Sesampainya di perusahaan, saat akan masuk ke kantor langkahku dicegah Pak Budi. "Tunggu, Bu!" "Ada apa, Pak Budi?" tanyaku heran. "Di dalam masih ada Pak Adam dan Nilam, Bu. Mereka sudah lama di dalam, belum keluar-keluar," jawab Pak Budi gugup. "Bukankah saya udah pesan, kalo mereka berbuat mesum lagi Pak Budi bisa melarang," sahutku ketus. "Saya udah melarang, Bu! Tapi nggak diindahkan Pak Adam." "Oke, saya yang akan menyuruhnya keluar!" kataku sambil membuka ponsel. Ponselku tersambung ke CCTV kantor, hingga terlihat jelas apa yang mereka lakukan di kantor. Aku terperangah, mereka benar-benar keterlaluan, gumamku geram. Secepatnya kugedor pintu kantor. "Adam, keluar kamu dari kantorku. Keluar !" teriakku. Tidak lama terdengar suara pintu terbuka. Terlihat Adam yang berpenampilan kusut karena buru-buru, setelah dia keluar aku melayangkan tamparan di pipinya. Plak !! "Dasar laki-laki nggak tau diuntung! Masih aja berbuat mesum di kantor ini, pergi kamu dari sini dan jangan
Sampai di rumah, kuhempaskan tubuhku di sofa. Hari ini rasanya lelah sekali, setelah ribut di spa masih juga ribut di kantor. Namun, aku bisa puas karena bisa mengusir Adam dari perusahaan. Awalnya dia yang memohon padaku tapi dia juga yang membuka kepura-puraannya sendiri. Adam memang laki-laki tak tau diri, menyesal aku dulu tak mendengarkan Papa. Adam juga tidak mudah dihadapi, dia tidak mau begitu saja menceraikan diriku. Ditambah sekarang Nilam sudah menghasutnya, pasti mereka hanya akan memanfaatkan kekayaanku. Aku harus bergerak cepat sebelum mereka menyerang. Memijat kepalaku yang terasa pusing, aku di kejutkan suara ponsel. Terlihat di layar Tania memanggil, dengan malas aku segera mengangkatnya. "Halo!" "Halo, Ra. Kamu di mana?" tanya Tania. "Baru aja sampai rumah," jawabku. "Ra, apa Randy sudah menelepon? Dia ingin mengajak ____ " "Naik gunung 'kan!" potongku cepat. "Kamu udah tau, Ra. Lalu gimana, kamu mau 'kan?" tanya Tania berharap. "Aku belum tau, Nia. Akhir-a
Esoknya, cuaca yang cerah cocok untuk melakukan travel ke puncak. Aku yang baru siap sarapan dan memakai sepatu, terdengar suara klakson mobil di luar rumah. Melongok dari jendela, aku sudah tau pasti Tania. Anak itu memang sangat setia kawan. Setelah pamitan pada Bi Ira, keluar rumah menjinjing tas dan tenda. Tania segera turun dari mobil dan membantuku mengangkat perlengkapan camping. Melihat mobil cuma ada Tania aku heran. "Suamimu nggak ikut, Nia?" "Ikut, dia bersama Randy menunggu kita. Aku menjemputmu dulu, baru kita berangkat bersama," jelas Tania. Aku hanya manggut-manggut, setelah itu mobil melaju ke arah rumah Tania. Di situ kami berkumpul, baru kemudian bareng. Tak lama kami sampai di rumah Tania, lalu memasukkan mobil ke dalam garasi. "Kita berangkat naik mobil, Randy aja," kata Tania begitu tau aku hendak bertanya. Aku tau, mobil Randy besar pasti bisa menampung banyak barang. Mobil merek Pajero sport, milik Randy terparkir di luar pagar. Randy segera membantu begit
Randy dan suami Tania segera memasang tenda, aku dan Tania mencari ranting pohon untuk bahan bakar memasak. Saat menjelajahi hutan mencari kayu, aku terpisah dari Tania. Aku pun gugup, mana lagi sendiri. Kucoba mengingat jalan tapi tetap saja balik ke tempat semula. Aku mulai ketakutan dan saat lagi kebingungan kakiku terpeleset dan jatuh. Untunglah aku meraih akar pohon hingga tak terjatuh ke bawah. "Tolong .... Tolong aku!" teriakku. Aku tetap bertahan berpegangan pada akar pohon, sambil berteriak minta tolong. Namun, karena kecapekan dan banyak gerak akar pohon itu tak kuat menahan berat badanku. Krak !! Akhirnya akar pohon patah, aku terjatuh berguling-guling ke bawah dan saat menyampai dasar kakiku terkilir. "Aww," jeritku menahan sakit. "Tolong ... Tania, Randy ... Di mana kalian?" Aku menangis sambil melihat sekeliling. Aku coba mengambil ponselku di saku celana, syukurlah masih ada. Saat kuhidupkan sialnya tak ada sinyal hingga aku tak bisa menghubungi Tania. "Ya, Tuh
Esoknya saat membuka mata, hari sudah terang dan aku sudah berada di tenda. Melirik ke sana kemari, tapi cuma aku yang berada di tenda. Mencoba bangun untuk duduk, tapi terasa kakiku berat. Rupanya sudah dililit perban, pasti mereka yang mengobatinya. Tetiba aku ingat tadi malam saat jatuh, saat Randy menolongku dan menggendongku naik. Dan ya, kuingat juga ucapan sebelum tertidur itu. Astaga! Benarkah aku ucapkan itu di telinga Randy. Apa dia mendengar? Duh, malunya mau ditaruh di mana mukaku, aku bergumam sendiri. "Ra ... Kamu udah bangun!" panggil Tania tiba-tiba masuk tenda dan membuatku terkejut. "Sudah, kamu dari mana Nia?" "Di luar, masak buat sarapan kita semua," jawab Tania senyum-senyum. Yaelah, nih anak kenapa senyum-senyum. Apa senang melihatku kena musibah, seharusnya sedih malah senang, tak setia kawan nih memang. "Kenapa kamu senyum-senyum, teman celaka malah senang!" tanyaku heran. "Tentu saja aku sedih saat tadi malam nggak bisa menemukan kamu, kami suda
Sejak terjadi moment romantis di gunung itu bersama Randy, aku jadi sering melamun. Sosoknya sering kurindukan, apalagi jika aku sudah merasa kesepian di rumah. 'Apakah aku lagi jatuh cinta? Benarkah hatiku sudah menerima kehadirannya?' gumamku galau. Randy juga, semenjak itu jadi rajin mengirimkan pesan. Walaupun sekedar tanya sudah makan ataupun selamat tidur, tapi kuakui hatiku mulai senang menerima pesan darinya. Lamunanku kembali terngiang momen bersama Randy, saat itu mau pulang menuruni gunung. "Asyik ... Senangnya bisa naik gunung! Tapi ini hari kita akan pulang, sepertinya nggak rela ya!" kata Tania sedih. "Kapan-kapan kita ke sini lagi, tentunya saat itu sudah beda. Iya kan, Ra!" Suami Tania menimpali sambil tersenyum. "Iya, ntar kita ke sini lagi Nia," jawabku. "Demi Rara, soalnya dia masih sakit. Kasihan kalo terlalu lama di sini," sahut Randy menatapku dalam. "Cie ... yang perhatian sama Rara! Kita jadi nggak tega juga menahan Rara di sini!" Tania bersorak hingga
"Ra, ibu mohon kamu kembali pada Adam ya!" kata Ibu Adam begitu melihatku dia buru-buru menghambur memelukku. Aku tak menduga perlakuannya, selama ini jangankan memeluk bahkan untuk bicara lembut saja ibu tidak mau. Kini datang tiba-tiba merengek minta aku balik pada Adam. 'Huh, dasar manusia yang pintar berpura-pura' sungutku dalam hati. Aku pun melepaskan pelukan ibu dengan halus karena dia tidak mau melepaskannya. "Sudah, ibu duduk dulu," titahku pada wanita tua di depanku ini. "Apa kabar ibu?" tanyaku basa basi. "Ibu baik saja, bagaimana dengan kamu, Ra?" "Seperti ibu lihat sendiri, Rara baik bahkan lebih baik daripada di rumah ibu. Trus dengan siapa ibu kemari?" tanyaku. "Sendiri, Ra. Ibu kemari tanpa sepengetahuan Adam dan Nilam. Mereka sudah menceritakan semua pada ibu dan ibu kemari memohon padamu," ujarnya dengan wajah yang di buat sedih. Aku muak melihatnya, akan tetapi aku tetap berusaha tenang. "Nggak, Bu. Rara nggak bisa kembali pada Adam. Sudah banyak sekali kes
Surat gugatan perceraian yang sudah kukirimkan ke pengadilan ditanggapi dan sesuai putusan akan digelar sidang pertama. Adam sudah mendapat surat pemberitahuan agar menghadiri sidang. Randy membantuku mencari pengacara terbaik. Sesuai janji kami bertemu siang ini, Randy akan menjemputku bertemu pengacara. Tepat jam makan siang, ponselku berdering. Terlihat nama Randy di layar. "Halo, Randy!" "Ra, gimana? Kamu siap bertemu pengacara hari ini?" tanya Randy. "Siap, tapi aku makan dulu ya!" kataku agar Randy mau menunggu. "Makan bareng aku aja, aku udah nunggu di bawah kantormu," ucap Randy yang membuatku terkejut. "Baiklah, tunggu aku di bawah!" sahutku dengan senyum mengembang. Ah, mengapa begitu bahagia rasanya di jemput Randy. Apakah sebahagia ini jatuh cinta? Dulu sewaktu dengan Adam, aku tak pernah merasakan hal ini. Apa karena Randy selalu kasih kejutan buatku. Dengan bersenandung kecil, aku keluar kantor. Pak Budi yang melihatku melongo, aku jadi merasa malu dan bersikap
Kasus itu terus bergulir ke meja hukum, pengacara Bimo menuntut perusahaanku untuk ganti rugi. Aku pun berkonsultasi pada Michael, pengacara yang ditunjuk Randy untuk membantuku. "Begini, sebenarnya Adam yang bertanggung jawab tapi karena saat itu Adam masih menjabat dan mengatasnamakan perusahaan. Mau nggak mau kamu juga harus ganti rugi, Ra!" Micahel menasehatiku menurut hukum yang berlaku. Untuk beberapa detik aku menimbang perkataan pengacaraku yang ada benarnya. Randy dan Tania memberi dukungan agar aku kuat. "Ra, ikhlaskan aja. Kamu juga tau, mana mungkin Adam bisa mengganti uang itu dengan keadaannya sekarang," saran Tania. Michael menunggu keputusanku, uang satu milyar itu tidak sedikit. Apalagi selama ini Adam banyak mengkorupsi uang perusahaan hingga yang tersisa di bank hanya sedikit. Randy yang tau aku galau pun menggenggam tanganku. "Kenapa, bicaralah!" "Aku mau mengganti tapi uang itu udah banyak dikorupsi Adam. Nggak cukup, Randy," jawabku sedih. "Pakai uangku, R
Tidak ada lagi nada protes dari seberang sana, Adam pasti sudah memutuskan sambungan. Mungkin saja dia shock setelah aku mengatakan akan melapor ke polisi terkait hutang yang dipinjamnya dengan menggadaikan perusahaan. Ah, masa' bodoh dengan keadaannya sekarang. Yang penting aku bisa menyelamatkan warisan dari almarhum papa. Usai menelepon, kuhembuskan sedikit napas lega. "Gimana, Ra?" tanya Tania. Aku baru ingat kalo Tania dan Randy masih di rumahku. Randy mendekat lalu duduk di sampingku dan menggenggam tanganku. "Jangan takut, kamu nggak sendiri. Ada Mas dan Tania yang akan membantumu." Senyuman dari Randy berhasil menenangkanku. Saat terpuruk seperti ini aku memang butuh sandaran. Untung saja aku punya sahabat yang pengertian seperti Tania dan Randy yang selalu ada buatku. **** Beberapa hari pasca pengusiran Adam, aku tidak mendengar kabarnya lagi. Entah tinggal di mana mereka aku juga tidak mau tau. Sementara itu suasana berjalan lancar di perusahaan. Walaupun keadaan ten
Mataku membulat dilecehkan seperti ini lalu bangun dan menampar wajah lelaki itu. Plak! "Jangan kurang ajar anda!" pekikku lantang. Lelaki di depanku memegang pipinya yang kutampar tadi dengan rahang mengetat. Biar dia tau aku bukan wanita gampangan seperti pikiran busuknya itu. Gegas aku memanggil Pak Budi lalu dengan setengah teriak menyuruhnya masuk. Pak Budi menatapku dan klien itu bergantian dengan bingung. "Pak, antar tamu kita ini keluar!" titahku. "Baik, Bu. Mari, Pak!" ajak Pak Budi, tetapi lelaki itu bergeming. "Saya tidak akan keluar sebelum masalah kita selesai. Anda harus mengganti kerugian saya juga tamparan ini!" ucapnya tegas. "Saya sudah mengatakan semua, apakah anda belum paham? Tentang pinjaman itu sebaiknya anda menagih langsung dengan Adam. Karena uang itu tidak ada hubungannya sedikitpun dengan perusahaan. Saya akan beri salinan bukti pada anda nanti, tamparan itu juga hukuman anda yang sudah melecehkan saya. Anda lihat cctv di atas itu merekam semua perbua
Aku melemparkan ponsel begitu memutuskan sambungan telepon Mas Adam. Setelah Nilam ketahuan selingkuh, dia malah merengek ingin kembali. Huh, terbuat dari apa hatinya itu sama sekali tidak memikirkan perasaanku. Tidak, aku tidak akan kembali pada Adam sekalipun dia harus menangis darah. Jijik bila mengingat video memadu kasih mereka di kantor. Mungkin bukan saja di kantor melainkan tempat lain seperti di hotel. Lamunanku tersentak kala ponsel berdering, tadinya aku acuh saja pasti Adam lagi. Hingga tiga kali memanggil, akhirnya aku kesal tanpa melihat di layar langsung mengangkat. "Apalagi sih, Mas?" tanyaku ketus. "Ra, kamu kenapa?" Mendengar suara bariton yang berbeda di seberang sana membuatku terhenyak. Lelaki yang mengisi hatiku belakangan ini pasti kaget. "Maaf, Randy! Aku kira tadi Adam," jawabku sembari menghela napas. "Kenapa sama Adam sampai kamu kesal begitu?" "Biasa, Randy! Dia tadi nelpon bilang kalo Nilam sudah mengaku selingkuh dan ingin kembali padaku." "Lalu
Pov Adam "Adam nggak mau, Bu! Adam jijik melihatnya sudah disentuh laki-laki. Kalo ibu mau cucu, ibu aja yang hamil!" ucapku ketus lalu masuk ke kamar dan membanting pintu. "Adam!" pekik ibu yang tidak aku gubris. Ibu terus menggedor pintu tapi aku sudah malas menanggapinya. Kepalaku pusing memikirkan semua, belum menemukan pekerjaan sekarang ditambah Nilam selingkuh. Aku menatap langit-langit kamar, meratapi nasibku yang terus sial sejak berpisah dengan Rara. Ya, seharusnya aku tidak gegabah dengan permintaan ibu yang ingin cucu. Akan tetapi, saat itu aku juga tidak bisa menolak kehadiran Nilam yang piawai menggodaku. Tadinya aku mengira Nilam mencintaiku dengan tulus. Nyatanya semua hanya topeng agar dia bisa menikmati kemewahan yang ada padaku. Dia tidak tau bahwa semua pemberianku itu adalah milik Rara. Tiba-tiba aku teringat kalo aku belum menjatuhkan talak pada Rara. Itu berarti aku masih punya kesempatan untuk kembali padanya. Lebih baik aku rayu saja Rara mulai sekarang.
Pov Adam Aku tidak menyangka Nilam akan selingkuh di belakangku. Hatiku panas saat Rara, mantan istriku itu mengirim beberapa foto perselingkuhan Nilam dengan pria bule. Tadinya aku ingin menjebak Rara yang ketahuan berjalan bersama lelaki lain. Namun, malah aku yang dikejutkan dengan foto tersebut. Gegas aku pulang ke rumah untuk menanyakan kebenarannya pada Nilam. "Nilam ... Di mana kamu?" teriakku begitu masuk ke dalam rumah. "Ada apa sih, Dam? Pulang-pulang malah teriak," celetuk ibu keluar dari kamar. "Mana Nilam, Bu?" "Nggak tau, coba lihat di kamar kalian!" Aku membuka pintu kamar, lalu masuk lebih dalam tetapi tidak ada Nilam di kamar. Kemudian berjalan menuju dapur dan halaman belakang juga nihil. Huft, karena lelah aku jatuhkan badanku di sofa ruang tamu. Tanganku memijat pelipis yang pusing. Ibu yang sedari tadi diam memperhatikanku berlalu lalang pun heran. Mengambil ponsel di saku kemudian mendial nomor Nilam. Tersambung namun tidak diangkat, hingga sepuluh kali
Sambil menunggu Randy, aku membuka ponsel. Ada pesan masuk yang belum terbaca[Ra, ternyata kamu sama aja. Kita belum resmi bercerai tapi kamu udah dalam dekapan laki-laki lain] Aku mengernyitkan dahi membaca pesan itu. Apakah Adam yang mengirim? Lantas tau dari mana dia, aku pun celingukan ke sana kemari melihat apakah Adam ada di sekitar taman. [Nggak usah cari, Ra. Kamu nggak akan bisa menemukan aku, kamu tau kalo kamu juga selingkuh maka perceraian kita batal] ditambah emoticon menyeringai. [Terserah kamu bilang apa, Adam. Yang pasti aku akan tetap gugat cerai, ingat kesalahan kamu bukan satu tapi kamu juga korupsi di perusahaan kan!] balasku ingin menjebaknya. [Mana buktinya, Ra? Kamu jangan omong kosong, kalo aku korupsi pasti perusahaan nggak akan bertahan lama] [Kamu mau bukti, Adam? Ada kok, yang aku tau kamu korupsi demi Nilam kan. Oh ya bagaimana kabar Nilam sekarang? Apa dia udah hamil?] kutambah emoticon mengejek. [Kamu nggak perlu tau, Ra! Hubungan kami juga baik d
Randy menghentikan mobilnya begitu tiba di depan kantor pengacara. Terlihat jelas papan nama di depan kantor, Pengacara hukum Michael Wibawa. "Halo Michael!" sapa Randy menjabat tangan sahabatnya. "Halo juga Randy, how are you?" tanyanya dengan logat kebarat-baratan. "Alhamdulillah, aku baik. Oh ya ini Rara yang kuceritakan itu," ucap Randy menunjuk diriku. "Beautiful, jadi ini wanita yang kamu cintai sekian lama? Apa kabar?" tangan Michael terulur ke arahku. Kulihat Randy jadi malu dan kikuk, aku juga kaget ternyata Randy menceritakan hal ini pada sahabatnya. Aku pun menyambut uluran tangan Michael. "Alhamdulillah, aku baik!" "Mari duduk dulu, aku siap mendengar kamu curhat!" Michael terkekeh. Setelah aku dan Randy duduk, Michael menghidangkan teh hangat. "Silahkan minum dulu, biar fresh pikiran," tawarnya. Ternyata pengacara ini ramah dan tau cara membuat orang nyaman. Pantas saja Randy memilih yang terbaik untukku. Tidak di ragukan lagi kemampuannya, selain cerdas Michael
"Ra, kenapa? Melihat siapa?" tanya Randy heran yang segera mengikuti pandanganku. "Kamu lihat, Randy. Itu rubah betina," jawabku tersenyum menyeringai. "Siapa rubah betina? Masak di restoran ada rubah?" Randy celingukan terus karena kaget aku mengatakan rubah betina. Aku tentu saja tertawa melihat Randy tak mengerti yang kumaksudkan. Randy semakin heran karena aku menertawakannya. "Maaf, rubah betina itu wanita loh. Dialah wanita yang sudah merebut Adam dariku," kataku menjelaskan. Randy manggut-manggut, lalu menelisik yang mana rubah betina itu. Saat mata Randy tepat melihat wanita yang kutunjukkan, barulah dia tau. "Wanita itu yang dinikahi Adam? Padahal kamu lebih cantik dari dia, Ra. Entah kenapa Adam bisa mencampakkanmu karena wanita itu," ucap Randy menggeleng tak mengerti. "Ya, karena aku belum hamil juga. Makanya ibunya terus mendesak ingin menggendong cucu, tapi tak disangka dia malah menikahi sahabatku," kataku geram. "Dia sahabatmu? Bagaimana mungkin seorang sahabat