Sebuah Dendam
“Apa yang kau lakukan Otis?!” jerit Wella ketika mendapati suaminya itu bertelanjang dada dan bercumbu dengan seorang wanita di atas sofa. Otis yang tadi sedang menindih dan mengemut buah dada wanita itu mendongak.
Istrinya tengah membekap mulut. Diikuti linangan air mata. “Kau… selingkuh dariku?”
Otis menyeringai. Ia meremas buah dada wanita itu, membuah desahan seksi itu lolos dari bibir wanita itu, lalu menjawab pertanyaan istrinya.
“Kau bisa keluar jika kau tidak suka melihatku Wella.”
“Otis…”1
“Dengar Wella…” Otis menarik wanita yang telah tidak berbusana itu agar beranjak bersamanya. Lalu memeluk pinggang wanita itu dari belakang, memasukkan jemarinya di inti wanita itu hingga pekikan erotis terdengar. Dan tanpa malu wanita itu bergoyang sambil mengalungkan tangannya pada leher Otis.
Tatapan Otis menatap Wella mengejek.
“Aku muak dengan semuanya. Pernikahan kita. Juga keluarga bahagia yang kita umumkan di publik. Aku lelah memainkan sandiwara sebagai suami terbaik untukmu.”
“Apa?”
“Ayahmu baru meninggal sebulan yang lalu. Jadi aku tidak perlu lagi bersikap manis di depanmu.” Otis menyeringai. Ia mengeluarkan jemarinya dan menggantinya dengan keperkasaan miliknya, memasuki wanita itu dari belakang hingga tubuh wanita itu tersentak.
Kemudian Otis mulai menggerakkan pinggulnya pelan. Ritme itu juga diikuti oleh wanita itu. Sambil mencumbu leher wanita itu, Otis menatap Wella.
“Aku tidak lagi membutuhkanmu. Lagi pula semua milik Ayahmu sudah berada dalam kendaliku.”
“Otis… kau…”
“Tidak ada pria yang ingin menikah dengan wanita mandul sepertimu.”
Air mata Wella mengalir deras. Kepalanya menggeleng dan hatinya merasa sangat sakit mendengar kata-kata Otis, suami yang sangat ia cintai selama bertahun-tahun ini. Ia tidak mengerti mengapa Otis melakukan semua ini padanya.
Otis meremas kedua payudara wanita itu hingga lenguhan seksi itu terdengar. Kepala suaminya itu menengadah terlihat menikmati percintaan panas itu. Dan pemandangan menjijikan itu tidak luput dari mata Wella.
“Kau pasti sedang bertanya mengapa aku mendadak berubah bukan?” Tangan Otis bergerilya ke bawah mengusap inti wanita itu tanpa malu di hadapan Wella.
“Aku suka ketika milikmu menyatu dengan milikku, honey,” bisik Otis sensual di telinga wanita itu, menyulut gairah.
Wanita itu mengigit bibir dan mengerang, “Oh, Otis. Milikmu sangat besar.”
“Ya dan ia hanya akan menyukai lubang milikmu, honey.”
Wella mengepalkan kedua tangannya, bibirnya bergetar. “Hentikan Otis…”
Kembali Otis menatap Wella penuh dengki. Tatapan yang tidak pernah dilihat oleh Wella sebelumnya. “Selama ini aku tidak pernah mencintaimu Wella. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk kembali pada wanitaku.”
Wella menelan salivanya dengan susah payah. Ia mengusap air mata yang terus merembes. “Wanita? Apa mak—”
“Clara Kincaid, wanita ini adalah cinta pertamaku. Kekasihku yang aku tinggalkan karena Ayahmu tahu kau begitu mencintaiku.”
“Otis…”
“Kau tahu apa yang dilakukan Ayahmu padaku di belakangmu?” Otis mengigit daun telinga Clara, sementara Clara hanya menatap lurus ke arah Wella. Ada gairah bercampur kebencian di sana. Sesekali ia mendesah nikmat oleh sentuhan Otis yang meraba tubuhnya.
“Ayahmu membunuh juga merengut harta kedua orangtuaku. Lalu mengancamku akan menyakiti wanitaku. Karena itu aku akhirnya meninggalkannya demi dirimu.”
Pengakuan Otis membuat Wella sangsi. “Tidak. Ayahku bukan orang seperti itu,” lirihnya.
“Kau tahu jelas Otis. Ia sangat menyayangimu.”
“Itu kepalsuan Wella. Dan Ayahmu pula yang telah mencelakai Putriku.” Otis kemudian menarik wajah Clara, menciumnya dengan ganas. Seakan tidak mempedulikan keberadaan Wella yang berderai air mata di ujung ruangan.
“Putriku yang baru kuketahui setelah ia tiada,” erang Otis di sela lumatannya. Ada rasa pilu dan terluka terselip dalam nada bicaranya. Ekor matanya melirik Wella.
“Ayahmu menyewa lima pria sialan untuk menodainya sampai tidak bernyawa lagi.”
Otis kemudian melepas pagutan mereka. Terengah-engah bersama Clara.
“Tidak hanya itu…” Jemari Otis mengusap sensual bibir bengkak Clara dengan senyum nakal. Kembali memandang Wella tajam.
“Kehidupan wanitaku menjadi seperti sekarang karena Ayahmu. Keluarga wanitaku terlilit utang pada Ayahmu dan ia harus melunasinya dengan menjadi wanita mainan Ayahmu, Wella.”
“Hingga…” Kerongkongan Otis terasa kering, tapi ia tetap melanjutkan,
“ia menjadi terbiasa dengan itu dan rela menjadi wanita panggilan pria mana pun demi membiayai kehidupan putriku.”
“Ayahku bukan pria bajingan seperti yang kau katakan Otis!” marah Wella karena Ayahnya dijelekkan begitu saja padahal sosoknya telah tiada di dunia ini.
“Kau yang bajingan, Otis…” racau Wella tertunduk di lantai. Menutup wajahnya dengan kedua tangan. Menangis keras.
Tapi detik berikutnya ia terkejut ketika suaminya menarik tangannya. Menyeretnya keluar rumah secara paksa.
“Otis!” pekik Wella saat tersungkur di pekarangan rumah.
Hatinya terasa perih sekali seperti ditikam ribuan pisau. Dadanya sesak dan segala perasaan hancur berbaur jadi satu ketika melihat suaminya kini membentaknya,
“Dan sekarang sudah saatnya, kau merasakan kesusahan itu Wella!”
“Keluar dan jangan muncul di hadapanku lagi!”
Setelah itu pintu berdebam kencang, Wella berjengit lalu menangis sesegukan.
***
Pagi harinya, Axton menggedor pintu rumahnya. “Dad!” teriaknya lantang. Sementara Wella meringkuk di dekat pot bunga, pandangannya kosong dan terlihat terpukul berat.
Entah apa yang terjadi dengan Ibunya, tapi Axton merasa ada yang salah. Kondisi Ibunya tampak memprihatinkan. Menangis dan menjerit ketika ia datang. Tidak fokus pula menatap matanya.
“Kau sudah kembali?” pintu itu terbuka dan sambutan cuek diberikan Otis padanya membuat heran Axton. Terlebih ada noda lipstik di bibir Ayahnya itu.
“Apa yang kaulakukan Dad? Kenapa Mom ada di luar?”
Otis melirik tidak minat ke arah Wella sambil mengancing kemejanya. Istrinya itu menggeleng seperti melihat hantu.
“Aku akan menceraikannya. Kau harus siap mempunyai Ibu baru.”
“Apa?”
Otis mengangkat kedua bahunya cuek. “Jika kau tidak ingin, kau bisa keluar dari rumah ini juga Aro. Daddy sama sekali tidak keberatan.”
“Apa maksudmu Dad?”
“Simple. Daddy tidak mencintai Mommy lagi. Kau ingin ikut Daddy, maka kau bisa menikmati fasilitas di rumah ini. Tapi jika kau ingin ikut Mommy, kau harus siap menjalani kehidupan keras tanpa sepeser uang.”
Setelah itu Otis masuk ke dalam rumah kembali, namun pintu masih terbuka. Axton lantas berlutut dengan satu kaki terlipat dan ingin bertanya pada Wella, memegang bahu Ibunya, “Mom…”
Wella segera menepis tangan Axton. “Pergi!!!” teriaknya histeris. Kemudian beringsut menjauh dari Axton segera, membuat sorot sendu meliputi bola mata Axton.
Ibunya tampak kacau. Tidak terlihat bagai orang normal pada umumnya.
Lalu seruan Otis dari dalam rumah terdengar, “Kau bisa membawanya ke psikiater Aro. Mommy-mu sepertinya mengalami depresi berat!”
Axton mengepalkan kedua tangannya, menatap nyalang sosok Ayahnya dari jauh. Sekilas ia menangkap sekelebat bayangan wanita yang bermesraan dengan Ayahnya di dapur, sebelum lenyap begitu saja dari pandangannya.
“Apa wanita itu yang menyakitimu Mom?” gumam Axton berang.
Bersambung
Detik-Detik KematianDua hari kemudian, Axton hendak mengetuk pintu rumahnya. Tapi suara desahan dan lenguhan menelusup di indera pendengarannya. Apalagi ketika ia mendorong pintu itu, nyatanya tidak terkunci.Suasana malam di rumahnya gelap. Namun erangan demi desahan itu makin jelas tergiang di pendengarannya. Ia mendekat dengan wajah menahan amarah."Dad," ucap Axton datar waktu menyalakan lampu dan mendapati Ayahnya bertelanjang dada dan sedang memangku seorang wanita tanpa busana. Terlihat menikmati menghisap buah dada wanita itu sementara tangan wanita itu meremas rambut Ayahnya."Kau...""Sudah pulang hm?"Axton bergeming selama sesaat.Sedangkan Otis di sela permainan panasnya mengulum diiringi desahan nikmat Clara, berkata lagi, "Kau tidak tahan hidup tanpa sepeser uang maka kau kembali pada Daddy." Ada senyum miring terbit di bibir Ayahnya. Lidah Ayahnya menelusuri puting wanita itu."Ah Otis...""Ya, honey. Se
PembunuhanAxton duduk di sisi ranjang yang ditaburi mawar-mawar indah. Ia berada di sebuah hotel megah di Los Angeles. Sengaja wajahnya ia tutup menggunakan topeng silver. Ketika pintu terbuka, kepalanya langsung menoleh.Clara Kincaid.Wanita yang pernah dilihatnya bercumbu liar bersama Ayahnya. Lewat topengnya itu Axton mengamati penampilan wanita itu dari atas sampai bawah. Dress ketat yang sukses mempertontonkan keseluruhan lekuk tubuh. Juga hampir tidak bisa menutupi bokong.“Kau suka honey?” Clara menggoda dengan suara merdunya.Axton tidak menjawab hanya menyeringai.Clara kemudian mendekatinya. Duduk di sebelahnya, memangku satu kakinya, menampakkan paha mulusnya. Axton sempat meliriknya sekilas tanpa minat.Ia masih waras. Ia tidak suka dan tidak tertarik pada wanita berumur. Lagi pula saat ini ia sedang menyamar men
Tangisan KehilanganKelopak mata Milly terbuka. Hari sudah pagi, itu terlihat dari cahaya yang menelusup di balik tirai di ruangan keluarga. Ia tertidur di sofa, menunggu kepulangan Clara. Merenggangkan tangannya ke atas, ia kemudian beranjak.Matanya menatap di setiap penjuru rumah, tampak sepi. Sepertinya semalam Ibunya tidak pulang.“Mom sepertinya kau telah lupa padaku,” gumam Milly cemberut.Lalu tanpa merasa keanehan apapun ia menjalankan aktifitasnya seperti biasa. Menarik nafas singkat dan menuju dapur. Membuka lemari kecil di atas, mengambil sekotak sereal, juga mangkok kemudian meletakkannya di meja bar.Namun tidak lama suara ketukan pintu mengagetkannya, sangat heboh. “Milly. Apa kau ada di dalam?” Itu adalah suara Bibi Rachel, terdengar rentan dan rapuh.Bergegas, Milly melangkah menuju pintu, tapi sebelum itu ia menggeser
KericuhanSeminggu kemudian…“Kemana Elena?” tanya Fernandez kepada gadis yang melayaninya. Bola mata gadis itu terasa familiar di matanya, tapi ia tidak yakin mirip siapa hingga tidak terlalu memusingkan. Terlebih wajahnya sebagian tertutup masker.“Elena?” suara gadis itu agak teredam karena masker yang dikenakannya. Ekspresinya tampak bingung. Ekor matanya sekilas melirik ke arah pintu yang tertutup tidak jauh dari posisinya berdiri, tepat di sebelah kanan.“Ya. Ia bekerja di sini dan hanya ia yang tahu jelas seperti apa pesananku.” Alis Fernandez terangkat sebelah dan kedua tangannya berada di saku.“Aku ingin ia yang berdiri di depanku sekarang.”“Untuk sementara kau bisa—” Kalimat gadis itu tidak selesai karena pintu itu terbuka lebar dan memunculkan sosok Elena Corrigan yang beruraian air mata.
Sebuah KesepakatanHal pertama yang didapati Milly ketika pintu itu telah terbuka adalah penampilan Elena yang tampak agak berantakan. Rambutnya dicepol sembarangan. Blouse pinknya terlihat compang-camping. Muka temannya itu memerah.“Maaf aku baru bisa membuka pintu sekarang. Tadi aku sedikit mengatasi sesuatu hal,” jelas Elena ngos-ngosan, membuat Milly mengernyit.“Apa kau terjatuh?”Elena tertawa. “Tidak Milly.”“Aku mendengar suara-”“Tidak. Tidak ada apa-apa Milly,” potong Elena cepat. Kemudian melebarkan pintunya dan mempersilahkan Milly.“Masuklah.”Milly pun masuk ke dalam aparteman sederhana Elena. Ia lalu bertanya pada Elena. “Jadi untuk apa kau memanggilku?” Pandangannya kemudian berhenti pada satu titik. Kepada lelaki yang tadi dilihatn
Mawar Merah“Hei, Mom,” sapa Axton kepada Wella yang hanya duduk mematung di tepi kasur. Tatapannya kosong dan tampak sedang melamunkan sesuatu.Axton membuang nafas lelah. Tapi ia berusaha mengukir senyum dan menutup pintu kamar. Kemudian berjalan ke arah jendela. Melirik kebun kecil mawar merah di bawah sana. Suasana musim semi pagi ini membuat bunga-bunga itu tampak mekar dengan indah.Ia tahu betul bahwa Ibunya suka bercengkraman dengan bunga-bunga itu—sebelum pengkhianatan Ayahnya terjadi dan merusak momen kebersamaan mereka selama ini. Bunga-bunga itu bahkan dulu menjadi saksi bisu setiap aktifitas keluarga mereka di pagi hari.Kecupan mesra yang diberikan Ayahnya kepada Ibunya…Elusan lembut di puncak kepalanya sebagai bukti kasih sayang seorang Ayah untuknya…Dan Axton tidak akan membiarkan bunga-bunga itu mati. Ia tidak ingin Ayahnya tertawa dan
Kejutan Pahit“Anda Milly Kincaid?” tanya Thomas yang berjaga di pintu ruang kerja Axton.Milly yang tampak ling lung akibat tidak terbiasa dengan luasnya setiap area di gedung ini lantas menatap Thomas. Ia tadi diperintahkan untuk menuju ke lantai ini. Tepatnya lantai 30. Semburat senyum tipis dipamerkannya.“Kau teman Andez?”Thomas berdeham ketika meneliti penampilan Milly dari atas sampai bawah secara terang-terangan. Gadis itu mengenakan dress peach tanpa lengan namun panjangnya melewati lutut. Juga sepatu converse. Padanan yang cukup aneh. Terlebih masker bunga-bunga yang menutupi sebagian wajah gadis itu.“Saya bukan teman Tuan Andez.”“Lalu?”“Anda tidak perlu tahu siapa saya. Mari saya antarkan anda bertemu dengan Tuan Ax. Karena Tuan Ax sudah menunggu anda sejak tadi.”
Kehancuran Menyakitkan“Turunkan aku!” jerit Milly meronta memukul punggung Axton ketika lelaki berjalan membawanya menuju kamar rahasia di ruangan kerjanya.Milly tadi sempat ingin melarikan diri lewat jendela kerja Axton. Berniat menghancurkannya, namun batal sebab ia menjadi tertegun selama beberapa detik waktu sadar ketinggian di bawah sana. Lalu sebelum ia menghindar lebih lanjut, Axton telah lebih dulu mengangkat tubuhnya.“Ah,” ringis Milly ketika Axton melemparnya di ranjang. Tubuhnya terbanting di sana dan kepalanya terasa pening. Sementara ia mengumpulkan kesadarannya sejenak, Axton tiba-tiba menarik kakinya membuat ia meluncur ke bawah.“Apa yang kau lakukan?!” pekik Milly histeris. Apalagi saat Axton mulai merangkak ke atasnya, menangkap kedua tangannya, mengikatnya dengan dasi yang sebelumnya diambil di atas nakas.“Menurutmu?” Axton bertanya balik di sela giginya yang menarik kencang simpu
Gila kamu, Indira! protes Ava begitu Pak De tak terlihat lagi.Indira hanya menunduk dengan wajah merah padam, menahan malu dan jengah yang menerpa begitu birahinya mereda. Ava sadar, dirinyapun ikut bersalah dalam hal ini, terbawa suasana hingga terlarut dalam persetubuhan yang beresiko itu, tapi tetap saja…Kalau ketahuan Pak De gimana?! kalau kamu hamil?Aku suruh pacarku tanggung jawab, sahut Indira, lalu memalingkan muka.Angin berhembus masuk ke dalam studio, menghembuskan suatu perasaan yang aneh di dada Ava. Seharusnya ia merasa lega, namun perkataan Indira yang terakhir itu seperti seserpih perih yang menari pelan di permukaan hatinya.Ava, maaf… nggak seharusnya aku ngelakuin ini sama kamu… dan… umm… Indira terdiam, seperti hendak tak jadi melanjutkan kata-katanya.Terus apa?Yang tad
Apa istimewanya seorang mas-mas brewokan bernama Mustava Ibrahim? batin Indira berusaha memungkiri. Dewa dan mantan-mantannya yang lain jauh lebih tampan daripada pemuda itu!7 hari sudah berlalu, tapi Indira terus mencoba memahami teka-teki di hatinya sendiri, pun demikian hati wanita memang sulit dimengerti. Tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga si wanita itu sendiri. Kehadiran Ava dalam hidupnya benar-benar mengubah tone hidup-nya menjadi lebih berwarna. Berwarna seperti pelangi! Berwarna seperti lukisan! Marah, sedih, benci, bahagia, bercampur seperti palet-palet warna cat minyak yang dibaurkan ke dalam sanubarinya!Indira tertawa mengingat bagaimana ia pertama berjumpa Ava di air terjun, betapa tengik dan menyebalkannya anak itu! Huh! Tapi juga… remaja itu tersipu sendiri hingga pipinya perlahan bersemu.Dalam keheningan malam, Benak Indira kembali mengenang. Bagaimana saat Ava membelanya di Pub minggu lalu. Bagaimana saat Ava menampung isak tangisny
Taksi yang ditumpangi Ava dan Indira melaju di sepanjang Jl. By Pass, jalan besar yang sekilas mengingatkan Ava pada Ringroad di Jogja. Cahaya lampu jalan yang berwarna jingga berpendar di wajah Indira yang duduk di sampingnya.“Ava,” Indira memecah kebisuan.“Ya?”Gadis itu memandangi pipi Ava yang membiru terkena bogem. “Aku beneran nggak nyangka semuanya jadi kaya gini.”Ava tak langsung menjawab.“Yang tadi pagi juga…” Indira menyebut peristiwa di air terjun tadi pagi, di mana ia telah mengata-ngatai Ava sebagai teroris.Bisu menyelinap lagi di antara jarak yang memisahkan tempat duduk mereka. Ava menarik nafas panjang. “Kenapa sih, kamu?” tanya Ava.“Nggak tahu,” jawab Indira pelan. Sungguh, dirinya sendiri pun tidak tahu kenapa ia bisa membenci pemuda itu.Ava mendengus, nafasnya mengembun pada kaca mobil yang dingin. “Pasti gara-gara nam
Senja datang menjelang di Kuta yang semakin temaram. Matahari sudah menyembunyikan diri di balik horizon, menyisakan gradasi berwarna biru keunguan yang menyemburat dari balik kaki langit. Jalanan yang tadinya terik segera digantikan dengan riuh rendah dunia malam yang memenuhi setiap sudut jalan. Arus lalu lintas semakin padat merayap, dan trotoar mulai dipenuhi wisatawan asing yang baru pulang berselancar atau hendak keluar mengisi perut.Jalan Legian. Jika kalian kebetulan melancong ke Bali, sempatkanlah mengunjungi tempat ini. Lewat tengah malam, niscaya engkau akan mendapati klub-klub yang menyesaki kiri-dan kanan jalan seolah saling berlomba dan tak mau kalah dalam menarik perhatian setiap calon pengunjung, maka didentamkanlah musik sekeras-kerasnya dan dinyalakan lampu sorot sekilau-kilaunya. Jangan heran jika nanti engkau melihat bule-bule yang berjoget hingga trotoar di antara kemacetan yang berarak-arak.Seorang wanita dengan danda
Siang itu jalan menuju pantai tampak tidak sanggup lagi menampung volume kendaraan berplat luar kota yang semakin padat dari tahun ke tahun. Beberapa wisatawan asing melintas buru-buru di atas trotoar di kiri dan kanan jalan, menghindari panas matahari di balik baju-baju dan cinderamata yang dipajang bergantung-gantung pada art shop di pinggir jalan.Indira meliuk-liuk dengan skuter matic di antara kemacetan itu. Wajah blasterannya tampak berkerut-kerut melawan terik matahari. Siang itu benar-benar panas, angin yang berhembus juga angin yang benar-benar gersang, mengibarkan dress putih sepaha dan cardigans hitam yang dikenakannya untuk melawan terik.Indira melengguh kesal. Ia benar-benar kesal hari ini. Kesal kepada kemacetan ini, kesal kepada ayahnya, kesal pada Dewa, pacarnya yang tidak bisa dihubungi, kesal kepada semua! Terlebih lebih kepada mas-mas brewokan yang bernama Mustava Ibrahim itu.Sungguh, udara yang panas itu membuat kemarahan di dada Indira men
Hanyalah sesosok pohon beringin yang berdiri angkuh bak raksasa hijau di sekian sisa aroma kematian. Daunnya demikian merimbun, bertumpuk-tumpuk menghalangi jatuh cahaya ke puluhan orang yang berlalu di bawahnya. Ava berjalan dengan takut-takut, menghindari akar gantung yang menjuntai ke sampai tanah. Pohon Beringin itu nampak benar-benar wingit, apalagi dengan kain kotak-kotak hitam-putih yang dilingkarkan di sekelilingnya.Pagi itu hari Minggu, Galeri Pakde tentu tidak buka di hari Minggu. Maka Ava dan Kadek menyanggupi untuk menggantikan Pak De kerja bakti membersihkan areal Pura Dalem, yakni tempat peribadatan yang terletak di sekitar pekuburan untuk pemujaan alam kosmis demi menetralisir kekuatan positif dan negatif.Pekuburan itu nyaris tanpa nisan, karena prosesi pemakaman di tempat ini mengharuskan jenazah si Mati di lebur dalam api pralina [SUP](1)[/SUP] -dilebur oleh Sang Siwa, sehingga menyisakan bade [SUP](2)[/SUP] -sarkofagus w
The Lost AngelUfuk timur sudah benderang ketika Ava terbangun enggan dari tidurnya. Udara masih dingin dan kabut tipis masih melayang-layang di atas sawah. Ava menuruni tangga kayu di depan kamarnya dengan malas sambil merenggangkan tubuh.Pemandangan menakjubkan kemarin sore masih saja terbayang-bayang di kepala Ava. Hari sudah berganti, namun pemuda itu tak bisa berhenti tersenyum membayangkan apa lagi petualangan yang menantinya di tempat ini.Sepasang mata Ava tertuju pada Pura kecil di pojok belakang rumah. Di sampingnya berdiri pohon kamboja, dahannya menjuntai ke udara serupa tangan seorang Pandhita Ratu, menebarkan taksu ke sekujur bangunan batu bata merah di bawahnya.Ava melihat seorang bidadari sedang memegang dupa, menghaturkan doa dan sesaji sambil memejam khusyuk.Indira; Ava tahu nama bidadari itu dari Kadek. “Wuih, aslinya cantik dah pokoknya, bro!” p
Ubud, 2012…Hanyalah pemadangan sawah bertingkat-tingkat yang indah, dan deru skuter tua yang seolah tak mau lagi hidup yang menyusur di tengahnya. Matahari bersinar tinggi di langit biru tanpa awan, menyisakan silau di balik kacamata hitam Ava yang bundar besar.Skuter yang ditumpangi Ava berjalan perlahan melewati jalan kecil berkelok di tengah persawahan, mereka sedikit melambat saat melewati sekumpulan orang berpakaian hitam-hitam di jalan itu.Bli, Bli Kadek, ada apa ini ramai-ramai? Pemuda dengan brewok tebal itu menepuk pundak orang yang duduk di depannya.Kadek namanya, ia adalah kakak kelas Ava waktu kuliah di Institut Seni di Jogja. Kadek ini pula yang menawari Ava pekerjaan di tempat seorang seniman terkenal di kampungnya, setelah Ava lulus bulan lalu.Oh, ini ada pengabenan[SUP](1)[/SUP][SUP],[/SUP] Kadek menyahut tanpa menoleh.(1) Upa
Selamanya BersamaEmpat Bulan Kemudian…Milly telah menghabiskan banyak waktu bersama Axton, dan sekarang ia sedang merealisasikan rencana yang telah mereka susun bersama.Tepatnya di sini.Pada outdoor salah satu hotel Axton di Los Angeles yang sukses diubah menjadi begitu indah. Halaman itu telah dihiasi berikat-ikat bunga.Dalam gaun putih pengantin yang elegan, Milly berjalan pelan didampingi Thomas menelusuri karpet putih yang tergelar di tengah, sementara di sekelilingnya terdapat beragam meja yang dilapisi kain putih beserta kursi berjejer rapi. Semua terisi penuh oleh para tamu yang hadir.Michelle juga memakai gaun berwarna putih. Rambutnya tergerai indah dan ditata bergelombang. Gadis kecil itu terlihat bahagia berdiri bersama Rachel yang diikuti oleh para tamu menyambut kedatangan Milly.Rachel tersenyum lebar, matanya berpendar haru