Keringat masih membasahi tubuh kami setelah pertempuran panas yang baru saja terjadi. Tanpa sehelai benang, aku bergelung dalam selimut sambil kusandarkan kepalaku di dada bidang Mas Evan. Tak ada sepatah kata yang keluar dari bibir kami berdua. Hanya usapan lembut jemarinya yang bermain-main di atas kepala.“Mas…” panggilku pelan. Mendongak dan kutatap wajahnya yang tersenyum penuh cinta. Benar-benar sandiwara yang sempurna.“Iya, Sayang. Kenapa?”“Apa kamu kecewa padaku karena kita belum juga dikaruniai keturunan?” tanyaku dengan dada yang terasa sesak. Kutatap bola matanya yang masih penuh keteduhan. Tapi juga menyembunyikan kepalsuan.Senyum lembutnya terpatri seiring lengan kekarnya yang mendekapku semakin erat. Seolah berusaha menunjukkan dukungan yang besar terhadapku.“Jangan risaukan hal itu, Sayang. Berapa kali Mas bilang kalau itu bukan hal yang menjadi alasan utama kita menikah dan bertahan sejauh ini, hm?”“Tapi aku takut, Mas,” jawabku lirih. “Aku takut kamu selingkuh ka
Suara Mas Evan di seberang telepon terdengar sangat buru-buru, mendesak, tapi juga rasa bersalah. Aku yang sudah terbiasa dengan kebohongannya, seolah itu bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan. Tapi, mungkinkah dia akan membongkar perselingkuhannya secara terang-terangan?“Hal penting apa, Mas? Kedengarannya bukan sesuatu yang baik,” tebakku dengan nada yang kubuat sedikit khawatir, tapi raut wajah yang tetap datar.Helaan napas Mas Evan terdengar. Seolah mengurai kegugupan yang melanda. Entah mengapa ia terasa sulit mengatakan permasalahannya.“Begini, Sayang. Hari ini Mas ada rapat ke luar kota. Memang tidak terlalu lama, tapi perjalanannya cukup lumayan. Jadi, Mas minta maaf karena harus pergi langsung saat ini juga,” tuturnya dengan nada yang dipenuhi rasa bersalah.“Kenapa harus minta maaf, Mas? Lagi pula pergi ke luar kota, ‘kan, sudah bukan hal baru lagi dalam hubungan kita. Kenapa kamu seolah merasa bersalah?” jawabku santai. Namun, di balik nada tenangku, sejujurnya aku seda
Mas Evan, dengan senyumnya yang merekah, segera mengulurkan tangan untuk memintaku berdiri di hadapannya. Begitu pula denganku yang langsung mengulas senyum hangat untuk merespon bagaimana caranya memperlakukanku. Mebuatku merasa bahagia dengan momen hari ini dan melupakan sejenak permasalahan yang ada. Dengan gerakan anggun, jemariku bertumpu di telapak tangannya. Berdiri dan menatap matanya, di mana masih kulihat cinta untukku di dalam tatapannya. Namun, tak ada lagi ketulusan dalam cintanya yang tersisa. Semua terasa hanya formalitas sebuah hubungan semata.“Mas sudah membawa kalung berliannya. Boleh Mas pakaikan sekarang?” tanya Mas Evan sambil mengambil kotak perhiasan dari balik jas yang dipakainya.Aku mengangguk dengan senyum bahagia. Lalu kuputar tubuhku membelakangi Mas Evan. Kurasakan tangannya yang perlahan mulai melingkar di leherku untuk memasang kalung berlian itu. Namun, senyumku pudar saat jemariku menyentuh liontinnya. Dan seketika itu pun aku langsung menunduk untuk
Suasana restoran yang awalnya hangat dan romantis kini terasa hambar. Cahaya temaram lilin di tengah meja tidak lagi terasa hangat di hatiku. Musik instrumental yang lembut di latar hanya menjadi pengiring bisu dari perasaanku yang mulai tenggelam.Setelah beberapa detik berpikir, Mas Evan menghela napas pelan lalu berkata, “Sayang, maaf. Aku harus angkat telepon sebentar. Penting.”Aku hanya mengangguk pelan tanpa suara. Bibirku tetap tersenyum, tapi tidak dengan tatapan mataku yang mulai diliputi rasa kecewa. Kutatap punggung Mas Evan yang perlahan menjauh dari meja, mengangkat telepon dengan nada suara yang sengaja diturunkan agar aku tak mendengar apa yang dibicarakannya.Dengan tatapan kosong, aku sudah bisa menebak bahwa itu pasti Vania. Aku sudah menduga bahwa dia tidak akan membiarkanku bahagia menikmati acara. Namun meski sudah mengantisipasi, sudah menyiapkan hati—atau setidaknya mencoba. Tapi tetap saja, ketika detiknya tiba, rasa cemburu dan kecewa datang bersamaan seperti
Ting!Denting notifikasi ponsel yang terdengar, membuatku meletakkan majalah dan beranjak dari sofa. Kuayunkan langkah menuju nakas yang berada tepat di samping ranjang. Kuraih benda pipih yang ada di atasnya dan kuperhatikan layar. Nomor baru? Aku tak bisa menebak nomor siapa itu. Tapi kata-kata yang terlihat pada bar notifikasi sudah cukup membuatku mengernyitkan dahi.[Suamimu sangat pandai dalam hal memuaskan. Aku dibuat mendesah keenakan di atas ranjang]Seketika jantungku berdebar kencang, tapi aku masih berusaha untuk tetap tenang. Aku juga berpikir positif bahwa mungkin saja itu hanyalah orang iseng atau pesan salah kirim. Apalagi tak ada nama suamiku ataupun foto yang bisa menjadi bukti untuk menguatkan isi pesan.Namun tetap saja, aku tak bisa menahan diri untuk tidak penasaran. Lalu kucoba melihat foto profilnya, namun sayang hanya menampakkan buket bunga dengan selembar kartu ucapan. Dan setelah fotonya kuperbesar, nama toko bunga yang tertera pada kartu ucapan adalah toko
Aku memasukkan lipstick itu ke dalam saku piyama. Lalu beralih menuju lemari pakaian untuk mengambilkan piyama Mas Evan. Rasanya pikiranku sudah tidak bisa lagi untuk tetap tenang. Bahkan aku juga gelisah dan tak sabar menunggunya keluar.Begitu pintu kamar mandi terbuka, kulihat Mas Evan keluar dengan handuk putih yang melilit pinggang. Sementara tangannya sibuk mengeringkan rambutnya yang basah usai keramas dengan handuk lainnya.Aku berdiri, menatapnya dengan beribu tanya yang memenuhi kepala. Rasanya terlalu sulit mengeluarkan pertanyaan tentang lipstick itu padanya. Bukan tak berani, hanya saja aku sedang menyusun kalimat yang tepat agar tidak membuatnya merasa dicurigai.“Ada apa? Apa ada yang ingin kamu bicarakan, Sayang?” tanya Mas Evan sambil mendekat padaku.Aku tersenyum tipis. Lalu kuambil dan kuperlihatkan lipstick itu padanya. “Aku menemukannya jatuh dari saku tas kamu, Mas.”Mas Evan menunduk, menatap lipstick di tanganku dengan ekspresi yang biasa. Tak ada kegugupan ya
Bu Aura tersenyum lebar, lalu menjawab, “Benar sekali, Bu Dinara. Hampir setiap hari dia mampir untuk membeli bunga. Dia juga selalu minta untuk ditambahkan kartu ucapan. Saya yakin Bu Dinara pasti merasa sangat bahagia karena mendapat perlakuan yang romantis hampir setiap hari dari suaminya. Dan saya juga yakin ada banyak wanita yang iri untuk bisa berada di posisi Anda.”Degh!Aku sedikit mengernyit bersamaan dengan senyum di bibirku yang hampir memudar. Terkejut? Tentu saja. Bahkan, apa katanya? Hampir setiap hari? Bukankah itu artinya Mas Evan sering membeli bunga di sini?“Bu? Bu Dinara?”Aku terkesiap saat menyadari Bu Aura melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Seketika itu kuukir senyum simpul untuk menyembunyikan rasa terkejutku. “Bu Aura bisa saja. Pasti masih banyak wanita yang lebih beruntung daripada saya.”Wanita di hadapanku kembali tersenyum. Tampak benar-benar tulus tanpa sebuah topeng yang menutupi wajahnya.“Bu Dinara saja yang suka merendah,” ujarnya. “Oh y
Mia mengernyit. Jelas raut wajahnya sedikit heran dengan pertanyaanku. Tapi dia tak benar-benar menunjukkan dan justru tampak sedang berpikir keras.“Seingat saya yang biasa memakai lipstick merah ada Bu Anggun. Selain itu saya kurang memperhatikan, Bu. Maaf,” jawabnya.Aku mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. Lalu kubiarkan Mia kembali melanjutkan pekerjaannya.“Bu Anggun?” gumamku lirih. Tapi pikiranku segera menepis dugaan perselingkuhan Mas Evan dengan Bu Anggun. Karena tidak mungkin Mas Evan tertarik dengan wanita yang usianya hampir menginjak lima puluh tahun.Langkah kembali kuayun menuju ruang kerja Mas Evan. Semakin dekat, jantungku semakin berdetak cepat. Pikiranku sudah membayangkan jika Mas Evan mungkin sedang bermesraan di ruang kerjanya, seperti kisah dalam novel yang pernah kubaca, atau drama film yang pernah kutonton. Aku merasa tak sanggup menghadapinya jika itu benar-benar terjadi di hadapanku sekarang.“Wah ini sangat indah, Pak. Saya yakin tidak ada wanita yang ti
Suasana restoran yang awalnya hangat dan romantis kini terasa hambar. Cahaya temaram lilin di tengah meja tidak lagi terasa hangat di hatiku. Musik instrumental yang lembut di latar hanya menjadi pengiring bisu dari perasaanku yang mulai tenggelam.Setelah beberapa detik berpikir, Mas Evan menghela napas pelan lalu berkata, “Sayang, maaf. Aku harus angkat telepon sebentar. Penting.”Aku hanya mengangguk pelan tanpa suara. Bibirku tetap tersenyum, tapi tidak dengan tatapan mataku yang mulai diliputi rasa kecewa. Kutatap punggung Mas Evan yang perlahan menjauh dari meja, mengangkat telepon dengan nada suara yang sengaja diturunkan agar aku tak mendengar apa yang dibicarakannya.Dengan tatapan kosong, aku sudah bisa menebak bahwa itu pasti Vania. Aku sudah menduga bahwa dia tidak akan membiarkanku bahagia menikmati acara. Namun meski sudah mengantisipasi, sudah menyiapkan hati—atau setidaknya mencoba. Tapi tetap saja, ketika detiknya tiba, rasa cemburu dan kecewa datang bersamaan seperti
Mas Evan, dengan senyumnya yang merekah, segera mengulurkan tangan untuk memintaku berdiri di hadapannya. Begitu pula denganku yang langsung mengulas senyum hangat untuk merespon bagaimana caranya memperlakukanku. Mebuatku merasa bahagia dengan momen hari ini dan melupakan sejenak permasalahan yang ada. Dengan gerakan anggun, jemariku bertumpu di telapak tangannya. Berdiri dan menatap matanya, di mana masih kulihat cinta untukku di dalam tatapannya. Namun, tak ada lagi ketulusan dalam cintanya yang tersisa. Semua terasa hanya formalitas sebuah hubungan semata.“Mas sudah membawa kalung berliannya. Boleh Mas pakaikan sekarang?” tanya Mas Evan sambil mengambil kotak perhiasan dari balik jas yang dipakainya.Aku mengangguk dengan senyum bahagia. Lalu kuputar tubuhku membelakangi Mas Evan. Kurasakan tangannya yang perlahan mulai melingkar di leherku untuk memasang kalung berlian itu. Namun, senyumku pudar saat jemariku menyentuh liontinnya. Dan seketika itu pun aku langsung menunduk untuk
Suara Mas Evan di seberang telepon terdengar sangat buru-buru, mendesak, tapi juga rasa bersalah. Aku yang sudah terbiasa dengan kebohongannya, seolah itu bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan. Tapi, mungkinkah dia akan membongkar perselingkuhannya secara terang-terangan?“Hal penting apa, Mas? Kedengarannya bukan sesuatu yang baik,” tebakku dengan nada yang kubuat sedikit khawatir, tapi raut wajah yang tetap datar.Helaan napas Mas Evan terdengar. Seolah mengurai kegugupan yang melanda. Entah mengapa ia terasa sulit mengatakan permasalahannya.“Begini, Sayang. Hari ini Mas ada rapat ke luar kota. Memang tidak terlalu lama, tapi perjalanannya cukup lumayan. Jadi, Mas minta maaf karena harus pergi langsung saat ini juga,” tuturnya dengan nada yang dipenuhi rasa bersalah.“Kenapa harus minta maaf, Mas? Lagi pula pergi ke luar kota, ‘kan, sudah bukan hal baru lagi dalam hubungan kita. Kenapa kamu seolah merasa bersalah?” jawabku santai. Namun, di balik nada tenangku, sejujurnya aku seda
Keringat masih membasahi tubuh kami setelah pertempuran panas yang baru saja terjadi. Tanpa sehelai benang, aku bergelung dalam selimut sambil kusandarkan kepalaku di dada bidang Mas Evan. Tak ada sepatah kata yang keluar dari bibir kami berdua. Hanya usapan lembut jemarinya yang bermain-main di atas kepala.“Mas…” panggilku pelan. Mendongak dan kutatap wajahnya yang tersenyum penuh cinta. Benar-benar sandiwara yang sempurna.“Iya, Sayang. Kenapa?”“Apa kamu kecewa padaku karena kita belum juga dikaruniai keturunan?” tanyaku dengan dada yang terasa sesak. Kutatap bola matanya yang masih penuh keteduhan. Tapi juga menyembunyikan kepalsuan.Senyum lembutnya terpatri seiring lengan kekarnya yang mendekapku semakin erat. Seolah berusaha menunjukkan dukungan yang besar terhadapku.“Jangan risaukan hal itu, Sayang. Berapa kali Mas bilang kalau itu bukan hal yang menjadi alasan utama kita menikah dan bertahan sejauh ini, hm?”“Tapi aku takut, Mas,” jawabku lirih. “Aku takut kamu selingkuh ka
Aku berbalik dan menatap Selina yang terlihat mulai berpikir keras. Tak mudah memang mencari seseorang yang dia maksud. Sebab meski banyak memiliki rekan kerja, tapi tak ada satu pun yang menjadi teman dekatnya. Mas Evan sudah terbiasa berbagi masalah dan terbuka denganku saja.“Bagaimana dengan orang tua Pak Evan, Bu?”“Kamu tahu sendiri ibunya sudah sering sakit-sakitan. Kita tidak mungkin memberinya kabar buruk ini, ‘kan?”“Apa perlu saya minta bantuan Pak Ravin untuk memperingatkan Pak Evan?” Nada Selina terdengar ragu, sebab dia tahu dari awal aku tidak ingin membawa masalah ini pada keluargaku.Aku mendengus pelan. Kuhargai niat baik Selina yang tidak ingin aku mengorbankan hubunganku dengan Mas Evan. Aku juga tahu Selina berharap bukan aku yang mengalah. Karena itulah dia berusaha mencari cara lain untuk menyelamatkan rumah tanggaku.“Begini saja. Buat saja Kak Ravin mengetahui perselingkuhan Mas Evan secara alami dan biarkan dia bertindak sesuai apa yang dikehendaki. Tapi aku
Vania dengan semangat memberikan pendapatnya mengenai private party yang cocok untuk merayakan ulang tahun bersama pasangan. Mulai dari dinner romantis, potong kue, hingga berdansa. Menurutku ide-ide itu sudah terlalu biasa dan tidak begitu istimewa. Namun, Vania menambahkan dengan adanya hadiah kejutan dari pasangan. Seketika aku tertarik dengan hadiah kejutan yang sedang Vania persiapkan dengan Mas Evan. Membuatku semakin tak sabar untuk melihat siapa yang sebenarnya akan mendapat kejutan. Aku? Atau mereka?Beberapa menit berlalu dan kegiatan kami memesan restoran untuk private party sudah selesai. Karena sudah berada di restoran, Mas Evan mengajakku sekalian makan siang. Vania yang awalnya berpura-pura ingin kembali ke kantor saja, aku bujuk untuk ikut makan siang dengan kami berdua. Alhasil dia pun mau dengan memasang senyumnya yang penuh kepalsuan.“Kamu pesan apa, Sayang,” tanya Mas Evan sambil membaca buku menu.“Aku mau Wagyu Steak dengan mashed potato dan jus reduction,” jawa
Di dalam sana, kulihat Mas Evan dan Vania saling tertawa lepas sebelum akhirnya tatapan mereka beralih pada kehadiranku. Namun, yang membuatku sedikit tertegun adalah betapa dekat posisi mereka saat ini. Vania berdiri di samping kursi yang dipakai Mas Evan duduk. Posisinya sedikit menunduk membaca berkas yang sedang ia tunjuk. Entah Vania sadar atau tidak jika aku sudah mengetahui bahwa dialah pemilik nomor asing yang mengirimiku pesan. Tapi dari posisinya sekarang, seolah pose itu sengaja diperlihatkan. “Bu Dinara, silakan masuk!” ujar Vania lembut dengan senyum misterius tanpa diketahui Mas Evan. Aku mengangguk dengan senyum tipis. Melangkah mendekat dengan tatapan datar. Berusaha tenang meski hatiku kini rasanya sudah panas terbakar. Cemburu dan amarah bagai pusaran api yang berputar-putar mencari tempat pelampiasan. “Dinara, masuklah!” ujar Mas Evan yang ikut menyambutku datang dengan senyum mengembang. Dinara? Jujur aku merasa asing dengan panggilan itu. Selama ini Mas Evan
Kuambil napas panjang dan kuhembus perlahan. Semakin serius menatap Rafael yang menunggu jawaban. Setiap kata yang kususun sejak awal dalam angan, kini telah siap kulontarkan. “Sebenarnya ini adalah aib dalam rumah tanggaku,” kataku yang langsung tertunduk. Meremat jemari tangan di atas pangkuan dengan perasaan yang sulit kujelaskan. Yang pasti, hatiku kembali sakit dan terasa sesak untuk bernapas. “Aku mengetahui jika Mas Evan telah berselingkuh. Awalnya aku tak ingin percaya, sehingga diam-diam aku meminta Selina menyelidikinya. Hingga beberapa bukti yang terkumpul membenarkan perselingkuhan itu,” lanjutku dengan nada bergetar. Hening sejenak sebelum akhirnya kuangkat wajah untuk melihat reaksi Rafael yang tak sedikit pun bersuara. Entah apa yang ada di pikirannya. Tapi tatapannya tajam dengan dua alis yang hampir menyatu. Tergambar sebuah kemarahan yang coba ia redam di hadapanku. "Apa keluargamu sudah tahu tentang masalah ini?" tanyanya dengan tatapan menahan amarah. "Bel
Mas Evan tersenyum, lalu berbalik dan menutup pintu. Sebelum langkahnya kembali menuju ke arahku, segera kumatikan video dan keluar dari semua folder yang sedang kubuka. Lalu menutup laptop begitu saja tanpa mematikannya. Tak lupa berkas lain pun aku kemas rapi seperti sedia kala.Aku berdiri saat Mas Evan sudah berada di sampingku. Ada senyum hangat di bibirnya. Membuatku terpaksa membalas senyumnya.“Kamu habis nangis? Kenapa?” tanyanya, wajahnya berubah panik, sambil tangannya terulur menyentuh pipiku yang sudah memerah. Sorot matanya seolah mencari sesuatu yang membuatku berurai air mata.Sengaja aku tersenyum lebar hingga deretan gigiku terlihat. “Itu Mas, aku baru saja nonton drakor sedih, makanya aku ikut nangis,” jawabku beralibi.Mas Evan menghela napas lega. “Astaga, Mas pikir kenapa. Memangnya ceritanya tentang apa sampai berhasil buat kamu nangis? Hm?” tanyanya sembari menarik tubuhku dalam pelukannya.“Emm, itu soal perselingkuhan, Mas,” jawabku yang sengaja memancing, la