Kericuhan
Seminggu kemudian…
“Kemana Elena?” tanya Fernandez kepada gadis yang melayaninya. Bola mata gadis itu terasa familiar di matanya, tapi ia tidak yakin mirip siapa hingga tidak terlalu memusingkan. Terlebih wajahnya sebagian tertutup masker.
“Elena?” suara gadis itu agak teredam karena masker yang dikenakannya. Ekspresinya tampak bingung. Ekor matanya sekilas melirik ke arah pintu yang tertutup tidak jauh dari posisinya berdiri, tepat di sebelah kanan.
“Ya. Ia bekerja di sini dan hanya ia yang tahu jelas seperti apa pesananku.” Alis Fernandez terangkat sebelah dan kedua tangannya berada di saku.
“Aku ingin ia yang berdiri di depanku sekarang.”
“Untuk sementara kau bisa—” Kalimat gadis itu tidak selesai karena pintu itu terbuka lebar dan memunculkan sosok Elena Corrigan yang beruraian air mata. Menarik ingusnya dan menyeka kasar air matanya.
Ketika Elena melewati Fernandez, lelaki itu segera mencegatnya.
“Elena ada apa?” tanyanya. Tapi Elena tidak menjawab dan hanya mengukir senyum pahit singkat.
Tidak lama kemudian kepala Fernandez terfokus pada seorang lelaki gendut yang keluar dari pintu yang sama dilalui Elena. Terlihat kesal dan menatap penuh pengusiran pada Elena.
Fernandez menyipitkan matanya. Lalu bertanya pada Elena tanpa melepaskan tatapan dari lelaki gendut itu.
“Ia adalah Bosmu?”
“Kau ingin satu coffee seperti biasanya?” tanya Elena sekedar mengalihkan, membuat Fernandez menatapnya sekilas. Elena kemudian berseru pada Milly dan memberitahu pesanan biasa yang diorder oleh Fernandez.
“Tidak. Aku tidak ingin minum apapun,” sela Fernandez dingin kepada gadis masker yang bernama Milly itu agar tidak jadi menyiapkan pesanannya.
“Kau dipecat?” tebak Fernandez pada Elena, tapi tatapannya tertuju pada lelaki gendut yang menyorot sinis ke arah mereka.
“Andez. Aku…” Elena seketika terbelalak memandang Fernandez menggeram. Juga tangan lelaki itu yang terkepal kuat.
Sebelum sempat Elena mencegahnya, Fernandez telah menyerang Bosnya, melayangkan tinju tepat di muka hingga lelaki gendut itu tersungkur. Mengakibatkan kehebohan di kedai kopi itu. Para pengunjung yang sedang bersantai mendadak berdiri dari kursi, menyingkir dengan wajah terkejut.
Termasuk Milly yang berdiri di meja kasir membulatkan mata kaget.
“Andez. Apa yang kau lakukan?” bisik Elena panik menarik menjauh Fernandez dari Bosnya yang menjadi tampak marah.
“Kau anak muda sialan. Apa kau sudah gila memukulku?!” murka Bos Elena yang bangkit dan mencengkram kemeja Fernandez tapi hanya tatapan datar yang dilayangkan Fernandez.
“Itu hukuman untukmu karena kau memecat kekasihku. Dan kupastikan besok kedaimu sudah jadi milikku. Jadi kau harus tunduk padaku setelahnya.”
“A-apa?”
Fernandez mengeluarkan kartu namanya dengan santai dari dompet. Menunjukkannya kepada Bos Elena. Membuat cekalan di kerah kemeja itu seketika terlepas. Wajah lelaki gendut itu terkesiap juga begitu cemas.
Lalu tiba-tiba lelaki gendut itu bertanya kepada Elena dengan nyali menciut. “Kau adalah kekasih pria ini Elena?”
“Aku…” Elena seketika menjadi gugup sendiri. Pasalnya seluruh mata tertuju padanya, memerhatikan dengan seksama. Termasuk Bosnya dan teman baiknya yaitu Milly. Gadis yang selalu mengenakan masker dan berada di balik mesin kasir.
Fernandez ikut menatap Elena. Ia berdeham, membuat Elena melanjutkan, “Sejujurnya ya. Tapi entahlah.”
“Dan tiga hari lagi kita akan menikah,” cetus Fernandez menyambung, mengunci bola mata Elena.
Sorakan dan siulan seketika menggema di kedai itu. Suara bisik-bisik terpana juga turut menghiasi ruangan yang cukup luas itu.
Sedangkan Milly bola matanya mengerjap mendengar kata-kata lelaki yang mengaku sebagai kekasih Elena itu. Lalu pandangannya tertuju pada Elena yang ternganga dengan sisa air mata di wajah.
“Kalau begitu… aku minta maaf,” cicit lelaki gendut itu. Ia mendekati Elena dan menjabat tangan. Senyum lebar penuh tekanan terukir di bibir Bosnya itu.
“Kau bisa tetap bekerja di sini. Lupakan semua kemarahanku padamu tadi Elena.” Matanya melirik gentar pada Fernandez, sebelum menatap Elena lagi, melanjutkan dengan suara gemetar.
“Dan khusus hari ini, kau kuliburkan. Jadi berkencanlah bersama kekasihmu.”
***
Sore harinya Milly berada di depan apartemen Elena. Masker masih setia menutupi sebagian wajahnya. Tadi seusai keributan di kedai, Elena tiba-tiba ditarik begitu saja oleh kekasihnya itu dari sana. Kemudian ketika hendak mencapai jam pulang, Elena menghubungi nomor kedai dan memintanya untuk datang.
Entah untuk apa, tapi di sini-lah Milly berdiri. Mengetuk pelan pintu dan memanggil, “Elena.”
Dahi Milly berkerut karena suara grasak-grusuk di balik pintu. Seperti ada perkelahian di dalam sana. Itu membuat kecemasan meliputi wajah Milly.
“Elena… kau baik-baik saja?” seru Milly memastikan walau suaranya agak teredam masker.
Tapi tidak ada jawaban selain suaran benturan keras disusul suara erangan kemudian membuat Milly melotot panik. Apa temannya terluka di dalam sana?
“Elena!” Tangan Milly lantas menggedor pintu heboh itu.
“Apa terjadi sesuatu padamu?!”
***
“Andez, menyingkirlah!” Elena berusaha menyingkirkan Fernandez yang berada di atas tubuhnya di sofa yang sedang mencumbu lehernya. Panas dan liar.
Ia mendengar ketukan serta panggilan Milly, “Elena.”
“Andez!” dorong Elena sekuat tenaga hingga Fernandez terguling, menghasilkan dentuman lembut karena tubuh lelaki itu menghantam karpet. Lalu Elena mulai berdiri, merapikan pakaiannya segera, sementara Fernandez menatapnya datar.
Tepat ketika Elena hendak berjalan mencapai pintu, Fernandez mendadak memeluk pinggangnya, membuatnya terkejut dan makin terkejut ketika jemari lelaki itu menyelinap di bawah rok hitam lipit pendeknya, masuk ke dalamannya lalu menyentuh area pribadinya. Ia mendongak spontan. “And—”
Tapi ucapan Elena terputus sebab Fernandez menutup mulutnya dengan satu tangannya yang bebas. Mata Elena hendak berair akibat gairah karena permainan jemari Fernandez yang melesak di dalam sana. Bergerak dengan tempo cepat.
Elena menggeleng. Fernandez mencumbu telinganya.
“Ahh…” desah Elena saat telapak tangan Fernandez tidak menghalangi mulutnya lagi melainkan menelusup, meremas buah dadanya di balik blouse pink.
“Andez hentikan…” cegah Elena hendak mengeluarkan tangan Fernandez di intinya dan Fernandez menurut membuat Elena bisa lega sedetik walau nafasnya tampak kacau.
“Elena… kau baik-baik saja?” seruan Milly terdengar.
Tapi di detik selanjutnya dengan cepat Fernandez memutar tubuh Elena, mengangkat kedua paha gadis itu melingkarkan di pinggangnya lalu menabrakkan ke dinding menghasilkan dentuman cukup keras. Elena mengerang.
Apalagi tanpa permisi bibir Fernandez telah melahap buah dadanya. Mengulumnya dengan sensual. Entah kapan Fernandez melakukannya, Elena tidak sadar bahwa blouse pinknya telah terangkat ke atas, branya terlepas dan terjatuh di lantai. Ia menjambak rambut Fernandez begitu merasakan lidah lelaki itu memutari putingnya.
“Ah…” desahnya, mengangkat kepalanya terbuai sejenak.
“Elena! Apa terjadi sesuatu padamu?!” Gedoran juga teriakan cemas Milly membuat Elena seketika menoleh ke arah pintu.
Namun tidak dengan Fernandez yang justru sibuk melumat buah dadanya. Bahkan Elena bisa merasakan tonjolan yang digesekkan Fernandez di balik celana pria itu pada miliknya.
“Aku… aku… baik-baik saja Milly!” seru Elena di sisa nafasnya yang tidak teratur.
Kemudian Fernandez mulai menyatukan tubuh mereka usai melucuti pakaian dalam Elena dengan cepat. Elena tersentak dibuatnya. Fernandez lantas menggerakkan pinggulnya dengan pelan yang berubah cepat. Elena hanya pasrah mengikuti ritme itu, dia dia semakin kuat menjambak rambut Fernandez. Itu sukses memicu kenikmatan yang tak tertandingi bagi Fernandez hingga mengerang puas.
“Milly… tunggu…” ucapan Elena tidak selesai sebab Fernandez langsung membungkam bibir ranumnya itu. Menciumnya dengan gairah di sela aksi bercinta mereka.
***
bersambung
Sebuah KesepakatanHal pertama yang didapati Milly ketika pintu itu telah terbuka adalah penampilan Elena yang tampak agak berantakan. Rambutnya dicepol sembarangan. Blouse pinknya terlihat compang-camping. Muka temannya itu memerah.“Maaf aku baru bisa membuka pintu sekarang. Tadi aku sedikit mengatasi sesuatu hal,” jelas Elena ngos-ngosan, membuat Milly mengernyit.“Apa kau terjatuh?”Elena tertawa. “Tidak Milly.”“Aku mendengar suara-”“Tidak. Tidak ada apa-apa Milly,” potong Elena cepat. Kemudian melebarkan pintunya dan mempersilahkan Milly.“Masuklah.”Milly pun masuk ke dalam aparteman sederhana Elena. Ia lalu bertanya pada Elena. “Jadi untuk apa kau memanggilku?” Pandangannya kemudian berhenti pada satu titik. Kepada lelaki yang tadi dilihatn
Mawar Merah“Hei, Mom,” sapa Axton kepada Wella yang hanya duduk mematung di tepi kasur. Tatapannya kosong dan tampak sedang melamunkan sesuatu.Axton membuang nafas lelah. Tapi ia berusaha mengukir senyum dan menutup pintu kamar. Kemudian berjalan ke arah jendela. Melirik kebun kecil mawar merah di bawah sana. Suasana musim semi pagi ini membuat bunga-bunga itu tampak mekar dengan indah.Ia tahu betul bahwa Ibunya suka bercengkraman dengan bunga-bunga itu—sebelum pengkhianatan Ayahnya terjadi dan merusak momen kebersamaan mereka selama ini. Bunga-bunga itu bahkan dulu menjadi saksi bisu setiap aktifitas keluarga mereka di pagi hari.Kecupan mesra yang diberikan Ayahnya kepada Ibunya…Elusan lembut di puncak kepalanya sebagai bukti kasih sayang seorang Ayah untuknya…Dan Axton tidak akan membiarkan bunga-bunga itu mati. Ia tidak ingin Ayahnya tertawa dan
Kejutan Pahit“Anda Milly Kincaid?” tanya Thomas yang berjaga di pintu ruang kerja Axton.Milly yang tampak ling lung akibat tidak terbiasa dengan luasnya setiap area di gedung ini lantas menatap Thomas. Ia tadi diperintahkan untuk menuju ke lantai ini. Tepatnya lantai 30. Semburat senyum tipis dipamerkannya.“Kau teman Andez?”Thomas berdeham ketika meneliti penampilan Milly dari atas sampai bawah secara terang-terangan. Gadis itu mengenakan dress peach tanpa lengan namun panjangnya melewati lutut. Juga sepatu converse. Padanan yang cukup aneh. Terlebih masker bunga-bunga yang menutupi sebagian wajah gadis itu.“Saya bukan teman Tuan Andez.”“Lalu?”“Anda tidak perlu tahu siapa saya. Mari saya antarkan anda bertemu dengan Tuan Ax. Karena Tuan Ax sudah menunggu anda sejak tadi.”
Kehancuran Menyakitkan“Turunkan aku!” jerit Milly meronta memukul punggung Axton ketika lelaki berjalan membawanya menuju kamar rahasia di ruangan kerjanya.Milly tadi sempat ingin melarikan diri lewat jendela kerja Axton. Berniat menghancurkannya, namun batal sebab ia menjadi tertegun selama beberapa detik waktu sadar ketinggian di bawah sana. Lalu sebelum ia menghindar lebih lanjut, Axton telah lebih dulu mengangkat tubuhnya.“Ah,” ringis Milly ketika Axton melemparnya di ranjang. Tubuhnya terbanting di sana dan kepalanya terasa pening. Sementara ia mengumpulkan kesadarannya sejenak, Axton tiba-tiba menarik kakinya membuat ia meluncur ke bawah.“Apa yang kau lakukan?!” pekik Milly histeris. Apalagi saat Axton mulai merangkak ke atasnya, menangkap kedua tangannya, mengikatnya dengan dasi yang sebelumnya diambil di atas nakas.“Menurutmu?” Axton bertanya balik di sela giginya yang menarik kencang simpu
Rencana LicikMalam harinya, Milly terbangun. Ia tadi tertidur pulas karena kelelahan. Tangannya memegang kepalanya dan menatap sekitar. Bola matanya terbelalak, memandang nuansa ruangan itu yang berwarna hitam dan abu-abu.Segera ia menatap tubuhnya. Terdapat selimut yang membungkus namun dibaliknya ia tidak terhalang oleh apapun. Ia ingat jelas apa yang dilakukan Axton padanya.Lelaki itu…Lelaki itu mengoyak seluruh pakaiannya. Tidak ada yang tersisa.Lalu… mereka bercinta dengan liar dan panas.Tidak ingin mengingat hal menjijikan itu lagi, lekas ia melangkah turun. Terseok-seok karena merasa nyeri dan perih di pangkal pahanya. Kemudian menuju lemari pakaian yang dilihatnya. Dengan lancang ia membukanya. Ketika menemukan beberapa kemeja di sana, bergegas ia mengenakannya.Tapi matanya tiba-tiba berhenti ketika menangkap pantulannya di
Surat KabarKeesokan paginya Fernandez mengumpat, “Sial.” Ia memandang Axton yang tengah memegang koran—atau surat kabar—yang digulung. Ia tidak percaya bahwa ia akan ikut serta ke dalam rencana akal bulus Axton demi menyembunyikan Milly dari Elena.“Ini akan berhasil. Percaya padaku.” Axton menepuk sekilas pundak Fernandez, sementara Fernandez mulai mengetuk pintu apartemen sederhana Elena.“Elena. Ini aku.”“Tidak. Aku tidak ingin melihatmu Andez!” balas Elena dari dalam apartemen. Membuat Fernandez menyandarkan dahinya di pintu. Terlihat mengerang frustasi.“Kau membuat marah kekasihmu?”Fernandez mengabaikan pertanyaan Axton. Ia kembali berkata dengan tenang kepada Elena dari balik pintu. “Jika kau tidak membuka, jangan salahkan aku kalau aku mendobrak pintumu.”“Dan jika i
PemakamanSiang hari itu suasana berkabung begitu terasa. Walau hanya dihadiri oleh beberapa orang saja seperti teman kerja Milly. Juga tetangganya. Salah satunya Rachel. Wanita tua itu mengenakan kaca mata hitam, terus mengelap hidungnya menggunakan tisu disertai isakan.“Oh, Milly…” racaunya masih tidak menyangka.Elena yang berada di sebelah wanita tua itu hanya bisa mengusap lengan, berharap dapat memberikan kekuatan. “Bibi…”“Ia tidak seharusnya mengalami hal buruk seperti ini….” Rachel perlahan bersimpuh dan mengusap nisan yang bertuliskan nama Milly Kincaid. Ia merasa seakan mengulang peristiwa yang sama.Pasalnya beberapa bulan lalu, ia juga menghadiri pemakaman serupa. Bersama Clara, menangisi gadis belia yang tidak seharusnya merasakan segala hal mengerikan itu seorang diri hingga berujung pada kematian tragis.
Aksi Perlawanan“Lepaskan aku!” jerit Milly meronta, berusaha lepas dari cekalan kedua bodyguard Axton. Gaun pengantin sangat elegan melekat di tubuhnya, tapi terasa tipis. Bahunya terekspos. Segala pernak-pernik seperti anting-anting dan kalung mahal nan berkilau menghiasi dirinya. Sebuah veil pengantin terkait di belakang rambutnya.“Aku bilang lepaskan aku!” Kembali Milly berontak disertai jeritan histeris. Tidak ada make up terpoles di wajahnya. Bahkan semua yang dikenakannya saat ini adalah paksaan para pelayan Axton.Sementara Axton berjalan lebih dulu di helipad—landasan untuk helikopter—yang luas itu dengan kemeja putih dibalut setelan jas hitam, lengkap dengan celananya. Bunga kecil tersemat di sisi dadanya. Rambut yang tertata rapi sangat serasi, membuat penampilannya terkesan formal.Semilir angin malam berhembus di sekitar, menciptakan hawa dingin samar. Pintu heliko
Gila kamu, Indira! protes Ava begitu Pak De tak terlihat lagi.Indira hanya menunduk dengan wajah merah padam, menahan malu dan jengah yang menerpa begitu birahinya mereda. Ava sadar, dirinyapun ikut bersalah dalam hal ini, terbawa suasana hingga terlarut dalam persetubuhan yang beresiko itu, tapi tetap saja…Kalau ketahuan Pak De gimana?! kalau kamu hamil?Aku suruh pacarku tanggung jawab, sahut Indira, lalu memalingkan muka.Angin berhembus masuk ke dalam studio, menghembuskan suatu perasaan yang aneh di dada Ava. Seharusnya ia merasa lega, namun perkataan Indira yang terakhir itu seperti seserpih perih yang menari pelan di permukaan hatinya.Ava, maaf… nggak seharusnya aku ngelakuin ini sama kamu… dan… umm… Indira terdiam, seperti hendak tak jadi melanjutkan kata-katanya.Terus apa?Yang tad
Apa istimewanya seorang mas-mas brewokan bernama Mustava Ibrahim? batin Indira berusaha memungkiri. Dewa dan mantan-mantannya yang lain jauh lebih tampan daripada pemuda itu!7 hari sudah berlalu, tapi Indira terus mencoba memahami teka-teki di hatinya sendiri, pun demikian hati wanita memang sulit dimengerti. Tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga si wanita itu sendiri. Kehadiran Ava dalam hidupnya benar-benar mengubah tone hidup-nya menjadi lebih berwarna. Berwarna seperti pelangi! Berwarna seperti lukisan! Marah, sedih, benci, bahagia, bercampur seperti palet-palet warna cat minyak yang dibaurkan ke dalam sanubarinya!Indira tertawa mengingat bagaimana ia pertama berjumpa Ava di air terjun, betapa tengik dan menyebalkannya anak itu! Huh! Tapi juga… remaja itu tersipu sendiri hingga pipinya perlahan bersemu.Dalam keheningan malam, Benak Indira kembali mengenang. Bagaimana saat Ava membelanya di Pub minggu lalu. Bagaimana saat Ava menampung isak tangisny
Taksi yang ditumpangi Ava dan Indira melaju di sepanjang Jl. By Pass, jalan besar yang sekilas mengingatkan Ava pada Ringroad di Jogja. Cahaya lampu jalan yang berwarna jingga berpendar di wajah Indira yang duduk di sampingnya.“Ava,” Indira memecah kebisuan.“Ya?”Gadis itu memandangi pipi Ava yang membiru terkena bogem. “Aku beneran nggak nyangka semuanya jadi kaya gini.”Ava tak langsung menjawab.“Yang tadi pagi juga…” Indira menyebut peristiwa di air terjun tadi pagi, di mana ia telah mengata-ngatai Ava sebagai teroris.Bisu menyelinap lagi di antara jarak yang memisahkan tempat duduk mereka. Ava menarik nafas panjang. “Kenapa sih, kamu?” tanya Ava.“Nggak tahu,” jawab Indira pelan. Sungguh, dirinya sendiri pun tidak tahu kenapa ia bisa membenci pemuda itu.Ava mendengus, nafasnya mengembun pada kaca mobil yang dingin. “Pasti gara-gara nam
Senja datang menjelang di Kuta yang semakin temaram. Matahari sudah menyembunyikan diri di balik horizon, menyisakan gradasi berwarna biru keunguan yang menyemburat dari balik kaki langit. Jalanan yang tadinya terik segera digantikan dengan riuh rendah dunia malam yang memenuhi setiap sudut jalan. Arus lalu lintas semakin padat merayap, dan trotoar mulai dipenuhi wisatawan asing yang baru pulang berselancar atau hendak keluar mengisi perut.Jalan Legian. Jika kalian kebetulan melancong ke Bali, sempatkanlah mengunjungi tempat ini. Lewat tengah malam, niscaya engkau akan mendapati klub-klub yang menyesaki kiri-dan kanan jalan seolah saling berlomba dan tak mau kalah dalam menarik perhatian setiap calon pengunjung, maka didentamkanlah musik sekeras-kerasnya dan dinyalakan lampu sorot sekilau-kilaunya. Jangan heran jika nanti engkau melihat bule-bule yang berjoget hingga trotoar di antara kemacetan yang berarak-arak.Seorang wanita dengan danda
Siang itu jalan menuju pantai tampak tidak sanggup lagi menampung volume kendaraan berplat luar kota yang semakin padat dari tahun ke tahun. Beberapa wisatawan asing melintas buru-buru di atas trotoar di kiri dan kanan jalan, menghindari panas matahari di balik baju-baju dan cinderamata yang dipajang bergantung-gantung pada art shop di pinggir jalan.Indira meliuk-liuk dengan skuter matic di antara kemacetan itu. Wajah blasterannya tampak berkerut-kerut melawan terik matahari. Siang itu benar-benar panas, angin yang berhembus juga angin yang benar-benar gersang, mengibarkan dress putih sepaha dan cardigans hitam yang dikenakannya untuk melawan terik.Indira melengguh kesal. Ia benar-benar kesal hari ini. Kesal kepada kemacetan ini, kesal kepada ayahnya, kesal pada Dewa, pacarnya yang tidak bisa dihubungi, kesal kepada semua! Terlebih lebih kepada mas-mas brewokan yang bernama Mustava Ibrahim itu.Sungguh, udara yang panas itu membuat kemarahan di dada Indira men
Hanyalah sesosok pohon beringin yang berdiri angkuh bak raksasa hijau di sekian sisa aroma kematian. Daunnya demikian merimbun, bertumpuk-tumpuk menghalangi jatuh cahaya ke puluhan orang yang berlalu di bawahnya. Ava berjalan dengan takut-takut, menghindari akar gantung yang menjuntai ke sampai tanah. Pohon Beringin itu nampak benar-benar wingit, apalagi dengan kain kotak-kotak hitam-putih yang dilingkarkan di sekelilingnya.Pagi itu hari Minggu, Galeri Pakde tentu tidak buka di hari Minggu. Maka Ava dan Kadek menyanggupi untuk menggantikan Pak De kerja bakti membersihkan areal Pura Dalem, yakni tempat peribadatan yang terletak di sekitar pekuburan untuk pemujaan alam kosmis demi menetralisir kekuatan positif dan negatif.Pekuburan itu nyaris tanpa nisan, karena prosesi pemakaman di tempat ini mengharuskan jenazah si Mati di lebur dalam api pralina [SUP](1)[/SUP] -dilebur oleh Sang Siwa, sehingga menyisakan bade [SUP](2)[/SUP] -sarkofagus w
The Lost AngelUfuk timur sudah benderang ketika Ava terbangun enggan dari tidurnya. Udara masih dingin dan kabut tipis masih melayang-layang di atas sawah. Ava menuruni tangga kayu di depan kamarnya dengan malas sambil merenggangkan tubuh.Pemandangan menakjubkan kemarin sore masih saja terbayang-bayang di kepala Ava. Hari sudah berganti, namun pemuda itu tak bisa berhenti tersenyum membayangkan apa lagi petualangan yang menantinya di tempat ini.Sepasang mata Ava tertuju pada Pura kecil di pojok belakang rumah. Di sampingnya berdiri pohon kamboja, dahannya menjuntai ke udara serupa tangan seorang Pandhita Ratu, menebarkan taksu ke sekujur bangunan batu bata merah di bawahnya.Ava melihat seorang bidadari sedang memegang dupa, menghaturkan doa dan sesaji sambil memejam khusyuk.Indira; Ava tahu nama bidadari itu dari Kadek. “Wuih, aslinya cantik dah pokoknya, bro!” p
Ubud, 2012…Hanyalah pemadangan sawah bertingkat-tingkat yang indah, dan deru skuter tua yang seolah tak mau lagi hidup yang menyusur di tengahnya. Matahari bersinar tinggi di langit biru tanpa awan, menyisakan silau di balik kacamata hitam Ava yang bundar besar.Skuter yang ditumpangi Ava berjalan perlahan melewati jalan kecil berkelok di tengah persawahan, mereka sedikit melambat saat melewati sekumpulan orang berpakaian hitam-hitam di jalan itu.Bli, Bli Kadek, ada apa ini ramai-ramai? Pemuda dengan brewok tebal itu menepuk pundak orang yang duduk di depannya.Kadek namanya, ia adalah kakak kelas Ava waktu kuliah di Institut Seni di Jogja. Kadek ini pula yang menawari Ava pekerjaan di tempat seorang seniman terkenal di kampungnya, setelah Ava lulus bulan lalu.Oh, ini ada pengabenan[SUP](1)[/SUP][SUP],[/SUP] Kadek menyahut tanpa menoleh.(1) Upa
Selamanya BersamaEmpat Bulan Kemudian…Milly telah menghabiskan banyak waktu bersama Axton, dan sekarang ia sedang merealisasikan rencana yang telah mereka susun bersama.Tepatnya di sini.Pada outdoor salah satu hotel Axton di Los Angeles yang sukses diubah menjadi begitu indah. Halaman itu telah dihiasi berikat-ikat bunga.Dalam gaun putih pengantin yang elegan, Milly berjalan pelan didampingi Thomas menelusuri karpet putih yang tergelar di tengah, sementara di sekelilingnya terdapat beragam meja yang dilapisi kain putih beserta kursi berjejer rapi. Semua terisi penuh oleh para tamu yang hadir.Michelle juga memakai gaun berwarna putih. Rambutnya tergerai indah dan ditata bergelombang. Gadis kecil itu terlihat bahagia berdiri bersama Rachel yang diikuti oleh para tamu menyambut kedatangan Milly.Rachel tersenyum lebar, matanya berpendar haru