POV Reno‘’Nelda kenapa sih harus kamu yang bisa mengobati rasa traumaku? Kenapa coba?’’Aku bangkit dari berbaring, lalu mengusap rambut dengan kasar. Aku yang selama ini merasa takut untuk dekat dengan wanita, kini sejak mengenal wanita itu seolah rasa takut dan traumaku hilang begitu saja. Dia sudah mampu mengobati rasa traumaku yang menetap selama bertahun-tahun di diriku.Semakin ke sini, rasa ini semakin mendalam. Rasa kagum berubah dengan rasa cinta seiring berjalannya waktu. Ya, aku sudah lima tahun jadi follower setianya Nelda. Selalu saja hati ini damai tatkala melihat postingannya.Seketika benda canggihku berdering. Aku mengerjap malas dan meraihnya. Kupandangi layarnya yang ternyata tertera nama Dika di layar benda canggih itu.‘’Assalamua’laikum, Dik. Tumben lo nelpon gue.’’‘’Kumsalam. Kan lo biasanya sibuk. Sekarang kan lo libur, jadi makanya gue telpon hari ini.’’‘’Menjawab salam itu yang bener dong, Dik,’’ komentarku seketika. Terdengar suara tertawanya di seberang
POV Deno‘’Aku tuh kesal banget sama si Dodo. Disuruh kerja aja ngga becus. Padahal aku udah membayar dia mahal.’’ Bagaimana aku tak kesal pada lelaki itu, berapa pun uang yang dia mau selalu kukirimkan hingga uangku habis dibuatnya.Apalagi aku dapat uang itu dari kekasihku. Kalau tahu Chika, dia pasti akan marah padaku. Karena uang pemberiannya bukan untuk kebutuhan sehari-hari kupergunakan. Ditambah surat perjanjian itu tak kunjung berada di tanganku. Dasar! Kerja itu saja tak becus! Aku tak punya banyak waktu dan tak bisa bermain-main lagi. Aku harus memaksa Dodo supaya dia bisa mengambil surat itu, bagaimana pun caranya.Aku bergegas merogoh saku-saku dan menekan nomor baru yang tadi kusimpan. Tadi katanya dia mengganti nomor baru, dia mengatakan lewat pesan singkat yang dikirimnya. Belum sempat aku menghubungi nomor yang tadi kusimpan. Ponsel seketika berdering.‘’Lah, katanya tadi Dodo ganti nomor.’’‘’Do? Bukannya kamu ganti nomor? Trus kenapa pakek nomor ini lagi?’’‘’Maksud
POV Deno‘’Hentikan!’’Tubuhku terasa tak berdaya dibuatnya karena menerima tendangan dan pukulan berkali-kali. Kalau begini bagaimana caranya aku bisa lolos dari mereka. Teriakan Chika tak digubris oleh mereka, hingga aku dikerumuni warga. Berbagai pukulan dan tendangan yang di hadapkan padaku.Tubuhku mungkin sudah babak belur karena terasa begitu tak berdaya. Terasa darah segar bercucuran di hidung. Seketika pemandangan pun kabur dan aku tak ingat apa-apa.***‘’Kalian kenapa main hakim sendiri? Seharusnya dilaporkan sama saya.’’ Terdengar samar olehku, namun mata enggan untuk dibuka karena tubuhku terasa begitu sakit.‘’Dasar! Laki-laki dan perempuan sama saja. Belum menikah eh tahu-tahunya tinggal bersama. Entah apa yang mereka lakukan!’’‘’Membuat kampung ternodai saja!’’‘’Eh, bukannya mereka ini yang lagi viral?’’‘’Percuma kaya raya, kalo kelakuannya mesum begini!’’‘’Ibu Bapak, bagaimana kalo kita nikahkan saja si pembawa petaka ini?’’ Banyak sekali hinaan dan cacian yang di
Aku menghela napas kasar. ’’Nggak semudah itu, Mas,’’ sahutku sambil melipat tangan di dada.Hari ini hidupku sungguh sial sekali. Bagaimana tidak, aku dan mas Deno digerebek warga ke rumah mewahku. Lelakiku itu hingga babak belur dibuatnya dan kami dibawa ke Balai Desa untuk dinikahkah secara paksa. Kenapa bisa-bisanya warga tahu kalau aku membawa lelaki ke rumahku? Aku tak habis pikir dengan warga yang kepo dan suka mengurus hidup orang lain. Apa salahnya aku membawa lelaki ke rumahku? Apa urusannya sama mereka? Toh itu bukan rumah mereka. Aku juga tak minta uang sama mereka untuk biaya hidupku.Terngiang-ngiang di telingaku kata cacian dan hinaan yang dilemparkan para warga padaku. Mereka seperti tak pernah berbuat dosa saja dan kelakuannya sebelas dua belas dengan si Nelda. Tapi, pernikahan paksa ini jadi untung besar juga buat aku. Karena aku bisa bebas membawa mas Deno ke rumahku tanpa adanya larangan dari para warga kepo. Juga tentu ini jadi alasan untuk aku agar mami tak memba
"Nggak apa-apa rugi sekarang demi menjalankan semua rencanaku."Aku menyunggingkan bibir menatap wanita itu yang tengah berkaca-kaca kedua netranya. Tanpa berpikir lagi, aku bergegas menarik tangannya menuju tempat pembayaran administrasi. ‘’Sus, atas nama Mas Deno ya,’’ kataku tatkala sudah berada di depan pembayaran itu.‘’Baik, Mba.’’ Tak berselang lama wanita berkerudung itu memberikan catatan kecil padaku.Bergegas kukeluarkan kartu dari tas branded milikku. Lalu langsung kusodorkan pada petugas administrasi itu.‘’Fan, nama Papamu siapa?’’Aku beralih menatap wanita berambut sebahu itu yang tengah termangu sedari tadi. Entah apa yang ada di pikirannya.‘’Hem, nama beliau Suhendra.’’‘’Oke. Sus, cek juga administrasi atas nama Om Suhendra ya. Pake kartu yang tadi aja.’’***‘’Btw, makasih banyak ya, Chik.’’‘’Aku janji kalo ada uang. Aku bakalan ganti semua uang kamu,’’ lanjutnya sambil melangkah.‘’Fani, Fani. Emang kamu bisa mengganti uang aku sebanyak itu? Secara kan kamu pen
POV Si Pelakor‘’Ma—Mami udah di rumah sekarang?’’ kataku dengan tenggorokan tercekat, namun tak ada sahutan dari seberang sana.‘’Ha—hallo, Mi!’’ Tetap saja tak ada sahutan.Bergegas kupandangi layar benda canggih. Aduh! Ternyata sudah diputuskan sepihak oleh mami. Membuat aku memijit kening yang terasa mulai sakit.‘’Apa Mami udah di rumah? Nggak! Aku nggak mau nanti para warga membongkar semuanya tentang aku. Bisa-bisa Mami akan mengamuk besar sama aku!’’Aku bergegas menghampiri wanita berambut sebahu itu yang tengah tercengang. Rupanya dia sudah memesan minuman dua gelas coffie latte.‘’Chik? Kenapa kok muka kamu kayak gitu?’’‘’Mamiku ternyata pulang, Fan. Aku disuruh ke rumah. Katanya ada hal penting.’’‘’Ka—kamu aku tinggal, nggak apa-apa kan? Lain kali aja kita lanjutkan ngobrolnya ya,’’ lanjutku yang bergegas merogoh tas brandedku. Kuraih dua lembar uang ratusan dan menyodorkannya pada Fani.‘’Ma’af ya, Fan. Aku buru-buru. Ini janji aku tadi ke kamu.’’ Tanpa menunggu jawaban
POV Chika (Pelak0r)Aku menyeka air mata dengan kasar, sambil menatap rumah yang pernah kutempati itu. Sungguh banyak sekali kenangan manis di sini. Aku yang dulu bermain bersama papi dan mami diringi canda tawa. Berlari kecil kian ke mari, semuanya teringat olehku.Namun, kini aku tak lagi dianggap sebagai anak kandungnya. Setega itukah mami padaku? Dia lebih memilih warga sialan itu daripada anak kandungnya? Lalu bagaimana dengan papi, apakah sama sebelas dua belas sama wanita ini?‘’Kita lihat saja nanti. Sampai kapan Mami bisa kayak gini sama aku.’’Kuambil koper dan menentengnya. Dengan pelan aku melangkah, ternyata para warga itu masih memperhatikanku. Mereka jadikan aku sebagai tontonan mengasyikkan lagi gratis. Dasar! Memang kalau orang miskin itu tak ada kerjaan. Ya, beginilah kerjanya. Kepo dengan urusan orang lain. Senang di atas penderitaan orang. Aku menoleh ke arah mereka dan menatap tajam.‘’Rasain tuh. Makanya jangan sombong. Duit aja masih menengadahkan tangan ke oran
POV Chika (Pelak0r)Ah iya. Mama baru teringat sama Papa kamu. Yang sabar ya. Mama akan cari cara agar kita bisa tinggal bareng sama Papa kamu,’’ kataku lirih sambil mengusap perut.Entah kenapa sejak tadi aku malah tak kepikiran mas Deno. Mungkin saking sock dengan apa yang telah terjadi. Aku lebih mementingkan diriku sendiri. Tak terpikir lagi bagaimana dan di mana suamiku. Untung saja dia masih di rumah sakit, jadi aku tak repot-repot mencari tempat tinggal untuknya.Apalagi fasilitas dari mami sudah diambilnya kembali. Ah, diriku saja tak mampu aku untuk mengurusnya. Apalagi mengurus mas Deno.Tapi, sekarang aku pengen istirahat dulu. Untung saja kamar ini sudah bersih dan rapi. Ya, walaupun bentuknya membuat moodku jadi berantakan. Setidaknya aku bisa meregang tubuh terlebih dahulu. Kucoba mencium seprei tempat tidurnya. Mana tahu ada bau menyengat terselip di sana.‘’Hem! Lumayan sih.’’ Aku bergegas membaringkan tubuh karena merasa aman untuk kutiduri.***Aku menggeliat dan men
Setelah bersalaman dengan mertua, sahabat, dan juga anakku. Saatnya kami berdua menaiki pelaminan. Lelakiku itu mengenggam erat tanganku untuk melangkah menuju pelaminan. Para tamu undangan pun langsung mengucapkan selamat dan bersalaman dengan kami berdua.‘’MaasyaaAllah. Mba Nelda? Akhirnya bertemu dengan Penulis favoritku.’’ Wanita yang kuperkirakan umurnya dua puluhan itu bergegas memelukku.‘’Alhamdulillah. Senang banget bertemu, Kakak.’’ Kami melepaskan pelukan. Matanya berbinar menatapku.‘’Semoga langgeng sampe Kakek Nenek yah, Mba.’’‘’Aamiin Ya Allah. Makasih banyak loh.’’Ternyata ada banyak pembaca yang kuundang hingga membuat kami tak bisa duduk beristirahat di kursi pelaminan karena menjabat tangan mereka satu-persatu.‘’Tapi kok Naisya belum ketemu sama aku sejak tadi?’’ Mataku sibuk mencari keberadaan si kecil.‘’Mama! Papa!’’ teriaknya yang membuat aku tertawa, anakku bergegas memelukku. Ternyata dia bersama Fani.‘’Duuh sayangnya Mama nih.’’ Aku memeluknya dengan era
Seminggu kemudian, hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Semua persiapan pernikahanku Fani dan teman-temannya yang mengurus. Aku tengah duduk di depan cermin. MaasyaaAllah, aku terlihat begitu cantik dan anggun dengan polesan make up tipis dari Sang Perias.‘’Akhirnya aku melepas masa jandaku. Semoga ini adalah pernikahan terakhirku seumur hidup dan semoga Reno imam terbaik untuk aku, juga jadi Papa sambung buat anakku.’’ Aku tersenyum memandangi bayangan wajahku di pantulan cermin.Ini adalah pernikahanku yang kedua kalinya. Sebelumnya tak pernah terniat di hatiku untuk menikah lagi, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Namun, apalah daya. Allah berkehendak lain. Lelaki itu selingkuh selama empat tahun lamanya. Menyisakan trauma dan luka yang mendalam. Hingga akhirnya datang seseorang yang dengan pelan-pelan bisa mengobati rasa luka dan traumaku. Dialah yang akan jadi calon imamku. Harapanku semoga ini adalah pernikahan terakhir dalam hidupku.‘’Cie-cie ada yang senyam-senyum
‘’Happy birth day, Om Reno.’’ Kali ini Naisya yang mengucapkan.‘’Makasih, Dik. Sayangnya Om Reno nih.’’ Tangannya mengelus kepala Naisya.‘’Ini kadonya dari aku, Om.’’ Anakku bergegas menyodorkan kado yang membuat para tamu undangan tersenyum.‘’Wah, ini Adik yang membungkus kadonya? Bagus banget. Makasih ya.’’ Lelaki itu langsung mengambil kado dari tangan Naisya lalu memandangi kado yang bersampul panda itu.‘’Bibi yang menyiapkan, Om. Dan uang untuk membeli kadonya minta ke Mama,’’ katanya dengan polos, berhasil membuat para tamu tertawa.Begitu juga dengan Reno dan orangtuanya. Aku memberi kode agar si Bibi memberikan kado yang tengah dipegangnya sedari tadi. Bibi langsung memberikannya padaku.‘’Dan ini dari aku ya, Ren. Jangan dilihat dari harganya. Tapi lihatlah siapa yang memberikannya.’’ Senyumannya mengembang lalu bergegas mengambil kado yang kusodorkan.‘’Makasi ya,’’ kata lelaki itu dengan suara lembut. Entah kenapa hatiku jadi tersentuh.***Tak ada acara hembus lilin. H
Setahun kemudian..Hari ini adalah ulang tahun Reno, lelaki yang selama ini kukira tidak baik. Lelaki yang selama ini aku ragukan ketulusan hatinya. Ternyata dia memang lelaki yang baik dan peduli padaku, terutama pada Naisya. Dia banyak sekali berkorban untukku dan juga anakku. Akibat kepeduliannya itu membuat sikap dinginku lenyap, apalagi Naisya sangat senang bermain dengan lelaki itu. Hingga sosok almarhum Papanya bisa digantikan oleh Reno. ‘’Udah setahun lebih tanpa kehadiran Mas Deno di sisiku dan juga Naisya. Semoga kamu tenang di alam sana ya, Mas. Dan diampuni segala dosa-dosamu,’’ lirihku sambil mematut diri di cermin.Ya, sudah setahun lebih lamanya aku menjanda. Sedangkan sahabatku Fani sudah menikah duluan dengan Fahmi, lelaki pilihan Mamanya. Yang ternyata dia adalah lelaki baik.Seiring berjalannya waktu rasa luka masa lalu itu dengan pelan mulai sembuh, disembuhkan oleh lelaki baik yang bernama Reno. Malaikat yang dititipkan Allah untukku.‘’Ma, yuk kita jalan sekaran
Dua hari kemudian..Anak semata wayangku sudah bisa dibawa pulang, Alhamdulillah panasnya sudah turun. Ya, walaupun dia sering memanggil nama Papanya. Terutama di saat tengah tertidur pulas. Sesuai prediksi Dokter Nira, anakku itu kemungkinan tengah merindu berat pada Papanya. Ditambah dia kekurangan istirahat, dia sering begadang karena tak bisa tidur beberapa hari kemarin.Aku pun sudah mencoba menghubungi nomor kontak Mas Deno, tapi nihil. Lelaki itu malah mereject telepon dariku, bahkan sudah berulangkali aku hubungi namun sekali pun tak diangkatnya. Apa dia tak kepikiran Naisya di sana? Apa dia tak mengalami hal yang sama seperti Naisya yang tengah rindu berat padanya? Atau karena dia sedang asyik bersama si pelakor itu? Jadi lupa sama anaknya? Aku menghela napas lega. Biarkan saja lelaki itu, toh dia tak kan mau peduli pada anakku. Biarkan saja aku yang membesarkan dan mendidik Naisya.****Hari ini aku bersyukur sekali, karena anakku bisa dibawa pulang. Aku mengusap kepala putr
Tanpa berkata apapun aku bergegas berpindah posisi duduk. Aku memeluk putriku di kursi belakang. Sedangkan lelaki yang bernama Reno itu langsung melajukan si roda empat. Ya, kali ini aku tak boleh egois. Yang paling penting sekarang Naisya tiba di rumah sakit dan mendapatkan perawatan dari dokter. Aku terus saja mengecup kening putriku yang tengah dalam pangkuan. Kubelai rambutnya.‘’Sayang, Adik pasti kuat. Yang sabar ya, Nak. Sebentar lagi kita pasti akan sampe di rumah sakit,’’ kataku lirih.Kuraba kepalanya, membuat aku semakin cemas. Panas anakku malah semakin naik.‘’Ya Allah! Kuatkan anakku. Sembuhkan dia.’’‘’Nel, kamu yang tenang ya. Banyakin berdo’a,’’ kata lelaki yang tengah fokus menyetir itu sesekali melirik ke belakang lewat kaca spion.Entah kenapa kali ini membuat hatiku lebih tenang. Ada apa denganku?Tak berselang lama mobilku sudah tiba di depan rumah sakit. Lelaki itu bergegas turun. Aku yang akan membuka pintu mobil membuat tanganku terhenti. Karena lelaki itu sud
‘’Astaghfirullah! Dik, kok kamu panas banget, Nak.’’ Aku mengusap kepala Naisya. Membuat aku terkesiap dan panik dibuatnya. ‘’Bibi!’’ ‘’Bi! Cepat ke sini!’’ ‘’Iya, Bu?’’ Wanita separuh baya itu terperanjat memandangi aku. ‘’Naisya, Bi. Kepalanya panas banget.’’ ‘’Tenang ya, Bu. Biar Bibi coba kompres dulu.’’ Aku sungguh tak tenang dibuatnya. Bagaimana tidak, tubuhnya begitu panas. ‘’Pa—Pa.’’ Membuat mataku membulat. Papa? Matanya masih terpejam namun dia memanggil mas Deno. Anakku ketika demam tak pernah memanggil papanya. Apa dia begitu rindu pada mas Deno? Ya Allah. Aku harus bagaimana? ‘’Bu, biar Bibi yang mengompres,’’ kata wanita separuh baya itu yang tengah melangkah memasuki kamar dengan tergopoh-gopoh sambil membawa baskom dan handuk kecil. Di saat anakku demam panas seperti ini bayangan wajah Mas Deno pun hadir di benakku. Ada apa ini? Bisa-bisanya aku teringat sama lelaki itu di saat genting seperti ini. ‘’Nggak, Nel. Kamu harus fokus ke anakmu. Nggak usa
‘’Hei, loh bisa diem nggak?’’ Tangan lelaki itu menamparku dengan spontan. Membuat aku meringis kesakitan. Andaikan saja aku punya tenaga dan tanganku tak diikat, mungkin aku akan membalas semuanya. ‘’Jangan dihabisin tenaga kalian. Tutup saja mulutnya,’’ titah wanita licik itu yang membuat mataku melotot.‘’Baik, Bu.’’ Dia bergegas melakban mulutku membuat aku sulit untuk bicara.‘’Dasar brengsek! Awas aja kalian semua. Aku bakal balas lebih kejam dari ini,’’ ancamku dalam hati. Lelaki yang tengah menyetir itu tersenyum puas menatapku, begitupun dengan lelaki yang duduk di sebelahku. Awas saja kalian! Akan kubalas semua perlakuan kejam ini.‘Aku mau dibawa ke mana sebenarnya?Tiada putusnya mataku memandangi di sekeliling jalan ini lewat kaca jendela. Begitu sepi, hanya satu atau dua saja kendaraan yang lewat. Aku semakin cemas dibuatnya. Mau apa mereka? Apa mereka punya rencana lebih jahat lagi padaku? Chika, kamu di mana Sayang. Andaikan saja kamu tahu apa yang dilakukan oleh Mam
POV Deno‘’Untuk apa kalian memberiku makan? Lebih baik bunuh saja akuu!’’ teriakku lantang.Sudah seminggu aku disekap di sini. Tendangan dan pukulan bertubi-tubi kuhadapi, hingga membuat wajahku babak belur seperti ini. Mukaku begitu terasa sakit. Kukira mertuaku itu akan membawaku pergi ke luar kota, namun tak sesuai ekspektasi. Sungguh dia pandai sekali bersandiwara membuat aku percaya.Ternyata aku dibawa ke rumah kosong yang sudah tua. Masih teringat olehku ketika aku berada di mobil, asistennya membekap mulutku hingga membuat aku pingsan. Aku yakin ada resep yang ditaburkannya pada sapu tangan itu. Tak berselang lama tiba-tiba aku sudah sadar dengan keadaan air yang membasahi muka dan seluruh tubuhku. Aku yakin wanita licik itu yang menyiramkannya. Kenapa aku jadi bodoh seperti ini. Sialan!‘’Awas aja kalo aku bisa keluar dari sini. Aku akan balas semuanya,’’ geramku dalam hati yang memandangi kedua lelaki bertubuh kekar itu.‘’Ngapain loh melototin kita kayak gitu? Mau kabur,