"Mode Pertama, Cahaya Api." Lanting Beruga mendadak lenyap dari tempatnya, meninggalkan bayangan merah kemudian mendadak tiba di belakang Nyai Rintik Wengi.
Wush wush wush. Selendang membabat ke arah pemuda itu, tapi gagal, yang terkena ujung selendang hanya bayangan merah Lanting Beruga.
"Dia cepat," ucap Nyai Rintik Wengi.
Dengan tenaga dalamnya, selendang itu bisa melilit gagang pedang dan mulai menyerang Lanting Beruga.
Hilang. Lagi-lagi Lanting Beruga lenyap dari pandangan Nyai Rintik Wengi, tapi kemudian terdengar suara jeritan dari sisi lain yang jauh.
Nyai Rintik Wengi menoleh ke sana, mendapati beberapa pendekar Bulan Darah tewas oleh bayangan merah.
"Sial dia mempermainkan diriku ..." Nyai Rintik Wengi tidak pernah merasa sehina ini semenjak dia menjadi salah satu petinggi Bulan Darah.
Lanting Beruga tidak menghadapinya dengan serius, buktinya dia masih bisa pergi ke sisi lain, dan membunuh beberapa anak buah Bulan Dar
Nyai Rintik Wengi melangkah mundur ke belakang dengan pelan, sendinya terasa bergetar dan bulu kuduknya mendadak berdiri. Seperti melihat hantu, tapi bahkan melihat hantu tidak membuat Nyai Rintik Wengi ketakutan seperti ini. Dia seolah melihat dewa kematian. "Apa yang terjadi?" tanya Nyai Anjani, "kekuatan seperti apa yang kau gunakan?" Lanting Beruga tersenyum dingin, dia sendiri belum memahami kekuatan mata kirinya secara detil, hanya menduga-duga saja. Nyai Rintik Wengi berniat menggunakan selendangnya untuk menyerang Lanting Beruga, tapi entah kenapa dia seolah kehilangan kontrol terhadap tenaga dalamnya sendiri. Ya, butuh ketenangan agar dapat mengendalikan tenaga dalam dengan baik, tapi ketika manusia diselimuti oleh rasa takut, mereka tidak bisa melakukan apapun bahkan untuk bernafas sekalipun. Lanting Beruga menghentakkan kakinya ke tanah, pada saat yang sama sebilah pedang melayang ke udara. Pedang itulah langsung di sambarnya, sebab
"Lanting ..." Intan Ayu memperhatikan Lanting Beruga dari kejauhan, kondisi pemuda itu bisa dikatakan tidak baik-baik saja. Dia baru saja di tendang oleh Ki Sugo Rugo ke samping, dan membuatnya menghantam beberapa lapis dinding Istana hingga jebol. Lanting Beruga muntah darah, dadanya terasa sangat sakit dan salah satu tulang rusuknya mungkin telah retak. Tulang dan ototnya yang kuat rupanya tidak bisa menahan serangan Ki Sugo Rugo yang begitu sakti. "Tetaplah di sana, anak muda ..." ucap Ki Sugo Rugo, "aku akan mengurusmu setelah menghabisi mereka semua." "Menghabisi?" Benggala Cokro kesal bukan kepalang mendengar hal itu, Ki Sugo Rugo seolah telah mengklaim dirinya sebagai pemenang. "Ketua ..." Lalang Hitam dan Ki Rindung Petoko berniat menghampiri pimpinan Bulan Darah, tapi dibentak keras olehnya. "Bodoh!" ucap Ki Sugo Rugo, "dua dari kalian telah mati." "Maafkan kami," Ki Rindung Petoko memilih untuk membungkuk daripada ter
Dewangga tua menopang tubuhnya dengan pedang, sebelum kemudian berhasil berdiri dengan baik. Dia menarik nafasnya dalam-dalam, mencoba mengumpulkan energi sebanyak yang bisa dia kumpulkan.Pedang pusaka di tangannya tampak bergetar untuk beberapa lama sebelum kemudian kembali tenang seperti sedia kala."Harus bertahan ..." ucap Dewangga.Lalang Hitam tidak suka melihat tekad orang tua itu, dia membencinya. Pria itu mengarahkan mata pedang besarnya ke depan, bersiap untuk melakukan tebasan terakhir yang mungkin membunuh Dewangga tua."Kekek ..." Subansari berteriak keras, mendekati kakeknya, tapi dia dihentikan oleh teriakan Dewangga."Jangan menggangu," ucap Dewangga, "perhatikan baik-baik pelajaran terakhir yang akan kuberikan kepada dirimu.""Kakek ..." Subansari menutup mulutnya, terkejut sekaligus takut. Kalimat yang diucapkan oleh Dewangga, seperti sebuah pesan sebelum menemui kematian.Dewangga mencengkram gagang pedang de
Ki Rindung Petoko melirik ke arah Ki Sugo Rugo, dan mulai berpikir sejenak seraya menghindari serangan demi serangan yang dilakukan oleh Benggala Cokro. Dan dia menemukan ide bagus. Mulai bertarung jauh dari lokasi Sursena. Ki Rindung Petoko mulai mundur pelan-pelan, tapi terkadang dia maju ketika Ki Sugo Rogo melirik ke arah dirinya. "Orang itu benar-benar mengerikan," gumam Ki Rindung Petoko, seraya melayang ke belakang dengan ilmu meringankan tubuhnya. Pada saat yang sama, mata pedang Benggala Cokro hampir saja mengenai batang lehernya jika dia tidak sempat menyadari hal tersebut. Ki Rindung Petoko berjungkir balik di udara beberapa kali, sambil kemudian melepaskan pukulan jarak jauh yang sebenarnya sama sekali tidak berguna. Bisa dibilang Ki Rindung Petoko bertarung dengan setengah hati, malah dia lebih condong untuk berlari daripada melanjutkan kembali pertarungan bodoh ini. Lagian untuk apa lagi pertarungan ini dilakukan,
Pada akhirnya, ketika hari telah menjelang petang dan suara jangkrik mulai saling sahut-menyahut, pertarungan di Sursena hanya menyisakan Ki Sugo Rugo melawan para petinggi aliansi aliran lurus.Bersatu padu para petinggi Sursena, sementara para pendekar di bawah tanpa tanding lebih memutuskan untuk tidak terlibat di dalam pertempuran besar itu.Satrio Langit yang sudah berpengalaman, mengusulkan untuk menjauh dari lokasi pertempuran."Dia bisa menghapus satu kota seorang diri," ucap Satrio Langit, "lebih baik kita menjauh, sebelum hal buruk terjadi.""Benar, keberadaan kita di sini hanya akan mengganggu para Jendral dan Sesepuh yang lain."Kali ini Altar Buana setuju dengan masukan Satrio Langit.Ada sekitar 300 orang yang masih selamat, ditambah 400 orang bajak laut memilih untuk menjauhi tempat ini.Satu-satunya pendekar pilih tanding yang masih tersisa di sana adalah Vala, pimpinan bajak laut Buaya Putih. Meski Vala berada di leve
Baru selesai mengatakan hal itu, tanpa memberi aba-aba, Ki Sugo Rugo menebaskan keris panca naga secara horizontal, dan pada saat yang sama tekanan energi kuat menderu ke arah semua lawan-lawannya.Tekanan angin, ya. Ki Sugo Rogo menguasai elemen dasar udara dalam seni bela dirinya, dan karena hal itu dia memiliki jurus-juru yang mengandung unsur udara, seperti jurusnya saat ini."Cambuk Udara Kematian."Seluruh permukaan tanah terkelupas karena tekanan udara yang begitu kuat, beberapa benda terpotong begitu rapi dan teknik itu akan mengarah kepada semua sesepuh aliansi aliran putih.Sabdo Jagat tidak memiliki kesempatan untuk menghindar, jadi dia menancapkan tongkat di tanah, lalu mengalirkan banyak tenaga dalam kepada senjata itu. Hal ini menciptakan sebuah perisai putih tipis.Sementara di sisi lain, Cempaka Ayu menggunakan semua bangunan untuk menciptakan dinding yang berpungsi menghalau serangan tersebut.Bommm.Mereka semu
Lanting Beruga berjalan mendekati Ki Sugo Rugo, matanya masih berkilat merah dan menakutkan.Suah.Energi batin menyerang mental Ki Sugo Rugo, membuat dia hanya bergerak satu langkah ke belakang. Tidak terjadi apa-apa dengan orang itu. Ini menandakan dirinya memiliki jiwa yang kuat, dan juga energi batin yang cukup besar.Umunya setiap pendekar yang telah melampaui level tanpa tanding, akan memiliki energi batin dari jiwa mereka yang kuat. Hanya saja, energi batin yang mereka miliki tidak bisa digunakan seperti tenaga dalam atau jenis yang lainnya.Energi batin yang ada di dalam diri mereka berfungsi untuk menahan serangan dari siluman level tinggi.Namu, energi batin milik Lanting Beruga dapat dijadikan senjata karena dia memiliki mata kiri yang dia sendiri tidak tahu apa namanya. Mata kiri itulah yang menjadi fokus energi batin Lanting Beruga."Kau memiliki mata yang hebat, bocah tapi aku tidak mungkin kalah karena mata itu," ucap Ki Sugo
Sayatan yang dibuat oleh Lanting Beruga cukup untuk menggagalkan rencana Ki Sugo Rugo. Kerisnya hampir saja jatuh ke tanah karena pemuda itu.Belum selesai, Lanting Beruga berkelebat sekali lagi, menyerang beberapa bagian yang dapat dia incar. Serangan yang dibuat oleh Lanting Beruga mungkin tidak mengenai organ fatal, tapi hal itu tidak masalah, semakin banyak sayatan yang dia buat maka semakin berkurang pula kemampuan Ki Sugo Rugo.Kali ini kaki Ki Sugo Rugo baru saja menerima bilah mata pedang Lanting Beruga. Membuat dia meringis kesakitan."Jangan menonton saja!" teriak Benggala Cokro, pada saat yang sama pedang bercahaya emas menukik seperti sebuah komet yang jatuh.Beruntung Ki Sugo Rugo bisa menahan serangan tersebut, tapi serangan yang lain juga baru saja datang.Jendral Dewangga dengan dendam membara setelah kematian adiknya, bersama dengan Mahasepuh Gadhing bergerak begitu cepat ke depan, dengan pedang yang berayun begitu kuat.