"Tapi mengapa? Apa karena status hubungan kakak-kakak kita?"
Ryan lagi-lagi harus menghela napas panjang. Bagaimana harus mengatakan semuanya, jika memang tak ada rasa sama sekali dalam hatinya untuk gadis ini?Gadis ini benar-benar bukan wanita yang diimpikannya untuk membangun rumah tangga, apalagi ditambah dengan latar belakang keluarganya. Di usianya sekarang, Ryan tak ingin hanya tebar pesona. Jika dirinya menjalin hubungan, maka dipastikan itu merupakan hubungan yang serius untuk menata masa depan. Dan bukan gadis seperti Ririn yang akan dijadikannya pilihan."Tak ada sama sekali hubungan dengan status keluarga kita saat ini. Memang tak ada rasa di hati ini. Sekali lagi, maaf. Ini harus kukatakan, sebelum pikiran dan perasaanmu bertindak lebih jauh. Hubungan kita tak lebih sebatas pertalian ikatan saudara. Mohon tidak berharap lebih dari itu."Walaupun Ryan mengungkapkannya dengan nada hati-hati, dengan nada yang sehalus mungkin, tetap sajaRanti menjalani hari dengan lebih bahagia saat tinggal menghitung hari kebebasan suaminya. Sepuluh jari yang masih tersisa, saat menyaksikan kebebasan itu di depan mata.Mengabaikan rasa kecewa yang sempat dirasakannya pada kakak ipar suaminya. Nina, wanita itu benar-benar tak lagi memiliki rasa malu di hadapannya. Bukan Ranti tak memiliki rasa belas kasih, tapi saat wanita itu minta dibandingkan dengan sosok Dinda, Ranti merasa tak bisa terima. Orang yang hanya muncul saat kita sudah bahagia tentu akan berbeda dengan orang yang menemani kita di kala susah. Tak bisa sama. Dan tak akan pernah sama. Seperti halnya sang ibu mertua, yang baru datang setelah seminggu dirinya melahirkan si kembar, Hanun dan Hanif. Ranti tak ingin berkata apa-apa atas sikap sang ibu mertuanya itu. Cukup baginya untuk dapat menempatkan sosok wanita itu di tempat yang semestinya dalam hatinya.Benar, wanita itu telah melahirkan suaminya, ayah dari anak-anaknya. Jika tak ada ibu me
Ranti mendongakkan kepalanya, menemukan sosok Afifah, salah satu pegawainya sedang berdiri di dekat mereka."Tamu atau langganan, Fifah? Perasaan Ibu tak ada janji ketemu orang hari ini."Rangi mengernyitkan dahinya seolah bingung atas perkataan Afifah tadi. Biasanya jika tak terlalu penting pelanggannya akan lebih memilih berkomunikasi melalui aplikasi pesan berlogo hijau saja. "Tamu, Bu. Wanita paruh baya. Ngotot mau ketemu Ibu pokoknya."Ranti sempat mengurai memorinya. Apakah ada jadwal pertemuan yang terlupakan olehnya hari ini?"Ya, sudah. Ibu langsung ke sana. Suruh tamunya duduk dan tanya mau minum apa. Tolong layani!"Lepas dari siapa pun sosok yang ingin bertemu dengannya itu, bagi Ranti menghormati tamu merupakan kewajiban yang tak memandang rupa.Gegas kaki Ranti melangkah. Ryan memilih tak mengikuti langkah kakaknya. Pemuda itu berjalan ke arah keran dan mulai mencuci tangannya dengan air yang keluar dari s
Hari yang dinanti-nantikan pun tiba. Kebebasan Bayu akhirnya terwujud sudah. Laki-laki itu melakukan sujud syukur tepat di gerbang lapas yang selama ini menjadi tempat hidupnya. Menghirup oksigen di luar jeruji besi yang selama ini mengungkungnya.Ilham memeluk adiknya itu dengan erat. Mata abang Bayu itu mengembun saat melihat adiknya menangis bahagia kala menjejakkan kakinya melewati gerbang lapas itu.Hari ini Ilham sengaja izin sebentar dari kantornya karena ingin melihat langsung kebebasan Bayu. Ujian kehidupan akhirnya berhasil Bayu selesaikan hari ini."Abang mau langsung pulang ke rumah?" tanya Ranti seraya menahan haru saat menyalami tangan kanan suaminya itu.Tak tampak mertuanya di momen yang sangat berharga ini. Apa mereka tak menganggap hari ini penting dalam hidup orang tua suaminya itu?"Kita ke masjid yang terdekat dari sini. Abang ingin salat Dhuha di masjid."Ranti menganggukkan kepalanya. Melirik jam tangan yan
"Yang penting semuanya sehat dan baik-baik saja. Ran, kalian makan dulu! Nasi sudah Ibu siapkan. Setelah salat Zuhur, kalian dapat mengantarkan nasi kotak ke panti-panti."Bayu terkejut saat mendengar ucapan mertuanya itu."Nasi kotak???"Ranti memang tidak memberitahukan rencananya kepada Bayu. Toh urusan nasi kotak menjadi tanggung jawab Dinda menyiapkannya di ruang makan. Terbiasa menerima pesanan nasi kotak untuk berbagai acara, Dinda selalu menjadi tangan kanan Ranti untuk menanganinya."Ranti tak memberitahukanmu?" tanya Bu Dewi dengan nada bingung.Ranti yang sedang duduk di dekat si kembar beranjak saat mendengar namanya disebut."Bayu belum tahu rencanamu?" tanya Bu Dewi kepada putrinya itu."Rencana apa, Dek?" Bayu menatap bingung pada istrinya. "Hanya ucapan syukur saja, Bang. Atas kebebasan Abang hari ini. Kami berniat membagikan nasi kotak ke panti asuhan. Tak masalah kan, Bang?"Bayu
Menikmati hidupnya di luar penjara, tak terasa dua tahun terlewati oleh Bayu dengan banyak linangan air mata. Bukan tentang tanggapan orang-orang di sekelilingnya. Tapi lebih tentang mengembalikan arti sosok dirinya di mata keempat buah hati mereka.Terkadang Bayu menumpahkan tangisnya di hamparan sajadah, saat sedang bercerita dengan Sang Khalik di malam-malam panjang yang dilaluinya. Menumpahkan resah, kecewa, bahkan amarah yang menumpuk di dadanya. Merajut pinta di ujung sujud panjang yang dilakukannya.Berpisah ternyata tak hanya akan membentangkan jarak, namun juga membuang banyak kenangan yang pernah tersimpan di memori anak-anaknya. Apakah keputusannya untuk tidak bertemu anaknya di penjara selama hampir tiga tahun di penjara merupakan keputusan yang salah? Perjuangan seorang ayah untuk mengembalikan sosoknya di mata anak-anak ternyata tak mudah."Bang ... Abang tak tidur lagi?"Panggilan Ranti membuyarkan lamunan Bayu yang sedang duduk me
Ranti diam, membuat Bayu semakin penasaran arah pembicaraan istrinya itu."Janin itu sudah ada di perut Adek, Bang."Sontak saja ucapan Ranti itu sukses membuat Bayu terperanjat. Dirinya bakal punya anak lagi? Memang, kesepakatan tidak menggunakan kontrasepsi itu berlaku hingga sekarang. Pasangan suami istri itu sepakat, setiap anak sudah ada rezekinya masing-masing.Ibadah halal dan indah itu memang selalu mereka lakukan secara rutin. Pernah berpuasa hampir tiga tahun lamanya membuat Bayu benar-benar tak lagi ingin menahan hasratnya jika sedang ingin menyalurkan apa yang ada dalam dirinya itu. Ranti pun tak pernah menolak saat diajak sang suami untuk mengayuh biduk kemesraan bersama. Bukan hanya Bayu yang dalam kurun waktu lama harus berpuasa, dirinya pun sama. Bukankah ladang pahala menjadi milik mereka saat sama-sama merasakan kebahagiaan saat melakukannya?"Sudah telat dua minggu, Bang. Barusan Adek cek urin. Hasilnya positif, Bang."
"Bunda menyusul saja, mau mandi dulu. Badan Bunda kotor soalnya."Tak banyak cakap apalagi tanya, empat bocah itu melaksanakan salat Subuh bersama Bayu akhirnya. Ranti meninggalkan mereka ketika ucapan takbir mulai dilafazkan Bayu sebagai penanda mulainya salat yang mereka lakukan. Ranti ingin membersihkan tubuhnya dengan cepat sebelum melaksanakan ibadah wajibnya.Ketika Ranti melangkah ke dalam musala, tampak ibunya dan Ryan hendak melakukan salat Subuh juga. Wanita paruh baya itu sudah siap dengan mukenanya. Begitu pula dengan Ryan yang sudah menggelar sajadahnya. Tak tampak lagi Bayu dan keempat anaknya di ruangan itu."Bu, tunggu! Barengan Ranti salatnya!"Gegas Ranti mengenakan mukena lantas mengambil posisi sebagai makmum bersama ibunya. Ketiga ibu dan anak itu menjalankan ibadah wajib mereka dengan khusyuk. Tak lupa menutup salat dengan lafal doa yang tentunya tak sama setiap orangnya."Ranti, Ryan. Ibu mau bicara."Bu De
Hari ini Ranti, Bayu, dan Bu Dewi tiba kembali di tanah air setelah selesai menunaikan ibadah umroh mereka. Rangkaian ibadah yang mampu membuat mereka semakin mendekatkan diri pada-Nya. Tangis bahagia tak mampu Bu Dewi tahan saat melihat Ka'bah di depan matanya. Melangitkan doa dan pinta di tempat yang paling diidamkan oleh umat muslim sedunia."Semua aman?" tanya Ranti kepada adiknya yang menjemput mereka di bandara. Berpisah dengan rombongan yang masing-masing dijemput keluarga mereka."Aman, Kak. Tenang saja."Ryan memilih fokus pada kemudi. Menjalankan kendaraan dengan perlahan karena posisi antrian di pintu keluar yang mengular."Ibu berdoa di sana untuk jodohmu. Disegerakan mumpung Ibu masih ada."Kali ini Bu Dewi yang berbicara. Wanita itu memang sempat memohon satu pinta yang khusus di sana. Usianya sudah menua. Tak ingin putra bungsunya tak ada yang mengurus jika dirinya sudah tiada."Apaan sih, Bu! Namanya jodoh ... kal