"Mas, Mas! Cepet ke sini, Mas! Ada kecoa di rumah aku, aku takut, Mas Keenan!"
Jihan tiba-tiba menelepon Keenan, saat Keenan baru pulang dari bekerja dan hendak makan malam dengan istrinya.
Dia mengeluh bahwa di rumahnya ada kecoa terbang yang membuat dirinya ketakutan sampai naik ke atas meja.
"Mas, aku takut banget! Tolong cepat ke rumah aku buruan! Kecoa nya terbang terbang, Mas! Aku takut kecoanya nanti hinggap di tubuh aku!" teriak Jihan sambil menangis histeris di telepon, yang membuat Keenan mau tak mau jadi menghawatirkan dirinya.
"Tenang, kamu tenang dulu, ya? Oke? Aku bakal segera ke sana," jawab Keenan yang sedang mengeringkan rambutnya setelah mandi, dia buru-buru berjalan ke almari dan mengambil salah satu kemeja untuk dipakai.
"Buruan ya, Mas. Aku takut banget serius, baru kali ini aku lihat kecoa bisa terbang, aku sendirian lagi di rumah, takut banget sampai gemetaran, Mas."
Suara Jihan terdengar lega saat mendengar bahwa Keenan akan pergi ke rumahnya, dia juga terus menekankan kata takut agar Keenan semakin khawatir.
"Iya, Jihan. Tenang.... " hibur Keenan, yang menempelkan ponsel di salah satu telinga dan menjepit nya dengan batu, karena dia masih mengancingkan kemeja yang ia pakai.
"Mas, aku takut banget, jangan lama-lama ke sininya, kecoaknya terbang terbang, Mas! Tolongin aku.... "
"Oke, Oke. Tunggu aku, Oke? "
Keenan bergegas mengambil kunci mobil dan berjalan keluar dari kamar, sekarang yang ada di pikirannya hanyalah mendatangi Jihan dan mengusir kecoa itu dari rumahnya.
Jihan dan Keenan berteman sejak kecil karena saat SD, mereka bertetangga. Ketika mereka masum SMA, keluarga Jihan pindah sehingga mereka pun terpisah.
Barulah saat sama-sama bekerja, mereka bertemu lagi, waktu itu Jihan bekerja di kantor yang ada di bawah lantai kantor Keenan, sehingga mereka pun jadi sering bertemu.
Cinta masa kecil yang terpendam akhirnya tumbuh kembali, berpikir bahwa Jihan adalah jodohnya, Keenan pun menikahi wanita itu.
Mereka saling cocok satu sama lain, Jihan juga tampak selalu mengandalkan Keenan, karena itu Keenan berpikir jika mereka menikah, mereka akan cocok satu sama lain.
Namun, hal tak terduga terjadi.
Di malam pertama pernikahan mereka, Jihan tiba-tiba kabur dari rumah. Sehingga pernikahan mereka pun batal.
Keenan tidak tahu dan tidak mengerti alasan kenapa Jihan tiba-tiba menghilang saat mereka malam pertama, pernah ada sedikit rasa benci karena dikhianati, tapi begitu Jihan datang lagi dengan badan kurus seperti kemarin, Keenan tak tega, dan sekarang, mereka seperti dulu lagi, di mana setiap saat, Jihan selalu mengandalkan dirinya, seakan-akan tak pernah ada masa lalu buruk di antara mereka.
"Mas, mau ke mana malem-malem?"
Saat Keenan berjalan menuju pintu depan, Nilam yang sedang memegang sepiring nasi goreng spesial, menu yang diminta Keenan untuk makan malam, bertanya dengan keheranan.
Biasanya Keenan sudah tidak akan keluar ke mana-mana lagi setelah pulang bekerja, setelah makan malam bersama, biasanya dia akan menghabiskan waktu dengan Nilam, atau melakukan hubungan badan, atau kalau keluar pun, dia akan mengajak Nilam.
Malam seperti sudah menjadi waktu yang dia khususkan untuk istrinya, meski Keenan mengaku belum mencintai Nilam, tapi mungkin karena terbiasa hidup berdua, dia sekarang jadi seperti ini.
Keenan ragu sebentar sebelum menjawab, apakah harus jujur akan menemui Jihan, yang mungkin akan membuat istrinya berpikir yang tidak-tidak, atau berbohong saja agar istrinya tenang.
"Itu ada temen manggil, katanya ada perlu dikit."
Keenan akhirnya memilih berbohong.
"Oh, ya udah hati-hati, ya, Mas."
"Iya."
Keenan mengangguk dan membuka pintu keluar.
"Lalu nasi goreng ini...."
"Kamu makan aja dulu, ga papa. Sebagai gantinya, besok kirimin aku makan siang ke kantor, oke?"
Nilam tersenyum mendengar jawaban Keenan dan mengangguk dengan penuh semangat.
"Oke, Mas. Aku bakal buat makan siang paling enak khusus untukmu."
"Makasih, aku keluar dulu."
Nilam mengantarkan kepergian Keenan tanpa rasa curiga sedikit pun bahwa suaminya akan pergi menemui mantan istrinya, di dalam pikirannya hanya dipenuhi rasa suka cita karena Keenan yang kini semakin menerima keberadaannya sebagai seorang istri.
Sementara itu di rumah Jihan....
"Mas Keenan.... "
Jihan benar-benar naik di atas meja saat Keenan datang ke sana, wajahnya yang putih itu tampak berwarna merah muda karena menangis.
"Mana kecoaknya?"
Keenan langsung bertanya, dengan jari gemetar Jihan menunjuk ke salah satu pojok ruangan.
"I-itu, Mas... aku takut banget, aku nggak tahu harus menghubungi siapa, jadi tolong singkirkan, Mas," pintanya dengan wajah memelas, pipinya masih terlihat basah oleh air mata sehingga membuat Keenan semakin iba.
Dia segera berjalan menuju pojok ruangan yang ditunjuk Jihan dan dengan mudah menyingkirkan kecoa, hewan kecil yang sangat ditakuti oleh Jihan.
"Tuh, udah. Udah nggak ada kecoak lagi. Kamu bisa turun dari meja sekarang," ucap Keenan setelah membuang kecoa itu ke luar rumah.
"I-iya, Mas. Aku akan tur... awww!"
Keenan yang berdiri tak jauh dari Jihan, segera menangkap tubuh wanita muda itu sebelum jatuh dari meja.
"Jihan? Kamu nggak papa?" tanyanya khawatir, meski dia agak risih saat tanpa sengaja memeluk tubuh Jihan, karena saat ini Jihan hanya memakai daster pendek tanpa lengan dan tanpa menggunakan bra. Sehingga dua buah gundukan miliknya yang tak terlindung apa pun kecuali kain daster yang tipis.
"Nggak papa, Mas. Makasih banyak, aku jadi ngerepotin kamu, Mas."
Jihan menjawab tanpa berusaha melepaskan pelukan Keenan, padahal dia sadar bahwa tubuh bagian atasnya menempel dengan pria itu.
"Alah, nggak papa santai aja. Kita kan udah temenan sejak lama, kamu ini kayak ngomong sama siapa aja," jawab Keenan sembari dengan sopan menjauhkan tubuh dari Jihan sehingga badan mereka tidak saling menempel lagi.
Jihan tampak kecewa dengan sikap Keenan yang tak tergoda dengan tindakannya, tapi segera menutupi kekecewaan itu dengan senyuman manis.
"Mas, mau makan dulu? Aku ngerasa nggak enak udah ngambil waktu mas Keenan, gimana kalo makan dulu sebelum pulang? Mas Keenan belum makan, kan?"
Jihan yang berusaha sekuat mungkin menahan Keenan di sisinya, menawarkan makan malam.
"Hmm, oke."
Keenan tidak enak untuk menolak sehingga mengiyakan tawaran mantan istrinya itu.
Wajah Jihan langsung sumringah saat Keenan menerima tawarannya dan segera menyiapkan makanan.
Sebelum menghidangkan makanan untuk Keenan, terlebih dahulu dia menaburkan bubuk rahasia di atas makanan Keenan.
Jihan dengan senyuman penuh kemenangan, melihat makanan Keenan yang sudah tertabur bubuk rahasia.
"Setelah makan ini, kamu hanya akan melihat ke aku, Mas. Aku nggak terima kamu sama cewek lain setelah kariermu naik, jadi aku akan ngerebut dia dari kamu," gumam Jihan sembari berjalan ke arah Keenan dengan senyuman.
Alasan dulu Jihan tiba-tiba kabur dari Keenan adalah ketakutan Jihan akan tidak bisa hidup berkecukupan karena suaminya hanya staf kantor biasa.
Namun sekarang, setelah Keenan diangkat menjadi manager di perusahaan besar, Jihan tidak terima dan ingin mengambil Keenan untuk dirinya sendiri.
Jihan memutuskan menggunakan bubuk guna-guna yang dia beli dari salah satu dukun, untuk mengambil hati Keenan yang sudah memiliki istri tersebut.
Hatinya begitu bahagia saat Keenan makan makanan yang dia sajikan tanpa curiga sedikit pun. Karena itu saat Keenan pamit pulang, dia mengantarkan pria itu dengan senyuman.
"Sekali lagi makasih banyak, Mas."
"Udah aku bilang nggak usah sungkan. Sebelum aku nikah, kita kan teman sejak kecil," jawab Keenan, santai.
"Iya, Mas. Aku beneran ngerasa gak enak sama kamu dan istri kamu, Mas."
Lagi-lagi Jihan menyebutkan istri Keenan untuk melihat reaksi pria itu apakah dia mencintai istrinya atau tidak.
"Santai aja, Nilam bukan cewek yang berpikiran sempit. Aku pulang dulu, jaga diri kamu baik-baik, oke? Dan hati-hati sama cowok mana pun mulai dari sekarang, jangan mudah percaya, ngerti?"
"Iya, Mas."
Jihan menjawab dengan senyam senyum sendiri atas wejangan Keenan, karena dia sudah menentukan target pria mana yang akan Jihan goda dan dia rebut hatinya.
Itu adalah Keenan sendiri.
"Udah pulang, Mas?"Nilam yang sedang menunggu kepulangan Keenan di ruang tamu, berdiri dan menyambut kedatangan suaminya.Keenan yang sedang membuka pintu, mengulurkan tangan yang disambut oleh Nilam, wanita itu mencium punggung tangan sang suami dengan hormat."Iya. Keperluannya nggak lama, kok. Kamu udah makan?" tanya Keenan, yang merasa senang disambut istrinya seperti ini.Dulu saat masih benci dengan Nilam yang tak bisa memakai skincare, Keenan benci melihat wajah istrinya setiap kali dia pulang, tapi sekarang, Keenan selalu merasa senang karena ada orang yang selalu menyambut kepulangannya.Keenan mungkin belum cinta dengan Nilam, tapi sedikit rasa suka, tentu."Udah, Mas. Aku pikir kamu bakalan lama jadi aku makan dulu, aku minta maaf."Keenan menepuk lembut puncak kepala Nilam sambil menggeleng-geleng."Kenapa minta maaf, kamu nggak salah, Nilam. Aku kan udah bilang kalo kamu makan aja dulu, aku juga udah makan di rumah temen tadi.""Iya, Mas. Ada yang kamu perlukan aku lakuk
Jihan mulai melancarkan aksinya.Dia tak menyerah untuk membuat Keenan terus bertemu dengan dirinya dan mengabaikan Nilam, sang istri."Mas Keenan, temenin belanja."Suatu siang, dia tiba-tiba menelepon dan mengajak Keenan berbelanja di hari minggu, hari di mana seharusnya dihabiskan Keenan dengan Nilam."Maas, aku takut tidur sendirian, temenin ngobrol sampai tertidur, ya."Pada hari berikutnya, dia meminta tolong hal lain."Mas, Mas! Ada tikus di kamar! Aku takuuut."Dia juga meminta tolong kepada Keenan untuk datang ke rumah karena hal hal yang sepele.Keenan yang terbawa efek guna-guna Jihan, tidak pernah bisa menolak dan selalu datang kapan pun dipanggil Jihan.Keenan mengira ke tidak sanggupannya menolak semua permintaan Jihan, karena wanita itu adalah teman masa kecilnya yang baru saja tertimpa musibah, dia sama sekali tak pernah menduga bahwa sang teman, memiliki niat tidak baik pada rumah tangganya.Sementara itu, Jihan merasa sangat senang karena dia kini lebih sering mengha
Pengakuan yang keluar dari mulut Will, membuat kedua bola mata Jihan terbelalak lebar.Dia tak pernah menyangka kalau Will ternyata pria yang sudah memiliki istri.Gayanya yang perlente dan sedikit flamboyan membuat Will tidak terlihat seperti seorang bapak bapak. Jadi siapa yang mengira ternyata dia sudah menikah dan memiliki anak? Bukan hanya satu anak, bahkan 4?!Jihan memandang ke arah Will yang masih diam, tersenyum canggung. Tepatnya, Jihan mencoba untuk tersenyum dan terlihat setenang mungkin.Ayo tenang, tenang. Ini mungkin saja hanya tes yang dilakukan Will untuknya, apakah dia akan setia atau tidak. Begitulah keyakinan Jihan."M-mas? Kamu nggak sedang ngomong serius, kan? Kamu pasti sedang bercanda, kan? Kamu lagi nge prank aku. Iya kan, Mas?"Jihan menanyakan hal itu dengan ekspresi yang dibuat setenang mungkin, meski jari-jarinya gemetar, dia terlalu ngeri membayangkan bahwa selama ini telah berpacaran dengan lelaki orang.Dia bahkan telah memberikan keperawanannya pada or
Saat menjadi wanita simpanan Will, hidup Jihan memang serba kecukupan bagaikan sosialita ibu kota, dia membuka akun media sosial untuk memamerkan kegiatan sehari-hari yang bisa liburan ke mana-mana dan membeli barang branded yang dia suka. Satu bulan, dua bulan, semua masih berjalan lancar seperti biasa, Jihan tinggal di apartemen mewah yang dibelikan Will, Will sering mampir dan mereka melakukan hubungan badan sampai pria itu puas. Jihan sampai pikir menjadi wanita simpanan tidak buruk juga, toh istri Will ada di luar negeri sekarang, sekali kali saja Will datang mengunjunginya atau sebaliknya, sehingga Jihan merasa jika dia sudah menjadi nyonya Will secara tidak sah, karena selalu ada di samping Will. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, Will semakin hari semakin menunjukkan sifat aslinya terutama dalam masalah hubungan badan, setelah tiga bulan menikmati tubuh perawan Jihan sepuasnya, dia meminta sesuatu yang sangat tidak masuk akal. "Jihan, kamu kan punya banyak kena
L"Mas, apa ini?"Nilam terheran-heran saat Keenan pulang bekerja dengan membawa begitu banyak barang, apalagi barang-barang itu adalah baju, tas, dan semua hal untuk Nilam. Sesuatu yang sangat tidak biasa dilakukan oleh Keenan. Meski hubungan pernikahan mereka terlihat akur dan bahagia, sebenarnya sangat dangkal. Nilam memainkan peran sebagai wanita penurut yang tidak membuat suaminya stress, dan Keenan menyukai Nilam yang seperti itu sehingga dia tak perlu berpura-pura baik menghadapi wanita yang disukai orang tuanya tersebut. Nilam sendiri tidak mengharapkan lebih dari Keenan, dia sudah sangat bersyukur Keenan mau bersikap baik padanya sebagai suami dan tidak kasar saat berhubungan badan. Itu saja bagi Nilam sudah merupakan kebahagiaan yang tiada tara. Dia menjalani hidup dengan baik dan tenang di sini, Nilam menerima takdir menjalani pernikahan yang seperti ini, karena tak punya lagi tempat juga untuk pulang. Dia juga sangat takut dengan title janda. Itulah kenapa Nilam sangat
Pagi hari, seperti biasa, Nilam menyiapkan sarapan untuk Keenan sebelum sang suami berangkat bekerja. Mereka memang hanya tinggal berdua tanpa satu orang pun pembantu di rumah besar ini, meskipun Keenan kaya raya. Bukan karena Keenan pelit, melainkan ini memang permintaan dari Nilam sendiri yang memilih untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tanpa pembantu, toh dia juga tidak melakukan apa-apa di rumah, karena itu, dengan alasan agar tidak bosan, Nilam memilih untuk mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Ibu mertua Nilam semakin menyukai dirinya yang giat dan rajin, sementara Keenan juga nyaman hanya tinggal berdua dengan Nilam, karena dengan begitu, dia bebas melakukan apa pun, termasuk meminta Nilam melayani dirinya di atas ranjang kapan pun tanpa malu atau sungkan dengan penghuni lain di rumah ini. Namun, pagi ini ada yang sedikit aneh. Nilam yang biasanya cekatan, sekarang melakukan pekerjaannya dengan agak lambat, sehingga Keenan yang sudah bersiap berangkat pergi ke kantor tap
"Haaaa! Luar biasa! Sangat luar biasa! Dia benar-benar nggak mencariku!"Jihan uring-uringan sendiri sambil melihat ponsel, setelah dia seminggu lalu menyuruh Keenan menjauh dan tak menghubungi dirinya lagi. Dia pikir Keenan tahu bahwa Jihan hanya sedang merajuk seperti biasa, seperti dulu saat mereka masih berpacaran, tapi sial! Pria itu benar-benar tidak menghubungi Jihan lagi atau menemuinya, bahkan setelah seminggu berlalu dari kejadian itu. "Ini nggak mungkin, apa benar perasaannya padaku sudah luntur? Nggak, itu nggak bisa terjadi. Aku harus bisa mendapatkan Keenan, dia kan bucin banget ke aku sejak dulu, aku juga bahkan udah ngasih bubuk guna-guna, tapi kenapa... kenapa sekarang Keenan berubah? Kenapa???"Jihan mengacak rambutnya sendiri sambil mondar-mandir tak tentu arah. Jihan sudah bosan hidup berhemat dari uang hasil pekerjaannya, dia perlu pria kaya seperti Keenan untuk menopang hidup setelah dia kabur dari Will. Dia pikir akan mudah mendapatkan hati Keenan kembali, b
"Jangan salah paham denganku," ujar Jihan dengan senyum manis yang mencurigakan saat Nilam memandang dirinya dengan senyum kebencian. "Aku datang ke sini hanya ingin membuat dirimu sadar, bahwa di mata Keenan, kamu ini hanya istri pajangan. Suatu hari, kamu akan diusir dari rumah ini, jadi bangunlah dari mimpimu," lanjutnya dengan sinis, yang membuat kepala Nilam semakin mendidih saja rasanya. Saat melihat Jihan, Nilam tahu. Wanita ini sungguh seperti tong kosong nyaring bunyinya, semakin ditabuh, semakin memekakkan telinga. Tahu apa dia sampai berani mengatakan bahwa Keenan akan mengusir Nilam dari rumah ini? Meski mereka mungkin saat ini tidak saling mencintai dengan begitu dalam tapi Nilam tahu betul bahwa Keenan tak mungkin begitu saja mengusir dirinya. Dia adalah pria yang akan bertanggung jawab sampai akhir, itulah Keenan yang Nilam kenal. Dan bukankah Nilam favorit keluarga mertuanya? Tidak mudah bagi Keenan untuk begitu saja menceraikan Nilam. Namun bodohnya, Nilam mal
"Siapa yang sedang menggoda—"Nilam tidak bisa melanjutkan ucapannya karena telunjuk Gallen yang kini berada di bibirnya, memberi isyarat pada wanita itu agar diam. "Di mataku, kamu sedang menggoda seorang pria tadi," jawab Gallen, berbisik di samping telinga Nilam. Karena jarak di antara mereka yang begitu dekat, Nilam merasa kesusahan bernapas, apalagi saat aroma harum khas Gallen menyerbu indra penciumannya. "Hey, Nil."Gallen yang masih memenjara tubuh Nilam dengan kedua tangan, memanggil wanita itu dengan suara dingin."Ya, Mas?"Gallen memegang dagu Nilam sehingga membuat Nilam mendongak untuk menatap tengah matanya, begitu pandangan mereka saling bertemu, Gallen yang tampaknya masih marah, berkata dengan mata sedikit menyipit."Jangan senyum-senyum genit ke pria lain selain aku. Sugar Daddy-mu ini nggak terima, ngerti?" titahnya dengan suara tajam tanpa bisa dibantah.Kening Nilam berkerut mendengar ucapannya tersebut, dia pun menatap mata yang kelihatan marah itu dengan pen
Anehnya, jauh di dalam lubuk hati Nilam, dia malah menunggu lagi moment seperti malam itu.Wanita itu juga merasa jika di pertemuan kedua ini Gallen meminta dilayani lebih jauh, maka dia mungkin dengan rela akan memberikannya.Bagaimana pun juga, sebagai sugar baby, Nilam sudah menghabiskan uang Gallen puluhan juta, jadi dia merasa tak enak hati kalau tidak memberi imbalan apa pun.Sayangnya, sampai detik ini, Gallen tak pernah membutuhkan jasanya lagi.Dia seperti dibuang untuk kedua kalinya."Hey, Nil. Kamu ini nggak butuh apa pun apa giman? Kenapa kamu hanya menggunakan uangku untuk makan, gunakanlah berbelanja baju dan yang lainnya sekali-kali."Suatu hari Gallen mengirim pesan yang lumayan panjang untuk Nilam, kesempatan itu tidak diabaikan oleh Nilam yang yang secara aneh merindukan pesan-pesan singkat pria tersebut.Beberapa hari ini memang Gallen tak mengirim chat apa pun, mungkin dia sangat sibuk. Pria seperti Gallen kan super sibuk, jadi Nilam memahami keadaannya.Nilam buru
Gallen menyeringai senang saat bibir Nilam menyentuh bibirnya sekilas ketika hendak mengambil black card, sementara gigi wanita itu kini menggigit ujung black card di mulut Gallen untuk mengambilnya."Gunakan sepuasmu."Ucapannya tersebut dilontarkan oleh Gallen dengan senyum lebar, sementara Nilam menatap black card yang kini berada di tangannya tersebut dengan mata berbinar-binar.Dulu saat menikah dengan Keenan, dia hanya pernah memegang kartu seperti ini tanpa bisa menggunakannya karena Keenan suami yang pelit, tapi sekarang dia bisa mendapatkannya dengan mudah, benda di tangannya itu seperti harta karun baginya.Seandainya dia sudah melupakan rasa malu, mungkin Nilam akan menciumi black card pemberian Gallen, tapi tentu saja Nilam masih memikirkan image-nya yang mungkin sudah tak tersisa di mata Gallen setelah dia menggigit black card dari mulut pria arogan yang memiliki kepribadian aneh ini. Gallen yang menatap puas Nilam karena berhasil menjatuhkan harga diri perempuan sombong
"Kau kayaknya lagi butuh uang banget, ya? Karena itu kamu datang ke sini begitu cepat?"Gallen, berbisik dengan suara rendah di belakang Nilam. Nilam segera berbalik dan memandang wajah tampan dengan hidung mancung tersebut seraya menelan ludah."L, lalu, apa yang harus kulakukan agar mendapatkan uang darimu?"Dia tergagap, sejujurnya, sampai detik ini tak tahu apa yang membuat Gallen tertarik padanya.Wajah cantiknya?Nilam memang cantik sejak rajin memakai make up dan skincare, tapi tak secantik itu sampai membuat seorang Gallen, pria muda kaya raya yang sudah biasa dikelilingi wanita super cantik, tertarik padanya.Buktinya, beberapa hari ini Gallen telah mengabaikan dirinya. Mungkin pria itu sudah menemukan partner yang lebih cantik. Atau trauma nya sudah sembuh. Lalu apa yang sebenarnya membuat pria ini tertarik dan memanggilnya kembali malam ini?Body-nya?Ah, buah dada yang dimiliki Nilam memang sedikit besar, tapi juga tak sebesar itu sehingga membuat pria tergila-gila.Lalu
Namun, hidup seperti surga bagi Nilam, di mana dia hanya perlu menyodorkan bibir pada Gallen dan mendapatkan uang yang banyak, tidaklah berlangsung lama.Entah karena apa, pria muda tampan itu seakan membuangnya dan tak pernah mengenal dirinya sama sekali.Bahkan ketika Nilam kebetulan di tempat yang sama, Gallen sama sekali tak menoleh kepada Nilam, tatapannya dingin dan menganggap Nilam seperti lalat atau apa pun yang mengganggu dirinya.Padahal Nilam pernah, sudah berdandan secantik dan semenarik mungkin, tapi tetap saja, Gallen tidak menoleh padanya.Ini sangat aneh.Apakah dia sudah bosan?Apakah dia melakukan kesalahan yang tak disadari dan menyinggung perasaan pria itu?Pertanyaan itu terus berputar, tapi tak menemukan jawaban.Tatapan dingin dan acuh tak acuh, disertai wajah muram seperti tak tertarik, adalah tatapan khas Gallen pada orang yang menurut dirinya tak penting, Nilam merasa sedikit sakit hati saat akhirnya ditatap seperti itu oleh Presdir muda tersebut.Padahal saa
"Tentu saja," jawab Gallen dengan enteng, menatap Nilam dengan ekspresi malas."Kamu sama saja telah kubeli seharga 600 juta, setelah dipotong 100 juta atas permintaan ganti rugimu tadi. Jadi, bukankah posisimu sekarang nggak lebih dari sebuah barang di mataku?"Mendengar itu, Nilam tak bisa berkata-kata, melihat ke arah Gallen sebelum kemudian menatap pakaiannya sendiri."Kamu sungguh-sungguh ingin aku melepas semua ini?"Gallen hanya mengangkat satu alis, duduk di kursinya dengan menopang dagu."Yah, sisakan pakaian dalam, aku nggak ingin mataku yang suci ini ternodai."Nilam hanya mendengus sesaat ketika mendengar Gallen menyebut bahwa areas sensitifnya membuat matanya ternoda.Belajar dari pengalaman sebelumnya, semakin dia mengelak maka si berengsek ini akan menghukum lebih kejam, karena itu, tanpa mengajukan protes, Nilam mulai membuka kancing kemejanya satu persatu.Meski dengan perasaan dongkol bukan main.Satu kancing, dua kancing, sudah terbuka, ketika tangan Nilam menyentuh
Nilam mendesah.Matanya menatap sayu pada Gallen,Dengan wajah sedih dan terlihat sangat putus asa, Nilam mengucap kata-kata yang keluar dari mulutnya."Kamu tahu sebagai pegawai rendahan, aku nggak mungkin punya uang sebanyak itu, bukan, Tuan Gallen," ucap Nilam dengan wajah memelas, berharap Gallen ini merasa kasihan padanya dan membatalkan tuntutan.Namun, hal itu sepertinya sama sekali tak mempengaruhi Gallen. Dia memasang wajah tanpa ekspresi, hanya mengangkat satu alisnya dengan tak tertarik.Tahu bahwa ekspresi andalan tidak berpengaruh pada Gallen, Nilam menarik napas panjang.Seluruh sendi rasanya sudah lemas. Tak bisa berpikir apa pun lagi saat ini, dia merasa uang itu sangat banyak, membayangkannya saja sudah tak sanggup. Kenapa cobaan datang bertubi-tubi seperti ini?Nilam menjambak pelan rambutnya, merasa sangat frustrasi.Mengenaskan.Gallen yang mulai kasihan kepada wanita yang duduk di depannya tersebut, menarik napas panjang."Baiklah. Untukmu aku punya dua tawaran
Nilam seperti kehilangan akal sehat, saat kini tengah duduk di sebuah ruangan super mewah dengan interior luar biasa, milik seseorang yang beberapa saat lalu dia tampar pipinya.Wajah wanita cantik itu sedikit memucat saat melihat plakat di depan meja pria itu, ada tulisan jabatan PRESIDEN DIREKTUR di sana.Gallen, pria yang telah ditampar Nilam pagi tadi, duduk dengan nyaman di kursi milik Presiden direktur, menatap Nilam tanpa ekspresi."Nona Nilam."Suaranya berat saat memanggil Nilam, matanya yang tajam menatap lurus ke arah wanita itu, mengirimkan intimidasi.Namun, bukannya takut atau terintimidasi, Nilam malah menghela napas panjang.Pasalnya, gaya seperti itu mengingatkan dia pada seseorang pria yang sangat dibencinya, Keenan. Gayanya yang dingin dan mengintimidasi membuat Nilam muak, dia teringat pada sosok yang menghancurkan hidupnya dan mengantarkan Nilam pada penderitaan panjang. "Langsung katakan saja apa maksud tujuanmu, kalau kau ingin memberiku 100 juta seperti yang
"Mungkin ini shock yang terjadi setelah kecelakaan, tolong Anda jangan terlalu mengejutkan dirinya dan berilah penjelasan yang lembut tentang apa yang terjadi saat dia kembali sadar nanti, Tuan Muda."Dokter yang dipanggil oleh Gallen, menjelaskan kondisi Nilam dengan sopan. Gallen hanya bisa menarik napas panjang.Dia menyugar rambutnya ke belakang dengan ekspresi lelah, memandang seorang perempuan muda yang kini kembali terbaring tak sadarkan diri di atas kamar tidur rumah sakit."Kenapa sejak tinggal di kota ini, aku terus terlibat peristiwa yang merepotkan, sih?" desahnya lelah.Ini hari kesepuluh sejak dia dipanggil oleh kakeknya ke kota ini karena akan diangkat sebagai direktur utama hotel yang dikelola sang kakek.Sejak hari pertama, dia terus mendapatkan masalah, berurusan dengan staff hotel yang korup dan para penjilat, sangat melelahkan.Lalu, mobil yang dia kendarai menabrak wanita ini saat sedang dalam perjalanan pulang dari hotel, mengakibatkan dia koma sehingga dirawat d