaan Husein. Hari ini ia membawa semua kelengkapan berkas lamaran untuk memenuhi syarat diterima di sana."Raka, kamu akan menjadi asisten pribadiku di sini. Bagaimana? Apa posisi itu cukup?" tanya Arsya seraya mengukir senyum senang."Apa tidak berlebihan mengangkat aku di posisi itu dengan waktu seawal ini, Arsya?""Aku rasa tidak. Kau kan pintar dan berprestasi. Perusahaan butuh semangat juang anak muda. Jadi, kau hanya perlu melakukan tugasmu sebaik mungkin setelah ini," papar Arsya pula.Raka mengangguk setuju. "Terima kasih, Nona muda."Arsya tertawa lepas mendengar panggilan itu dari Raka. Namun, ia juga tak membantahnya, sebab dirinya harus profesional kerja.__Di sisi lain, Ara juga tengah bersemangat menjalani tugas-tugasnya sebagai penulis sekaligus penerbit. Bagas yang setiap hari berada satu kantor dengan Ara, pun akhirnya menyadari kalau benih cintanya semakin tumbuh bersemi.Namun, sebaliknya. Ara sudah tak merasakan apa-apa
Luna merasa sial, semenjak Riva turut bergabung di sana. Kini, diirnya harus menerima kehilangan pekerjaan yang sudah sangat membantu biaya kehidupannya selama ini.'Aku bersumpah akan membalas Riva nanti,' batinnya seraya meninggalkan perusahaan tersebut.Sementara di sisi lain, Arsya juga sedang memprsiapkan meeting penting yang pertama kali dipimpin olehnya. Seluruh harga penjualan saham dan sebagainya telah dijelaskan Jingga.Saat ini, semua bergantung pada keputusan Arsya."Pertama-tama, aku ucapkan terima kasih atas kerjasama kalian di perusahaan ini. Sungguh, tanpa bantuan kalian, maka aku tak akan mampu mengontrolnya sendiri. Rapat kali ini untuk menentukan harga penjualan produk yang akan diluncurkan minggu depan. Aku dan Bu Jingga sudah mendiskusikannya. Aku sudah mengambil keputusan," ujar Arsya dengan ekspresi yang tenang."Maaf, Nona Muda ... tapi, list harga yang tertera ini jauh lebih tinggi dari harga yang kita pasarkan bulan lalu. Apa tidak salah?" protes admin pemasa