Aksi Perlawanan
“Lepaskan aku!” jerit Milly meronta, berusaha lepas dari cekalan kedua bodyguard Axton. Gaun pengantin sangat elegan melekat di tubuhnya, tapi terasa tipis. Bahunya terekspos. Segala pernak-pernik seperti anting-anting dan kalung mahal nan berkilau menghiasi dirinya. Sebuah veil pengantin terkait di belakang rambutnya.
“Aku bilang lepaskan aku!” Kembali Milly berontak disertai jeritan histeris. Tidak ada make up terpoles di wajahnya. Bahkan semua yang dikenakannya saat ini adalah paksaan para pelayan Axton.
Sementara Axton berjalan lebih dulu di helipad—landasan untuk helikopter—yang luas itu dengan kemeja putih dibalut setelan jas hitam, lengkap dengan celananya. Bunga kecil tersemat di sisi dadanya. Rambut yang tertata rapi sangat serasi, membuat penampilannya terkesan formal.
Semilir angin malam berhembus di sekitar, menciptakan hawa dingin samar. Pintu heliko
Sumpah PernikahanBerkali-kali Marcus membuang nafas. Ia menutup matanya sejenak. Ketika terbuka ia menatap Axton yang ternyata sedang menatapnya.Dan bunyi pelatuk selalu bersiap ditarik Thomas untuk menembak isi kepala Marcus tanpa tedeng aling-aling. Tidak merasa ragu barang secuil pun, membuat Marcus menyerah.“Baiklah.”Detik berikutnya Marcus mulai mengutarakan hal yang biasa ia lakukan untuk memastikan keyakinan sepasang suami istri kala mengikat sebuah janji di pernikahan. Pria tua itu menatap Axton yang terarah lurus memandang Milly karena gadis itu menunduk, terus meneteskan air mata.“Axton Bardrolf, bersediakah kau menerima wanita ini sebagai istrimu? Menjaganya dalam keadaan sakit maupun sehat, serta dalam keadaan susah maupun senang sampai mau memisahkan?”Pertanyaan Marcus itu dijawab Axton dengan santai tanpa beban. Tatapannya terus
Kemenangan KecilAlunan musik panas mengalun mengisi ruangan itu, sedangkan Axton tengah duduk di sofa dengan satu tangan yang terentang di sandaran. Mengamati Milly yang berputar ragu-ragu, memegang tiang dansa. Jubah transparannya telah tergeletak di bawah, tidak jauh dari posisi Milly.Maddie dan anak buahnya sudah berlalu hingga hanya Axton yang berada di tempat ini. Lelaki itu terlihat santai memegang gelas kaca berisi cairan sampanye, menenggaknya sesekali.Ujung bibir Axton tertarik ke atas. Mulutnya berada di bibir gelas lekas ia jauhkan, tidak jadi meneguk lagi ketika menonton Milly mengalungkan kedua tangannya di tiang dansa dari belakang. Axton melirikkan matanya ke arah layar TV dimana Clara yang notebene adalah Ibu Milly itu memulai gerakan selanjutnya. Gerakan yang cukup menggundang hasrat para penonton.Clara melepas branya, melempar ke arah penonton dan memamerkan senyum sensual. Sorakan riuh dari
Kilasan MimpiAxton melihat tubuh gadis itu yang pasrah, tenggelam lebih dalam. Ia berusaha menahan nafas dan berenang lebih cepat. Lalu saat ia hendak menjangkau Milly, tangan Axton segera meraih dada gadis itu hingga agak menekan payudara Milly yang kenyal karena bagian atas tubuh gadis itu tidak terlindung apapun. Membawanya menuju permukaan laut kemudian.Setelah berhasil, Axton langsung mengambil oksigen sebanyak-banyaknya ketika berada di permukaan laut yang luas. Diliriknya Milly yang lemas dan telah pingsan.“Aku menyelamatkanmu karena aku belum menginginkan kematianmu jalang,” desis Axton di antara riak-riak lautan yang ombaknya sangat kecil. Nafasnya tampak tersengal-sengal lelah.Lalu Thomas yang mendapati Axton lantas berseru, “Tuan Ax!” Ia sontak merasa lega. Kapal mereka sedari tadi telah dihentikan untuk sesaat.Di tengah lautan itu Axton mendongak karena Thomas melemparkan tali untuk mereka. Berenang ke sana sa
Pembohong KecilMilly tergagap usai menutup paksa tirai itu, bersembunyi di baliknya. Degup jantungnya berdetak. Rasa kewaspadaan bercampur takut seketika menyeruak, membuat alarm bahaya di benaknya lantas muncul.Tadi ia sempat terhipnotis menyaksikan interaksi Axton dengan wanita tua itu. Mereka sangat akrab. Bahkan Axton terlihat seperti anak baik-baik. Milly tidak menduga Axton bisa bersikap semanja itu. Benar-benar bertolak belakang dengan sifat jahatnya.Lelaki kejam itu menjadi asing dalam sekejap.Di sana pun Axton tampak sangat tulus, penuh perhatian saat menyuapi wanita tua itu, mengecup sayang punggung tangannya. Hingga tanpa sadar, hati Milly menjadi tersentuh, mengakibatkan bibirnya refleks melengkung ke atas, mengukir seulas senyum.Tapi seketika senyum itu pupus waktu mata abu-abu tajam itu beradu dengan mata hijaunya selama beberapa detik.Dan sekarang, Mil
Batas WaktuAxton menarik resletingnya. Perban putih masih menempeli sekitar pelipisnya, tapi rambutnya sudah semerawut. Ia memungut kemejanya di lantai dan melihat Milly dari pantulan di cermin.Gadis itu terkulai lemas sambil menangis kecil di atas ranjang. Kedua pergelangan tangannya memerah bekas simpulan gesper yang dilepas Axton.Selimut tergeletak di sampingnya, terlihat berantakan. Pun dengan seprei.Tidak ada satu pun busana yang melekat di tubuh Milly. Murni polos, terlihat begitu kotor dan lengket. Jejak-jejak basah dan panas akibat cumbuan liar Axton tercetak jelas di beberapa bagian tubuh gadis itu, sementara di sekitar pangkal pahanya dipenuhi cairan milik lelaki itu yang berceceran.Aroma percintaan terasa pekat menguar di sekitar, membuktikan seberapa dahsyat pergumulan panas yang dilakukan mereka di kamar ini.“Apa aku sudah pernah mengatakan padamu
Suami Yang BurukMilly berusaha melangkah normal, walau denyut nyeri yang bercampur sensasi nikmat terasa di daerah intimnya. Ia melirik ke belakang. Tidak ada Axton. Tangannya berusaha meraba pada dinding di lorong. Begitu ia menemukan sebuah pintu, segera ia membukanya.Masuk ke dalam. Pintu itu hendak ditutupnya, tapi Milly berjengit waktu kaki Axton menahannya. Tangan lelaki itu turut berpegang pada sisi pintu.“Kau melanggar kesepakatan.”“Persetan denganmu!” umpat Milly yang mulai menggila karena gelombang siksaan Axton lewat alat sialan itu. Ia berusaha keras mendorong pintu itu menutup dengan punggungnya, sementara tangannya bergerak cepat, hendak mengeluarkan vibrator dari area pribadinya.“Akhh!” Tapi belum sempat ia mencabutnya, getaran itu makin dahsyat. Membuat kepala Milly menengadah dengan nafas putus-putus.Di luar Axton
Kebimbangan AxtonAxton memijat pangkal hidungnya. Ia menggeleng. Sepertinya ia sudah tidak waras. Gelas kosong yang berisi wine langsung ditandaskannya dan diletakkannya ke meja. Topeng silver masih melekat di area matanya.Pun sama dengan Milly yang duduk di hadapannya. Dan di balik topeng itu, ia terpekur menatap piring berisi steak daging, masih utuh dan belum tersentuh. Sebuah kalimat Axton yang terasa familiar di telinganya tadi, terus bergaung di benaknya. Ia tidak lagi merona, melainkan tengah berpikir keras.“Kehilanganmu adalah sesuatu hal yang tidak aku inginkan di dunia ini.”Di tengah keramaian ruangan itu Milly seperti mendengar suara-suara lain tanpa sadar. Muncul begitu saja tanpa dimintanya.“Tidak apa bagaimana sih? Kakimu jadi berdarah. Aku akan menghajar anak lelaki itu. Ia tidak seharusnya menyerempetmu.”“Kau mau apa? Ber
Kebenaran yang TerkuakMata Milly tidak terpejam sedikitpun. Tapi kepalanya menggeleng pelan melihat mobil itu tidak lama lagi akan menabraknya. Lalu semua terjadi begitu cepat tanpa disadarinya.Entah bagaimana tubuhnya telah terjatuh ke trotoar. Ia merintih kecil karena denyut nyeri di punggungnya. Tapi setelah itu wajahnya tampak shock. Bola matanya lurus terarah pada langit malam.Meski begitu ia bisa merasakan tangan kekar kini terselip di belakang kepalanya seakan melindungi. Juga erangan disertai nafas yang berhembus di sekitar lehernya.Sementara mobil itu tidak bertanggung jawab itu sudah berlalu dari mereka.Dengan susah payah, Axton menoleh, melihat wajah Milly dari samping. Matanya terasa berkunang-kunang. Separuh wajahnya bersimbahkan darah. Luka pelipis itu kembali menganga. Semua karena kepalanya terbentur ulang. Cukup kuat di trotoar.“Aku sudah katak
Gila kamu, Indira! protes Ava begitu Pak De tak terlihat lagi.Indira hanya menunduk dengan wajah merah padam, menahan malu dan jengah yang menerpa begitu birahinya mereda. Ava sadar, dirinyapun ikut bersalah dalam hal ini, terbawa suasana hingga terlarut dalam persetubuhan yang beresiko itu, tapi tetap saja…Kalau ketahuan Pak De gimana?! kalau kamu hamil?Aku suruh pacarku tanggung jawab, sahut Indira, lalu memalingkan muka.Angin berhembus masuk ke dalam studio, menghembuskan suatu perasaan yang aneh di dada Ava. Seharusnya ia merasa lega, namun perkataan Indira yang terakhir itu seperti seserpih perih yang menari pelan di permukaan hatinya.Ava, maaf… nggak seharusnya aku ngelakuin ini sama kamu… dan… umm… Indira terdiam, seperti hendak tak jadi melanjutkan kata-katanya.Terus apa?Yang tad
Apa istimewanya seorang mas-mas brewokan bernama Mustava Ibrahim? batin Indira berusaha memungkiri. Dewa dan mantan-mantannya yang lain jauh lebih tampan daripada pemuda itu!7 hari sudah berlalu, tapi Indira terus mencoba memahami teka-teki di hatinya sendiri, pun demikian hati wanita memang sulit dimengerti. Tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga si wanita itu sendiri. Kehadiran Ava dalam hidupnya benar-benar mengubah tone hidup-nya menjadi lebih berwarna. Berwarna seperti pelangi! Berwarna seperti lukisan! Marah, sedih, benci, bahagia, bercampur seperti palet-palet warna cat minyak yang dibaurkan ke dalam sanubarinya!Indira tertawa mengingat bagaimana ia pertama berjumpa Ava di air terjun, betapa tengik dan menyebalkannya anak itu! Huh! Tapi juga… remaja itu tersipu sendiri hingga pipinya perlahan bersemu.Dalam keheningan malam, Benak Indira kembali mengenang. Bagaimana saat Ava membelanya di Pub minggu lalu. Bagaimana saat Ava menampung isak tangisny
Taksi yang ditumpangi Ava dan Indira melaju di sepanjang Jl. By Pass, jalan besar yang sekilas mengingatkan Ava pada Ringroad di Jogja. Cahaya lampu jalan yang berwarna jingga berpendar di wajah Indira yang duduk di sampingnya.“Ava,” Indira memecah kebisuan.“Ya?”Gadis itu memandangi pipi Ava yang membiru terkena bogem. “Aku beneran nggak nyangka semuanya jadi kaya gini.”Ava tak langsung menjawab.“Yang tadi pagi juga…” Indira menyebut peristiwa di air terjun tadi pagi, di mana ia telah mengata-ngatai Ava sebagai teroris.Bisu menyelinap lagi di antara jarak yang memisahkan tempat duduk mereka. Ava menarik nafas panjang. “Kenapa sih, kamu?” tanya Ava.“Nggak tahu,” jawab Indira pelan. Sungguh, dirinya sendiri pun tidak tahu kenapa ia bisa membenci pemuda itu.Ava mendengus, nafasnya mengembun pada kaca mobil yang dingin. “Pasti gara-gara nam
Senja datang menjelang di Kuta yang semakin temaram. Matahari sudah menyembunyikan diri di balik horizon, menyisakan gradasi berwarna biru keunguan yang menyemburat dari balik kaki langit. Jalanan yang tadinya terik segera digantikan dengan riuh rendah dunia malam yang memenuhi setiap sudut jalan. Arus lalu lintas semakin padat merayap, dan trotoar mulai dipenuhi wisatawan asing yang baru pulang berselancar atau hendak keluar mengisi perut.Jalan Legian. Jika kalian kebetulan melancong ke Bali, sempatkanlah mengunjungi tempat ini. Lewat tengah malam, niscaya engkau akan mendapati klub-klub yang menyesaki kiri-dan kanan jalan seolah saling berlomba dan tak mau kalah dalam menarik perhatian setiap calon pengunjung, maka didentamkanlah musik sekeras-kerasnya dan dinyalakan lampu sorot sekilau-kilaunya. Jangan heran jika nanti engkau melihat bule-bule yang berjoget hingga trotoar di antara kemacetan yang berarak-arak.Seorang wanita dengan danda
Siang itu jalan menuju pantai tampak tidak sanggup lagi menampung volume kendaraan berplat luar kota yang semakin padat dari tahun ke tahun. Beberapa wisatawan asing melintas buru-buru di atas trotoar di kiri dan kanan jalan, menghindari panas matahari di balik baju-baju dan cinderamata yang dipajang bergantung-gantung pada art shop di pinggir jalan.Indira meliuk-liuk dengan skuter matic di antara kemacetan itu. Wajah blasterannya tampak berkerut-kerut melawan terik matahari. Siang itu benar-benar panas, angin yang berhembus juga angin yang benar-benar gersang, mengibarkan dress putih sepaha dan cardigans hitam yang dikenakannya untuk melawan terik.Indira melengguh kesal. Ia benar-benar kesal hari ini. Kesal kepada kemacetan ini, kesal kepada ayahnya, kesal pada Dewa, pacarnya yang tidak bisa dihubungi, kesal kepada semua! Terlebih lebih kepada mas-mas brewokan yang bernama Mustava Ibrahim itu.Sungguh, udara yang panas itu membuat kemarahan di dada Indira men
Hanyalah sesosok pohon beringin yang berdiri angkuh bak raksasa hijau di sekian sisa aroma kematian. Daunnya demikian merimbun, bertumpuk-tumpuk menghalangi jatuh cahaya ke puluhan orang yang berlalu di bawahnya. Ava berjalan dengan takut-takut, menghindari akar gantung yang menjuntai ke sampai tanah. Pohon Beringin itu nampak benar-benar wingit, apalagi dengan kain kotak-kotak hitam-putih yang dilingkarkan di sekelilingnya.Pagi itu hari Minggu, Galeri Pakde tentu tidak buka di hari Minggu. Maka Ava dan Kadek menyanggupi untuk menggantikan Pak De kerja bakti membersihkan areal Pura Dalem, yakni tempat peribadatan yang terletak di sekitar pekuburan untuk pemujaan alam kosmis demi menetralisir kekuatan positif dan negatif.Pekuburan itu nyaris tanpa nisan, karena prosesi pemakaman di tempat ini mengharuskan jenazah si Mati di lebur dalam api pralina [SUP](1)[/SUP] -dilebur oleh Sang Siwa, sehingga menyisakan bade [SUP](2)[/SUP] -sarkofagus w
The Lost AngelUfuk timur sudah benderang ketika Ava terbangun enggan dari tidurnya. Udara masih dingin dan kabut tipis masih melayang-layang di atas sawah. Ava menuruni tangga kayu di depan kamarnya dengan malas sambil merenggangkan tubuh.Pemandangan menakjubkan kemarin sore masih saja terbayang-bayang di kepala Ava. Hari sudah berganti, namun pemuda itu tak bisa berhenti tersenyum membayangkan apa lagi petualangan yang menantinya di tempat ini.Sepasang mata Ava tertuju pada Pura kecil di pojok belakang rumah. Di sampingnya berdiri pohon kamboja, dahannya menjuntai ke udara serupa tangan seorang Pandhita Ratu, menebarkan taksu ke sekujur bangunan batu bata merah di bawahnya.Ava melihat seorang bidadari sedang memegang dupa, menghaturkan doa dan sesaji sambil memejam khusyuk.Indira; Ava tahu nama bidadari itu dari Kadek. “Wuih, aslinya cantik dah pokoknya, bro!” p
Ubud, 2012…Hanyalah pemadangan sawah bertingkat-tingkat yang indah, dan deru skuter tua yang seolah tak mau lagi hidup yang menyusur di tengahnya. Matahari bersinar tinggi di langit biru tanpa awan, menyisakan silau di balik kacamata hitam Ava yang bundar besar.Skuter yang ditumpangi Ava berjalan perlahan melewati jalan kecil berkelok di tengah persawahan, mereka sedikit melambat saat melewati sekumpulan orang berpakaian hitam-hitam di jalan itu.Bli, Bli Kadek, ada apa ini ramai-ramai? Pemuda dengan brewok tebal itu menepuk pundak orang yang duduk di depannya.Kadek namanya, ia adalah kakak kelas Ava waktu kuliah di Institut Seni di Jogja. Kadek ini pula yang menawari Ava pekerjaan di tempat seorang seniman terkenal di kampungnya, setelah Ava lulus bulan lalu.Oh, ini ada pengabenan[SUP](1)[/SUP][SUP],[/SUP] Kadek menyahut tanpa menoleh.(1) Upa
Selamanya BersamaEmpat Bulan Kemudian…Milly telah menghabiskan banyak waktu bersama Axton, dan sekarang ia sedang merealisasikan rencana yang telah mereka susun bersama.Tepatnya di sini.Pada outdoor salah satu hotel Axton di Los Angeles yang sukses diubah menjadi begitu indah. Halaman itu telah dihiasi berikat-ikat bunga.Dalam gaun putih pengantin yang elegan, Milly berjalan pelan didampingi Thomas menelusuri karpet putih yang tergelar di tengah, sementara di sekelilingnya terdapat beragam meja yang dilapisi kain putih beserta kursi berjejer rapi. Semua terisi penuh oleh para tamu yang hadir.Michelle juga memakai gaun berwarna putih. Rambutnya tergerai indah dan ditata bergelombang. Gadis kecil itu terlihat bahagia berdiri bersama Rachel yang diikuti oleh para tamu menyambut kedatangan Milly.Rachel tersenyum lebar, matanya berpendar haru