Sebuah Kesepakatan
Hal pertama yang didapati Milly ketika pintu itu telah terbuka adalah penampilan Elena yang tampak agak berantakan. Rambutnya dicepol sembarangan. Blouse pinknya terlihat compang-camping. Muka temannya itu memerah.
“Maaf aku baru bisa membuka pintu sekarang. Tadi aku sedikit mengatasi sesuatu hal,” jelas Elena ngos-ngosan, membuat Milly mengernyit.
“Apa kau terjatuh?”
Elena tertawa. “Tidak Milly.”
“Aku mendengar suara-”
“Tidak. Tidak ada apa-apa Milly,” potong Elena cepat. Kemudian melebarkan pintunya dan mempersilahkan Milly.
“Masuklah.”
Milly pun masuk ke dalam aparteman sederhana Elena. Ia lalu bertanya pada Elena. “Jadi untuk apa kau memanggilku?” Pandangannya kemudian berhenti pada satu titik. Kepada lelaki yang tadi dilihatnya di kedai.
Lelaki itu sedang duduk di sofa. Membungkukkan punggungnya dengan kedua siku menumpu lulut dan tangan saling bertautan, memandangnya dengan dingin. Rambutnya terlihat awut-awutan. Kemeja merahnya tampak lusuh dan berantakan.
Milly mengerjap bingung.
Kenapa penampilan Elena dan lelaki itu sama-sama terlihat kacau? Apa yang baru saja mereka lakukan? Apa Elena habis mengamuk hebat dengan kekasihnya? Mungkinkah ini ada kaitannya dengan persoalan heboh di kedai?
“Aku ingin mengenalkanmu pada Andez. Kau tadi tidak sempat berkenalan dengannya bukan?”
“Kau akan menikah dengannya?” bisik Milly bertanya pada Elena membuat gadis itu tertawa lagi. Ia mengibaskan tangan di udara.
“Tentu saja tidak Milly. Aku tidak menikah dengannya. Ia hanya membuat lelucon di kedai tadi,” balas Elena berbisik, tapi dapat didengar Fernandez hingga lelaki itu mengangkat sebelah alisnya.
Lalu detik selanjutnya Milly sudah duduk di sofa bersama Elena, berseberangan dengan Fernandez. Tangan Fernandez terangkat lebih dahulu menjabat sebagai awal perkenalan dengan Milly dan langsung disambut ramah oleh Milly.
Tapi Fernandez hanya memasang wajah datar. Mereka kemudian menyebutkan nama lengkap masing-masing setelah itu Elena tersenyum sumringah.
“Aku sering melihatmu di kedai. Kau selalu memakai masker. Apa penyakitmu tidak sembuh-sembuh?” tanya Fernandez tanpa emosi dan sangat tidak sopan di mata Elena hingga Elena memberikan pelototan peringatan padanya.
Berusaha tampak biasa, Milly menjawab dengan alasan yang terpikir di benaknya. “Aku tidak bisa terkena debu.”
Setelah itu Fernandez tidak bertanya lagi. Namun matanya memerhatikan dengan seksama wajah Milly. Bola mata itu sekali lagi memaksanya menerka perihal kemiripan seseorang yang tadi sempat diabaikannya. Tidak butuh waktu lama, di detik Fernandez tersadar, di detik itu pula bola matanya agak terkejut.
Evelyn Blossom. Apa mungkin?
Tapi tunggu…
Fernandez perlu mencari bukti lain lagi. Lalu tiba-tiba otaknya teringat pada satu hal yang disembunyikan Evelyn dari Axton dengan sangat rapat beberapa tahun lalu tepatnya saat mereka masih remaja.
Semua itu terbongkar oleh Fernandez karena dirinya tidak sengaja menyaksikan Evelyn dan Chloe berlomba menghabiskan dua piring udang di sebuah restoran. Gadis itu pemenangnya tapi keselamatannya hampir terancam usai bubarnya acara.
“Kau bodoh,” desis Fernandez.
Evelyn yang terbaring di ranjang rumah sakit menatap sayu Fernandez. “Jika kau sudah tahu ini, kumohon rahasiakan dari Aro.”
“Jadi selama ini kau menutupinya darinya?” sinis Fernandez yang berdiri di sisi ranjang.
“Aku hanya ingin menyukai apa yang Aro sukai. Jadi tolong Andez, jangan beritahu tentang hal ini pada Aro. Lagi pula aku menerima tantangan Chloe karena aku tidak ingin gadis itu terus menganggu hidupku. Kali ini aku melakukannya untuk diriku. Bukan untuk Aro.”
“Kau akan mati jika aku tidak menolongmu,” dengus Fernandez, tapi Evelyn memamerkan senyum lembut dan membalas Fernandez, “Terimakasih, Andez.”
Tersadar dari lamunan, Fernandez lantas menatap lurus Milly, sementara Elena tengah menepuk pundak gadis itu sambil berkata,
“Kurasa aku langsung mengatakannya saja. Aku sudah menceritakan segala hal tentangmu kepada Andez. Ia bisa membantumu mencari siapa pembunuh Ibumu, Milly.”
Dari manik matanya, Fernandez terus mengamati interaksi dua gadis di hadapannya. Terlihat Milly menoleh cepat ke arah Elena yang mengumbar senyum lebar.
“Semua akan baik-baik saja Milly. Tidakkah kau ingin menghukum pria kejam itu?”
Fernandez berdeham membuat dua gadis itu menatap padanya.
“Apa kau alergi udang?” tanyanya pada Milly.
Gadis itu mengerjap dan spontan bertanya, “Kau tahu dari mana?” Karena sebelumnya Clara memang pernah membawa dirinya ke rumah sakit setelah memakan makanan laut itu.
Sedangkan Elena mengernyit pada Fernandez. “Apa maksud pertanyaanmu Andez? Kita sedang berbicara serius tapi kau malah bertanya tentang hal yang—”
“Lupakan kalau begitu,” sela Fernandez masa bodoh. Kemudian samar, senyum sinis terbit di bibirnya. Pandangannya tidak terbaca.
“Kembali ke topik. Aku akan membantumu.”
Milly yang tadi diliputi perasaan heran langsung melengkungkan bibirnya, membentuk senyuman ketika mendengar kata-kata Fernandez.
“Terimakasih Andez,” kata Milly tulus.
Elena kemudian merangkul pundak Milly, mengusap pelan lengannya sambil tersenyum senang.
“Tapi dengan satu syarat.”
Bagai tersambar petir tubuh Milly menjadi kaku. Sedangkan Elena segera memelototi Fernandez dan mengulang, “Syarat?”
Fernandez mengangguk.
“Kau sudah menyetujui akan membantunya Andez,” bantah Elena.
“Elena…” bisik Milly kemudian. Seketika ia diliputi perasaan tidak enak.
“Tidak susah.” Pandangan Fernandez hanya terfokus pada Elena, menyeringai.
“Kau menikah denganku. Tiga hari lagi.”
Milly melirik Elena yang tampak menahan kekesalan.
“Andez. Kau tahu aku tidak siap dengan pernikahan. Lagi pula belum tentu aku satu-satunya wanita yang kau rasa tepat,” sindir Elena.
“Aku menginginkanmu. Di sisiku. Selamanya.”
“Elena kurasa…” Milly hendak menengahi tapi suara Elena lebih dulu angkat bicara.
Terdengar mencemooh dan tertawa sinis, “Itu tidak mungkin. Kau terdengar seperti pria pembual.”
“Jika kau tidak siap tiga hari lagi. Aku bisa mengundurkannya,” tawar Fernandez namun tersirat nada pemaksaan di sana membuat Elena memejamkan mata sejenak.
“Fine. Tapi kita akan menikah dua tahun lagi. Kau harus membantu temanku,” tegas Elena dengan mantap kepada Fernandez membuat lelaki itu tersenyum tipis.2
“1 bulan lagi,” ralat Fernandez membuat Elena mengepalkan tangan. Sementara Milly lagi-lagi ingin menyudahi, merasa Elena tidak perlu melakukan keinginan lelaki itu jika tidak ingin cuma demi dirinya. Ia menghargai niat tulus Elena, tapi Milly rasa ini terlalu berlebihan.
“8 bulan,” ketus Elena bernegosiasi, membatalkan suara Milly keluar.
“2 bulan.” Fernandez tidak mau kalah.
“7 bulan lebih 1 minggu.”
Fernandez menggeleng. “2 bulan lebih 1 minggu.”
“7 bulan pas.”
“Tidak. 2 bulan pas kalau begitu.”
“6 bulan!” tandas Elena beranjak. Kesal.
Fernandez masih tampak tenang di sofa. Menengadah menatap Elena dengan senyum geli. “Deal. 6 bulan.”
Elena terduduk di sofa lemas. Tapi masih dongkol dengan Fernandez. “Apa kau sedang mengerjaiku?”
“Nope. Hanya sedang mengetes batas kesabaranmu.”
Milly yang berada di situasi itu sedari tadi terpaksa cuma bisa terdiam. Tidak tahu harus mengatakan apa. Terlebih ketika Fernandez kini menatapnya, ia hanya bisa memberikan senyum tipis kikuk walau lelaki itu tidak dapat melihatnya sebab mulutnya tertutup masker.
***
Bersambung
Mawar Merah“Hei, Mom,” sapa Axton kepada Wella yang hanya duduk mematung di tepi kasur. Tatapannya kosong dan tampak sedang melamunkan sesuatu.Axton membuang nafas lelah. Tapi ia berusaha mengukir senyum dan menutup pintu kamar. Kemudian berjalan ke arah jendela. Melirik kebun kecil mawar merah di bawah sana. Suasana musim semi pagi ini membuat bunga-bunga itu tampak mekar dengan indah.Ia tahu betul bahwa Ibunya suka bercengkraman dengan bunga-bunga itu—sebelum pengkhianatan Ayahnya terjadi dan merusak momen kebersamaan mereka selama ini. Bunga-bunga itu bahkan dulu menjadi saksi bisu setiap aktifitas keluarga mereka di pagi hari.Kecupan mesra yang diberikan Ayahnya kepada Ibunya…Elusan lembut di puncak kepalanya sebagai bukti kasih sayang seorang Ayah untuknya…Dan Axton tidak akan membiarkan bunga-bunga itu mati. Ia tidak ingin Ayahnya tertawa dan
Kejutan Pahit“Anda Milly Kincaid?” tanya Thomas yang berjaga di pintu ruang kerja Axton.Milly yang tampak ling lung akibat tidak terbiasa dengan luasnya setiap area di gedung ini lantas menatap Thomas. Ia tadi diperintahkan untuk menuju ke lantai ini. Tepatnya lantai 30. Semburat senyum tipis dipamerkannya.“Kau teman Andez?”Thomas berdeham ketika meneliti penampilan Milly dari atas sampai bawah secara terang-terangan. Gadis itu mengenakan dress peach tanpa lengan namun panjangnya melewati lutut. Juga sepatu converse. Padanan yang cukup aneh. Terlebih masker bunga-bunga yang menutupi sebagian wajah gadis itu.“Saya bukan teman Tuan Andez.”“Lalu?”“Anda tidak perlu tahu siapa saya. Mari saya antarkan anda bertemu dengan Tuan Ax. Karena Tuan Ax sudah menunggu anda sejak tadi.”
Kehancuran Menyakitkan“Turunkan aku!” jerit Milly meronta memukul punggung Axton ketika lelaki berjalan membawanya menuju kamar rahasia di ruangan kerjanya.Milly tadi sempat ingin melarikan diri lewat jendela kerja Axton. Berniat menghancurkannya, namun batal sebab ia menjadi tertegun selama beberapa detik waktu sadar ketinggian di bawah sana. Lalu sebelum ia menghindar lebih lanjut, Axton telah lebih dulu mengangkat tubuhnya.“Ah,” ringis Milly ketika Axton melemparnya di ranjang. Tubuhnya terbanting di sana dan kepalanya terasa pening. Sementara ia mengumpulkan kesadarannya sejenak, Axton tiba-tiba menarik kakinya membuat ia meluncur ke bawah.“Apa yang kau lakukan?!” pekik Milly histeris. Apalagi saat Axton mulai merangkak ke atasnya, menangkap kedua tangannya, mengikatnya dengan dasi yang sebelumnya diambil di atas nakas.“Menurutmu?” Axton bertanya balik di sela giginya yang menarik kencang simpu
Rencana LicikMalam harinya, Milly terbangun. Ia tadi tertidur pulas karena kelelahan. Tangannya memegang kepalanya dan menatap sekitar. Bola matanya terbelalak, memandang nuansa ruangan itu yang berwarna hitam dan abu-abu.Segera ia menatap tubuhnya. Terdapat selimut yang membungkus namun dibaliknya ia tidak terhalang oleh apapun. Ia ingat jelas apa yang dilakukan Axton padanya.Lelaki itu…Lelaki itu mengoyak seluruh pakaiannya. Tidak ada yang tersisa.Lalu… mereka bercinta dengan liar dan panas.Tidak ingin mengingat hal menjijikan itu lagi, lekas ia melangkah turun. Terseok-seok karena merasa nyeri dan perih di pangkal pahanya. Kemudian menuju lemari pakaian yang dilihatnya. Dengan lancang ia membukanya. Ketika menemukan beberapa kemeja di sana, bergegas ia mengenakannya.Tapi matanya tiba-tiba berhenti ketika menangkap pantulannya di
Surat KabarKeesokan paginya Fernandez mengumpat, “Sial.” Ia memandang Axton yang tengah memegang koran—atau surat kabar—yang digulung. Ia tidak percaya bahwa ia akan ikut serta ke dalam rencana akal bulus Axton demi menyembunyikan Milly dari Elena.“Ini akan berhasil. Percaya padaku.” Axton menepuk sekilas pundak Fernandez, sementara Fernandez mulai mengetuk pintu apartemen sederhana Elena.“Elena. Ini aku.”“Tidak. Aku tidak ingin melihatmu Andez!” balas Elena dari dalam apartemen. Membuat Fernandez menyandarkan dahinya di pintu. Terlihat mengerang frustasi.“Kau membuat marah kekasihmu?”Fernandez mengabaikan pertanyaan Axton. Ia kembali berkata dengan tenang kepada Elena dari balik pintu. “Jika kau tidak membuka, jangan salahkan aku kalau aku mendobrak pintumu.”“Dan jika i
PemakamanSiang hari itu suasana berkabung begitu terasa. Walau hanya dihadiri oleh beberapa orang saja seperti teman kerja Milly. Juga tetangganya. Salah satunya Rachel. Wanita tua itu mengenakan kaca mata hitam, terus mengelap hidungnya menggunakan tisu disertai isakan.“Oh, Milly…” racaunya masih tidak menyangka.Elena yang berada di sebelah wanita tua itu hanya bisa mengusap lengan, berharap dapat memberikan kekuatan. “Bibi…”“Ia tidak seharusnya mengalami hal buruk seperti ini….” Rachel perlahan bersimpuh dan mengusap nisan yang bertuliskan nama Milly Kincaid. Ia merasa seakan mengulang peristiwa yang sama.Pasalnya beberapa bulan lalu, ia juga menghadiri pemakaman serupa. Bersama Clara, menangisi gadis belia yang tidak seharusnya merasakan segala hal mengerikan itu seorang diri hingga berujung pada kematian tragis.
Aksi Perlawanan“Lepaskan aku!” jerit Milly meronta, berusaha lepas dari cekalan kedua bodyguard Axton. Gaun pengantin sangat elegan melekat di tubuhnya, tapi terasa tipis. Bahunya terekspos. Segala pernak-pernik seperti anting-anting dan kalung mahal nan berkilau menghiasi dirinya. Sebuah veil pengantin terkait di belakang rambutnya.“Aku bilang lepaskan aku!” Kembali Milly berontak disertai jeritan histeris. Tidak ada make up terpoles di wajahnya. Bahkan semua yang dikenakannya saat ini adalah paksaan para pelayan Axton.Sementara Axton berjalan lebih dulu di helipad—landasan untuk helikopter—yang luas itu dengan kemeja putih dibalut setelan jas hitam, lengkap dengan celananya. Bunga kecil tersemat di sisi dadanya. Rambut yang tertata rapi sangat serasi, membuat penampilannya terkesan formal.Semilir angin malam berhembus di sekitar, menciptakan hawa dingin samar. Pintu heliko
Sumpah PernikahanBerkali-kali Marcus membuang nafas. Ia menutup matanya sejenak. Ketika terbuka ia menatap Axton yang ternyata sedang menatapnya.Dan bunyi pelatuk selalu bersiap ditarik Thomas untuk menembak isi kepala Marcus tanpa tedeng aling-aling. Tidak merasa ragu barang secuil pun, membuat Marcus menyerah.“Baiklah.”Detik berikutnya Marcus mulai mengutarakan hal yang biasa ia lakukan untuk memastikan keyakinan sepasang suami istri kala mengikat sebuah janji di pernikahan. Pria tua itu menatap Axton yang terarah lurus memandang Milly karena gadis itu menunduk, terus meneteskan air mata.“Axton Bardrolf, bersediakah kau menerima wanita ini sebagai istrimu? Menjaganya dalam keadaan sakit maupun sehat, serta dalam keadaan susah maupun senang sampai mau memisahkan?”Pertanyaan Marcus itu dijawab Axton dengan santai tanpa beban. Tatapannya terus
Gila kamu, Indira! protes Ava begitu Pak De tak terlihat lagi.Indira hanya menunduk dengan wajah merah padam, menahan malu dan jengah yang menerpa begitu birahinya mereda. Ava sadar, dirinyapun ikut bersalah dalam hal ini, terbawa suasana hingga terlarut dalam persetubuhan yang beresiko itu, tapi tetap saja…Kalau ketahuan Pak De gimana?! kalau kamu hamil?Aku suruh pacarku tanggung jawab, sahut Indira, lalu memalingkan muka.Angin berhembus masuk ke dalam studio, menghembuskan suatu perasaan yang aneh di dada Ava. Seharusnya ia merasa lega, namun perkataan Indira yang terakhir itu seperti seserpih perih yang menari pelan di permukaan hatinya.Ava, maaf… nggak seharusnya aku ngelakuin ini sama kamu… dan… umm… Indira terdiam, seperti hendak tak jadi melanjutkan kata-katanya.Terus apa?Yang tad
Apa istimewanya seorang mas-mas brewokan bernama Mustava Ibrahim? batin Indira berusaha memungkiri. Dewa dan mantan-mantannya yang lain jauh lebih tampan daripada pemuda itu!7 hari sudah berlalu, tapi Indira terus mencoba memahami teka-teki di hatinya sendiri, pun demikian hati wanita memang sulit dimengerti. Tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga si wanita itu sendiri. Kehadiran Ava dalam hidupnya benar-benar mengubah tone hidup-nya menjadi lebih berwarna. Berwarna seperti pelangi! Berwarna seperti lukisan! Marah, sedih, benci, bahagia, bercampur seperti palet-palet warna cat minyak yang dibaurkan ke dalam sanubarinya!Indira tertawa mengingat bagaimana ia pertama berjumpa Ava di air terjun, betapa tengik dan menyebalkannya anak itu! Huh! Tapi juga… remaja itu tersipu sendiri hingga pipinya perlahan bersemu.Dalam keheningan malam, Benak Indira kembali mengenang. Bagaimana saat Ava membelanya di Pub minggu lalu. Bagaimana saat Ava menampung isak tangisny
Taksi yang ditumpangi Ava dan Indira melaju di sepanjang Jl. By Pass, jalan besar yang sekilas mengingatkan Ava pada Ringroad di Jogja. Cahaya lampu jalan yang berwarna jingga berpendar di wajah Indira yang duduk di sampingnya.“Ava,” Indira memecah kebisuan.“Ya?”Gadis itu memandangi pipi Ava yang membiru terkena bogem. “Aku beneran nggak nyangka semuanya jadi kaya gini.”Ava tak langsung menjawab.“Yang tadi pagi juga…” Indira menyebut peristiwa di air terjun tadi pagi, di mana ia telah mengata-ngatai Ava sebagai teroris.Bisu menyelinap lagi di antara jarak yang memisahkan tempat duduk mereka. Ava menarik nafas panjang. “Kenapa sih, kamu?” tanya Ava.“Nggak tahu,” jawab Indira pelan. Sungguh, dirinya sendiri pun tidak tahu kenapa ia bisa membenci pemuda itu.Ava mendengus, nafasnya mengembun pada kaca mobil yang dingin. “Pasti gara-gara nam
Senja datang menjelang di Kuta yang semakin temaram. Matahari sudah menyembunyikan diri di balik horizon, menyisakan gradasi berwarna biru keunguan yang menyemburat dari balik kaki langit. Jalanan yang tadinya terik segera digantikan dengan riuh rendah dunia malam yang memenuhi setiap sudut jalan. Arus lalu lintas semakin padat merayap, dan trotoar mulai dipenuhi wisatawan asing yang baru pulang berselancar atau hendak keluar mengisi perut.Jalan Legian. Jika kalian kebetulan melancong ke Bali, sempatkanlah mengunjungi tempat ini. Lewat tengah malam, niscaya engkau akan mendapati klub-klub yang menyesaki kiri-dan kanan jalan seolah saling berlomba dan tak mau kalah dalam menarik perhatian setiap calon pengunjung, maka didentamkanlah musik sekeras-kerasnya dan dinyalakan lampu sorot sekilau-kilaunya. Jangan heran jika nanti engkau melihat bule-bule yang berjoget hingga trotoar di antara kemacetan yang berarak-arak.Seorang wanita dengan danda
Siang itu jalan menuju pantai tampak tidak sanggup lagi menampung volume kendaraan berplat luar kota yang semakin padat dari tahun ke tahun. Beberapa wisatawan asing melintas buru-buru di atas trotoar di kiri dan kanan jalan, menghindari panas matahari di balik baju-baju dan cinderamata yang dipajang bergantung-gantung pada art shop di pinggir jalan.Indira meliuk-liuk dengan skuter matic di antara kemacetan itu. Wajah blasterannya tampak berkerut-kerut melawan terik matahari. Siang itu benar-benar panas, angin yang berhembus juga angin yang benar-benar gersang, mengibarkan dress putih sepaha dan cardigans hitam yang dikenakannya untuk melawan terik.Indira melengguh kesal. Ia benar-benar kesal hari ini. Kesal kepada kemacetan ini, kesal kepada ayahnya, kesal pada Dewa, pacarnya yang tidak bisa dihubungi, kesal kepada semua! Terlebih lebih kepada mas-mas brewokan yang bernama Mustava Ibrahim itu.Sungguh, udara yang panas itu membuat kemarahan di dada Indira men
Hanyalah sesosok pohon beringin yang berdiri angkuh bak raksasa hijau di sekian sisa aroma kematian. Daunnya demikian merimbun, bertumpuk-tumpuk menghalangi jatuh cahaya ke puluhan orang yang berlalu di bawahnya. Ava berjalan dengan takut-takut, menghindari akar gantung yang menjuntai ke sampai tanah. Pohon Beringin itu nampak benar-benar wingit, apalagi dengan kain kotak-kotak hitam-putih yang dilingkarkan di sekelilingnya.Pagi itu hari Minggu, Galeri Pakde tentu tidak buka di hari Minggu. Maka Ava dan Kadek menyanggupi untuk menggantikan Pak De kerja bakti membersihkan areal Pura Dalem, yakni tempat peribadatan yang terletak di sekitar pekuburan untuk pemujaan alam kosmis demi menetralisir kekuatan positif dan negatif.Pekuburan itu nyaris tanpa nisan, karena prosesi pemakaman di tempat ini mengharuskan jenazah si Mati di lebur dalam api pralina [SUP](1)[/SUP] -dilebur oleh Sang Siwa, sehingga menyisakan bade [SUP](2)[/SUP] -sarkofagus w
The Lost AngelUfuk timur sudah benderang ketika Ava terbangun enggan dari tidurnya. Udara masih dingin dan kabut tipis masih melayang-layang di atas sawah. Ava menuruni tangga kayu di depan kamarnya dengan malas sambil merenggangkan tubuh.Pemandangan menakjubkan kemarin sore masih saja terbayang-bayang di kepala Ava. Hari sudah berganti, namun pemuda itu tak bisa berhenti tersenyum membayangkan apa lagi petualangan yang menantinya di tempat ini.Sepasang mata Ava tertuju pada Pura kecil di pojok belakang rumah. Di sampingnya berdiri pohon kamboja, dahannya menjuntai ke udara serupa tangan seorang Pandhita Ratu, menebarkan taksu ke sekujur bangunan batu bata merah di bawahnya.Ava melihat seorang bidadari sedang memegang dupa, menghaturkan doa dan sesaji sambil memejam khusyuk.Indira; Ava tahu nama bidadari itu dari Kadek. “Wuih, aslinya cantik dah pokoknya, bro!” p
Ubud, 2012…Hanyalah pemadangan sawah bertingkat-tingkat yang indah, dan deru skuter tua yang seolah tak mau lagi hidup yang menyusur di tengahnya. Matahari bersinar tinggi di langit biru tanpa awan, menyisakan silau di balik kacamata hitam Ava yang bundar besar.Skuter yang ditumpangi Ava berjalan perlahan melewati jalan kecil berkelok di tengah persawahan, mereka sedikit melambat saat melewati sekumpulan orang berpakaian hitam-hitam di jalan itu.Bli, Bli Kadek, ada apa ini ramai-ramai? Pemuda dengan brewok tebal itu menepuk pundak orang yang duduk di depannya.Kadek namanya, ia adalah kakak kelas Ava waktu kuliah di Institut Seni di Jogja. Kadek ini pula yang menawari Ava pekerjaan di tempat seorang seniman terkenal di kampungnya, setelah Ava lulus bulan lalu.Oh, ini ada pengabenan[SUP](1)[/SUP][SUP],[/SUP] Kadek menyahut tanpa menoleh.(1) Upa
Selamanya BersamaEmpat Bulan Kemudian…Milly telah menghabiskan banyak waktu bersama Axton, dan sekarang ia sedang merealisasikan rencana yang telah mereka susun bersama.Tepatnya di sini.Pada outdoor salah satu hotel Axton di Los Angeles yang sukses diubah menjadi begitu indah. Halaman itu telah dihiasi berikat-ikat bunga.Dalam gaun putih pengantin yang elegan, Milly berjalan pelan didampingi Thomas menelusuri karpet putih yang tergelar di tengah, sementara di sekelilingnya terdapat beragam meja yang dilapisi kain putih beserta kursi berjejer rapi. Semua terisi penuh oleh para tamu yang hadir.Michelle juga memakai gaun berwarna putih. Rambutnya tergerai indah dan ditata bergelombang. Gadis kecil itu terlihat bahagia berdiri bersama Rachel yang diikuti oleh para tamu menyambut kedatangan Milly.Rachel tersenyum lebar, matanya berpendar haru