"Saya terima nikahnya Nilam Sari binti Gondo dengan mahar emas seberat sepuluh gram dibayar tunai!"
"Bagaimana, sah?" tanya penghulu pada wali dan para saksi serta tamu undangan. "Sah!" timpal hadirin lalu mengucapkan hamdalah. "Alhamdulillah!" Terdengar ramai suara orang mengucapkan resminya pasangan itu menjadi suami istri. Sebagian dari mereka bersorak gembira karena lancarnya ijab qobul itu. Namun, tidak halnya dengan diriku. Aku terpekur sendiri di dalam kamar, hatiku merintih menahan sakit. Walaupun aku merestui tapi tetap saja ada semburat kesedihan hadir di pelupuk mataku. Aku menangis, meratapi kebodohan dan nasibku yang dimadu. Pasangan yang melangsungkan pernikahan itu adalah Mas Adam dengan sahabatku sendiri. Aku yang tak ingin percaya, tapi dipaksa untuk melihat kenyataan. Menyesal tentu saja dan yang aku rasakan kini sangat sakit tapi tidak berdarah. Nilam, wanita yang sudah kuanggap sahabat selama puluhan tahun tega menikamku dari belakang. Semua berawal dari seringnya aku curhat tentang masalah rumah tangga kepadanya. Tentang aku yang belum punya keturunan dan tentang Mas Adam yang sudah mulai bosan. Aku hanya ingin mendapat solusi dan menghilangkan kepenatan hatiku. Satu-satunya tempat yang selalu kucari saat aku butuh teman curhat adalah Nilam. Siapa yang menyangka bila diam-diam Nilam merebut Mas Adam dariku. Aku yang sudah menaruh kepercayaan padanya, tapi kini aku sudah tak ingin lagi melihatnya, benci sungguh benci. "Ra, kenapa di dalam saja? Apa kamu nggak mau ngucapin selamat pada suamimu," kata ibu mertuaku tiba-tiba masuk ke kamar. Cepat kuhapus sisa air mata, tak ingin terlihat cengeng di depan ibu. Aku menoleh kemudian bangkit akan keluar. "Ingat, Ra jangan pasang wajah masam. Kamu harus ikhlas, semua demi rumah tangga kalian juga," ucap ibu mewanti-wanti. Aku cuma mengangguk pelan, dengan senyum yang dipaksakan keluar dari kamar. Terlihat Mas Adam dan Nilam menyalami para tamu, kebahagiaan terpancar dari wajah keduanya. Seketika hatiku terenyuh, teringat masa dulu saat menikah. Ibu yang berjalan di belakang segera menarik tanganku, agar mendekat. Mas Adam yang melihatku berjalan ke arahnya tersenyum, kulirik Nilam yang juga tau dengan kedatanganku kemudian merangkul mesra Mas Adam. Ingin membuatku cemburu dan itu berhasil. Kuulurkan tangan pada Mas Adam, tetapi Nilam yang segera menyambut uluran tanganku. "Selamat ya Mas dan Nilam atas pernikahan kalian, semoga kalian ...."Tenggorokanku tercekat tak bisa meneruskan ucapan dan berlari ke kamar. Air mata tumpah ruah, lalu membenamkan wajahku ke dalam bantal, terisak. Aku tak ingin para tamu mendengar tangisanku. "Ra, nggak usah nangis! Terima saja nasibmu, siapa suruh kamu nggak hamil. Lelaki manapun pasti sudah bosan melihat istri yang tak kunjung memberinya keturunan," sentak ibu kasar. Rupanya ibu terus mengikuti sampai ke kamar. Aku terduduk lesu dan mengelap air mataku. "Tapi kami baru dua tahun, Bu! Jalan kami masih panjang, kami masih bisa berusaha dan berobat," kataku membela diri. "Selama dua tahun kalian berobat, mana hasilnya coba? Yang ada hanya membuang-buang uang dan waktu. Adam terus jadi bahan tertawaan orang," jawab ibu ketus. Aku terdiam, memang selama dua tahun ini kami berobat. Tapi semua juga bukan salahku, dokter bilang kami sama-sama sehat dan tidak bermasalah. Mungkin belum waktunya saja Allah memberikan keturunan buat kami. "Sudah, nggak usah cengeng lagi. Adam sudah menikah jadi akurlah dengan Nilam. Kalo kamu nggak terima, kamu bisa pergi dari sini!" ancam ibu yang membuatku terkejut. Ibu segera keluar kamar, di luar masih ramai tamu memberi ucapan selamat. Aku hanya bisa memandangi tamu dari balik jendela kamar. Samar-samar aku mendengar ada tamu yang bergosip. "Lihat itu, si Adam nikah lagi. Kasihan Rara ya, padahal baru dua tahun sudah dimadu." "Ngapain kasihan, salah sendiri kenapa nggak hamil juga. Semua laki-laki pasti pengen punya anak, apalagi Bu Ratna itu sudah tak sabar menggendong cucu katanya.""Tapi nggak gitu juga kali, siapa tau memang belum diberi keturunan. Kita lihat saja nanti, siapa yang duluan hamil," timpal ibu-ibu yang lain makin seru. Hatiku perih menjadi bahan pembicaraan orang, mereka membuat kami seperti bertanding. Alih-alih mendoakan serta kasihan, mereka malah menanti siapa yang duluan hamil diantara aku dan Nilam. Aku mengusap sisa air mata, tidak ada gunanya terus menangis. Aku harus pikirkan rencana, tak bisa terus seperti ini. Tiba-tiba mataku tertuju pada koper di atas lemari dengan mendorong kursi kecil dan menaikinya segera menurunkan wadah tempat pakaian itu. Gegas membuka lemari dan memasukkan semua bajuku ke koper, berikut surat penting lainnya. Tentunya atas namaku, aku tak ingin surat berharga itu jatuh ke tangan Nilam. Dia tidak berhak sedikitpun atas harta yang telah kudapatkan selama ini. Saat tamu mulai sepi, aku segera keluar kamar. Mas Adam, Nilam serta ibu terkejut melihatku keluar menyeret koper. "Ra, mau kemana kamu. Masuk!" perintah ibu mendelik. Aku tak menggubris ibu dan terus berjalan, menghampiri Mas Adam. Setelah dekat, aku berkata lirih padanya. "Mas, aku pamit. Semoga kalian bahagia," ucapku tersenyum. "Ra, mau pergi kemana? Kamu masih sah menjadi istriku," sahut Mas Adam. "Biarkan dia pergi Mas, kini kamu hanya milikku seorang," cegah Nilam mencekal tangan Mas Adam. "Aku tunggu surat perceraian dari kamu secepatnya, Mas!" kataku lantang sedikit teriak karena sudah berjalan agak jauh dari pelaminan. Para tamu banyak yang terbengong melihatku, mereka tak menyangka aku pergi saat Mas Adam tengah berbahagia dengan istri keduanya. Namun, aku puas tak perlu lagi mendengar gosip orang. Tak perlu lagi merasa sakit berbagi suami. Apalagi semua aset telah aman dan kubawa pergi. Pasti setelah siap acara nikahan Mas Adam kelimpungan, dia tidak sadar bahwa semua harta serta rumah dan perusahaan yang diembannya adalah milikku. Warisan peninggalan almarhum Papa yang diamanatkan padaku. Mas Adam hanyalah lelaki yang menumpang hidup padaku. Dulu aku begitu percaya padanya tapi hari ini aku sudah melihat jelas balasan darinya. Hanya karena aku tidak kunjung hamil dia tega menduakanku bahkan tidak tanggung-tanggung yang dinikahi adalah sahabatku sendiri. Setelah aku pergi dari rumah yang sudah banyak kenangan bersama Mas Adam itu, tidak berapa lama sayup-sayup seperti mendengar teriakannya dari jauh. "Rara ...." "Mampus kamu, Mas!" tawaku lepas. Sementara aku terkekeh di rumah mewah Papaku, membayangkan Mas Adam kalang kabut mencari surat berharga yang kubawa. Rasakan kamu Mas, menikah tanpa berpikir ulang. Kamu pikir Nilam akan terus menempel kalo kamu tak punya apapun. Semua itu adalah sandiwara Nilam saja, untuk menikmati fasilitas kemewahan Mas Adam. Aku memang curhat pada Nilam tentang keturunan dan Mas Adam. Tapi Nilam tak pernah tau bahwa semua fasilitas mewah itu adalah milikku. Pengkhianatan Nilam juga telah memberi aku pelajaran, bahwa sahabat sendiripun bisa menjadi pelakor, menjadi perusak rumah tangga. Untung saja Allah berbaik hati padaku, membuka kedok Nilam. Drrrttt ... drrrttt .... Ponselku berdering, terlihat di layar Mas Adam memanggil. Segera kuangkat karena ingin tau reaksinya. "Halo, Mas. Ada apa lagi?" "Ra, apa kamu yang bawa surat rumah dan perusahaan?" tanyanya cemas.
"Halo, Mas. Ada apa lagi?" "Ra, apa kamu yang bawa surat rumah dan perusahaan?" tanyanya cemas. "Tentu aja, itukan semua memang milikku. Aku tak sudi Nilam menikmati hasil kerja keras Papaku," jawabku ketus. "Kumohon, Ra. Kamu kembali ya! Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu," melas Mas Adam di ujung telepon sana. "Aku tidak mau, Mas. Hatiku sudah terlanjur sakit, kamu tidak memikirkan perasaanku saat menikahi Nilam. Padahal kita baru dua tahun Mas, itu masih sebentar. Tapi kamu dan ibumu sudah nggak sabar," keluhku menumpahkan semua kekesalan. "Mas juga terpaksa, Ra! Ibu terus aja mendesak, Mas nggak bisa berbuat apa-apa." "Jangan jadikan ibu sebagai alasanmu, Mas! Kamu bisa aja menolak, tapi kamu sendiri yang memang ingin menikah lagi 'kan!" kataku meradang. "Apalagi yang kamu nikahi adalah sahabatku sendiri, aku tak bisa menoleransi lagi." kataku sembari mematikan telepon, lalu merebahkan tubuh ke kasur. Huh, aku harus bersikap tegas pada Mas Adam. Jika dia bersikap
Suatu hari dia pernah berjanji padaku. "Ra, sampai kapanpun aku akan menunggu kamu menerima diriku. Walaupun yang kamu nikahi nanti bukan aku, tapi aku percaya suatu saat kamu akan jadi milikku," kata Randy dulu. Aku bergidik mendengar ucapannya, Randy seperti meletakkan harapan yang besar padaku. Aku juga tak habis pikir dengan kenekatannya. "Randy, jika kamu menyukai wanita lain menikahlah dengannya. Jangan tunggu aku, kamu juga berhak bahagia," ucapku saat akan menikah dengan Mas Adam. Randy menjumpai diriku dan bertanya langsung, benarkah aku akan menikah? Aku mengangguk, terlihat guratan kecewa di wajahnya, aku tidak sampai hati tapi juga tak mungkin menuruti keinginannya. Aku mencintai Mas Adam, pria sederhana yang berhasil memikat hatiku. Aku juga menaruh harapan pada Mas Adam agar bisa membahagiakanku, karena Papa juga tidak mudah memberi restunya pada kami. Aku menghela nafas mengingat kembali masa lalu, kini aku menerima hukumannya. Papa, maafkanlah anakmu yang dulu ti
Lalu aku memanggil Pak Budi lagi. Dengan masih takut Pak Budi menghampiriku. "Ada apa, Bu? Mohon jangan pecat saya!" pintanya melas. "Baik, asal kamu menurut pada saya. Setelah membersihkan kantor, tolong beritahu semua dewan dan staf untuk berkumpul di ruangan rapat. Saya mau mengadakan rapat mendadak," ujarku dengan tegas yang dibalas anggukannya. Akhirnya lega, sambil menunggu meja bersih aku duduk di sofa kantor. Tidak lama kemudian, Mas Adam masuk ke kantor dengan napas terengah-engah. Pasti dia sudah mendapat kabar dari staf di lantai bawah dan buru-buru naik ke atas. Ekspresinya begitu terkejut begitu melihat meja tempat biasa dia kerja sudah bersih dan barangnya sudah ditumpuk di kardus. Lalu menatapku dengan mata mendelik. "Ra, ini nggak mungkin 'kan? Kenapa kamu melakukan semua ini, apa maksudmu?" tanya Mas Adam mendekatiku. "Aku tak perlu menjawab Mas, aku kira kamu pasti tau maksudku. Ini semua konsekuensinya bila kamu menyakitiku," kataku masih sibuk menatap ponsel.
"Aku bisa memaafkan semua kesalahanmu, tapi tidak dengan pengkhianatan. Apa kamu itu bodoh atau nggak tau diri, Mas. Selama ini Papa dan aku sudah banyak berkorban untuk keluargamu. Rumah Mas dibangun Papa menjadi megah, bahkan perusahaan ini pun dipercayakan Papa padamu. Namun, ini semua balasan yang kamu beri untukku? Dengan menikahi sahabatku sendiri dengan dalih ingin punya anak, kamu tega merampas kebahagiaanku." Akhirnya kata-kataku meledak di depannya. Biar Mas Adam tau, tidak bisa berbuat seenaknya. Agar dia ingat siapa dulu jati dirinya yang dari miskin menjadi kaya. "Tapi Mas terpaksa, Ra! Ibu mengancam akan pergi kalo Mas nggak mau menikahi Nilam, saat itu kenapa kamu menyetujui Mas menikah kalo akhirnya menyesal," sergah Mas Adam mulai emosi. "Aku hanya ingin menguji kamu, Mas. Ingin melihat sampai di mana kesetiaanmu padaku. Tapi, yang aku lihat justru kamu yang menyerah dan ingin menikah," ucapku membela diri. "Sudahlah, sekarang aku tak ingin mendengarkan apa-apa l
Mas Adam mematuhi perintah dan segera mengeluarkan sampah. Aku coba ikut memeriksa, lalu saat menggasak sampah aku mengambil kond*m tadi. Kuacungkan ke atas tepat di depan wajah Mas Adam."Ini apa, Mas?" kataku mendelik. Terlihat wajah Mas Adam pucat pasi. "Anu, Ra. Mas nggak tau itu ada di sana, mungkin punya orang lain yang sengaja terbuang ke situ," jawab Mas Adam gugup. "Kamu nggak bohong, Mas?" tanyaku dengan mimik kesal, masih saja dia mengelak. "Nggak, Mas nggak bohong, Ra!" Mas Adam mulai berkeringat. "Bagaimana mungkin punya orang, ini 'kan dulu kantormu Mas. Atau mungkin ini memang punya kamu, iya 'kan?" kataku setengah membentak. Mas Adam tidak menjawab, dia hanya menundukkan wajahnya. Mungkin malu kedoknya dulu ketahuan olehku. "Berdiri, Mas! Aku mau menunjukkan sesuatu, mungkin yang ini nggak bisa buat kamu berbohong lagi," kataku sambil beranjak ke meja dan membuka laptop. Sekilas kulihat Mas Adam bangkit dengan grogi dan berjalan pelan ke arahku. Setelah kubuka r
Sesampainya di SPA langganan kami, Tania memasukkan mobil ke area parkir. Akhir pekan lumayan ramai juga, mungkin banyak yang sedang berlibur atau kerja setengah hari. Setelah memarkirkan mobilnya, Aku dan Tania segera keluar dan masuk ke dalam gedung. Kami disambut baik oleh karyawan spa, mereka sudah hafal pada kami karena termasuk langganan dengan kartu VIP. Baru saja mendaftar dan akan masuk ke ruangan dalam, terdengar cekikan tawa wanita di belakang kami. Mungkin juga baru datang, aku yang sudah tau dari suaranya segera menoleh, ternyata memang dia. Saat mataku dan matanya beradu pandang, dia merasa terkejut. Mungkin tidak menyangka akan bertemu di spa. Aku juga kecewa ketemu di saat yang tak tepat. "Eh, Rara. Tumben ketemu di sini, ngapain kamu? Mau cari kerjaan ya, ckckck ... Kasihan sekali kamu," sindir Nilam sembari tertawa dengan temannya. Ya dia Nilam, wanita yang sudah merebut Mas Adam dari tanganku. Aku geram melihatnya, seolah tanpa rasa bersalah, kini dia malah men
Sesampainya di perusahaan, saat akan masuk ke kantor langkahku dicegah Pak Budi. "Tunggu, Bu!" "Ada apa, Pak Budi?" tanyaku heran. "Di dalam masih ada Pak Adam dan Nilam, Bu. Mereka sudah lama di dalam, belum keluar-keluar," jawab Pak Budi gugup. "Bukankah saya udah pesan, kalo mereka berbuat mesum lagi Pak Budi bisa melarang," sahutku ketus. "Saya udah melarang, Bu! Tapi nggak diindahkan Pak Adam." "Oke, saya yang akan menyuruhnya keluar!" kataku sambil membuka ponsel. Ponselku tersambung ke CCTV kantor, hingga terlihat jelas apa yang mereka lakukan di kantor. Aku terperangah, mereka benar-benar keterlaluan, gumamku geram. Secepatnya kugedor pintu kantor. "Adam, keluar kamu dari kantorku. Keluar !" teriakku. Tidak lama terdengar suara pintu terbuka. Terlihat Adam yang berpenampilan kusut karena buru-buru, setelah dia keluar aku melayangkan tamparan di pipinya. Plak !! "Dasar laki-laki nggak tau diuntung! Masih aja berbuat mesum di kantor ini, pergi kamu dari sini dan jangan
Sampai di rumah, kuhempaskan tubuhku di sofa. Hari ini rasanya lelah sekali, setelah ribut di spa masih juga ribut di kantor. Namun, aku bisa puas karena bisa mengusir Adam dari perusahaan. Awalnya dia yang memohon padaku tapi dia juga yang membuka kepura-puraannya sendiri. Adam memang laki-laki tak tau diri, menyesal aku dulu tak mendengarkan Papa. Adam juga tidak mudah dihadapi, dia tidak mau begitu saja menceraikan diriku. Ditambah sekarang Nilam sudah menghasutnya, pasti mereka hanya akan memanfaatkan kekayaanku. Aku harus bergerak cepat sebelum mereka menyerang. Memijat kepalaku yang terasa pusing, aku di kejutkan suara ponsel. Terlihat di layar Tania memanggil, dengan malas aku segera mengangkatnya. "Halo!" "Halo, Ra. Kamu di mana?" tanya Tania. "Baru aja sampai rumah," jawabku. "Ra, apa Randy sudah menelepon? Dia ingin mengajak ____ " "Naik gunung 'kan!" potongku cepat. "Kamu udah tau, Ra. Lalu gimana, kamu mau 'kan?" tanya Tania berharap. "Aku belum tau, Nia. Akhir-a
Kasus itu terus bergulir ke meja hukum, pengacara Bimo menuntut perusahaanku untuk ganti rugi. Aku pun berkonsultasi pada Michael, pengacara yang ditunjuk Randy untuk membantuku. "Begini, sebenarnya Adam yang bertanggung jawab tapi karena saat itu Adam masih menjabat dan mengatasnamakan perusahaan. Mau nggak mau kamu juga harus ganti rugi, Ra!" Micahel menasehatiku menurut hukum yang berlaku. Untuk beberapa detik aku menimbang perkataan pengacaraku yang ada benarnya. Randy dan Tania memberi dukungan agar aku kuat. "Ra, ikhlaskan aja. Kamu juga tau, mana mungkin Adam bisa mengganti uang itu dengan keadaannya sekarang," saran Tania. Michael menunggu keputusanku, uang satu milyar itu tidak sedikit. Apalagi selama ini Adam banyak mengkorupsi uang perusahaan hingga yang tersisa di bank hanya sedikit. Randy yang tau aku galau pun menggenggam tanganku. "Kenapa, bicaralah!" "Aku mau mengganti tapi uang itu udah banyak dikorupsi Adam. Nggak cukup, Randy," jawabku sedih. "Pakai uangku, R
Tidak ada lagi nada protes dari seberang sana, Adam pasti sudah memutuskan sambungan. Mungkin saja dia shock setelah aku mengatakan akan melapor ke polisi terkait hutang yang dipinjamnya dengan menggadaikan perusahaan. Ah, masa' bodoh dengan keadaannya sekarang. Yang penting aku bisa menyelamatkan warisan dari almarhum papa. Usai menelepon, kuhembuskan sedikit napas lega. "Gimana, Ra?" tanya Tania. Aku baru ingat kalo Tania dan Randy masih di rumahku. Randy mendekat lalu duduk di sampingku dan menggenggam tanganku. "Jangan takut, kamu nggak sendiri. Ada Mas dan Tania yang akan membantumu." Senyuman dari Randy berhasil menenangkanku. Saat terpuruk seperti ini aku memang butuh sandaran. Untung saja aku punya sahabat yang pengertian seperti Tania dan Randy yang selalu ada buatku. **** Beberapa hari pasca pengusiran Adam, aku tidak mendengar kabarnya lagi. Entah tinggal di mana mereka aku juga tidak mau tau. Sementara itu suasana berjalan lancar di perusahaan. Walaupun keadaan ten
Mataku membulat dilecehkan seperti ini lalu bangun dan menampar wajah lelaki itu. Plak! "Jangan kurang ajar anda!" pekikku lantang. Lelaki di depanku memegang pipinya yang kutampar tadi dengan rahang mengetat. Biar dia tau aku bukan wanita gampangan seperti pikiran busuknya itu. Gegas aku memanggil Pak Budi lalu dengan setengah teriak menyuruhnya masuk. Pak Budi menatapku dan klien itu bergantian dengan bingung. "Pak, antar tamu kita ini keluar!" titahku. "Baik, Bu. Mari, Pak!" ajak Pak Budi, tetapi lelaki itu bergeming. "Saya tidak akan keluar sebelum masalah kita selesai. Anda harus mengganti kerugian saya juga tamparan ini!" ucapnya tegas. "Saya sudah mengatakan semua, apakah anda belum paham? Tentang pinjaman itu sebaiknya anda menagih langsung dengan Adam. Karena uang itu tidak ada hubungannya sedikitpun dengan perusahaan. Saya akan beri salinan bukti pada anda nanti, tamparan itu juga hukuman anda yang sudah melecehkan saya. Anda lihat cctv di atas itu merekam semua perbua
Aku melemparkan ponsel begitu memutuskan sambungan telepon Mas Adam. Setelah Nilam ketahuan selingkuh, dia malah merengek ingin kembali. Huh, terbuat dari apa hatinya itu sama sekali tidak memikirkan perasaanku. Tidak, aku tidak akan kembali pada Adam sekalipun dia harus menangis darah. Jijik bila mengingat video memadu kasih mereka di kantor. Mungkin bukan saja di kantor melainkan tempat lain seperti di hotel. Lamunanku tersentak kala ponsel berdering, tadinya aku acuh saja pasti Adam lagi. Hingga tiga kali memanggil, akhirnya aku kesal tanpa melihat di layar langsung mengangkat. "Apalagi sih, Mas?" tanyaku ketus. "Ra, kamu kenapa?" Mendengar suara bariton yang berbeda di seberang sana membuatku terhenyak. Lelaki yang mengisi hatiku belakangan ini pasti kaget. "Maaf, Randy! Aku kira tadi Adam," jawabku sembari menghela napas. "Kenapa sama Adam sampai kamu kesal begitu?" "Biasa, Randy! Dia tadi nelpon bilang kalo Nilam sudah mengaku selingkuh dan ingin kembali padaku." "Lalu
Pov Adam "Adam nggak mau, Bu! Adam jijik melihatnya sudah disentuh laki-laki. Kalo ibu mau cucu, ibu aja yang hamil!" ucapku ketus lalu masuk ke kamar dan membanting pintu. "Adam!" pekik ibu yang tidak aku gubris. Ibu terus menggedor pintu tapi aku sudah malas menanggapinya. Kepalaku pusing memikirkan semua, belum menemukan pekerjaan sekarang ditambah Nilam selingkuh. Aku menatap langit-langit kamar, meratapi nasibku yang terus sial sejak berpisah dengan Rara. Ya, seharusnya aku tidak gegabah dengan permintaan ibu yang ingin cucu. Akan tetapi, saat itu aku juga tidak bisa menolak kehadiran Nilam yang piawai menggodaku. Tadinya aku mengira Nilam mencintaiku dengan tulus. Nyatanya semua hanya topeng agar dia bisa menikmati kemewahan yang ada padaku. Dia tidak tau bahwa semua pemberianku itu adalah milik Rara. Tiba-tiba aku teringat kalo aku belum menjatuhkan talak pada Rara. Itu berarti aku masih punya kesempatan untuk kembali padanya. Lebih baik aku rayu saja Rara mulai sekarang.
Pov Adam Aku tidak menyangka Nilam akan selingkuh di belakangku. Hatiku panas saat Rara, mantan istriku itu mengirim beberapa foto perselingkuhan Nilam dengan pria bule. Tadinya aku ingin menjebak Rara yang ketahuan berjalan bersama lelaki lain. Namun, malah aku yang dikejutkan dengan foto tersebut. Gegas aku pulang ke rumah untuk menanyakan kebenarannya pada Nilam. "Nilam ... Di mana kamu?" teriakku begitu masuk ke dalam rumah. "Ada apa sih, Dam? Pulang-pulang malah teriak," celetuk ibu keluar dari kamar. "Mana Nilam, Bu?" "Nggak tau, coba lihat di kamar kalian!" Aku membuka pintu kamar, lalu masuk lebih dalam tetapi tidak ada Nilam di kamar. Kemudian berjalan menuju dapur dan halaman belakang juga nihil. Huft, karena lelah aku jatuhkan badanku di sofa ruang tamu. Tanganku memijat pelipis yang pusing. Ibu yang sedari tadi diam memperhatikanku berlalu lalang pun heran. Mengambil ponsel di saku kemudian mendial nomor Nilam. Tersambung namun tidak diangkat, hingga sepuluh kali
Sambil menunggu Randy, aku membuka ponsel. Ada pesan masuk yang belum terbaca[Ra, ternyata kamu sama aja. Kita belum resmi bercerai tapi kamu udah dalam dekapan laki-laki lain] Aku mengernyitkan dahi membaca pesan itu. Apakah Adam yang mengirim? Lantas tau dari mana dia, aku pun celingukan ke sana kemari melihat apakah Adam ada di sekitar taman. [Nggak usah cari, Ra. Kamu nggak akan bisa menemukan aku, kamu tau kalo kamu juga selingkuh maka perceraian kita batal] ditambah emoticon menyeringai. [Terserah kamu bilang apa, Adam. Yang pasti aku akan tetap gugat cerai, ingat kesalahan kamu bukan satu tapi kamu juga korupsi di perusahaan kan!] balasku ingin menjebaknya. [Mana buktinya, Ra? Kamu jangan omong kosong, kalo aku korupsi pasti perusahaan nggak akan bertahan lama] [Kamu mau bukti, Adam? Ada kok, yang aku tau kamu korupsi demi Nilam kan. Oh ya bagaimana kabar Nilam sekarang? Apa dia udah hamil?] kutambah emoticon mengejek. [Kamu nggak perlu tau, Ra! Hubungan kami juga baik d
Randy menghentikan mobilnya begitu tiba di depan kantor pengacara. Terlihat jelas papan nama di depan kantor, Pengacara hukum Michael Wibawa. "Halo Michael!" sapa Randy menjabat tangan sahabatnya. "Halo juga Randy, how are you?" tanyanya dengan logat kebarat-baratan. "Alhamdulillah, aku baik. Oh ya ini Rara yang kuceritakan itu," ucap Randy menunjuk diriku. "Beautiful, jadi ini wanita yang kamu cintai sekian lama? Apa kabar?" tangan Michael terulur ke arahku. Kulihat Randy jadi malu dan kikuk, aku juga kaget ternyata Randy menceritakan hal ini pada sahabatnya. Aku pun menyambut uluran tangan Michael. "Alhamdulillah, aku baik!" "Mari duduk dulu, aku siap mendengar kamu curhat!" Michael terkekeh. Setelah aku dan Randy duduk, Michael menghidangkan teh hangat. "Silahkan minum dulu, biar fresh pikiran," tawarnya. Ternyata pengacara ini ramah dan tau cara membuat orang nyaman. Pantas saja Randy memilih yang terbaik untukku. Tidak di ragukan lagi kemampuannya, selain cerdas Michael
"Ra, kenapa? Melihat siapa?" tanya Randy heran yang segera mengikuti pandanganku. "Kamu lihat, Randy. Itu rubah betina," jawabku tersenyum menyeringai. "Siapa rubah betina? Masak di restoran ada rubah?" Randy celingukan terus karena kaget aku mengatakan rubah betina. Aku tentu saja tertawa melihat Randy tak mengerti yang kumaksudkan. Randy semakin heran karena aku menertawakannya. "Maaf, rubah betina itu wanita loh. Dialah wanita yang sudah merebut Adam dariku," kataku menjelaskan. Randy manggut-manggut, lalu menelisik yang mana rubah betina itu. Saat mata Randy tepat melihat wanita yang kutunjukkan, barulah dia tau. "Wanita itu yang dinikahi Adam? Padahal kamu lebih cantik dari dia, Ra. Entah kenapa Adam bisa mencampakkanmu karena wanita itu," ucap Randy menggeleng tak mengerti. "Ya, karena aku belum hamil juga. Makanya ibunya terus mendesak ingin menggendong cucu, tapi tak disangka dia malah menikahi sahabatku," kataku geram. "Dia sahabatmu? Bagaimana mungkin seorang sahabat