Ting!
Denting notifikasi ponsel yang terdengar, membuatku meletakkan majalah dan beranjak dari sofa. Kuayunkan langkah menuju nakas yang berada tepat di samping ranjang. Kuraih benda pipih yang ada di atasnya dan kuperhatikan layar. Nomor baru? Aku tak bisa menebak nomor siapa itu. Tapi kata-kata yang terlihat pada bar notifikasi sudah cukup membuatku mengernyitkan dahi.
[Suamimu sangat pandai dalam hal memuaskan. Aku dibuat mendesah keenakan di atas ranjang]
Seketika jantungku berdebar kencang, tapi aku masih berusaha untuk tetap tenang. Aku juga berpikir positif bahwa mungkin saja itu hanyalah orang iseng atau pesan salah kirim. Apalagi tak ada nama suamiku ataupun foto yang bisa menjadi bukti untuk menguatkan isi pesan.
Namun tetap saja, aku tak bisa menahan diri untuk tidak penasaran. Lalu kucoba melihat foto profilnya, namun sayang hanya menampakkan buket bunga dengan selembar kartu ucapan. Dan setelah fotonya kuperbesar, nama toko bunga yang tertera pada kartu ucapan adalah toko bunga langganan suamiku, Mas Evan.
“Aura Flower,” gumamku menyebut nama toko bunga tersebut.
Tanpa sadar, jemariku meremat ponsel yang kugenggam. Rasa gelisah menyelinap begitu saja. Namun, aku memilih megabaikannya meski jemariku juga gatal untuk mengirim pesan balasan. Ingin sekali kupastikan bahwa pesan itu hanya salah sasaran. Dan nama toko bunga itu hanyalah suatu kebetulan.
Ting!
Belum sempat kuletakkan lagi ponselku ke atas nakas, sebuah pesan kembali masuk dari nomor yang sama. Segera saja kubuka dan menajamkan penglihatanku untuk membacanya.
[Servisku juga sangat memuaskan hingga membuat suamimu ketagihan. Bersiaplah bahwa dia tidak akan pulang nanti malam]
Entah mengapa pesan kedua itu membuat tubuhku langsung gemetar. Jantungku berdebar semakin kencang. Napas pun terasa tercekat di tenggorokan. Aku ingat jika Mas Evan pulang larut semalam. Mungkinkah?
Tidak! Tidak!
Aku menggeleng cepat, menolak akan dugaan yang muncul dalam benak. Dengan keberanian yang sedikit kupaksakan, aku mulai mengetik untuk membalas pesan dari nomor asing yang sudah berhasil mengusik ketenangan.
[Siapa kamu? Dan apa maksudmu mengirim pesan seperti itu padaku?]
Setelah pesanku terkirim, sedikit pun aku tak mengalihkan tatapanku dari ponsel. Rasanya tak sabar mengetahui jawaban yang akan diberikan oleh si pemilik nomor asing. Hingga tak berapa lama sebuah pesan kembali masuk. Aku pun bergegas membacanya.
[Evan Xavier. Bukankah itu nama suamimu, Dinara Alverina Wiratama?]
Degh!
Seketika napasku memburu. Dada terasa sesak bagai kehilangan oksigen untuk bernapas. Tubuhku lemas, namun genggaman ponsel di tanganku semakin erat.
Kutatap lagi layar ponselku. Kubaca dan kupastikan lagi bahwa aku tak salah mengeja. Evan Xavier. Itu benar-benar nama suamiku yang sudah menemani hidupku selama tiga tahun lamanya.
Dengan tubuh yang seolah kehilangan tulangnya, tangan meraba ranjang dan menjadikannya pegangan sebelum akhirnya aku duduk dengan tatapan nanar. Mataku berkaca-kaca, masih enggan hatiku untuk percaya.
***
Langkahku mondar-mandir di ruang tamu. Sejak mendapat pesan pagi itu, jelas rasa gelisah kini menyelimutiku. Sejujurnya ingin kutanyakan langsung pada suamiku, tapi aku takut dia justru berbohong dan sengaja menutupinya dariku. Karena itulah aku memilih bungkam, hanya sementara waktu, sambil aku menyelidikinya lebih jauh.
Kulihat jam di dinding, sudah pukul sepuluh. Aku masih menunggu kepulangan suamiku. Bukan tanpa alasan. Mas Evan sudah menghubungiku akan pulang terlambat hari ini. Dan aku ingin membuktikan bahwa Mas Evan tidak berbohong, juga pesan itu tidak benar.
Cklek!
Pintu terbuka perlahan, sontak aku menoleh dan kulihat Mas Evan masuk dengan wajah kelelahan. Jantungku berdebar, lega kurasakan. Dengan senyum hangat aku menghampirinya.
“Kamu belum tidur, Sayang?” tanya Mas Evan padaku. Tangannya terulur membelai kepalaku dengan senyum hangat yang selalu membuatku merasa disayangi.
“Aku sengaja menunggu kamu, Mas. Akhir-akhir ini kamu sering lembur, pasti sangat melelahkan, bukan?”
Mas Evan tersenyum. Lalu menarikku dan mengecup keningku dengan penuh perasaan. Suatu hal yang sering kali ia lakukan. Membuatku selalu merasa bahwa cinta dan kesetiannya padaku begitu besar.
Seketika kecurigaan yang sudah mengganggu pikiran, membuatku diliputi keraguan. Benarkah dia berselingkuh? Apa yang membuatnya berselingkuh, padahal aku sudah berusaha semaksimal mungkin menjaga penampilan dan adabku terhadap pasangan. Apalagi tidak ada masalah serius sampai membuat kami bertengkar. Bahkan perihal momongan, Mas Evan sama sekali tak mempermasalahkan.
“Kamu sudah makan, Mas?” tanyaku lembut sembari melangkah menuju kamar bersamanya. Aku membawakan tas kerjanya, sementara Mas Evan melingkarkan tangannya di pinggangku.
“Iya, Mas tadi pesan di restoran langganan kita. Maaf, ya, Mas jadinya gak makan di rumah,” sesalnya.
“Nggak apa-apa, Mas. Aku gak mempermasalahkannya. Yang penting kamu bisa makan dan jaga kesehatan, itu udah cukup buat aku tenang,” jawabku, mencoba memahami jika posisinya saat itu memang sedang lembur. Hal yang wajar jika dia memilih pesan makanan dari luar.
“Terima kasih, Sayang. Besok Mas usahakan untuk gak lembur lagi, supaya kita bisa makan malam bersama, ya.”
“Serius, Mas? Kalau begitu besok aku akan masak makanan kesukaan kamu, ya.”
Mas Evan tersenyum bahagia, lalu menjawab, “Apapun masakan kamu, pasti akan Mas makan.”
Setibanya di dalam kamar, aku meminta Mas Evan untuk segera mandi, sementara aku menyiapkan pakaian ganti. Namun sebelum itu, kubawa tas kerjanya menuju lemari rak kaca. Kuletakkan di bagian paling atas seperti biasanya. Entah karena kurang hati-hati atau apa, tas itu terguling. Beruntung tidak sampai jatuh ke lantai, hanya posisinya saja yang berubah. Dan bersamaan dengan itu, sebuah benda kecil jatuh dari dalam sakunya.
Aku mendekat dan segera kupungut benda kecil itu.
“Lipstick?” gumamku penuh tanya. Seketika jantungku kembali berdebar kencang, tanganku pun gemetar memegang lipstick mahal dengan warna merah menyala itu. Sebab yang pasti… itu bukan punyaku.
Aku memasukkan lipstick itu ke dalam saku piyama. Lalu beralih menuju lemari pakaian untuk mengambilkan piyama Mas Evan. Rasanya pikiranku sudah tidak bisa lagi untuk tetap tenang. Bahkan aku juga gelisah dan tak sabar menunggunya keluar.Begitu pintu kamar mandi terbuka, kulihat Mas Evan keluar dengan handuk putih yang melilit pinggang. Sementara tangannya sibuk mengeringkan rambutnya yang basah usai keramas dengan handuk lainnya.Aku berdiri, menatapnya dengan beribu tanya yang memenuhi kepala. Rasanya terlalu sulit mengeluarkan pertanyaan tentang lipstick itu padanya. Bukan tak berani, hanya saja aku sedang menyusun kalimat yang tepat agar tidak membuatnya merasa dicurigai.“Ada apa? Apa ada yang ingin kamu bicarakan, Sayang?” tanya Mas Evan sambil mendekat padaku.Aku tersenyum tipis. Lalu kuambil dan kuperlihatkan lipstick itu padanya. “Aku menemukannya jatuh dari saku tas kamu, Mas.”Mas Evan menunduk, menatap lipstick di tanganku dengan ekspresi yang biasa. Tak ada kegugupan ya
Bu Aura tersenyum lebar, lalu menjawab, “Benar sekali, Bu Dinara. Hampir setiap hari dia mampir untuk membeli bunga. Dia juga selalu minta untuk ditambahkan kartu ucapan. Saya yakin Bu Dinara pasti merasa sangat bahagia karena mendapat perlakuan yang romantis hampir setiap hari dari suaminya. Dan saya juga yakin ada banyak wanita yang iri untuk bisa berada di posisi Anda.”Degh!Aku sedikit mengernyit bersamaan dengan senyum di bibirku yang hampir memudar. Terkejut? Tentu saja. Bahkan, apa katanya? Hampir setiap hari? Bukankah itu artinya Mas Evan sering membeli bunga di sini?“Bu? Bu Dinara?”Aku terkesiap saat menyadari Bu Aura melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Seketika itu kuukir senyum simpul untuk menyembunyikan rasa terkejutku. “Bu Aura bisa saja. Pasti masih banyak wanita yang lebih beruntung daripada saya.”Wanita di hadapanku kembali tersenyum. Tampak benar-benar tulus tanpa sebuah topeng yang menutupi wajahnya.“Bu Dinara saja yang suka merendah,” ujarnya. “Oh y
Mia mengernyit. Jelas raut wajahnya sedikit heran dengan pertanyaanku. Tapi dia tak benar-benar menunjukkan dan justru tampak sedang berpikir keras.“Seingat saya yang biasa memakai lipstick merah ada Bu Anggun. Selain itu saya kurang memperhatikan, Bu. Maaf,” jawabnya.Aku mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. Lalu kubiarkan Mia kembali melanjutkan pekerjaannya.“Bu Anggun?” gumamku lirih. Tapi pikiranku segera menepis dugaan perselingkuhan Mas Evan dengan Bu Anggun. Karena tidak mungkin Mas Evan tertarik dengan wanita yang usianya hampir menginjak lima puluh tahun.Langkah kembali kuayun menuju ruang kerja Mas Evan. Semakin dekat, jantungku semakin berdetak cepat. Pikiranku sudah membayangkan jika Mas Evan mungkin sedang bermesraan di ruang kerjanya, seperti kisah dalam novel yang pernah kubaca, atau drama film yang pernah kutonton. Aku merasa tak sanggup menghadapinya jika itu benar-benar terjadi di hadapanku sekarang.“Wah ini sangat indah, Pak. Saya yakin tidak ada wanita yang ti
Mendengar hal itu, perasaanku menjadi tidak tenang. Sebenarnya aku sudah menebak jika kecurigaanku selama ini tidaklah salah. Tapi, demi membuktikan semua itu, aku meraih berkas-berkas yang Selina berikan meski dengan tangan gemetar. Begitu melihat apa yang ada di lembar paling atas, seketika kurasakan air mata langsung menggenang.Bagaimana tidak? Hatiku terasa ditikam ribuan pedang, disayat sembilu tajam, dan dihantam batu besar, hingga sebagian nyawaku terasa hilang. Lembar yang kulihat adalah sebuah foto di mana Mas Evan dengan mesranya mencium pipi seorang wanita yang sangat kukenal. Vania Priscilla, sekretaris pribadi Mas Evan. Foto lain menunjukkan bagaimana Mas Evan memeluk erat Vania sambil mencium kening wanita itu.Air mataku luruh. Meski sudah berhari-hari kusiapkan diri menerima kenyataan ini, tapi tetap saja hatiku rasanya sakit sekali. Rasanya masih tak percaya jika Mas Evan tega mengkhianati.“Apa aku tidak cukup baik menjadi seorang istri, Sel?” tanyaku dengan tatapan
Mas Evan tersenyum, lalu berbalik dan menutup pintu. Sebelum langkahnya kembali menuju ke arahku, segera kumatikan video dan keluar dari semua folder yang sedang kubuka. Lalu menutup laptop begitu saja tanpa mematikannya. Tak lupa berkas lain pun aku kemas rapi seperti sedia kala.Aku berdiri saat Mas Evan sudah berada di sampingku. Ada senyum hangat di bibirnya. Membuatku terpaksa membalas senyumnya.“Kamu habis nangis? Kenapa?” tanyanya, wajahnya berubah panik, sambil tangannya terulur menyentuh pipiku yang sudah memerah. Sorot matanya seolah mencari sesuatu yang membuatku berurai air mata.Sengaja aku tersenyum lebar hingga deretan gigiku terlihat. “Itu Mas, aku baru saja nonton drakor sedih, makanya aku ikut nangis,” jawabku beralibi.Mas Evan menghela napas lega. “Astaga, Mas pikir kenapa. Memangnya ceritanya tentang apa sampai berhasil buat kamu nangis? Hm?” tanyanya sembari menarik tubuhku dalam pelukannya.“Emm, itu soal perselingkuhan, Mas,” jawabku yang sengaja memancing, la
Kuambil napas panjang dan kuhembus perlahan. Semakin serius menatap Rafael yang menunggu jawaban. Setiap kata yang kususun sejak awal dalam angan, kini telah siap kulontarkan. “Sebenarnya ini adalah aib dalam rumah tanggaku,” kataku yang langsung tertunduk. Meremat jemari tangan di atas pangkuan dengan perasaan yang sulit kujelaskan. Yang pasti, hatiku kembali sakit dan terasa sesak untuk bernapas. “Aku mengetahui jika Mas Evan telah berselingkuh. Awalnya aku tak ingin percaya, sehingga diam-diam aku meminta Selina menyelidikinya. Hingga beberapa bukti yang terkumpul membenarkan perselingkuhan itu,” lanjutku dengan nada bergetar. Hening sejenak sebelum akhirnya kuangkat wajah untuk melihat reaksi Rafael yang tak sedikit pun bersuara. Entah apa yang ada di pikirannya. Tapi tatapannya tajam dengan dua alis yang hampir menyatu. Tergambar sebuah kemarahan yang coba ia redam di hadapanku. "Apa keluargamu sudah tahu tentang masalah ini?" tanyanya dengan tatapan menahan amarah. "Bel
Di dalam sana, kulihat Mas Evan dan Vania saling tertawa lepas sebelum akhirnya tatapan mereka beralih pada kehadiranku. Namun, yang membuatku sedikit tertegun adalah betapa dekat posisi mereka saat ini. Vania berdiri di samping kursi yang dipakai Mas Evan duduk. Posisinya sedikit menunduk membaca berkas yang sedang ia tunjuk. Entah Vania sadar atau tidak jika aku sudah mengetahui bahwa dialah pemilik nomor asing yang mengirimiku pesan. Tapi dari posisinya sekarang, seolah pose itu sengaja diperlihatkan. “Bu Dinara, silakan masuk!” ujar Vania lembut dengan senyum misterius tanpa diketahui Mas Evan. Aku mengangguk dengan senyum tipis. Melangkah mendekat dengan tatapan datar. Berusaha tenang meski hatiku kini rasanya sudah panas terbakar. Cemburu dan amarah bagai pusaran api yang berputar-putar mencari tempat pelampiasan. “Dinara, masuklah!” ujar Mas Evan yang ikut menyambutku datang dengan senyum mengembang. Dinara? Jujur aku merasa asing dengan panggilan itu. Selama ini Mas Evan
Di dalam sana, kulihat Mas Evan dan Vania saling tertawa lepas sebelum akhirnya tatapan mereka beralih pada kehadiranku. Namun, yang membuatku sedikit tertegun adalah betapa dekat posisi mereka saat ini. Vania berdiri di samping kursi yang dipakai Mas Evan duduk. Posisinya sedikit menunduk membaca berkas yang sedang ia tunjuk. Entah Vania sadar atau tidak jika aku sudah mengetahui bahwa dialah pemilik nomor asing yang mengirimiku pesan. Tapi dari posisinya sekarang, seolah pose itu sengaja diperlihatkan. “Bu Dinara, silakan masuk!” ujar Vania lembut dengan senyum misterius tanpa diketahui Mas Evan. Aku mengangguk dengan senyum tipis. Melangkah mendekat dengan tatapan datar. Berusaha tenang meski hatiku kini rasanya sudah panas terbakar. Cemburu dan amarah bagai pusaran api yang berputar-putar mencari tempat pelampiasan. “Dinara, masuklah!” ujar Mas Evan yang ikut menyambutku datang dengan senyum mengembang. Dinara? Jujur aku merasa asing dengan panggilan itu. Selama ini Mas Evan
Kuambil napas panjang dan kuhembus perlahan. Semakin serius menatap Rafael yang menunggu jawaban. Setiap kata yang kususun sejak awal dalam angan, kini telah siap kulontarkan. “Sebenarnya ini adalah aib dalam rumah tanggaku,” kataku yang langsung tertunduk. Meremat jemari tangan di atas pangkuan dengan perasaan yang sulit kujelaskan. Yang pasti, hatiku kembali sakit dan terasa sesak untuk bernapas. “Aku mengetahui jika Mas Evan telah berselingkuh. Awalnya aku tak ingin percaya, sehingga diam-diam aku meminta Selina menyelidikinya. Hingga beberapa bukti yang terkumpul membenarkan perselingkuhan itu,” lanjutku dengan nada bergetar. Hening sejenak sebelum akhirnya kuangkat wajah untuk melihat reaksi Rafael yang tak sedikit pun bersuara. Entah apa yang ada di pikirannya. Tapi tatapannya tajam dengan dua alis yang hampir menyatu. Tergambar sebuah kemarahan yang coba ia redam di hadapanku. "Apa keluargamu sudah tahu tentang masalah ini?" tanyanya dengan tatapan menahan amarah. "Bel
Mas Evan tersenyum, lalu berbalik dan menutup pintu. Sebelum langkahnya kembali menuju ke arahku, segera kumatikan video dan keluar dari semua folder yang sedang kubuka. Lalu menutup laptop begitu saja tanpa mematikannya. Tak lupa berkas lain pun aku kemas rapi seperti sedia kala.Aku berdiri saat Mas Evan sudah berada di sampingku. Ada senyum hangat di bibirnya. Membuatku terpaksa membalas senyumnya.“Kamu habis nangis? Kenapa?” tanyanya, wajahnya berubah panik, sambil tangannya terulur menyentuh pipiku yang sudah memerah. Sorot matanya seolah mencari sesuatu yang membuatku berurai air mata.Sengaja aku tersenyum lebar hingga deretan gigiku terlihat. “Itu Mas, aku baru saja nonton drakor sedih, makanya aku ikut nangis,” jawabku beralibi.Mas Evan menghela napas lega. “Astaga, Mas pikir kenapa. Memangnya ceritanya tentang apa sampai berhasil buat kamu nangis? Hm?” tanyanya sembari menarik tubuhku dalam pelukannya.“Emm, itu soal perselingkuhan, Mas,” jawabku yang sengaja memancing, la
Mendengar hal itu, perasaanku menjadi tidak tenang. Sebenarnya aku sudah menebak jika kecurigaanku selama ini tidaklah salah. Tapi, demi membuktikan semua itu, aku meraih berkas-berkas yang Selina berikan meski dengan tangan gemetar. Begitu melihat apa yang ada di lembar paling atas, seketika kurasakan air mata langsung menggenang.Bagaimana tidak? Hatiku terasa ditikam ribuan pedang, disayat sembilu tajam, dan dihantam batu besar, hingga sebagian nyawaku terasa hilang. Lembar yang kulihat adalah sebuah foto di mana Mas Evan dengan mesranya mencium pipi seorang wanita yang sangat kukenal. Vania Priscilla, sekretaris pribadi Mas Evan. Foto lain menunjukkan bagaimana Mas Evan memeluk erat Vania sambil mencium kening wanita itu.Air mataku luruh. Meski sudah berhari-hari kusiapkan diri menerima kenyataan ini, tapi tetap saja hatiku rasanya sakit sekali. Rasanya masih tak percaya jika Mas Evan tega mengkhianati.“Apa aku tidak cukup baik menjadi seorang istri, Sel?” tanyaku dengan tatapan
Mia mengernyit. Jelas raut wajahnya sedikit heran dengan pertanyaanku. Tapi dia tak benar-benar menunjukkan dan justru tampak sedang berpikir keras.“Seingat saya yang biasa memakai lipstick merah ada Bu Anggun. Selain itu saya kurang memperhatikan, Bu. Maaf,” jawabnya.Aku mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. Lalu kubiarkan Mia kembali melanjutkan pekerjaannya.“Bu Anggun?” gumamku lirih. Tapi pikiranku segera menepis dugaan perselingkuhan Mas Evan dengan Bu Anggun. Karena tidak mungkin Mas Evan tertarik dengan wanita yang usianya hampir menginjak lima puluh tahun.Langkah kembali kuayun menuju ruang kerja Mas Evan. Semakin dekat, jantungku semakin berdetak cepat. Pikiranku sudah membayangkan jika Mas Evan mungkin sedang bermesraan di ruang kerjanya, seperti kisah dalam novel yang pernah kubaca, atau drama film yang pernah kutonton. Aku merasa tak sanggup menghadapinya jika itu benar-benar terjadi di hadapanku sekarang.“Wah ini sangat indah, Pak. Saya yakin tidak ada wanita yang ti
Bu Aura tersenyum lebar, lalu menjawab, “Benar sekali, Bu Dinara. Hampir setiap hari dia mampir untuk membeli bunga. Dia juga selalu minta untuk ditambahkan kartu ucapan. Saya yakin Bu Dinara pasti merasa sangat bahagia karena mendapat perlakuan yang romantis hampir setiap hari dari suaminya. Dan saya juga yakin ada banyak wanita yang iri untuk bisa berada di posisi Anda.”Degh!Aku sedikit mengernyit bersamaan dengan senyum di bibirku yang hampir memudar. Terkejut? Tentu saja. Bahkan, apa katanya? Hampir setiap hari? Bukankah itu artinya Mas Evan sering membeli bunga di sini?“Bu? Bu Dinara?”Aku terkesiap saat menyadari Bu Aura melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Seketika itu kuukir senyum simpul untuk menyembunyikan rasa terkejutku. “Bu Aura bisa saja. Pasti masih banyak wanita yang lebih beruntung daripada saya.”Wanita di hadapanku kembali tersenyum. Tampak benar-benar tulus tanpa sebuah topeng yang menutupi wajahnya.“Bu Dinara saja yang suka merendah,” ujarnya. “Oh y
Aku memasukkan lipstick itu ke dalam saku piyama. Lalu beralih menuju lemari pakaian untuk mengambilkan piyama Mas Evan. Rasanya pikiranku sudah tidak bisa lagi untuk tetap tenang. Bahkan aku juga gelisah dan tak sabar menunggunya keluar.Begitu pintu kamar mandi terbuka, kulihat Mas Evan keluar dengan handuk putih yang melilit pinggang. Sementara tangannya sibuk mengeringkan rambutnya yang basah usai keramas dengan handuk lainnya.Aku berdiri, menatapnya dengan beribu tanya yang memenuhi kepala. Rasanya terlalu sulit mengeluarkan pertanyaan tentang lipstick itu padanya. Bukan tak berani, hanya saja aku sedang menyusun kalimat yang tepat agar tidak membuatnya merasa dicurigai.“Ada apa? Apa ada yang ingin kamu bicarakan, Sayang?” tanya Mas Evan sambil mendekat padaku.Aku tersenyum tipis. Lalu kuambil dan kuperlihatkan lipstick itu padanya. “Aku menemukannya jatuh dari saku tas kamu, Mas.”Mas Evan menunduk, menatap lipstick di tanganku dengan ekspresi yang biasa. Tak ada kegugupan ya
Ting!Denting notifikasi ponsel yang terdengar, membuatku meletakkan majalah dan beranjak dari sofa. Kuayunkan langkah menuju nakas yang berada tepat di samping ranjang. Kuraih benda pipih yang ada di atasnya dan kuperhatikan layar. Nomor baru? Aku tak bisa menebak nomor siapa itu. Tapi kata-kata yang terlihat pada bar notifikasi sudah cukup membuatku mengernyitkan dahi.[Suamimu sangat pandai dalam hal memuaskan. Aku dibuat mendesah keenakan di atas ranjang]Seketika jantungku berdebar kencang, tapi aku masih berusaha untuk tetap tenang. Aku juga berpikir positif bahwa mungkin saja itu hanyalah orang iseng atau pesan salah kirim. Apalagi tak ada nama suamiku ataupun foto yang bisa menjadi bukti untuk menguatkan isi pesan.Namun tetap saja, aku tak bisa menahan diri untuk tidak penasaran. Lalu kucoba melihat foto profilnya, namun sayang hanya menampakkan buket bunga dengan selembar kartu ucapan. Dan setelah fotonya kuperbesar, nama toko bunga yang tertera pada kartu ucapan adalah toko