Mendengar hal itu, perasaanku menjadi tidak tenang. Sebenarnya aku sudah menebak jika kecurigaanku selama ini tidaklah salah. Tapi, demi membuktikan semua itu, aku meraih berkas-berkas yang Selina berikan meski dengan tangan gemetar. Begitu melihat apa yang ada di lembar paling atas, seketika kurasakan air mata langsung menggenang.
Bagaimana tidak? Hatiku terasa ditikam ribuan pedang, disayat sembilu tajam, dan dihantam batu besar, hingga sebagian nyawaku terasa hilang. Lembar yang kulihat adalah sebuah foto di mana Mas Evan dengan mesranya mencium pipi seorang wanita yang sangat kukenal. Vania Priscilla, sekretaris pribadi Mas Evan. Foto lain menunjukkan bagaimana Mas Evan memeluk erat Vania sambil mencium kening wanita itu.
Air mataku luruh. Meski sudah berhari-hari kusiapkan diri menerima kenyataan ini, tapi tetap saja hatiku rasanya sakit sekali. Rasanya masih tak percaya jika Mas Evan tega mengkhianati.
“Apa aku tidak cukup baik menjadi seorang istri, Sel?” tanyaku dengan tatapan nanar. Pandanganku buram dipenuhi genangan air mata yang terus keluar.
“Apa aku tidak cukup cantik?”
“Apa aku adalah wanita yang tidak cukup menarik bagi seorang pria? Sampai Mas Evan tega mendua?”
Aku menangis terisak, kututup wajahku dengan kedua tangan setelah meletakkan semua bukti-bukti itu di atas pangkuan. Dapat kudengar Selina bangkit dan melangkah duduk di sampingku. Tangannya dengan lembut mengusap pundak dan punggungku.
“Bu Dinara sabar, ya. Yang tenang. Saya tahu ini pasti menyakitkan, tapi tolong jangan salahkan diri Anda sendiri,” ujar Selina padaku.
“Bahkan menurut saya, Bu Dinara sudah cukup sempurna untuk menjadi seorang istri. Cantik, menarik, perhatian dan berkelas. Bu Dinara juga mencintai Pak Evan dengan tulus. Jadi kalau Pak Evan selingkuh, saya rasa yang salah adalah dia, bukan Anda,” ujarnya lagi.
Aku tahu Selina mencoba menghibur dan menguatkanku, tapi tetap saja, aku belum bisa menerima kenyataan ini dengan mudah. Air mataku terus tumpah. Sakitnya menjalar pada aliran pembuluh darah. Hingga aku merasa tak sanggup menghadapi apa yang kualami saat ini.
Kuhela napas kasar demi mengurai sesak yang begitu menyiksa. Kusandarkan punggungku dan menatap kosong ke depan. Sementara Selina pun ikut diam sambil tetap mengelus lembut lenganku.
“Menurutmu apa yang harus aku lakukan pada mereka berdua?” tanyaku dengan nada bergetar. Tubuhku terasa lemas, seolah harapan hidup menguap entah ke mana.
Helaan napas keluar dari mulut Selina sebelum akhirnya menjawab, “Mungkin sebaiknya dibicarakan baik-baik dulu dengan Pak Evan atau pihak keluarga, Bu.”
Aku mendengkus. “Aku tidak yakin Mas Evan akan mengakui perbuatannya. Bahkan jika dia mengakui dan memohon maaf pun, suatu saat dia akan mengulanginya,” jawabku putus asa.
“Tapi bukankah lebih baik jika semuanya diselesaikan dengan bicara? Siapa tahu ada keajaiban yang membuat Pak Evan menyesal dan tidak akan mengulangi perbuatannya.”
“Menurutmu begitu?” tanyaku dengan nada tak begitu yakin.
Selina menunduk. “Saya juga tidak sepenuhnya yakin, tapi saya rasa setiap masalah rumah tangga harus dibicarakan lebih dulu agar bisa dicari solusinya,” jawabnya bijak.
***
Aku terdiam di kamar. Mataku sembab bekas tangisan. Tapi, air mata yang terlanjur bercucuran tak serta merta membuatku merasa baik-baik saja.
Meski kini kepalaku bersandar pada headboard ranjang, tapi tanganku masih sibuk membuka lembar demi lembar bukti perselingkuhan Mas Evan. Namun, masih ada bukti video yang sampai sekarang belum kuputar. Aku ragu. Takut jika aku tak mampu menahan diriku. Melihat foto mesra mereka saja sudah membuatku merasa sangat terluka, bagaimana jika aku melihat langsung videonya?
Tak ingin mati penasaran, segera kunyalakan laptop dan memasukkan flasdisk untuk melihat video apa saja yang sudah berhasil direkam oleh orang suruhan Selina. Lagi-lagi jantungku bak genderang perang saat tanganku yang gemetar mulai sibuk membuat sentuhan di atas touchpad. Dan setelah beberapa kali sentuhan, sebuah folder yang berisi 3 video akhirnya terpampang di layar. Segera kuklik salah satu agar tak membuang waktu.
Video mulai berjalan dan memperlihatkan suasana di dalam mobil Mas Evan. Senyumnya merekah dengan tatapan ke luar jendela. Hingga saat pintu mobil terbuka, Vania masuk ke dalam dan duduk di samping Mas Evan dengan penampilan yang menawan.
“Ya Tuhan!” Aku menutup mulut bersamaan air mata yang kembali menggenang di pelupuk mata. Mas Evan, dengan begitu posesif menarik Vania dan mencium bibir wanita itu dengan penuh gairah.
“Tahan dulu dong, Mas! Nanti keterusan lagi, main di sini,” ucap Vania sambil mendorong pelan tubuh Mas Evan. Dia juga tersenyum manja sambil membenahi blazernya yang sempat terbuka akibat perbuatan Mas Evan.
“Habisnya udah gak tahan, nih!” jawab Mas Evan. Tak ada keraguan sama sekali dari ucapan dan raut wajahnya.
Selama dalam perjalanan itu, tak ada percakapan serius yang mereka bahas, kecuali belanja, makan dan bersenang-senang.
Sejenak aku terdiam setelah video pertama selesai diputar. Namun sudah kepalang basah, aku pun melanjutkan pada video kedua. Jika video yang pertama berhasil membuatku menutup mulut dengan rasa tak percaya, justru pada video kedua membuatku tak sanggup melihatnya.
Di dalam ruang remang-remang yang aku yakini adalah sebuah kamar, Mas Evan dan Vania telah begulat di atas ranjang. Saling mencumbu dan memuaskan hasrat binatang. Mengecup dan memberikan sentuhan-sentuhan terlarang demi merasakan kenikmatan.
“Kamu sangat pandai memuaskanku, Sayang,” ucap Mas Evan dengan napasnya yang memburu setelah berhasil menyemburkan lava pijar.
Aku tak mengerti, apa yang ada dalam pikiran Mas Evan sampai dia begitu menikmati permainan itu. Apakah benar Vania lebih bisa memuaskannya daripada aku?
Seketika tanganku mengepal. Ingin sekali kuluapkan amarahku pada Selina yang sudah memberikanku video seperti ini. Tapi aku juga ingin berterima kasih atas keberaniannya yang mampu menyewa orang sampai bisa merekam aktivitas tak bermoral suamiku dengan selingkuhannya.
Cklek!
Aku terkesiap saat mendengar pintu kamarku terbuka. Begitu aku menoleh, Mas Evan sudah berdiri di sana.
“Mas, tumben kamu sudah pulang?” tanyaku gugup.
Mas Evan tersenyum, lalu berbalik dan menutup pintu. Sebelum langkahnya kembali menuju ke arahku, segera kumatikan video dan keluar dari semua folder yang sedang kubuka. Lalu menutup laptop begitu saja tanpa mematikannya. Tak lupa berkas lain pun aku kemas rapi seperti sedia kala.Aku berdiri saat Mas Evan sudah berada di sampingku. Ada senyum hangat di bibirnya. Membuatku terpaksa membalas senyumnya.“Kamu habis nangis? Kenapa?” tanyanya, wajahnya berubah panik, sambil tangannya terulur menyentuh pipiku yang sudah memerah. Sorot matanya seolah mencari sesuatu yang membuatku berurai air mata.Sengaja aku tersenyum lebar hingga deretan gigiku terlihat. “Itu Mas, aku baru saja nonton drakor sedih, makanya aku ikut nangis,” jawabku beralibi.Mas Evan menghela napas lega. “Astaga, Mas pikir kenapa. Memangnya ceritanya tentang apa sampai berhasil buat kamu nangis? Hm?” tanyanya sembari menarik tubuhku dalam pelukannya.“Emm, itu soal perselingkuhan, Mas,” jawabku yang sengaja memancing, la
Kuambil napas panjang dan kuhembus perlahan. Semakin serius menatap Rafael yang menunggu jawaban. Setiap kata yang kususun sejak awal dalam angan, kini telah siap kulontarkan. “Sebenarnya ini adalah aib dalam rumah tanggaku,” kataku yang langsung tertunduk. Meremat jemari tangan di atas pangkuan dengan perasaan yang sulit kujelaskan. Yang pasti, hatiku kembali sakit dan terasa sesak untuk bernapas. “Aku mengetahui jika Mas Evan telah berselingkuh. Awalnya aku tak ingin percaya, sehingga diam-diam aku meminta Selina menyelidikinya. Hingga beberapa bukti yang terkumpul membenarkan perselingkuhan itu,” lanjutku dengan nada bergetar. Hening sejenak sebelum akhirnya kuangkat wajah untuk melihat reaksi Rafael yang tak sedikit pun bersuara. Entah apa yang ada di pikirannya. Tapi tatapannya tajam dengan dua alis yang hampir menyatu. Tergambar sebuah kemarahan yang coba ia redam di hadapanku. "Apa keluargamu sudah tahu tentang masalah ini?" tanyanya dengan tatapan menahan amarah. "Bel
Di dalam sana, kulihat Mas Evan dan Vania saling tertawa lepas sebelum akhirnya tatapan mereka beralih pada kehadiranku. Namun, yang membuatku sedikit tertegun adalah betapa dekat posisi mereka saat ini. Vania berdiri di samping kursi yang dipakai Mas Evan duduk. Posisinya sedikit menunduk membaca berkas yang sedang ia tunjuk. Entah Vania sadar atau tidak jika aku sudah mengetahui bahwa dialah pemilik nomor asing yang mengirimiku pesan. Tapi dari posisinya sekarang, seolah pose itu sengaja diperlihatkan. “Bu Dinara, silakan masuk!” ujar Vania lembut dengan senyum misterius tanpa diketahui Mas Evan. Aku mengangguk dengan senyum tipis. Melangkah mendekat dengan tatapan datar. Berusaha tenang meski hatiku kini rasanya sudah panas terbakar. Cemburu dan amarah bagai pusaran api yang berputar-putar mencari tempat pelampiasan. “Dinara, masuklah!” ujar Mas Evan yang ikut menyambutku datang dengan senyum mengembang. Dinara? Jujur aku merasa asing dengan panggilan itu. Selama ini Mas Evan
Ting!Denting notifikasi ponsel yang terdengar, membuatku meletakkan majalah dan beranjak dari sofa. Kuayunkan langkah menuju nakas yang berada tepat di samping ranjang. Kuraih benda pipih yang ada di atasnya dan kuperhatikan layar. Nomor baru? Aku tak bisa menebak nomor siapa itu. Tapi kata-kata yang terlihat pada bar notifikasi sudah cukup membuatku mengernyitkan dahi.[Suamimu sangat pandai dalam hal memuaskan. Aku dibuat mendesah keenakan di atas ranjang]Seketika jantungku berdebar kencang, tapi aku masih berusaha untuk tetap tenang. Aku juga berpikir positif bahwa mungkin saja itu hanyalah orang iseng atau pesan salah kirim. Apalagi tak ada nama suamiku ataupun foto yang bisa menjadi bukti untuk menguatkan isi pesan.Namun tetap saja, aku tak bisa menahan diri untuk tidak penasaran. Lalu kucoba melihat foto profilnya, namun sayang hanya menampakkan buket bunga dengan selembar kartu ucapan. Dan setelah fotonya kuperbesar, nama toko bunga yang tertera pada kartu ucapan adalah toko
Aku memasukkan lipstick itu ke dalam saku piyama. Lalu beralih menuju lemari pakaian untuk mengambilkan piyama Mas Evan. Rasanya pikiranku sudah tidak bisa lagi untuk tetap tenang. Bahkan aku juga gelisah dan tak sabar menunggunya keluar.Begitu pintu kamar mandi terbuka, kulihat Mas Evan keluar dengan handuk putih yang melilit pinggang. Sementara tangannya sibuk mengeringkan rambutnya yang basah usai keramas dengan handuk lainnya.Aku berdiri, menatapnya dengan beribu tanya yang memenuhi kepala. Rasanya terlalu sulit mengeluarkan pertanyaan tentang lipstick itu padanya. Bukan tak berani, hanya saja aku sedang menyusun kalimat yang tepat agar tidak membuatnya merasa dicurigai.“Ada apa? Apa ada yang ingin kamu bicarakan, Sayang?” tanya Mas Evan sambil mendekat padaku.Aku tersenyum tipis. Lalu kuambil dan kuperlihatkan lipstick itu padanya. “Aku menemukannya jatuh dari saku tas kamu, Mas.”Mas Evan menunduk, menatap lipstick di tanganku dengan ekspresi yang biasa. Tak ada kegugupan ya
Bu Aura tersenyum lebar, lalu menjawab, “Benar sekali, Bu Dinara. Hampir setiap hari dia mampir untuk membeli bunga. Dia juga selalu minta untuk ditambahkan kartu ucapan. Saya yakin Bu Dinara pasti merasa sangat bahagia karena mendapat perlakuan yang romantis hampir setiap hari dari suaminya. Dan saya juga yakin ada banyak wanita yang iri untuk bisa berada di posisi Anda.”Degh!Aku sedikit mengernyit bersamaan dengan senyum di bibirku yang hampir memudar. Terkejut? Tentu saja. Bahkan, apa katanya? Hampir setiap hari? Bukankah itu artinya Mas Evan sering membeli bunga di sini?“Bu? Bu Dinara?”Aku terkesiap saat menyadari Bu Aura melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Seketika itu kuukir senyum simpul untuk menyembunyikan rasa terkejutku. “Bu Aura bisa saja. Pasti masih banyak wanita yang lebih beruntung daripada saya.”Wanita di hadapanku kembali tersenyum. Tampak benar-benar tulus tanpa sebuah topeng yang menutupi wajahnya.“Bu Dinara saja yang suka merendah,” ujarnya. “Oh y
Mia mengernyit. Jelas raut wajahnya sedikit heran dengan pertanyaanku. Tapi dia tak benar-benar menunjukkan dan justru tampak sedang berpikir keras.“Seingat saya yang biasa memakai lipstick merah ada Bu Anggun. Selain itu saya kurang memperhatikan, Bu. Maaf,” jawabnya.Aku mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. Lalu kubiarkan Mia kembali melanjutkan pekerjaannya.“Bu Anggun?” gumamku lirih. Tapi pikiranku segera menepis dugaan perselingkuhan Mas Evan dengan Bu Anggun. Karena tidak mungkin Mas Evan tertarik dengan wanita yang usianya hampir menginjak lima puluh tahun.Langkah kembali kuayun menuju ruang kerja Mas Evan. Semakin dekat, jantungku semakin berdetak cepat. Pikiranku sudah membayangkan jika Mas Evan mungkin sedang bermesraan di ruang kerjanya, seperti kisah dalam novel yang pernah kubaca, atau drama film yang pernah kutonton. Aku merasa tak sanggup menghadapinya jika itu benar-benar terjadi di hadapanku sekarang.“Wah ini sangat indah, Pak. Saya yakin tidak ada wanita yang ti
Di dalam sana, kulihat Mas Evan dan Vania saling tertawa lepas sebelum akhirnya tatapan mereka beralih pada kehadiranku. Namun, yang membuatku sedikit tertegun adalah betapa dekat posisi mereka saat ini. Vania berdiri di samping kursi yang dipakai Mas Evan duduk. Posisinya sedikit menunduk membaca berkas yang sedang ia tunjuk. Entah Vania sadar atau tidak jika aku sudah mengetahui bahwa dialah pemilik nomor asing yang mengirimiku pesan. Tapi dari posisinya sekarang, seolah pose itu sengaja diperlihatkan. “Bu Dinara, silakan masuk!” ujar Vania lembut dengan senyum misterius tanpa diketahui Mas Evan. Aku mengangguk dengan senyum tipis. Melangkah mendekat dengan tatapan datar. Berusaha tenang meski hatiku kini rasanya sudah panas terbakar. Cemburu dan amarah bagai pusaran api yang berputar-putar mencari tempat pelampiasan. “Dinara, masuklah!” ujar Mas Evan yang ikut menyambutku datang dengan senyum mengembang. Dinara? Jujur aku merasa asing dengan panggilan itu. Selama ini Mas Evan
Kuambil napas panjang dan kuhembus perlahan. Semakin serius menatap Rafael yang menunggu jawaban. Setiap kata yang kususun sejak awal dalam angan, kini telah siap kulontarkan. “Sebenarnya ini adalah aib dalam rumah tanggaku,” kataku yang langsung tertunduk. Meremat jemari tangan di atas pangkuan dengan perasaan yang sulit kujelaskan. Yang pasti, hatiku kembali sakit dan terasa sesak untuk bernapas. “Aku mengetahui jika Mas Evan telah berselingkuh. Awalnya aku tak ingin percaya, sehingga diam-diam aku meminta Selina menyelidikinya. Hingga beberapa bukti yang terkumpul membenarkan perselingkuhan itu,” lanjutku dengan nada bergetar. Hening sejenak sebelum akhirnya kuangkat wajah untuk melihat reaksi Rafael yang tak sedikit pun bersuara. Entah apa yang ada di pikirannya. Tapi tatapannya tajam dengan dua alis yang hampir menyatu. Tergambar sebuah kemarahan yang coba ia redam di hadapanku. "Apa keluargamu sudah tahu tentang masalah ini?" tanyanya dengan tatapan menahan amarah. "Bel
Mas Evan tersenyum, lalu berbalik dan menutup pintu. Sebelum langkahnya kembali menuju ke arahku, segera kumatikan video dan keluar dari semua folder yang sedang kubuka. Lalu menutup laptop begitu saja tanpa mematikannya. Tak lupa berkas lain pun aku kemas rapi seperti sedia kala.Aku berdiri saat Mas Evan sudah berada di sampingku. Ada senyum hangat di bibirnya. Membuatku terpaksa membalas senyumnya.“Kamu habis nangis? Kenapa?” tanyanya, wajahnya berubah panik, sambil tangannya terulur menyentuh pipiku yang sudah memerah. Sorot matanya seolah mencari sesuatu yang membuatku berurai air mata.Sengaja aku tersenyum lebar hingga deretan gigiku terlihat. “Itu Mas, aku baru saja nonton drakor sedih, makanya aku ikut nangis,” jawabku beralibi.Mas Evan menghela napas lega. “Astaga, Mas pikir kenapa. Memangnya ceritanya tentang apa sampai berhasil buat kamu nangis? Hm?” tanyanya sembari menarik tubuhku dalam pelukannya.“Emm, itu soal perselingkuhan, Mas,” jawabku yang sengaja memancing, la
Mendengar hal itu, perasaanku menjadi tidak tenang. Sebenarnya aku sudah menebak jika kecurigaanku selama ini tidaklah salah. Tapi, demi membuktikan semua itu, aku meraih berkas-berkas yang Selina berikan meski dengan tangan gemetar. Begitu melihat apa yang ada di lembar paling atas, seketika kurasakan air mata langsung menggenang.Bagaimana tidak? Hatiku terasa ditikam ribuan pedang, disayat sembilu tajam, dan dihantam batu besar, hingga sebagian nyawaku terasa hilang. Lembar yang kulihat adalah sebuah foto di mana Mas Evan dengan mesranya mencium pipi seorang wanita yang sangat kukenal. Vania Priscilla, sekretaris pribadi Mas Evan. Foto lain menunjukkan bagaimana Mas Evan memeluk erat Vania sambil mencium kening wanita itu.Air mataku luruh. Meski sudah berhari-hari kusiapkan diri menerima kenyataan ini, tapi tetap saja hatiku rasanya sakit sekali. Rasanya masih tak percaya jika Mas Evan tega mengkhianati.“Apa aku tidak cukup baik menjadi seorang istri, Sel?” tanyaku dengan tatapan
Mia mengernyit. Jelas raut wajahnya sedikit heran dengan pertanyaanku. Tapi dia tak benar-benar menunjukkan dan justru tampak sedang berpikir keras.“Seingat saya yang biasa memakai lipstick merah ada Bu Anggun. Selain itu saya kurang memperhatikan, Bu. Maaf,” jawabnya.Aku mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. Lalu kubiarkan Mia kembali melanjutkan pekerjaannya.“Bu Anggun?” gumamku lirih. Tapi pikiranku segera menepis dugaan perselingkuhan Mas Evan dengan Bu Anggun. Karena tidak mungkin Mas Evan tertarik dengan wanita yang usianya hampir menginjak lima puluh tahun.Langkah kembali kuayun menuju ruang kerja Mas Evan. Semakin dekat, jantungku semakin berdetak cepat. Pikiranku sudah membayangkan jika Mas Evan mungkin sedang bermesraan di ruang kerjanya, seperti kisah dalam novel yang pernah kubaca, atau drama film yang pernah kutonton. Aku merasa tak sanggup menghadapinya jika itu benar-benar terjadi di hadapanku sekarang.“Wah ini sangat indah, Pak. Saya yakin tidak ada wanita yang ti
Bu Aura tersenyum lebar, lalu menjawab, “Benar sekali, Bu Dinara. Hampir setiap hari dia mampir untuk membeli bunga. Dia juga selalu minta untuk ditambahkan kartu ucapan. Saya yakin Bu Dinara pasti merasa sangat bahagia karena mendapat perlakuan yang romantis hampir setiap hari dari suaminya. Dan saya juga yakin ada banyak wanita yang iri untuk bisa berada di posisi Anda.”Degh!Aku sedikit mengernyit bersamaan dengan senyum di bibirku yang hampir memudar. Terkejut? Tentu saja. Bahkan, apa katanya? Hampir setiap hari? Bukankah itu artinya Mas Evan sering membeli bunga di sini?“Bu? Bu Dinara?”Aku terkesiap saat menyadari Bu Aura melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Seketika itu kuukir senyum simpul untuk menyembunyikan rasa terkejutku. “Bu Aura bisa saja. Pasti masih banyak wanita yang lebih beruntung daripada saya.”Wanita di hadapanku kembali tersenyum. Tampak benar-benar tulus tanpa sebuah topeng yang menutupi wajahnya.“Bu Dinara saja yang suka merendah,” ujarnya. “Oh y
Aku memasukkan lipstick itu ke dalam saku piyama. Lalu beralih menuju lemari pakaian untuk mengambilkan piyama Mas Evan. Rasanya pikiranku sudah tidak bisa lagi untuk tetap tenang. Bahkan aku juga gelisah dan tak sabar menunggunya keluar.Begitu pintu kamar mandi terbuka, kulihat Mas Evan keluar dengan handuk putih yang melilit pinggang. Sementara tangannya sibuk mengeringkan rambutnya yang basah usai keramas dengan handuk lainnya.Aku berdiri, menatapnya dengan beribu tanya yang memenuhi kepala. Rasanya terlalu sulit mengeluarkan pertanyaan tentang lipstick itu padanya. Bukan tak berani, hanya saja aku sedang menyusun kalimat yang tepat agar tidak membuatnya merasa dicurigai.“Ada apa? Apa ada yang ingin kamu bicarakan, Sayang?” tanya Mas Evan sambil mendekat padaku.Aku tersenyum tipis. Lalu kuambil dan kuperlihatkan lipstick itu padanya. “Aku menemukannya jatuh dari saku tas kamu, Mas.”Mas Evan menunduk, menatap lipstick di tanganku dengan ekspresi yang biasa. Tak ada kegugupan ya
Ting!Denting notifikasi ponsel yang terdengar, membuatku meletakkan majalah dan beranjak dari sofa. Kuayunkan langkah menuju nakas yang berada tepat di samping ranjang. Kuraih benda pipih yang ada di atasnya dan kuperhatikan layar. Nomor baru? Aku tak bisa menebak nomor siapa itu. Tapi kata-kata yang terlihat pada bar notifikasi sudah cukup membuatku mengernyitkan dahi.[Suamimu sangat pandai dalam hal memuaskan. Aku dibuat mendesah keenakan di atas ranjang]Seketika jantungku berdebar kencang, tapi aku masih berusaha untuk tetap tenang. Aku juga berpikir positif bahwa mungkin saja itu hanyalah orang iseng atau pesan salah kirim. Apalagi tak ada nama suamiku ataupun foto yang bisa menjadi bukti untuk menguatkan isi pesan.Namun tetap saja, aku tak bisa menahan diri untuk tidak penasaran. Lalu kucoba melihat foto profilnya, namun sayang hanya menampakkan buket bunga dengan selembar kartu ucapan. Dan setelah fotonya kuperbesar, nama toko bunga yang tertera pada kartu ucapan adalah toko