Detik-Detik Kematian
Dua hari kemudian, Axton hendak mengetuk pintu rumahnya. Tapi suara desahan dan lenguhan menelusup di indera pendengarannya. Apalagi ketika ia mendorong pintu itu, nyatanya tidak terkunci.
Suasana malam di rumahnya gelap. Namun erangan demi desahan itu makin jelas tergiang di pendengarannya. Ia mendekat dengan wajah menahan amarah.
"Dad," ucap Axton datar waktu menyalakan lampu dan mendapati Ayahnya bertelanjang dada dan sedang memangku seorang wanita tanpa busana. Terlihat menikmati menghisap buah dada wanita itu sementara tangan wanita itu meremas rambut Ayahnya.
"Kau..."
"Sudah pulang hm?"
Axton bergeming selama sesaat.
Sedangkan Otis di sela permainan panasnya mengulum diiringi desahan nikmat Clara, berkata lagi, "Kau tidak tahan hidup tanpa sepeser uang maka kau kembali pada Daddy." Ada senyum miring terbit di bibir Ayahnya. Lidah Ayahnya menelusuri puting wanita itu.
"Ah Otis..."
"Ya, honey. Sebut namaku. Aku menyukai desahanmu."
"Dan kau Aro. Kembalilah ke kamarmu. Keputusanmu sudah tepat untuk datang pada Daddy. Kebetulan Daddy belum menyingkirkan barang-barangmu." Otis selesai mengulum dan berlanjut mengemut kuping wanita itu.
"Hentikan Otis..." Wanita itu tertawa, tapi membuat Axton merasa muak.
Otis menghentikan sejenak aktifitasnya mencumbu dan menatap Axton, tapi jemarinya meraba buah dada wanita itu membuat wanita itu merebahkan kepala di pundak Otis, mendesah sambil memejam terlihat menikmati pijatan sensual Otis itu.
"Aku tahu kau akan memilih Daddy, Aro."
"Yeah," desis Axton. Tapi tatapannya tidak dapat terbaca.
"Dan kau terlihat baik-baik saja tanpa Mom, Dad."
Otis hanya tersenyum membalas ucapan Axton.
Setelah itu Axton melangkah ke atas. Menaiki undakan tangga satu per satu. Tapi matanya mengamati wanita itu. Menyimpannya baik-baik di memori. Rahangnya mengeras. Namun ketika ia telah tiba di pintu kamarnya, ia menoleh ke arah Thomas, salah satu bodyguard yang berjaga di pintu kamar ayahnya.
"Thomas..." Axton mendekati.
"Apa kau sudah tahu semua ini?" Thomas hanya diam.
"Jawab aku!" desis Axton menarik jas hitam Thomas. Namun hanya tatapan penuh prihatin yang diberikan Thomas pada Axton.
"Kau tahu semuanya," gumam Axton lemah, menghempaskan cekalannya pada Thomas.
"Jadi selama ini Dad berselingkuh dari Mom?"
Ia menutup mata sejenak. Dari dulu ia memang tahu bahwa ia adalah anak panti asuhan yang beruntung dibesarkan dalam kehangatan keluarga ini. Tepatnya ketika ia berusia 8 tahun. Awalnya ia enggan menyebut Wella dan Otis sebagai panggilan akrab orangtua, namun lama-kelamaan segalanya berjalan dengan semestinya.
Dan dulu seluruh orang mengetahui bahwa keluarga mereka sangat harmonis. Ayahnya begitu tulus mencintai Ibunya.
Tapi kejadian yang dialami Ibunya dua hari lalu, membuat Axton sulit memercayainya. Bahkan ia sementara ini bersama Ibunya menginap di rumah Fernandez. Dokter pun menyatakan bahwa Ibunya harus rutin diberi obat penenang jika kembali berteriak.
Entah bagaimana semua terjadi, depresi yang dialami Ibunya menjadi hal sulit disembuhkan. Hanya satu yang bisa membantunya sekaligus menjadi harapan Axton.
Ayahnya.
Dan tujuan Axton kembali adalah membujuk sang Ayah. Ingin menata kembali semua seperti semula. Berpikir mungkin Ayahnya hanya khilaf sesaat.
Tapi sepertinya ia salah besar. Ayahnya sungguh sadar akan semua yang diperbuatnya.
"Kakek anda adalah semua awal hal ini terjadi Tuan Ax." Lalu segala hal mulai diberitahukan Thomas pada Axton dan selama sesaat Axton hanya membatu mendengarkan.
"Jadi Dad hanya ingin balas dendam kepada Mom?" gumam Axton dingin usai berakhirnya cerita Thomas, juga tersadar dari kebekuannya.
"Jika seperti itu, maka aku akan menghentikan permainan balas dendam berakar itu Thomas."
"Tuan Ax apa yang anda lakukan?" kaget Thomas ketika Axton tiba-tiba merebut pistol di kantong jasnya. Menuruni tangga dengan cepat bertepatan dengan pulangnya sosok wanita sialan itu dari rumahnya yang sekarang telah berpakaian utuh, namun sangat minim bahan.
"Selamat malam Otis Bardrolf. Kuharap kau bisa tidur nyenyak sayang."
"Aku pasti akan memimpikanmu Clara Kincaid."
Sesaat mereka saling berpagutan lagi untuk ucapan perpisahan. Hingga di detik pintu itu tertutup, Otis terkejut menyaksikan Axton menodongkan pistol padanya dari jarak dekat. Terarah di kepalanya.
"Aro apa yang kau lakukan?" geram Otis.
"Turunkan senjata itu sekarang!"
"Bukankah Dad ingin mimpi indah bersama wanita itu?"
"Aro kau-"
DOR!!
Satu tembakan peluru namun sanggup merobohkan Otis begitu saja ke lantai. Darah segar seketika mengalir membentuk kumbangan. Axton hanya menatap datar sang Ayah yang telah tak bernyawa di dekat kakinya. Axton menarik pelatuk itu menembus kepala Otis, membantunya cepat menuju kematian dalam sekejap.
"Sekarang aku yang memegang fasilitas di rumah ini Dad. Mom akan pulang kembali dan kau tidak akan mendapat apapun lagi selain terkubur bersama tanah."
Thomas yang terlambat melerai lantas terdiam di belakang Axton, melihat kematian Otis Bardrolf.
"Tuan Ax."
Setelah itu Axton berbalik, memandang lurus Thomas yang menunduk penuh sesal.
"Maafkan saya Tuan Ax. Saya turut berduka atas apa yang menimpa anda."
"Aku akan memaafkanmu dengan satu syarat Thomas?"
Kepala Thomas terangkat, ia menatap Axton yang tengah menerawang ke depan.
"Kau harus membantuku membereskan wanita itu. Ia harus membayarnya karena telah melukai Mom begitu dalam."
Thomas menggeleng samar pada Axton.
Tapi dengan dingin Axton berkata, "Kita harus bertindak lebih cepat dari wanita itu Thomas. Kurasa kau tahu apa maksudku." Axton kemudian melirik mayat Ayahnya yang terkapar dengan mengenaskan itu. Bau amis darah menguar di ruangan itu.
Thomas ikut menatap tubuh Otis yang telah terbujur lemas dan kehabisan darah. Ia pun sadar ucapan dibalik kata-kata Axton dan sebagai pengabdi di keluarga ini Thomas pun patuh.
Lagipula dengan begini semua kesalahan akan berakhir.
***
Keesokkan harinya, Milly duduk bersila di sofa. Memerhatikan Clara yang memoleskan lipstik di bibir. Berkaca pada cermin kecil di tangannya. Ia kemudian melirik jam yang telah menunjukkan pukul sembilan malam.1
"Mom bisakah kau berhenti dari pekerjaan itu?" pinta Milly, bola matanya mengamati kegiatan Clara yang sibuk memonyongkan bibirnya.
"Aku bisa membantumu bekerja. Uangku menjadi kasir cukup untuk membiayai hidup kita Mom. Jika diatur lebih baik, semua akan baik-baik saja."
Seketika Clara berhenti, menyimpan cermin kacanya di tas. Lalu menoleh pada Milly dengan tatapan harap-harap cemas.
"Kau tetap memakai masker ketika bekerja bukan?"
"Ya," jawab Milly apa adanya.
Kelegaan langsung menghiasi wajah Clara dan sedetik membuat kernyitan memenuhi dahi Milly. "Bagus. Jangan biarkan siapapun melihat kecantikan wajahmu sayang."
Clara kemudian menangkup kedua pipi Milly. "Mommy tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu."
"Untuk itu aku minta kau berhenti bekerja seperti ini Mom," tegas Milly menatap lurus Clara dan membuat Clara melepaskan tangkupannya. Menjauhkan tubuhnya. Lalu berdiri dan memegang tas bermereknya di tangan.
"Ya, Mommy akan berhenti sayang. Lagi pula malam ini Mommy tidak menemui klien, melainkan pria baik hati yang akan menjadi Daddymu."
"Apa?"
Binar kebahagiaan begitu jelas terpancar di bola mata Clara ketika Milly berdiri secara spontan. Ia memutar badan Clara menghadapnya, meneliti lebih lanjut ekspresi Clara jikalau ada kebohongan di sana.
Lalu dengan ragu ia bertanya, "Mom akan menikah?"
"Mm-hm. Lalu kita akan pindah di sebuah rumah baru lagi bersama pria yang sangat mencintai Mommy. Juga Mommy cintai sebenarnya." Clara tertawa malu, membuat Milly tidak kuasa memamerkan senyum senang.
"Kita akan melupakan kehidupan lama kita dan memulai kehidupan baru," lanjut Clara.
Detik selanjutnya Clara dibuat terkejut karena Milly tiba-tiba mendekapnya erat. Lalu tertawa kecil.
"Jadi siapa pria itu Mom?"
"Kau akan bertemu dengannya secepatnya sayang. Mommy akan mengenalkannya padamu."
"Malam ini Mommy ingin membahas perencanaan ke depannya bersamanya. Jadi Mommy perlu tampil memukau untuknya," sambung Clara lagi. Rengkuhan itu terurai. Ia lalu membelai pipi Milly dan mengedip. Setelahnya ia mengecup kening gadis yang telah ia anggap sebagai putrinya itu. Kemudian bergegas menuju pintu.
"Mommy pergi. Jaga baik-baik dirimu. Kunci rumah. Jangan membuka pintu pada orang asing kecuali untuk Bibi Rachel."
Rachel Leigh adalah wanita tua yang selama ini bertetangga dengannya. Juga mengetahui segala hal yang disembunyikan Clara.
Orang tua Clara bukan sosok figur yang baik dan telah lama hilang keberadaannya setelah menyerahkannya dirinya yang kala itu masih belia pada pria tua bangka tidak bertanggungjawab. Membuat Clara terdesak dan tidak punya pilihan. Dan setiap hari pula hanya ancaman demi ancaman yang didapatkannya seumur hidup.
Sampai kebebasan itu didapatnya setelah kematian pria tua bangka itu yang tidak lain adalah mertua Otis Bardrolf, kekasihnya.+
Milly berlari kemudian dengan wajah gembira. Ia memandang Clara dari jendela yang telah masuk ke sebuah mobil hitam yang cukup mewah. Lalu detik selanjutnya mobil itu telah hilang dari pandangannya.
***
Bersambung
PembunuhanAxton duduk di sisi ranjang yang ditaburi mawar-mawar indah. Ia berada di sebuah hotel megah di Los Angeles. Sengaja wajahnya ia tutup menggunakan topeng silver. Ketika pintu terbuka, kepalanya langsung menoleh.Clara Kincaid.Wanita yang pernah dilihatnya bercumbu liar bersama Ayahnya. Lewat topengnya itu Axton mengamati penampilan wanita itu dari atas sampai bawah. Dress ketat yang sukses mempertontonkan keseluruhan lekuk tubuh. Juga hampir tidak bisa menutupi bokong.“Kau suka honey?” Clara menggoda dengan suara merdunya.Axton tidak menjawab hanya menyeringai.Clara kemudian mendekatinya. Duduk di sebelahnya, memangku satu kakinya, menampakkan paha mulusnya. Axton sempat meliriknya sekilas tanpa minat.Ia masih waras. Ia tidak suka dan tidak tertarik pada wanita berumur. Lagi pula saat ini ia sedang menyamar men
Tangisan KehilanganKelopak mata Milly terbuka. Hari sudah pagi, itu terlihat dari cahaya yang menelusup di balik tirai di ruangan keluarga. Ia tertidur di sofa, menunggu kepulangan Clara. Merenggangkan tangannya ke atas, ia kemudian beranjak.Matanya menatap di setiap penjuru rumah, tampak sepi. Sepertinya semalam Ibunya tidak pulang.“Mom sepertinya kau telah lupa padaku,” gumam Milly cemberut.Lalu tanpa merasa keanehan apapun ia menjalankan aktifitasnya seperti biasa. Menarik nafas singkat dan menuju dapur. Membuka lemari kecil di atas, mengambil sekotak sereal, juga mangkok kemudian meletakkannya di meja bar.Namun tidak lama suara ketukan pintu mengagetkannya, sangat heboh. “Milly. Apa kau ada di dalam?” Itu adalah suara Bibi Rachel, terdengar rentan dan rapuh.Bergegas, Milly melangkah menuju pintu, tapi sebelum itu ia menggeser
KericuhanSeminggu kemudian…“Kemana Elena?” tanya Fernandez kepada gadis yang melayaninya. Bola mata gadis itu terasa familiar di matanya, tapi ia tidak yakin mirip siapa hingga tidak terlalu memusingkan. Terlebih wajahnya sebagian tertutup masker.“Elena?” suara gadis itu agak teredam karena masker yang dikenakannya. Ekspresinya tampak bingung. Ekor matanya sekilas melirik ke arah pintu yang tertutup tidak jauh dari posisinya berdiri, tepat di sebelah kanan.“Ya. Ia bekerja di sini dan hanya ia yang tahu jelas seperti apa pesananku.” Alis Fernandez terangkat sebelah dan kedua tangannya berada di saku.“Aku ingin ia yang berdiri di depanku sekarang.”“Untuk sementara kau bisa—” Kalimat gadis itu tidak selesai karena pintu itu terbuka lebar dan memunculkan sosok Elena Corrigan yang beruraian air mata.
Sebuah KesepakatanHal pertama yang didapati Milly ketika pintu itu telah terbuka adalah penampilan Elena yang tampak agak berantakan. Rambutnya dicepol sembarangan. Blouse pinknya terlihat compang-camping. Muka temannya itu memerah.“Maaf aku baru bisa membuka pintu sekarang. Tadi aku sedikit mengatasi sesuatu hal,” jelas Elena ngos-ngosan, membuat Milly mengernyit.“Apa kau terjatuh?”Elena tertawa. “Tidak Milly.”“Aku mendengar suara-”“Tidak. Tidak ada apa-apa Milly,” potong Elena cepat. Kemudian melebarkan pintunya dan mempersilahkan Milly.“Masuklah.”Milly pun masuk ke dalam aparteman sederhana Elena. Ia lalu bertanya pada Elena. “Jadi untuk apa kau memanggilku?” Pandangannya kemudian berhenti pada satu titik. Kepada lelaki yang tadi dilihatn
Mawar Merah“Hei, Mom,” sapa Axton kepada Wella yang hanya duduk mematung di tepi kasur. Tatapannya kosong dan tampak sedang melamunkan sesuatu.Axton membuang nafas lelah. Tapi ia berusaha mengukir senyum dan menutup pintu kamar. Kemudian berjalan ke arah jendela. Melirik kebun kecil mawar merah di bawah sana. Suasana musim semi pagi ini membuat bunga-bunga itu tampak mekar dengan indah.Ia tahu betul bahwa Ibunya suka bercengkraman dengan bunga-bunga itu—sebelum pengkhianatan Ayahnya terjadi dan merusak momen kebersamaan mereka selama ini. Bunga-bunga itu bahkan dulu menjadi saksi bisu setiap aktifitas keluarga mereka di pagi hari.Kecupan mesra yang diberikan Ayahnya kepada Ibunya…Elusan lembut di puncak kepalanya sebagai bukti kasih sayang seorang Ayah untuknya…Dan Axton tidak akan membiarkan bunga-bunga itu mati. Ia tidak ingin Ayahnya tertawa dan
Kejutan Pahit“Anda Milly Kincaid?” tanya Thomas yang berjaga di pintu ruang kerja Axton.Milly yang tampak ling lung akibat tidak terbiasa dengan luasnya setiap area di gedung ini lantas menatap Thomas. Ia tadi diperintahkan untuk menuju ke lantai ini. Tepatnya lantai 30. Semburat senyum tipis dipamerkannya.“Kau teman Andez?”Thomas berdeham ketika meneliti penampilan Milly dari atas sampai bawah secara terang-terangan. Gadis itu mengenakan dress peach tanpa lengan namun panjangnya melewati lutut. Juga sepatu converse. Padanan yang cukup aneh. Terlebih masker bunga-bunga yang menutupi sebagian wajah gadis itu.“Saya bukan teman Tuan Andez.”“Lalu?”“Anda tidak perlu tahu siapa saya. Mari saya antarkan anda bertemu dengan Tuan Ax. Karena Tuan Ax sudah menunggu anda sejak tadi.”
Kehancuran Menyakitkan“Turunkan aku!” jerit Milly meronta memukul punggung Axton ketika lelaki berjalan membawanya menuju kamar rahasia di ruangan kerjanya.Milly tadi sempat ingin melarikan diri lewat jendela kerja Axton. Berniat menghancurkannya, namun batal sebab ia menjadi tertegun selama beberapa detik waktu sadar ketinggian di bawah sana. Lalu sebelum ia menghindar lebih lanjut, Axton telah lebih dulu mengangkat tubuhnya.“Ah,” ringis Milly ketika Axton melemparnya di ranjang. Tubuhnya terbanting di sana dan kepalanya terasa pening. Sementara ia mengumpulkan kesadarannya sejenak, Axton tiba-tiba menarik kakinya membuat ia meluncur ke bawah.“Apa yang kau lakukan?!” pekik Milly histeris. Apalagi saat Axton mulai merangkak ke atasnya, menangkap kedua tangannya, mengikatnya dengan dasi yang sebelumnya diambil di atas nakas.“Menurutmu?” Axton bertanya balik di sela giginya yang menarik kencang simpu
Rencana LicikMalam harinya, Milly terbangun. Ia tadi tertidur pulas karena kelelahan. Tangannya memegang kepalanya dan menatap sekitar. Bola matanya terbelalak, memandang nuansa ruangan itu yang berwarna hitam dan abu-abu.Segera ia menatap tubuhnya. Terdapat selimut yang membungkus namun dibaliknya ia tidak terhalang oleh apapun. Ia ingat jelas apa yang dilakukan Axton padanya.Lelaki itu…Lelaki itu mengoyak seluruh pakaiannya. Tidak ada yang tersisa.Lalu… mereka bercinta dengan liar dan panas.Tidak ingin mengingat hal menjijikan itu lagi, lekas ia melangkah turun. Terseok-seok karena merasa nyeri dan perih di pangkal pahanya. Kemudian menuju lemari pakaian yang dilihatnya. Dengan lancang ia membukanya. Ketika menemukan beberapa kemeja di sana, bergegas ia mengenakannya.Tapi matanya tiba-tiba berhenti ketika menangkap pantulannya di
Gila kamu, Indira! protes Ava begitu Pak De tak terlihat lagi.Indira hanya menunduk dengan wajah merah padam, menahan malu dan jengah yang menerpa begitu birahinya mereda. Ava sadar, dirinyapun ikut bersalah dalam hal ini, terbawa suasana hingga terlarut dalam persetubuhan yang beresiko itu, tapi tetap saja…Kalau ketahuan Pak De gimana?! kalau kamu hamil?Aku suruh pacarku tanggung jawab, sahut Indira, lalu memalingkan muka.Angin berhembus masuk ke dalam studio, menghembuskan suatu perasaan yang aneh di dada Ava. Seharusnya ia merasa lega, namun perkataan Indira yang terakhir itu seperti seserpih perih yang menari pelan di permukaan hatinya.Ava, maaf… nggak seharusnya aku ngelakuin ini sama kamu… dan… umm… Indira terdiam, seperti hendak tak jadi melanjutkan kata-katanya.Terus apa?Yang tad
Apa istimewanya seorang mas-mas brewokan bernama Mustava Ibrahim? batin Indira berusaha memungkiri. Dewa dan mantan-mantannya yang lain jauh lebih tampan daripada pemuda itu!7 hari sudah berlalu, tapi Indira terus mencoba memahami teka-teki di hatinya sendiri, pun demikian hati wanita memang sulit dimengerti. Tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga si wanita itu sendiri. Kehadiran Ava dalam hidupnya benar-benar mengubah tone hidup-nya menjadi lebih berwarna. Berwarna seperti pelangi! Berwarna seperti lukisan! Marah, sedih, benci, bahagia, bercampur seperti palet-palet warna cat minyak yang dibaurkan ke dalam sanubarinya!Indira tertawa mengingat bagaimana ia pertama berjumpa Ava di air terjun, betapa tengik dan menyebalkannya anak itu! Huh! Tapi juga… remaja itu tersipu sendiri hingga pipinya perlahan bersemu.Dalam keheningan malam, Benak Indira kembali mengenang. Bagaimana saat Ava membelanya di Pub minggu lalu. Bagaimana saat Ava menampung isak tangisny
Taksi yang ditumpangi Ava dan Indira melaju di sepanjang Jl. By Pass, jalan besar yang sekilas mengingatkan Ava pada Ringroad di Jogja. Cahaya lampu jalan yang berwarna jingga berpendar di wajah Indira yang duduk di sampingnya.“Ava,” Indira memecah kebisuan.“Ya?”Gadis itu memandangi pipi Ava yang membiru terkena bogem. “Aku beneran nggak nyangka semuanya jadi kaya gini.”Ava tak langsung menjawab.“Yang tadi pagi juga…” Indira menyebut peristiwa di air terjun tadi pagi, di mana ia telah mengata-ngatai Ava sebagai teroris.Bisu menyelinap lagi di antara jarak yang memisahkan tempat duduk mereka. Ava menarik nafas panjang. “Kenapa sih, kamu?” tanya Ava.“Nggak tahu,” jawab Indira pelan. Sungguh, dirinya sendiri pun tidak tahu kenapa ia bisa membenci pemuda itu.Ava mendengus, nafasnya mengembun pada kaca mobil yang dingin. “Pasti gara-gara nam
Senja datang menjelang di Kuta yang semakin temaram. Matahari sudah menyembunyikan diri di balik horizon, menyisakan gradasi berwarna biru keunguan yang menyemburat dari balik kaki langit. Jalanan yang tadinya terik segera digantikan dengan riuh rendah dunia malam yang memenuhi setiap sudut jalan. Arus lalu lintas semakin padat merayap, dan trotoar mulai dipenuhi wisatawan asing yang baru pulang berselancar atau hendak keluar mengisi perut.Jalan Legian. Jika kalian kebetulan melancong ke Bali, sempatkanlah mengunjungi tempat ini. Lewat tengah malam, niscaya engkau akan mendapati klub-klub yang menyesaki kiri-dan kanan jalan seolah saling berlomba dan tak mau kalah dalam menarik perhatian setiap calon pengunjung, maka didentamkanlah musik sekeras-kerasnya dan dinyalakan lampu sorot sekilau-kilaunya. Jangan heran jika nanti engkau melihat bule-bule yang berjoget hingga trotoar di antara kemacetan yang berarak-arak.Seorang wanita dengan danda
Siang itu jalan menuju pantai tampak tidak sanggup lagi menampung volume kendaraan berplat luar kota yang semakin padat dari tahun ke tahun. Beberapa wisatawan asing melintas buru-buru di atas trotoar di kiri dan kanan jalan, menghindari panas matahari di balik baju-baju dan cinderamata yang dipajang bergantung-gantung pada art shop di pinggir jalan.Indira meliuk-liuk dengan skuter matic di antara kemacetan itu. Wajah blasterannya tampak berkerut-kerut melawan terik matahari. Siang itu benar-benar panas, angin yang berhembus juga angin yang benar-benar gersang, mengibarkan dress putih sepaha dan cardigans hitam yang dikenakannya untuk melawan terik.Indira melengguh kesal. Ia benar-benar kesal hari ini. Kesal kepada kemacetan ini, kesal kepada ayahnya, kesal pada Dewa, pacarnya yang tidak bisa dihubungi, kesal kepada semua! Terlebih lebih kepada mas-mas brewokan yang bernama Mustava Ibrahim itu.Sungguh, udara yang panas itu membuat kemarahan di dada Indira men
Hanyalah sesosok pohon beringin yang berdiri angkuh bak raksasa hijau di sekian sisa aroma kematian. Daunnya demikian merimbun, bertumpuk-tumpuk menghalangi jatuh cahaya ke puluhan orang yang berlalu di bawahnya. Ava berjalan dengan takut-takut, menghindari akar gantung yang menjuntai ke sampai tanah. Pohon Beringin itu nampak benar-benar wingit, apalagi dengan kain kotak-kotak hitam-putih yang dilingkarkan di sekelilingnya.Pagi itu hari Minggu, Galeri Pakde tentu tidak buka di hari Minggu. Maka Ava dan Kadek menyanggupi untuk menggantikan Pak De kerja bakti membersihkan areal Pura Dalem, yakni tempat peribadatan yang terletak di sekitar pekuburan untuk pemujaan alam kosmis demi menetralisir kekuatan positif dan negatif.Pekuburan itu nyaris tanpa nisan, karena prosesi pemakaman di tempat ini mengharuskan jenazah si Mati di lebur dalam api pralina [SUP](1)[/SUP] -dilebur oleh Sang Siwa, sehingga menyisakan bade [SUP](2)[/SUP] -sarkofagus w
The Lost AngelUfuk timur sudah benderang ketika Ava terbangun enggan dari tidurnya. Udara masih dingin dan kabut tipis masih melayang-layang di atas sawah. Ava menuruni tangga kayu di depan kamarnya dengan malas sambil merenggangkan tubuh.Pemandangan menakjubkan kemarin sore masih saja terbayang-bayang di kepala Ava. Hari sudah berganti, namun pemuda itu tak bisa berhenti tersenyum membayangkan apa lagi petualangan yang menantinya di tempat ini.Sepasang mata Ava tertuju pada Pura kecil di pojok belakang rumah. Di sampingnya berdiri pohon kamboja, dahannya menjuntai ke udara serupa tangan seorang Pandhita Ratu, menebarkan taksu ke sekujur bangunan batu bata merah di bawahnya.Ava melihat seorang bidadari sedang memegang dupa, menghaturkan doa dan sesaji sambil memejam khusyuk.Indira; Ava tahu nama bidadari itu dari Kadek. “Wuih, aslinya cantik dah pokoknya, bro!” p
Ubud, 2012…Hanyalah pemadangan sawah bertingkat-tingkat yang indah, dan deru skuter tua yang seolah tak mau lagi hidup yang menyusur di tengahnya. Matahari bersinar tinggi di langit biru tanpa awan, menyisakan silau di balik kacamata hitam Ava yang bundar besar.Skuter yang ditumpangi Ava berjalan perlahan melewati jalan kecil berkelok di tengah persawahan, mereka sedikit melambat saat melewati sekumpulan orang berpakaian hitam-hitam di jalan itu.Bli, Bli Kadek, ada apa ini ramai-ramai? Pemuda dengan brewok tebal itu menepuk pundak orang yang duduk di depannya.Kadek namanya, ia adalah kakak kelas Ava waktu kuliah di Institut Seni di Jogja. Kadek ini pula yang menawari Ava pekerjaan di tempat seorang seniman terkenal di kampungnya, setelah Ava lulus bulan lalu.Oh, ini ada pengabenan[SUP](1)[/SUP][SUP],[/SUP] Kadek menyahut tanpa menoleh.(1) Upa
Selamanya BersamaEmpat Bulan Kemudian…Milly telah menghabiskan banyak waktu bersama Axton, dan sekarang ia sedang merealisasikan rencana yang telah mereka susun bersama.Tepatnya di sini.Pada outdoor salah satu hotel Axton di Los Angeles yang sukses diubah menjadi begitu indah. Halaman itu telah dihiasi berikat-ikat bunga.Dalam gaun putih pengantin yang elegan, Milly berjalan pelan didampingi Thomas menelusuri karpet putih yang tergelar di tengah, sementara di sekelilingnya terdapat beragam meja yang dilapisi kain putih beserta kursi berjejer rapi. Semua terisi penuh oleh para tamu yang hadir.Michelle juga memakai gaun berwarna putih. Rambutnya tergerai indah dan ditata bergelombang. Gadis kecil itu terlihat bahagia berdiri bersama Rachel yang diikuti oleh para tamu menyambut kedatangan Milly.Rachel tersenyum lebar, matanya berpendar haru