Azan zuhur berkumandang membuat aku tersadar dari lamunanku. Seketika membuat rindu hadir, aku rindu bermunajat pada Sang Maha Kuasa, rindu mengadu pada-Nya di sepertiga malam. Ya, kini aku tengah kedatangan tamu, makanya aku tak bisa melaksanakan kewajiban empat raka’at itu.‘’Alhamdulillah Ya Allah. Aku masih hidup sampe sekarang,’’ lirihku sambil mengusap muka.Aku bersyukur sekali karena masih bisa menghirup udara hari ini, masih bisa membuka mata. Padahal aku kemarin kecelakaan dan pernah juga disekap oleh penjahat dalam keadaan lemah tak berdaya, tapi Alhamdulillah Allah masih memberikan kesempatan hidup untukku, Dia masih memberikan aku kesempatan untuk memperbanyak ibadah dan amal baik. Apalagi aku masih punya Naisya yang masih kecil, tentu butuh bimbingan dan didikan dariku.Aku melangkah ke luar dari kamar menuju teras. Sesekali bolehlah aku duduk di teras sambil menanti angin segar dari pepohonan di depan rumah. Aku suntuk sekali karena akhir-akhir ini aku lebih memilih tak
POV Bibi SumiSebenarnya aku tak percaya pada lelaki yang baru saja menjadi security di sini. Tapi apalah daya, tak mungkin aku melarang Bu Nelda untuk pergi refreshing. Karena dia juga butuh menenangkan pikirannya dengan jalan-jalan ke luar, apalagi konflik rumah tangga yang dipikulnya akhir ini, ditambah mertua si ibu yang masuk rumah sakit. Tapi suaminya tak mengizinkan Bu Nelda untuk membezuk sang mertua. Aku tak terbayangkan bagaimana hancur hatinya sekarang dan begitu banyak beban pikirannya, jika aku di posisi Bu Nelda pasti aku akan gila atau memilih mengakhiri hidup.‘’Kasihan sekali kamu, Dik,’’ gumamku dalam hati sambil menatap Naisya yang tengah asyik bermain.Anak seusia dia masih butuh kasih sayang dari kedua orangtuanya. Dia tak tahu apa-apa, dia tak tahu konflik yang tengah menimpa kedua orangtuanya hingga dia terpisah dari sang papa. Bu Nelda pun tak salah dan tak egois menurutku, karena tak pantas rasanya mempertahankan lelaki biadab seperti Pak Deno.‘’Bi, Bibi kok
POV Bibi Sumi‘’Tapi, tunggu! Kenapa aku merasa lelaki ini ada hubungannya dengan Pak Deno?’’‘’Kalo aku memaksanya untuk jujur, aku yakin lelaki ini tetap nggak akan mau mengakuinya. Ah, lebih baik aku cari tahu saja sendiri."Lelaki itu masih menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Tanpa bicara lagi, aku bergegas meninggalkannya dan melangkah memasuki rumah. Ah iya, aku harus menjemur pakaian dulu. Bergegas aku ke belakang dan mengambil cucian yang sudah dikerjakan oleh si mesin canggih itu. Segera kubawa keluar, tak lupa meraih hanger yang tergantung.Jam segini panas siang masih terasa menyengat, semoga saja jemuranku kering. Aku bergegas menjemur pakaian di samping rumah. Seketika aku mendengar suara yang tak asing lagi bagiku, dia seperti sedang bicara lewat telepon. Dengan siapa dia bicara? Kuletakkan kembali baju yang tadinya hendak kujemur dan memasang pendengaran baik-baik, mumpung tempat jemuranku begitu dekat dengan pos. Jadi aku bisa menguping pembicaraan lelaki it
POV Bibi SumiAku mengusap muka dengan kasar setelah membaca pesan dari Mas Reno. Aku harus bagaimana? Apa aku balas saja pesannya? Lalu apa yang harus aku katakan?‘’Aku jadi serba salah,’’ gumamku. Kenapa aku bilang serba salah?Ya, jika aku tak membalas pesan lelaki itu, nanti dia menyangka bahwa aku tak tahu terima kasih dengan bantuan yang diberikannya selama ini. Jika aku membalasnya, nanti majikanku malah salah paham dan kesal padaku. Apalagi aku sudah berjanji tak kan mengulangi kesalahan yang sama. Aku tak mau bu Nelda salah paham lagi padaku.‘’Aduhh! Pusing nih kepala. Nanti aja deh aku bales pesannya.’’ Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Mataku tertuju pada si gadis mungil yang mengucek bola matanya. Rambutnya tampak berantakan.‘’Wah, Adik udah bangun ya?’’Dia hanya menyahut dengan anggukan. Kubiarkan dia mengumpulkan nyawa terlebih dahulu. Selang beberapa menit.‘’Kita mandi dulu ya, Dik. Setelah itu kita makan siang dan Bibi kasih kue coklat,’’ kataku kemudian yang
POV Bibi Sumi"Sangat susah rasanya untuk berdamai, Bi. Dan memang aku yang menyerahkan lelaki itu pada selingkuhannya. Tapi entah kenapa setelah aku mengunjungi tempat menyimpan kenanganku itu, membuat aku selalu ingat dengan keromantisan yang kami lakukan, aku keingat kebersamaan—‘’‘’Bu, Ibu pasti bisa melewati semua ini. Pelan-pelan saja ya.’’‘’Bibi yakin kalo si lelaki bermuka dua itu dalang di balik ini semua,’’ kataku yang tak mampu menyembunyikan apa yang kuketahui ketika aku menguping pembicaraan Dodo lewat telepon, aku tak bisa jika tak mengeluarkan pikiran yang mengganjal. Membuat majikanku mengerjap pelan.‘’Maksud, Bibi?’’‘’Ya Bibi yakin kalo ada seseorang di balik ini semua.’’ Jika aku mengatakan Dodo kembali, aku yakin majikanku tetap tak akan percaya. Karena aku berkata tanpa adanya bukti.‘’Siapa, Bi? Atau Bibi menuduh Dodo lagi? Udahlah, aku tahu niat Bibi ini baik. Tapi, Dodo nggak seburuk apa yang Bibi kira.’’‘’Tuh kan. Bener apa kata aku. Bu Nelda tetap nggak
Aku terperanjat setelah membaca isi pesan yang diperlihatkan oleh si Bibi.Lelaki yang aku percaya untuk bekerja di sini, ternyata dia bekerja sama dengan lelaki pengkhianat itu. Aku menyesal! Menyesal sudah menerimanya bekerja jadi security pribadi rumahku di sini. Aku sungguh mimpi dengan semua ini, Dodo yang kukenal ramah, sopan dan baik ternyata begini kelakuan aslinya. Kenapa aku malah tak mempercayai ucapan bibi Sum? Kenapa aku begitu mudah menyimpulkan bahwa dia lelaki baik? Apa aku terlalu polos? Ya, ternyata dia hanya berpura-pura baik saja. Ternyata benar, bahwa kita tak bisa menilai orang lain dari segi covernya saja.‘’Ibu harus bertindak secepatnya. Kalo dibiarkan dia tetap bekerja di sini, bisa-bisa dia disuruh lagi berbuat yang aneh-aneh sama lelaki itu.’’ Dalam hati aku membenarkan ucapan bibi.Apalagi isi pesannya itu yang menyuruh si Dodo untuk mengambil berkas di rumahku. Apa berkas surat yang berisi perjanjian itu yang akan diambilnya? Supaya perusahaan yang diber
‘’Hei! Sebaiknya pergi dari sini!’’ usirku seketika setelah turun dari mobil.Membuat dia bergegas meninggalkan pekarangan rumah Nelda dengan wajah masam, sekilas lelaki itu menatap tajam ke arahku. Ya, sebelumnya aku sudah mengira kalau security baru di rumah pribadi Nelda bukanlah orang baik, namun apalah daya. Aku tak bisa dan aku tak berhak melarang dia untuk tak menerima lelaki asing itu sebagai security di rumahnya. Untung sekarang aku datang tepat pada waktunya.Tampak ART Nelda berbisik, entah apa yang dikatakannya pada majikannya itu.Seketika wanita berkerudung pashmina beralih menatap ke arahku.‘’Kamu ada perlu sama aku, Ren?’’ Dia seperti enggan memandangku.‘’Aku cuma ingin memastikan keadaan kamu dan Naisya aja,’’ sahutku sambil menampakkan seulas senyuman.Ya, beberapa hari ini aku sibuk membantu pekerjaan papa di kantor. Saking sibuknya sekadar menghubungi bibi Sumi pun tak sempat. Baru tadi aku menghubungi ART Nelda, itu pun tak diangkat olehnya. Padahal sudah berkal
POV Reno‘’Nelda kenapa sih harus kamu yang bisa mengobati rasa traumaku? Kenapa coba?’’Aku bangkit dari berbaring, lalu mengusap rambut dengan kasar. Aku yang selama ini merasa takut untuk dekat dengan wanita, kini sejak mengenal wanita itu seolah rasa takut dan traumaku hilang begitu saja. Dia sudah mampu mengobati rasa traumaku yang menetap selama bertahun-tahun di diriku.Semakin ke sini, rasa ini semakin mendalam. Rasa kagum berubah dengan rasa cinta seiring berjalannya waktu. Ya, aku sudah lima tahun jadi follower setianya Nelda. Selalu saja hati ini damai tatkala melihat postingannya.Seketika benda canggihku berdering. Aku mengerjap malas dan meraihnya. Kupandangi layarnya yang ternyata tertera nama Dika di layar benda canggih itu.‘’Assalamua’laikum, Dik. Tumben lo nelpon gue.’’‘’Kumsalam. Kan lo biasanya sibuk. Sekarang kan lo libur, jadi makanya gue telpon hari ini.’’‘’Menjawab salam itu yang bener dong, Dik,’’ komentarku seketika. Terdengar suara tertawanya di seberang
Setelah bersalaman dengan mertua, sahabat, dan juga anakku. Saatnya kami berdua menaiki pelaminan. Lelakiku itu mengenggam erat tanganku untuk melangkah menuju pelaminan. Para tamu undangan pun langsung mengucapkan selamat dan bersalaman dengan kami berdua.‘’MaasyaaAllah. Mba Nelda? Akhirnya bertemu dengan Penulis favoritku.’’ Wanita yang kuperkirakan umurnya dua puluhan itu bergegas memelukku.‘’Alhamdulillah. Senang banget bertemu, Kakak.’’ Kami melepaskan pelukan. Matanya berbinar menatapku.‘’Semoga langgeng sampe Kakek Nenek yah, Mba.’’‘’Aamiin Ya Allah. Makasih banyak loh.’’Ternyata ada banyak pembaca yang kuundang hingga membuat kami tak bisa duduk beristirahat di kursi pelaminan karena menjabat tangan mereka satu-persatu.‘’Tapi kok Naisya belum ketemu sama aku sejak tadi?’’ Mataku sibuk mencari keberadaan si kecil.‘’Mama! Papa!’’ teriaknya yang membuat aku tertawa, anakku bergegas memelukku. Ternyata dia bersama Fani.‘’Duuh sayangnya Mama nih.’’ Aku memeluknya dengan era
Seminggu kemudian, hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Semua persiapan pernikahanku Fani dan teman-temannya yang mengurus. Aku tengah duduk di depan cermin. MaasyaaAllah, aku terlihat begitu cantik dan anggun dengan polesan make up tipis dari Sang Perias.‘’Akhirnya aku melepas masa jandaku. Semoga ini adalah pernikahan terakhirku seumur hidup dan semoga Reno imam terbaik untuk aku, juga jadi Papa sambung buat anakku.’’ Aku tersenyum memandangi bayangan wajahku di pantulan cermin.Ini adalah pernikahanku yang kedua kalinya. Sebelumnya tak pernah terniat di hatiku untuk menikah lagi, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Namun, apalah daya. Allah berkehendak lain. Lelaki itu selingkuh selama empat tahun lamanya. Menyisakan trauma dan luka yang mendalam. Hingga akhirnya datang seseorang yang dengan pelan-pelan bisa mengobati rasa luka dan traumaku. Dialah yang akan jadi calon imamku. Harapanku semoga ini adalah pernikahan terakhir dalam hidupku.‘’Cie-cie ada yang senyam-senyum
‘’Happy birth day, Om Reno.’’ Kali ini Naisya yang mengucapkan.‘’Makasih, Dik. Sayangnya Om Reno nih.’’ Tangannya mengelus kepala Naisya.‘’Ini kadonya dari aku, Om.’’ Anakku bergegas menyodorkan kado yang membuat para tamu undangan tersenyum.‘’Wah, ini Adik yang membungkus kadonya? Bagus banget. Makasih ya.’’ Lelaki itu langsung mengambil kado dari tangan Naisya lalu memandangi kado yang bersampul panda itu.‘’Bibi yang menyiapkan, Om. Dan uang untuk membeli kadonya minta ke Mama,’’ katanya dengan polos, berhasil membuat para tamu tertawa.Begitu juga dengan Reno dan orangtuanya. Aku memberi kode agar si Bibi memberikan kado yang tengah dipegangnya sedari tadi. Bibi langsung memberikannya padaku.‘’Dan ini dari aku ya, Ren. Jangan dilihat dari harganya. Tapi lihatlah siapa yang memberikannya.’’ Senyumannya mengembang lalu bergegas mengambil kado yang kusodorkan.‘’Makasi ya,’’ kata lelaki itu dengan suara lembut. Entah kenapa hatiku jadi tersentuh.***Tak ada acara hembus lilin. H
Setahun kemudian..Hari ini adalah ulang tahun Reno, lelaki yang selama ini kukira tidak baik. Lelaki yang selama ini aku ragukan ketulusan hatinya. Ternyata dia memang lelaki yang baik dan peduli padaku, terutama pada Naisya. Dia banyak sekali berkorban untukku dan juga anakku. Akibat kepeduliannya itu membuat sikap dinginku lenyap, apalagi Naisya sangat senang bermain dengan lelaki itu. Hingga sosok almarhum Papanya bisa digantikan oleh Reno. ‘’Udah setahun lebih tanpa kehadiran Mas Deno di sisiku dan juga Naisya. Semoga kamu tenang di alam sana ya, Mas. Dan diampuni segala dosa-dosamu,’’ lirihku sambil mematut diri di cermin.Ya, sudah setahun lebih lamanya aku menjanda. Sedangkan sahabatku Fani sudah menikah duluan dengan Fahmi, lelaki pilihan Mamanya. Yang ternyata dia adalah lelaki baik.Seiring berjalannya waktu rasa luka masa lalu itu dengan pelan mulai sembuh, disembuhkan oleh lelaki baik yang bernama Reno. Malaikat yang dititipkan Allah untukku.‘’Ma, yuk kita jalan sekaran
Dua hari kemudian..Anak semata wayangku sudah bisa dibawa pulang, Alhamdulillah panasnya sudah turun. Ya, walaupun dia sering memanggil nama Papanya. Terutama di saat tengah tertidur pulas. Sesuai prediksi Dokter Nira, anakku itu kemungkinan tengah merindu berat pada Papanya. Ditambah dia kekurangan istirahat, dia sering begadang karena tak bisa tidur beberapa hari kemarin.Aku pun sudah mencoba menghubungi nomor kontak Mas Deno, tapi nihil. Lelaki itu malah mereject telepon dariku, bahkan sudah berulangkali aku hubungi namun sekali pun tak diangkatnya. Apa dia tak kepikiran Naisya di sana? Apa dia tak mengalami hal yang sama seperti Naisya yang tengah rindu berat padanya? Atau karena dia sedang asyik bersama si pelakor itu? Jadi lupa sama anaknya? Aku menghela napas lega. Biarkan saja lelaki itu, toh dia tak kan mau peduli pada anakku. Biarkan saja aku yang membesarkan dan mendidik Naisya.****Hari ini aku bersyukur sekali, karena anakku bisa dibawa pulang. Aku mengusap kepala putr
Tanpa berkata apapun aku bergegas berpindah posisi duduk. Aku memeluk putriku di kursi belakang. Sedangkan lelaki yang bernama Reno itu langsung melajukan si roda empat. Ya, kali ini aku tak boleh egois. Yang paling penting sekarang Naisya tiba di rumah sakit dan mendapatkan perawatan dari dokter. Aku terus saja mengecup kening putriku yang tengah dalam pangkuan. Kubelai rambutnya.‘’Sayang, Adik pasti kuat. Yang sabar ya, Nak. Sebentar lagi kita pasti akan sampe di rumah sakit,’’ kataku lirih.Kuraba kepalanya, membuat aku semakin cemas. Panas anakku malah semakin naik.‘’Ya Allah! Kuatkan anakku. Sembuhkan dia.’’‘’Nel, kamu yang tenang ya. Banyakin berdo’a,’’ kata lelaki yang tengah fokus menyetir itu sesekali melirik ke belakang lewat kaca spion.Entah kenapa kali ini membuat hatiku lebih tenang. Ada apa denganku?Tak berselang lama mobilku sudah tiba di depan rumah sakit. Lelaki itu bergegas turun. Aku yang akan membuka pintu mobil membuat tanganku terhenti. Karena lelaki itu sud
‘’Astaghfirullah! Dik, kok kamu panas banget, Nak.’’ Aku mengusap kepala Naisya. Membuat aku terkesiap dan panik dibuatnya. ‘’Bibi!’’ ‘’Bi! Cepat ke sini!’’ ‘’Iya, Bu?’’ Wanita separuh baya itu terperanjat memandangi aku. ‘’Naisya, Bi. Kepalanya panas banget.’’ ‘’Tenang ya, Bu. Biar Bibi coba kompres dulu.’’ Aku sungguh tak tenang dibuatnya. Bagaimana tidak, tubuhnya begitu panas. ‘’Pa—Pa.’’ Membuat mataku membulat. Papa? Matanya masih terpejam namun dia memanggil mas Deno. Anakku ketika demam tak pernah memanggil papanya. Apa dia begitu rindu pada mas Deno? Ya Allah. Aku harus bagaimana? ‘’Bu, biar Bibi yang mengompres,’’ kata wanita separuh baya itu yang tengah melangkah memasuki kamar dengan tergopoh-gopoh sambil membawa baskom dan handuk kecil. Di saat anakku demam panas seperti ini bayangan wajah Mas Deno pun hadir di benakku. Ada apa ini? Bisa-bisanya aku teringat sama lelaki itu di saat genting seperti ini. ‘’Nggak, Nel. Kamu harus fokus ke anakmu. Nggak usa
‘’Hei, loh bisa diem nggak?’’ Tangan lelaki itu menamparku dengan spontan. Membuat aku meringis kesakitan. Andaikan saja aku punya tenaga dan tanganku tak diikat, mungkin aku akan membalas semuanya. ‘’Jangan dihabisin tenaga kalian. Tutup saja mulutnya,’’ titah wanita licik itu yang membuat mataku melotot.‘’Baik, Bu.’’ Dia bergegas melakban mulutku membuat aku sulit untuk bicara.‘’Dasar brengsek! Awas aja kalian semua. Aku bakal balas lebih kejam dari ini,’’ ancamku dalam hati. Lelaki yang tengah menyetir itu tersenyum puas menatapku, begitupun dengan lelaki yang duduk di sebelahku. Awas saja kalian! Akan kubalas semua perlakuan kejam ini.‘Aku mau dibawa ke mana sebenarnya?Tiada putusnya mataku memandangi di sekeliling jalan ini lewat kaca jendela. Begitu sepi, hanya satu atau dua saja kendaraan yang lewat. Aku semakin cemas dibuatnya. Mau apa mereka? Apa mereka punya rencana lebih jahat lagi padaku? Chika, kamu di mana Sayang. Andaikan saja kamu tahu apa yang dilakukan oleh Mam
POV Deno‘’Untuk apa kalian memberiku makan? Lebih baik bunuh saja akuu!’’ teriakku lantang.Sudah seminggu aku disekap di sini. Tendangan dan pukulan bertubi-tubi kuhadapi, hingga membuat wajahku babak belur seperti ini. Mukaku begitu terasa sakit. Kukira mertuaku itu akan membawaku pergi ke luar kota, namun tak sesuai ekspektasi. Sungguh dia pandai sekali bersandiwara membuat aku percaya.Ternyata aku dibawa ke rumah kosong yang sudah tua. Masih teringat olehku ketika aku berada di mobil, asistennya membekap mulutku hingga membuat aku pingsan. Aku yakin ada resep yang ditaburkannya pada sapu tangan itu. Tak berselang lama tiba-tiba aku sudah sadar dengan keadaan air yang membasahi muka dan seluruh tubuhku. Aku yakin wanita licik itu yang menyiramkannya. Kenapa aku jadi bodoh seperti ini. Sialan!‘’Awas aja kalo aku bisa keluar dari sini. Aku akan balas semuanya,’’ geramku dalam hati yang memandangi kedua lelaki bertubuh kekar itu.‘’Ngapain loh melototin kita kayak gitu? Mau kabur,