"Nggak apa-apa rugi sekarang demi menjalankan semua rencanaku."Aku menyunggingkan bibir menatap wanita itu yang tengah berkaca-kaca kedua netranya. Tanpa berpikir lagi, aku bergegas menarik tangannya menuju tempat pembayaran administrasi. ‘’Sus, atas nama Mas Deno ya,’’ kataku tatkala sudah berada di depan pembayaran itu.‘’Baik, Mba.’’ Tak berselang lama wanita berkerudung itu memberikan catatan kecil padaku.Bergegas kukeluarkan kartu dari tas branded milikku. Lalu langsung kusodorkan pada petugas administrasi itu.‘’Fan, nama Papamu siapa?’’Aku beralih menatap wanita berambut sebahu itu yang tengah termangu sedari tadi. Entah apa yang ada di pikirannya.‘’Hem, nama beliau Suhendra.’’‘’Oke. Sus, cek juga administrasi atas nama Om Suhendra ya. Pake kartu yang tadi aja.’’***‘’Btw, makasih banyak ya, Chik.’’‘’Aku janji kalo ada uang. Aku bakalan ganti semua uang kamu,’’ lanjutnya sambil melangkah.‘’Fani, Fani. Emang kamu bisa mengganti uang aku sebanyak itu? Secara kan kamu pen
POV Si Pelakor‘’Ma—Mami udah di rumah sekarang?’’ kataku dengan tenggorokan tercekat, namun tak ada sahutan dari seberang sana.‘’Ha—hallo, Mi!’’ Tetap saja tak ada sahutan.Bergegas kupandangi layar benda canggih. Aduh! Ternyata sudah diputuskan sepihak oleh mami. Membuat aku memijit kening yang terasa mulai sakit.‘’Apa Mami udah di rumah? Nggak! Aku nggak mau nanti para warga membongkar semuanya tentang aku. Bisa-bisa Mami akan mengamuk besar sama aku!’’Aku bergegas menghampiri wanita berambut sebahu itu yang tengah tercengang. Rupanya dia sudah memesan minuman dua gelas coffie latte.‘’Chik? Kenapa kok muka kamu kayak gitu?’’‘’Mamiku ternyata pulang, Fan. Aku disuruh ke rumah. Katanya ada hal penting.’’‘’Ka—kamu aku tinggal, nggak apa-apa kan? Lain kali aja kita lanjutkan ngobrolnya ya,’’ lanjutku yang bergegas merogoh tas brandedku. Kuraih dua lembar uang ratusan dan menyodorkannya pada Fani.‘’Ma’af ya, Fan. Aku buru-buru. Ini janji aku tadi ke kamu.’’ Tanpa menunggu jawaban
POV Chika (Pelak0r)Aku menyeka air mata dengan kasar, sambil menatap rumah yang pernah kutempati itu. Sungguh banyak sekali kenangan manis di sini. Aku yang dulu bermain bersama papi dan mami diringi canda tawa. Berlari kecil kian ke mari, semuanya teringat olehku.Namun, kini aku tak lagi dianggap sebagai anak kandungnya. Setega itukah mami padaku? Dia lebih memilih warga sialan itu daripada anak kandungnya? Lalu bagaimana dengan papi, apakah sama sebelas dua belas sama wanita ini?‘’Kita lihat saja nanti. Sampai kapan Mami bisa kayak gini sama aku.’’Kuambil koper dan menentengnya. Dengan pelan aku melangkah, ternyata para warga itu masih memperhatikanku. Mereka jadikan aku sebagai tontonan mengasyikkan lagi gratis. Dasar! Memang kalau orang miskin itu tak ada kerjaan. Ya, beginilah kerjanya. Kepo dengan urusan orang lain. Senang di atas penderitaan orang. Aku menoleh ke arah mereka dan menatap tajam.‘’Rasain tuh. Makanya jangan sombong. Duit aja masih menengadahkan tangan ke oran
POV Chika (Pelak0r)Ah iya. Mama baru teringat sama Papa kamu. Yang sabar ya. Mama akan cari cara agar kita bisa tinggal bareng sama Papa kamu,’’ kataku lirih sambil mengusap perut.Entah kenapa sejak tadi aku malah tak kepikiran mas Deno. Mungkin saking sock dengan apa yang telah terjadi. Aku lebih mementingkan diriku sendiri. Tak terpikir lagi bagaimana dan di mana suamiku. Untung saja dia masih di rumah sakit, jadi aku tak repot-repot mencari tempat tinggal untuknya.Apalagi fasilitas dari mami sudah diambilnya kembali. Ah, diriku saja tak mampu aku untuk mengurusnya. Apalagi mengurus mas Deno.Tapi, sekarang aku pengen istirahat dulu. Untung saja kamar ini sudah bersih dan rapi. Ya, walaupun bentuknya membuat moodku jadi berantakan. Setidaknya aku bisa meregang tubuh terlebih dahulu. Kucoba mencium seprei tempat tidurnya. Mana tahu ada bau menyengat terselip di sana.‘’Hem! Lumayan sih.’’ Aku bergegas membaringkan tubuh karena merasa aman untuk kutiduri.***Aku menggeliat dan men
POV Mamanya Fani‘’Ingat, di dunia ini nggak ada yang gratis,’’ bisikku di telinga wanita yang selama ini aku cari keberadaannya. Lalu melangkah kembali ke kamarku. Aku duduk menggoyangkan kaki sambil tersenyum bahagia. Padahal sebelumnya hari-hariku selalu saja meneteskan air mata, karena suamiku yang kembali masuk rumah sakit setelah bertahun-tahun yang tak kambuh penyakitnya. Ya, dia mengidap penyakit asma. Hingga membuat dokter menyarankan agar suamiku itu dirawat dulu seminggu ini di rumah sakit.‘’Anak yang selama ini kucari. Eh, dia sendiri yang datang ke rumahku. Jadi tenagaku nggak terbuang begitu saja untuk mencari wanita manja itu,’’ lirihku sambil tersenyum licik.Tadi Fani bicara padaku, dia meminta izin agar aku membolehkan temannya tinggal untuk sementara di sini. Kukira temannya itu Nelda. Eh, setelah aku tanya ternyata Fani anaknya si Setia. Mengingat nama itu membuat darahku naik ke ubun-ubun. Tapi dengan senang hati aku mengizinkannya. Apalagi aku juga punya serib
POV Si PelakorMembuat aku terkesiap. Bagaimana aku tak membentak wanita separuh baya ini. Pertama, dia berani menyuruhku untuk mencuci piring bekas makanannya yang bertumpuk. Padahal aku di rumah tak pernah mencuci piring walaupun satu buah pun, bahkan beberes rumah sekalipun aku tak pernah.Lah, kenapa kini aku dipaksa olehnya mencuci piring sebanyak itu? Emang aku pembantunya? Kedua, ketika aku sudah selesai cuci piring, perut begitu demo karena sejak tadi tak diisi. Aku menemukan dua potong daging rendang. Eh, ternyata daging itu malah dijatuhkan oleh wanita itu ke lantai.Sepertinya dia sengaja menjatuhkannya, namun dia tetap saja tak mengakui perbuatan kejamnya. Siapa yang tak marah dengan perlakuannya ini? Dan juga, katanya dia mau memasak telur ceplok untukku. Eh, tahu-tahu rasanya sangat asin. Hingga membuat perutku mual.Aku yakin wanita bersanggul besar itu dengan sengaja memperlakukanku bak anak tirinya. Entah kenapa dia bersikap seperti itu padaku. Apa wanita ini punya de
POV Fani‘’Kamu itu nggak ada tempat tinggal, Chik. Aku takut kamu kenapa-napa di jalan. Kamu itu udah baik banget sama aku. Masa aku akan membiarkan kamu begitu saja.’’Aku menatap sendu pada wanita yang bernama Chika itu. Sungguh menyedihkan sekali nasipnya, diusir oleh orangtua. Aku tak tahu apa penyebab dia diusir, aku ingin menanyakan hal itu. Namun, sepertinya waktunya belum tepat bagiku untuk bertanya apa penyebab dia diusir dari rumah.Jujur saja, aku sangat prihatin dengan kondisi wanita ini. Makanya aku menawarkannya untuk menginap di rumahku sementara. Apalagi dia sudah berbaik hati membantu biaya administrasi papaku, jika tak ada dia yang membayar aku tak tahu apakah papa bisa diselamatkan atau tidak. Aku dan keluarga sudah berhutang nyawa pada wanita itu.Tadi aku kaget memandangi dia yang menghampiriku sambil menenteng koper. Ternyata dia mau pergi dari rumahku karena tak tahan dengan perlakuan mama. Seketika teringat olehku, mama yang menyuruh dia mencuci piring yang be
POV Si Pelakor (Chika)‘’Chika!’’ Tak kuhiraukan panggilan wanita itu.Aku tersenyum menang. Akhirnya aku berhasil membuat mereka bertengkar, hingga tamparan mendarat di pipi Fani. Awalnya aku sungguh kaget, kenapa wanita bersanggul besar setega itu menampar anak semata wayangnya. Hanya karena anaknya yang membawaku kembali ke rumahnya? Kenapa sebenarnya wanita bersanggul lebar itu? Kenapa dia seperti menyimpan kebencian yang amat dalam padaku?‘’Sepertinya dia punya dendam sama aku. Tapi kenapa? Toh, aku nggak pernah mengusik hidupnya,’’ kataku dalam hati.Begitu banyak pertanyaan yang muncul di benakku. Seketika aku sudah berada di depan jalan. Aku menoleh ke belakang, ternyata Fani mengikutiku.‘’Chik, ma’afkan aku,’’ katanya berucap lirih.‘’Fan, seharusnya aku yang minta ma’af ke kamu. Gara-gara aku kamu jadi ditampar sama Mama kamu. Ma’af banget ya.’’‘’A—aku nggak tahu kenapa Mama kayak gitu. Mamaku yang kukenal biasanya nggak kayak gitu, Chik.’’‘’Aku nggak tahu harus bagaim