Aku memasukkan lipstick itu ke dalam saku piyama. Lalu beralih menuju lemari pakaian untuk mengambilkan piyama Mas Evan. Rasanya pikiranku sudah tidak bisa lagi untuk tetap tenang. Bahkan aku juga gelisah dan tak sabar menunggunya keluar.
Begitu pintu kamar mandi terbuka, kulihat Mas Evan keluar dengan handuk putih yang melilit pinggang. Sementara tangannya sibuk mengeringkan rambutnya yang basah usai keramas dengan handuk lainnya.
Aku berdiri, menatapnya dengan beribu tanya yang memenuhi kepala. Rasanya terlalu sulit mengeluarkan pertanyaan tentang lipstick itu padanya. Bukan tak berani, hanya saja aku sedang menyusun kalimat yang tepat agar tidak membuatnya merasa dicurigai.
“Ada apa? Apa ada yang ingin kamu bicarakan, Sayang?” tanya Mas Evan sambil mendekat padaku.
Aku tersenyum tipis. Lalu kuambil dan kuperlihatkan lipstick itu padanya. “Aku menemukannya jatuh dari saku tas kamu, Mas.”
Mas Evan menunduk, menatap lipstick di tanganku dengan ekspresi yang biasa. Tak ada kegugupan yang terlihat di raut wajahnya.
“Oh, ini tadi Mas nemu di parkiran. Mas pikir mungkin milik karyawan yang terjatuh, makanya Mas ambil. Rencananya besok Mas akan minta bantuan Vania untuk mencari pemiliknya,” jawab Mas Evan disertai dengan senyuman, seolah itu bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan.
Mas Evan melangkah mendekati ranjang dan mengambil piyama yang sudah kusiapkan. Tanpa ke kamar mandi, ia melepas handuk yang melilit di pinggangnya dan langsung memakai piyama di hadapanku saat itu juga. Sedangkan aku masih terdiam. Bukan karena terpaku melihat pemandangan yang sudah biasa Mas Evan lakukan, tapi aku masih memikirkan lipstick yang sampai saat ini justru membuatku semakin penasaran.
Setelah menggantung handuk, Mas Evan naik ke atas ranjang. Menatapku dengan senyuman hangat, lalu menepuk tempat kosong di sampingnya. Isyarat untuk memintaku berbaring bersamanya.
Aku tak bisa menolak. Kuukir senyum lembut lalu mengambil tempat untuk berbaring di sisinya. Dengan penuh kasih sayang seperti hari-hari biasanya, Mas Evan meletakkan lengannya untuk kujadikan bantal. Dan begitu kepalaku sudah berbaring di atas lengannya, tangan Mas Evan yang lain langsung melingkar di pinggangku dan memelukku dengan begitu erat.
“Kamu pasti kepikiran soal lipstick itu, ‘kan?” tebaknya.
Aku mengangguk kecil dalam dekapannya, seketika pelukan Mas Evan semakin erat kurasa.
“Apa kamu curiga, hm?” tanyanya sembari mengecup puncak kepalaku berkali-kali. “Atau kamu mau juga yang warna seperti itu?” tambahnya.
“Aku tidak suka warna seperti itu. Merah menyala, rasanya terlalu mencolok bagiku,” jawabku. Memang sejak dulu aku tidak menyukai warna itu, dan Mas Evan pun sudah tahu.
“Siapa tahu kamu ingin mencobanya,” ucapnya dengan kekehan kecil. “Kalau kamu penasaran, kamu bisa membawanya ke kantor dan bertanya langsung pada para staf,” lanjutnya. Terdengar tenang tapi sangat serius, seolah itu bukan masalah.
Aku tak menjawab. Kulingkarkan tanganku memeluk tubuhnya erat. Kuhirup aroma tubuhnya yang selalu membuatku merasa nyaman. Berharap hal itu bisa mengusir setiap kegundahan yang kurasakan. Namun, tetap saja hati dan pikiranku terus berperang meski mataku sudah terpejam. Antara curiga dan percaya, bagai dua mata uang yang saat ini sulit untuk kupisahkan.
*** Pagi ini masih seperti pagi biasanya, aku mengantar Mas Evan sampai di depan rumah saat ia akan berangkat bekerja. Sebagai CEO perusahaan, Mas Evan sangat rajin bekerja dan jarang absen kecuali untuk hal yang sangat mendesak. Sehingga hari-hari yang kujalani pun sudah terbiasa tanpanya.“Hati-hati di rumah, ya? Kalau ingin pergi ke mana pun jangan lupa memberi kabar. Supaya Mas gak khawatir,” ujarnya seperti biasa. Lalu mengecup keningku dengan penuh rasa.
“Iya, Mas. Kamu juga hati-hati, ya? Jangan nakal!” sindirku, tetap dengan senyuman seolah sedang menggodanya.
Mas Evan tertawa kecil sambil mencubit hidungku gemas. “Iya, Sayang. Jangan khawatir,” ujarnya.
Ketika Mas Evan melangkah menuju mobil, aku memandang punggungnya dengan perasaan yang sulit kumengerti. Aku merasa tidak ada yang berubah darinya. Sikapnya tetap lembut, hangat dan penuh perhatian seperti biasa. Apakah tidak keterlaluan jika aku mencurigainya?
Setelah Mas Evan melambaikan tangan dan melajukan mobilnya keluar, aku segera masuk ke dalam rumah. Kuraih ponsel dan segera kuhubungi Selina, tangan kananku di perusahaan tempat Mas Evan bekerja. Perusahaan orang tuaku yang sudah kukembangkan hingga menjadi semakin besar seperti sekarang. Jadi, akulah Co-Founder pada perusahaan tersebut.
“Halo, Bu Dinara. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Selina dari seberang telepon.
“Temui saya di Junior Cafe jam sepuluh pagi ini,”kataku dengan nada tegas.
“Baik, saya akan ke sana. Ada lagi?”
“Tidak, itu saja. Ada hal yang ingin saya bicarakan sama kamu di sana.”
Aku mematikan panggilan begitu selesai bicara dengan Selina. Kugenggam erat ponsel di depan dada. Kuyakinkan diri bahwa aku harus menyelidiki semuanya, sebelum Mas Evan melangkah lebih jauh dari yang aku bayangkan.
Dalam perjalanan, aku lebih banyak diam. Menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Namun, pikiranku rasanya begitu sibuk dengan banyaknya praduga, juga menyusun rencana jika semua kecurigaanku benar adanya.
Ting!
Setelah pesan misterius kemarin, jantungku selalu berdebar setiap kali bunyi notifikasi terdengar. Namun rasa penasaran juga membuatku langsung mengecek siapa yang mengirim pesan. Dan benar saja, nomor asing itu mengirim sebuah foto yang memperlihatkan berbagai macam hidangan mewah di atas meja. Foto itu juga disertai dengan caption: [Makan malam romantis. Terima kasih, Sayang]
Kuhela napas panjang dan mengabaikan pesan. Bagaimanapun aku harus tetap bersikap tenang. Lalu kulihat jam di pergelangan tangan. Pukul 08.30 pagi. Aku sudah tiba di tempat tujuan pertama. Setelah turun dari mobil, aku menatap sopir pribadiku, Pak Edi, lalu berkata, “Tolong jangan beri tahu Mas Evan jika saya datang ke sini.”
“Baik, Bu. Saya mengerti,” jawabnya sambil mengangguk sopan.
Begitu masuk toko bunga, aku disambut seorang karyawan. Dia menyapaku dengan ramah dan sopan. Seperti biasanya dia akan menanyakan keperluan dan juga menawarkan beberapa koleksi bunga terbaru di sana. Namun, sebelum dia berbicara lebih jauh, aku segera memotong ucapannya.
“Begini, bisa saya bertemu dengan Bu Aura? Saya ada perlu dengannya.”
“Oh, jadi Bu Dinara ingin bertemu dengan Bu Aura. Kalau begitu mari saya antar, Bu Aura ada di ruangannya.”
Aku mengikuti langkah karyawan itu hingga tiba di dalam ruangan di mana Bu Aura bekerja. Melihat kedatanganku, wanita yang berusia empat puluhan tahun itu langsung berdiri dan menyambutku dengan senyum ramah.
“Wah, Bu Dinara! Apa kabar? Senang sekali bisa bertemu Anda langsung pagi ini,” serunya. Wajahnya tampak senang melihat kedatanganku.
Aku tersenyum, hampir terkekeh kecil. “Saya juga senang bisa bertemu Bu Aura. Rasanya sudah lama saya tidak datang ke sini, ya?”
“Tidak apa-apa, Bu. Saya tahu Bu Dinara juga sibuk. Oh ya, apa ada yang bisa saya bantu?”
Aku mengambil napas sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Begini Bu Aura, saya ingin tahu apakah suami saya membeli bunga di sini belakangan ini?”
Bu Aura tersenyum lebar, lalu menjawab, “Benar sekali, Bu Dinara. Hampir setiap hari dia mampir untuk membeli bunga. Dia juga selalu minta untuk ditambahkan kartu ucapan. Saya yakin Bu Dinara pasti merasa sangat bahagia karena mendapat perlakuan yang romantis hampir setiap hari dari suaminya. Dan saya juga yakin ada banyak wanita yang iri untuk bisa berada di posisi Anda.”Degh!Aku sedikit mengernyit bersamaan dengan senyum di bibirku yang hampir memudar. Terkejut? Tentu saja. Bahkan, apa katanya? Hampir setiap hari? Bukankah itu artinya Mas Evan sering membeli bunga di sini?“Bu? Bu Dinara?”Aku terkesiap saat menyadari Bu Aura melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Seketika itu kuukir senyum simpul untuk menyembunyikan rasa terkejutku. “Bu Aura bisa saja. Pasti masih banyak wanita yang lebih beruntung daripada saya.”Wanita di hadapanku kembali tersenyum. Tampak benar-benar tulus tanpa sebuah topeng yang menutupi wajahnya.“Bu Dinara saja yang suka merendah,” ujarnya. “Oh y
Mia mengernyit. Jelas raut wajahnya sedikit heran dengan pertanyaanku. Tapi dia tak benar-benar menunjukkan dan justru tampak sedang berpikir keras.“Seingat saya yang biasa memakai lipstick merah ada Bu Anggun. Selain itu saya kurang memperhatikan, Bu. Maaf,” jawabnya.Aku mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. Lalu kubiarkan Mia kembali melanjutkan pekerjaannya.“Bu Anggun?” gumamku lirih. Tapi pikiranku segera menepis dugaan perselingkuhan Mas Evan dengan Bu Anggun. Karena tidak mungkin Mas Evan tertarik dengan wanita yang usianya hampir menginjak lima puluh tahun.Langkah kembali kuayun menuju ruang kerja Mas Evan. Semakin dekat, jantungku semakin berdetak cepat. Pikiranku sudah membayangkan jika Mas Evan mungkin sedang bermesraan di ruang kerjanya, seperti kisah dalam novel yang pernah kubaca, atau drama film yang pernah kutonton. Aku merasa tak sanggup menghadapinya jika itu benar-benar terjadi di hadapanku sekarang.“Wah ini sangat indah, Pak. Saya yakin tidak ada wanita yang ti
Mendengar hal itu, perasaanku menjadi tidak tenang. Sebenarnya aku sudah menebak jika kecurigaanku selama ini tidaklah salah. Tapi, demi membuktikan semua itu, aku meraih berkas-berkas yang Selina berikan meski dengan tangan gemetar. Begitu melihat apa yang ada di lembar paling atas, seketika kurasakan air mata langsung menggenang.Bagaimana tidak? Hatiku terasa ditikam ribuan pedang, disayat sembilu tajam, dan dihantam batu besar, hingga sebagian nyawaku terasa hilang. Lembar yang kulihat adalah sebuah foto di mana Mas Evan dengan mesranya mencium pipi seorang wanita yang sangat kukenal. Vania Priscilla, sekretaris pribadi Mas Evan. Foto lain menunjukkan bagaimana Mas Evan memeluk erat Vania sambil mencium kening wanita itu.Air mataku luruh. Meski sudah berhari-hari kusiapkan diri menerima kenyataan ini, tapi tetap saja hatiku rasanya sakit sekali. Rasanya masih tak percaya jika Mas Evan tega mengkhianati.“Apa aku tidak cukup baik menjadi seorang istri, Sel?” tanyaku dengan tatapan
Mas Evan tersenyum, lalu berbalik dan menutup pintu. Sebelum langkahnya kembali menuju ke arahku, segera kumatikan video dan keluar dari semua folder yang sedang kubuka. Lalu menutup laptop begitu saja tanpa mematikannya. Tak lupa berkas lain pun aku kemas rapi seperti sedia kala.Aku berdiri saat Mas Evan sudah berada di sampingku. Ada senyum hangat di bibirnya. Membuatku terpaksa membalas senyumnya.“Kamu habis nangis? Kenapa?” tanyanya, wajahnya berubah panik, sambil tangannya terulur menyentuh pipiku yang sudah memerah. Sorot matanya seolah mencari sesuatu yang membuatku berurai air mata.Sengaja aku tersenyum lebar hingga deretan gigiku terlihat. “Itu Mas, aku baru saja nonton drakor sedih, makanya aku ikut nangis,” jawabku beralibi.Mas Evan menghela napas lega. “Astaga, Mas pikir kenapa. Memangnya ceritanya tentang apa sampai berhasil buat kamu nangis? Hm?” tanyanya sembari menarik tubuhku dalam pelukannya.“Emm, itu soal perselingkuhan, Mas,” jawabku yang sengaja memancing, la
Kuambil napas panjang dan kuhembus perlahan. Semakin serius menatap Rafael yang menunggu jawaban. Setiap kata yang kususun sejak awal dalam angan, kini telah siap kulontarkan. “Sebenarnya ini adalah aib dalam rumah tanggaku,” kataku yang langsung tertunduk. Meremat jemari tangan di atas pangkuan dengan perasaan yang sulit kujelaskan. Yang pasti, hatiku kembali sakit dan terasa sesak untuk bernapas. “Aku mengetahui jika Mas Evan telah berselingkuh. Awalnya aku tak ingin percaya, sehingga diam-diam aku meminta Selina menyelidikinya. Hingga beberapa bukti yang terkumpul membenarkan perselingkuhan itu,” lanjutku dengan nada bergetar. Hening sejenak sebelum akhirnya kuangkat wajah untuk melihat reaksi Rafael yang tak sedikit pun bersuara. Entah apa yang ada di pikirannya. Tapi tatapannya tajam dengan dua alis yang hampir menyatu. Tergambar sebuah kemarahan yang coba ia redam di hadapanku. "Apa keluargamu sudah tahu tentang masalah ini?" tanyanya dengan tatapan menahan amarah. "Bel
Di dalam sana, kulihat Mas Evan dan Vania saling tertawa lepas sebelum akhirnya tatapan mereka beralih pada kehadiranku. Namun, yang membuatku sedikit tertegun adalah betapa dekat posisi mereka saat ini. Vania berdiri di samping kursi yang dipakai Mas Evan duduk. Posisinya sedikit menunduk membaca berkas yang sedang ia tunjuk. Entah Vania sadar atau tidak jika aku sudah mengetahui bahwa dialah pemilik nomor asing yang mengirimiku pesan. Tapi dari posisinya sekarang, seolah pose itu sengaja diperlihatkan. “Bu Dinara, silakan masuk!” ujar Vania lembut dengan senyum misterius tanpa diketahui Mas Evan. Aku mengangguk dengan senyum tipis. Melangkah mendekat dengan tatapan datar. Berusaha tenang meski hatiku kini rasanya sudah panas terbakar. Cemburu dan amarah bagai pusaran api yang berputar-putar mencari tempat pelampiasan. “Dinara, masuklah!” ujar Mas Evan yang ikut menyambutku datang dengan senyum mengembang. Dinara? Jujur aku merasa asing dengan panggilan itu. Selama ini Mas Evan
Vania dengan semangat memberikan pendapatnya mengenai private party yang cocok untuk merayakan ulang tahun bersama pasangan. Mulai dari dinner romantis, potong kue, hingga berdansa. Menurutku ide-ide itu sudah terlalu biasa dan tidak begitu istimewa. Namun, Vania menambahkan dengan adanya hadiah kejutan dari pasangan. Seketika aku tertarik dengan hadiah kejutan yang sedang Vania persiapkan dengan Mas Evan. Membuatku semakin tak sabar untuk melihat siapa yang sebenarnya akan mendapat kejutan. Aku? Atau mereka?Beberapa menit berlalu dan kegiatan kami memesan restoran untuk private party sudah selesai. Karena sudah berada di restoran, Mas Evan mengajakku sekalian makan siang. Vania yang awalnya berpura-pura ingin kembali ke kantor saja, aku bujuk untuk ikut makan siang dengan kami berdua. Alhasil dia pun mau dengan memasang senyumnya yang penuh kepalsuan.“Kamu pesan apa, Sayang,” tanya Mas Evan sambil membaca buku menu.“Aku mau Wagyu Steak dengan mashed potato dan jus reduction,” jawa
Aku berbalik dan menatap Selina yang terlihat mulai berpikir keras. Tak mudah memang mencari seseorang yang dia maksud. Sebab meski banyak memiliki rekan kerja, tapi tak ada satu pun yang menjadi teman dekatnya. Mas Evan sudah terbiasa berbagi masalah dan terbuka denganku saja.“Bagaimana dengan orang tua Pak Evan, Bu?”“Kamu tahu sendiri ibunya sudah sering sakit-sakitan. Kita tidak mungkin memberinya kabar buruk ini, ‘kan?”“Apa perlu saya minta bantuan Pak Ravin untuk memperingatkan Pak Evan?” Nada Selina terdengar ragu, sebab dia tahu dari awal aku tidak ingin membawa masalah ini pada keluargaku.Aku mendengus pelan. Kuhargai niat baik Selina yang tidak ingin aku mengorbankan hubunganku dengan Mas Evan. Aku juga tahu Selina berharap bukan aku yang mengalah. Karena itulah dia berusaha mencari cara lain untuk menyelamatkan rumah tanggaku.“Begini saja. Buat saja Kak Ravin mengetahui perselingkuhan Mas Evan secara alami dan biarkan dia bertindak sesuai apa yang dikehendaki. Tapi aku
Aku berbalik dan menatap Selina yang terlihat mulai berpikir keras. Tak mudah memang mencari seseorang yang dia maksud. Sebab meski banyak memiliki rekan kerja, tapi tak ada satu pun yang menjadi teman dekatnya. Mas Evan sudah terbiasa berbagi masalah dan terbuka denganku saja.“Bagaimana dengan orang tua Pak Evan, Bu?”“Kamu tahu sendiri ibunya sudah sering sakit-sakitan. Kita tidak mungkin memberinya kabar buruk ini, ‘kan?”“Apa perlu saya minta bantuan Pak Ravin untuk memperingatkan Pak Evan?” Nada Selina terdengar ragu, sebab dia tahu dari awal aku tidak ingin membawa masalah ini pada keluargaku.Aku mendengus pelan. Kuhargai niat baik Selina yang tidak ingin aku mengorbankan hubunganku dengan Mas Evan. Aku juga tahu Selina berharap bukan aku yang mengalah. Karena itulah dia berusaha mencari cara lain untuk menyelamatkan rumah tanggaku.“Begini saja. Buat saja Kak Ravin mengetahui perselingkuhan Mas Evan secara alami dan biarkan dia bertindak sesuai apa yang dikehendaki. Tapi aku
Vania dengan semangat memberikan pendapatnya mengenai private party yang cocok untuk merayakan ulang tahun bersama pasangan. Mulai dari dinner romantis, potong kue, hingga berdansa. Menurutku ide-ide itu sudah terlalu biasa dan tidak begitu istimewa. Namun, Vania menambahkan dengan adanya hadiah kejutan dari pasangan. Seketika aku tertarik dengan hadiah kejutan yang sedang Vania persiapkan dengan Mas Evan. Membuatku semakin tak sabar untuk melihat siapa yang sebenarnya akan mendapat kejutan. Aku? Atau mereka?Beberapa menit berlalu dan kegiatan kami memesan restoran untuk private party sudah selesai. Karena sudah berada di restoran, Mas Evan mengajakku sekalian makan siang. Vania yang awalnya berpura-pura ingin kembali ke kantor saja, aku bujuk untuk ikut makan siang dengan kami berdua. Alhasil dia pun mau dengan memasang senyumnya yang penuh kepalsuan.“Kamu pesan apa, Sayang,” tanya Mas Evan sambil membaca buku menu.“Aku mau Wagyu Steak dengan mashed potato dan jus reduction,” jawa
Di dalam sana, kulihat Mas Evan dan Vania saling tertawa lepas sebelum akhirnya tatapan mereka beralih pada kehadiranku. Namun, yang membuatku sedikit tertegun adalah betapa dekat posisi mereka saat ini. Vania berdiri di samping kursi yang dipakai Mas Evan duduk. Posisinya sedikit menunduk membaca berkas yang sedang ia tunjuk. Entah Vania sadar atau tidak jika aku sudah mengetahui bahwa dialah pemilik nomor asing yang mengirimiku pesan. Tapi dari posisinya sekarang, seolah pose itu sengaja diperlihatkan. “Bu Dinara, silakan masuk!” ujar Vania lembut dengan senyum misterius tanpa diketahui Mas Evan. Aku mengangguk dengan senyum tipis. Melangkah mendekat dengan tatapan datar. Berusaha tenang meski hatiku kini rasanya sudah panas terbakar. Cemburu dan amarah bagai pusaran api yang berputar-putar mencari tempat pelampiasan. “Dinara, masuklah!” ujar Mas Evan yang ikut menyambutku datang dengan senyum mengembang. Dinara? Jujur aku merasa asing dengan panggilan itu. Selama ini Mas Evan
Kuambil napas panjang dan kuhembus perlahan. Semakin serius menatap Rafael yang menunggu jawaban. Setiap kata yang kususun sejak awal dalam angan, kini telah siap kulontarkan. “Sebenarnya ini adalah aib dalam rumah tanggaku,” kataku yang langsung tertunduk. Meremat jemari tangan di atas pangkuan dengan perasaan yang sulit kujelaskan. Yang pasti, hatiku kembali sakit dan terasa sesak untuk bernapas. “Aku mengetahui jika Mas Evan telah berselingkuh. Awalnya aku tak ingin percaya, sehingga diam-diam aku meminta Selina menyelidikinya. Hingga beberapa bukti yang terkumpul membenarkan perselingkuhan itu,” lanjutku dengan nada bergetar. Hening sejenak sebelum akhirnya kuangkat wajah untuk melihat reaksi Rafael yang tak sedikit pun bersuara. Entah apa yang ada di pikirannya. Tapi tatapannya tajam dengan dua alis yang hampir menyatu. Tergambar sebuah kemarahan yang coba ia redam di hadapanku. "Apa keluargamu sudah tahu tentang masalah ini?" tanyanya dengan tatapan menahan amarah. "Bel
Mas Evan tersenyum, lalu berbalik dan menutup pintu. Sebelum langkahnya kembali menuju ke arahku, segera kumatikan video dan keluar dari semua folder yang sedang kubuka. Lalu menutup laptop begitu saja tanpa mematikannya. Tak lupa berkas lain pun aku kemas rapi seperti sedia kala.Aku berdiri saat Mas Evan sudah berada di sampingku. Ada senyum hangat di bibirnya. Membuatku terpaksa membalas senyumnya.“Kamu habis nangis? Kenapa?” tanyanya, wajahnya berubah panik, sambil tangannya terulur menyentuh pipiku yang sudah memerah. Sorot matanya seolah mencari sesuatu yang membuatku berurai air mata.Sengaja aku tersenyum lebar hingga deretan gigiku terlihat. “Itu Mas, aku baru saja nonton drakor sedih, makanya aku ikut nangis,” jawabku beralibi.Mas Evan menghela napas lega. “Astaga, Mas pikir kenapa. Memangnya ceritanya tentang apa sampai berhasil buat kamu nangis? Hm?” tanyanya sembari menarik tubuhku dalam pelukannya.“Emm, itu soal perselingkuhan, Mas,” jawabku yang sengaja memancing, la
Mendengar hal itu, perasaanku menjadi tidak tenang. Sebenarnya aku sudah menebak jika kecurigaanku selama ini tidaklah salah. Tapi, demi membuktikan semua itu, aku meraih berkas-berkas yang Selina berikan meski dengan tangan gemetar. Begitu melihat apa yang ada di lembar paling atas, seketika kurasakan air mata langsung menggenang.Bagaimana tidak? Hatiku terasa ditikam ribuan pedang, disayat sembilu tajam, dan dihantam batu besar, hingga sebagian nyawaku terasa hilang. Lembar yang kulihat adalah sebuah foto di mana Mas Evan dengan mesranya mencium pipi seorang wanita yang sangat kukenal. Vania Priscilla, sekretaris pribadi Mas Evan. Foto lain menunjukkan bagaimana Mas Evan memeluk erat Vania sambil mencium kening wanita itu.Air mataku luruh. Meski sudah berhari-hari kusiapkan diri menerima kenyataan ini, tapi tetap saja hatiku rasanya sakit sekali. Rasanya masih tak percaya jika Mas Evan tega mengkhianati.“Apa aku tidak cukup baik menjadi seorang istri, Sel?” tanyaku dengan tatapan
Mia mengernyit. Jelas raut wajahnya sedikit heran dengan pertanyaanku. Tapi dia tak benar-benar menunjukkan dan justru tampak sedang berpikir keras.“Seingat saya yang biasa memakai lipstick merah ada Bu Anggun. Selain itu saya kurang memperhatikan, Bu. Maaf,” jawabnya.Aku mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. Lalu kubiarkan Mia kembali melanjutkan pekerjaannya.“Bu Anggun?” gumamku lirih. Tapi pikiranku segera menepis dugaan perselingkuhan Mas Evan dengan Bu Anggun. Karena tidak mungkin Mas Evan tertarik dengan wanita yang usianya hampir menginjak lima puluh tahun.Langkah kembali kuayun menuju ruang kerja Mas Evan. Semakin dekat, jantungku semakin berdetak cepat. Pikiranku sudah membayangkan jika Mas Evan mungkin sedang bermesraan di ruang kerjanya, seperti kisah dalam novel yang pernah kubaca, atau drama film yang pernah kutonton. Aku merasa tak sanggup menghadapinya jika itu benar-benar terjadi di hadapanku sekarang.“Wah ini sangat indah, Pak. Saya yakin tidak ada wanita yang ti
Bu Aura tersenyum lebar, lalu menjawab, “Benar sekali, Bu Dinara. Hampir setiap hari dia mampir untuk membeli bunga. Dia juga selalu minta untuk ditambahkan kartu ucapan. Saya yakin Bu Dinara pasti merasa sangat bahagia karena mendapat perlakuan yang romantis hampir setiap hari dari suaminya. Dan saya juga yakin ada banyak wanita yang iri untuk bisa berada di posisi Anda.”Degh!Aku sedikit mengernyit bersamaan dengan senyum di bibirku yang hampir memudar. Terkejut? Tentu saja. Bahkan, apa katanya? Hampir setiap hari? Bukankah itu artinya Mas Evan sering membeli bunga di sini?“Bu? Bu Dinara?”Aku terkesiap saat menyadari Bu Aura melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Seketika itu kuukir senyum simpul untuk menyembunyikan rasa terkejutku. “Bu Aura bisa saja. Pasti masih banyak wanita yang lebih beruntung daripada saya.”Wanita di hadapanku kembali tersenyum. Tampak benar-benar tulus tanpa sebuah topeng yang menutupi wajahnya.“Bu Dinara saja yang suka merendah,” ujarnya. “Oh y
Aku memasukkan lipstick itu ke dalam saku piyama. Lalu beralih menuju lemari pakaian untuk mengambilkan piyama Mas Evan. Rasanya pikiranku sudah tidak bisa lagi untuk tetap tenang. Bahkan aku juga gelisah dan tak sabar menunggunya keluar.Begitu pintu kamar mandi terbuka, kulihat Mas Evan keluar dengan handuk putih yang melilit pinggang. Sementara tangannya sibuk mengeringkan rambutnya yang basah usai keramas dengan handuk lainnya.Aku berdiri, menatapnya dengan beribu tanya yang memenuhi kepala. Rasanya terlalu sulit mengeluarkan pertanyaan tentang lipstick itu padanya. Bukan tak berani, hanya saja aku sedang menyusun kalimat yang tepat agar tidak membuatnya merasa dicurigai.“Ada apa? Apa ada yang ingin kamu bicarakan, Sayang?” tanya Mas Evan sambil mendekat padaku.Aku tersenyum tipis. Lalu kuambil dan kuperlihatkan lipstick itu padanya. “Aku menemukannya jatuh dari saku tas kamu, Mas.”Mas Evan menunduk, menatap lipstick di tanganku dengan ekspresi yang biasa. Tak ada kegugupan ya