Ranti duduk menunggu suaminya yang sedang dijemput petugas lapas. Seperti biasa, seminggu dua kali Ranti menjenguk suaminya. Jika biasanya Ranti pergi sendiri, kali ini berbeda. Ryan memaksa untuk ikut serta.Beberapa lauk sengaja disiapkan Ranti hari ini. Memastikan Bayu tetap menikmati makanan yang biasa disantapnya sehari-hari saat ada jadwal kunjungan yang sudah ditetapkan."Kakak biasa datang sendiri ya?" tanya Ryan sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ada beberapa keluarga tahanan juga yang saat itu ada di ruangan yang sama."Iya. Mau sama siapa lagi memangnya?" ujar Ranti sambil tersenyum."Keluarga Bang Bayu misalnya?""Tak pernah kami bareng."Kalimat singkat itu cukup menjelaskan kepada Ryan jawaban atas pertanyaannya tadi. Kakaknya tak memiliki hubungan yang cukup baik dengan keluarga suaminya.Bayu muncul dari balik pintu besi. Berjalan cepat di belakang seorang petugas lapas."Abang seh
"Rencana Adek, nanti Ryan bantu di pengembangan usaha Adek saja di sini. Tak perlu mencari pekerjaan di luar sana. Abang tak masalah kan?"Ini yang membuat Bayu terkadang merasa malu pada istrinya. Usaha roti yang jelas-jelas milik istrinya itu tak pernah diakuinya secara terang-terangan di depan Bayu. Ranti selalu mengakui usaha itu sebagai milik berdua. Bayu paham, Ranti tak ingin membuatnya berkecil hati dengan pencapaian yang telah diraih istrinya itu."Abang selalu mendukung yang terbaik untuk usahamu, Dek. Abang tak banyak bisa membantu, tapi yakinlah ... doa Abang akan selalu bersamamu."Ranti lagi-lagi tersenyum."Abang tak masalah kan Adek tinggal beberapa hari nanti? Setelah wisuda Ryan, rencananya Ibu mengajak pulang kampung sebentar. Melihat rumah, mau memastikan kondisinya.""Tak apa. Lagi pula Ibu sudah lama tak pulang ke rumah. Wajar saja. Mumpung ada waktu dak kesempatan. Tak usah risaukan Abang. Hanya siapkan saja stok la
Ranti tak mengingkari janjinya. Jatah bulanan sebesar satu juta rupiah tetap Ranti berikan kepada ibu mertuanya. Ranti menduga, selain jatah tetap bulanan itu, Bayu juga sering memberikan jatah tambahan jika mendapatkan honor kegiatan dari kantornya. Itu tentunya di luar biaya kuliah Ririn yang masih menjadi tanggung jawab Bayu sampai Ririj menyelesaikan kuliahnya. Ranti tak pernah mempermasalah itu selama ini.Dengan diantar Ryan, sore harinya Ranti mengantarkan uang itu ke rumah mertuanya. Tak ada sang ibu mertua ajaibnya, hanya ada Pak Rahmat. Akhirnya amplop berisi sepuluh lembar helaian merah itu dititipkan pada bapak mertuanya saja. Tak ada pesan apa pun yang disampaikan Ranti."Kakak yakin melakukan semua ini?" tanya pemuda itu dengan nada hati-hati.Ranti menganggukkan kepalanya."Apa pun yang terjadi tak akan ada yang dapat mengubah kenyataan jika Bang Bayu adalah anak dari Bu Ratna. Rezeki yang mengalir lewat Kakak, Kakak yakin merupakan
Ryan tak dapat menutupi rasa penasarannya. Jika terkait jam kerja, tentu kakaknya bisa menambah jumlah pegawai yang nantinya akan bekerja dengan sistem shift.Ranti menyunggingkan senyumnya."Rezeki itu sudah ada takarannya. Mau dikejar seperti apa pun, takarannya sudah ditetapkan. Malam khusus kafe saja. Berbagi rezeki dengan orang lain tentu lebih mulia."Sinta mengangsurkan sejumlah uang pada Ranti., beserta catatan omset penjualan dalam seminggu terakhir ini."Beberapa hari ke depan, Ibu mau pulang kampung dulu. Sekalian menghadiri wisuda Ryan. Kalian saling koordinasi dengan Winda ya! Setoran penjualan ditransfer saja ke rekening Ibu pagi-pagi esok harinya."Sinta dan Galuh hanya menganggukkan kepalanya. Ranti beranjak pergi dari tempat yang telah memberinya banyak pembelajaran. Toko yang awalnya hanya sebuah kios berkembang dengan cukup baik hingga sampai pada saat seperti sekarang.Malam harinya Ranti mengajak ibu dan adik
Ranti mengucek matanya berulang kali. Memastikan kontak yang tertulis di layar pipihnya itu benar-benar melakukan panggilan atau sekadar salah pencet saja. Tak mungkin rasanya pengurus panti menghubunginya selarut ini. Atau jangan-jangan, memang sesuatu telah terjadi pada panti itu. Ranti memang cukup kenal dengan Pak Iwan, kepala panti asuhan yang sering dititipinya sedikit rezeki untuk anak-anak tanpa orang tua yang tinggal di sana.Panggilan terhenti. Ranti bernapas lega. Panggilan itu salah alamat saja. Baru saja hendak kembali merebahkan tubuhnya, tiba-tiba nada panggilan kembali terdengar dari gawainya itu. Ranti meraih gawainya kembali.Kontak itu kembali tertulis di layar pipih yang ada di genggamannya. Tak mungkin salah pencet lagi sepertinya. Cepat Ranti menekan tombol berwarna hijau dan meletakkan gawainya di telinga."Assalamu'alaikum," ucap Ranti sembari mengusap matanya untuk menghilangkan rasa kantuk yang masih tersisa.Terdengar uc
Tak ada kata yang terucap dari kedua kakak beradik itu selain petunjuk arah dari Ranti untuk mempercepat mereka sampai ke tujuan. Memilih jalan tikus merupakan alternatif terbaik saat ini. Sepuluh menit berlalu saat keduanya sampai di lokasi.Ranti sempat syok saat melihat kerumunan orang yang ada di sekitar kafenya. Nyala api tak lagi besar sepertinya. Teriakan demi teriakan masih jelas terdengar untuk saling berusaha mematikan api yang tersisa agar tak menjalar kemana-mana.Ryan meminta jalan pada kerumunan warga yang ada di lokasi. Pemuda itu dengan sigap membimbing kakaknya agar dapat lebih mendekat pada titik kebakaran.Mata Ranti mengembun saat melihat banyak orang yang membantu memadamkan api yang ada. Mobil pemadam kebakaran pun sudah ada. Terlihat selang air, ember-ember bahkan karung goni masih ada di tangan orang-orang itu. Teriakan komando dari beberapa orang pun masih jelas terdengar. Terharu. Hanya kata itu yang dapat menggambarkan perasaan R
Ranti masih tak ingin beranjak dari tempat tidurnya meski matahari mulai menampakkan sinar keemasannya. Menjelang azan Subuh baru kembali ke rumah, wanita itu kembali berbaring setelah menunaikan dua rakaatnya. Bukan karena mengantuk dan ingin kembali melanjutkan tidurnya. Tubuhnya merasa tak ada tenaga untuk melakukan apa pun.Hanya menatap langit-langit di kamar, itu yang dilakukannya. Tak ada isakan, hanya lelehan bulir bening perlahan mengalir dari ujung netranya. Seberat ini ujian hidup yang harus dijalaninya? Perlahan, tangan kanannya mengusap perutnya. Ada nyawa di sana. Matanya menatap Fayza yang masih tidur dengan lelap di sampingnya. Bocah ini tak menyadari apa yang sudah dilalui bundanya tadi malam. Sanggupkah dirinya bertahan di kala terjangan badai semakin menggila?"Ran ... kamu tidur?"Ranti membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah pintu kamar. Tampak ibunya masuk sembari membawa sebuah mug bergambar bunga matahari. Mug istimewa, pemberian su
"Istirahatlah, tidur kembali. Mungkin setelah tidur nanti, pikiranmu akan menjadi lebih jernih, tubuhmu juga lebih baik."Bu Dewi tampak menegakkan tubuhnya."Ranti mau mandi saja, Bu. Membasuh tubuh rasanya lebih baik saat ini.""Habiskan dulu tehnya mumpung masih hangat. Mandilah dengan air hangat, barangkali tubuhmu lebih sehat setelahnya."Bu Dewi menyodorkan kembali mug yang masih menyisakan setengah isinya pada Ranti. "Tak usah, Bu. Mandi air dingin lebih baik. Ibu bisa jaga Fayza? Takut dia terbangun dan mencari Ranti. Biasanya Fayza bangun jam segini.""Mandilah, Ibu akan menunggui Fayza. Setelah itu kami sarapan, Ibu sudah membeli bubur ayam dan nasi uduk di tempat Mang Abdul tadi."Ranti tak membantah, kakinya melangkah cepat menuju kamar mandi. Mengguyur tubuh dengan air sepertinya akan mengembalikan kondisi tubuhnya. Di bawah guyuran air yang mengalir melalui celah-celah kecil shower, Ranti kembali