Permulaan
Tiga bulan kemudian…
Clara membuka pintu rumah itu, mempersilahkan seorang gadis yang ia tidak sengaja temukan di jalanan pada malam dimana butiran salju turun. “Masuklah.”
Gadis itu mengamati seluruh penjuru ruangan itu. Terlihat sangat sederhana. Perabotannya pun tidak terlalu banyak. Seperti baru saja pindah. Cahaya pagi menelusup di balik tirai jendela. Ia kemudian menatap Clara dengan bingung.
“Mulai sekarang ini adalah rumahmu. Kau akan tinggal bersamaku di sini.”
Namun detik berikutnya Clara tersadar saat menyadari dahi gadis itu mengernyit. Ia segera meralat ucapannya. Tangannya merapikan beberapa helai rambut yang menjuntai, menutupi wajah gadis itu. Menyelipkannya di telinga.
“Maksudku, ini adalah rumah baru kita. Mommy baru saja menyewa tempat ini karena suasana di sini jauh lebih nyaman dari pada tempat lama kita Milly.”
Lagi, sorot mata gadis itu mengitari. Menjelajah seluruh isi rumah itu dengan seksama.
Sedangkan Clara kembali berbicara,
“Dan Mommy baru bisa memindahkan beberapa barang saja dari tempat lama kita.”
Gadis itu kemudian terkejut ketika Clara tiba-tiba menariknya, membawanya ke hadapan cermin. Clara mengumbar senyum hangat padanya. Kemudian mengeluarkan ponsel. Menggeser sesuatu dan memamerkan sebuah foto padanya.
“Lihatlah. Ini adalah foto kita sewaktu berada di rumah yang lama.”
Pelan, gadis itu mengambil ponsel Clara. Menatapnya lama, lalu memandang pantulan dirinya. Raut wajahnya berubah sedih.
“Apa yang terjadi padaku Mom?”
Pertanyaan itu langsung direspon Clara dengan pelukan hangat. Gadis itu walau ragu, membalas pelukan Clara. Tersenyum tipis.
“Kau mengalami kecelakaan dan aku tidak ingin kau mencoba mengingatnya. Tidak apa kau menyingkirkan kenangan buruk itu dari kepalamu.”
“Kau hanya perlu mengenang segala hal indah dalam kepalamu mulai sekarang.” Kemudian pelukan Clara terurai. Lekat ditatapnya bola mata hijau gadis itu.
“Kau adalah Milly Kincaid, putri yang sangat kusayangi. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu.”
Tubuh gadis itu kembali terdorong, terbenam dalam dekapan Clara lagi.
“Milly?” gumam gadis itu.
“Ya. Kau mungkin lupa identitasmu setelah kecelakaan itu. Tapi aku akan membantumu. Perlahan-lahan kau akan ingat masa-masa menyenangkan bersama yang pernah kita lewati sayang.” Rengkuhan Clara makin erat dan bibirnya turut memberikan kecupan singkat di kening gadis itu.
Maafkan dirinya yang bertindak egois. Perasaan tidak rela melepas kematian putrinya membuat ia melakukan semua ini. Kepada gadis yang terbangun dan seketika melupakan memori di kepalanya, Clara memanfaatkan-mengubah seluruh hal tentang gadis itu.
Walau ia tahu siapa gadis itu sebenarnya.
Pikiran itu terlintas begitu saja di benaknya. Hingga wajah gadis itu sekarang telah dipermaknya serupa dengan putrinya yang bernama Milly Kincaid, tapi telah meninggal beberapa bulan lalu akibat diperkosa dan ditinggalkan begitu saja dalam keadaan tak bernyawa.
Tidak akan ada yang mengenal gadis ini lagi.
Sebab mulai detik ini, gadis ini akan hidup sebagai putrinya.
Dan Clara bersumpah tidak akan membiarkan hal buruk itu dialami oleh putrinya lagi. Milly-nya.
***
“Kau sudah menemukannya?” tanya Fernandez Miller, salah satu karib Axton yang telah lama berteman sejak duduk di bangku junior high school. Lelaki itu duduk di sebelah sofa Axton sementara suara musik menghentak di sekeliling mereka.
Kerlap-kerlip lampu warna-warni menyala, membuat suasana malam itu semakin heboh. Beberapa para pasangan berdansa dengan vulgar di dansa floor. Memeluk dan berciuman dengan panas.
“Tidak…” balas Axton menuangkan botol berisi alkohol ke gelas. Menenggaknya kemudian. “Thomas sudah mencarinya.”
“Kurasa… kau harus melupakannya Axton,” ujar Fernandez ikut menenggak minuman yang dituangkan Axton ke gelasnya.
“Aku yakin ia masih hidup Andez.”
Kemudian Axton melirik ponselnya yang menampilkan wallpaper kemesraan dirinya dengan Evelyn. Di foto itu mereka terlihat bahagia dengan saling merangkul mesra dan gambar itu angelnya diambil dari atas kepala. Tentu saja Axton yang memegang kameranya.
“Entah dimana ia…” lirih Axton. Wajah temannya itu tampak kacau.
Fernandez menyandarkan punggung ke sofa. Ekor matanya melirik Axton. Temannya itu sekarang tengah mengusap wajahnya, mengerang.
“Aku berniat melamarnya malam itu di hari ulang tahunku.”
“Kau sudah menyiapkan segalanya dengan baik hm?”
Axton menggeleng akibat rasa pening mendera kepalanya. Ia kemudian menyandarkan kepala di sandaran sofa. Matanya menerawang hampa.
“Ya. Dan seharusnya hari ini ia bersamaku di atas ranjang.”
“Jika isi otakmu hanya tentang ranjang, maka kau bisa menghabiskan waktumu dengan gadis pirang itu.”
“Apa maksudmu?”
“Ia sangat tergila-gila padamu. Kau bisa menuntaskan fantasimu tentang Eve dengannya.” Fernandez melirik ke arah Chloe yang berjalan dengan gaun seksinya-mengekspos belahan dada juga paha mulusnya. Mengoyangkan pinggulnya ke kanan dan ke kiri, menghampiri Axton.
Gadis itu adalah teman senior high school mereka dan begitu terobsesi dengan Axton. Tapi pupus ketika Axton memacari Evelyn. Namun usai mengetahui kabar duka tentang Evelyn beberapa hari lalu, gadis itu kembali berusaha mendapatkan Axton kembali. Ia berharap bisa menggantikan posisi Evelyn di hati Axton.
“Hei Axton,” sapa gadis itu. Tangannya terjulur pada sisi kepala Axton di sandaran sofa, mengurungnya.
Mata Axton menggelap memandangi gadis pirang itu.
“Sepertinya kau sedang mengalami hari yang buruk hm.”
Fernandez menghela nafas melihat Chloe mulai menggoda Axton dengan jemari lentiknya. Bermain di sekitar pipi Axton. “Aku bisa menemanimu malam ini…”
“Dan kau…” Chloe menatap Fernandez dengan senyuman miring. “Bisa kau meninggalkan kami berdua?”
“Sayangnya aku tidak bisa.” Fernandez menolak mentah-mentah pengusiran Chloe. Ia kembali asik menuang minumannya.
Sementara Chloe berdesis dan pada detik yang sama Axton menarik kepala gadis itu, menciumnya dengan panas.
Fernandez yang melihat itu hanya tersenyum sinis. Tegukan demi tegukan cairan alkohol itu menjalar di kerongkongannya.
Satu hal yang Axton tidak ketahui bahwa dirinya yang menjadi dalang dari kecelakaan kekasihnya. Evelyn Blossom.
Dan Fernandez bersumpah akan menemukan gadis itu lebih dulu daripada Axton. Lalu menghabisinya. Jika perlu mengirimkan jasadnya setelahnya kepada Axton agar lelaki itu bisa merasakan sedih juga sehancur apa kehilangan orang yang memiliki andil penting dalam hidupnya
Sebuah Dendam“Apa yang kau lakukan Otis?!” jerit Wella ketika mendapati suaminya itu bertelanjang dada dan bercumbu dengan seorang wanita di atas sofa. Otis yang tadi sedang menindih dan mengemut buah dada wanita itu mendongak.Istrinya tengah membekap mulut. Diikuti linangan air mata. “Kau… selingkuh dariku?”Otis menyeringai. Ia meremas buah dada wanita itu, membuah desahan seksi itu lolos dari bibir wanita itu, lalu menjawab pertanyaan istrinya.“Kau bisa keluar jika kau tidak suka melihatku Wella.”“Otis…”1“Dengar Wella…” Otis menarik wanita yang telah tidak berbusana itu agar beranjak bersamanya. Lalu memeluk pinggang wanita itu dari belakang, memasukkan jemarinya di inti wanita itu hingga pekikan erotis terdengar. Dan tanpa malu wanita itu bergoyang sambil mengalungkan ta
Detik-Detik KematianDua hari kemudian, Axton hendak mengetuk pintu rumahnya. Tapi suara desahan dan lenguhan menelusup di indera pendengarannya. Apalagi ketika ia mendorong pintu itu, nyatanya tidak terkunci.Suasana malam di rumahnya gelap. Namun erangan demi desahan itu makin jelas tergiang di pendengarannya. Ia mendekat dengan wajah menahan amarah."Dad," ucap Axton datar waktu menyalakan lampu dan mendapati Ayahnya bertelanjang dada dan sedang memangku seorang wanita tanpa busana. Terlihat menikmati menghisap buah dada wanita itu sementara tangan wanita itu meremas rambut Ayahnya."Kau...""Sudah pulang hm?"Axton bergeming selama sesaat.Sedangkan Otis di sela permainan panasnya mengulum diiringi desahan nikmat Clara, berkata lagi, "Kau tidak tahan hidup tanpa sepeser uang maka kau kembali pada Daddy." Ada senyum miring terbit di bibir Ayahnya. Lidah Ayahnya menelusuri puting wanita itu."Ah Otis...""Ya, honey. Se
PembunuhanAxton duduk di sisi ranjang yang ditaburi mawar-mawar indah. Ia berada di sebuah hotel megah di Los Angeles. Sengaja wajahnya ia tutup menggunakan topeng silver. Ketika pintu terbuka, kepalanya langsung menoleh.Clara Kincaid.Wanita yang pernah dilihatnya bercumbu liar bersama Ayahnya. Lewat topengnya itu Axton mengamati penampilan wanita itu dari atas sampai bawah. Dress ketat yang sukses mempertontonkan keseluruhan lekuk tubuh. Juga hampir tidak bisa menutupi bokong.“Kau suka honey?” Clara menggoda dengan suara merdunya.Axton tidak menjawab hanya menyeringai.Clara kemudian mendekatinya. Duduk di sebelahnya, memangku satu kakinya, menampakkan paha mulusnya. Axton sempat meliriknya sekilas tanpa minat.Ia masih waras. Ia tidak suka dan tidak tertarik pada wanita berumur. Lagi pula saat ini ia sedang menyamar men
Tangisan KehilanganKelopak mata Milly terbuka. Hari sudah pagi, itu terlihat dari cahaya yang menelusup di balik tirai di ruangan keluarga. Ia tertidur di sofa, menunggu kepulangan Clara. Merenggangkan tangannya ke atas, ia kemudian beranjak.Matanya menatap di setiap penjuru rumah, tampak sepi. Sepertinya semalam Ibunya tidak pulang.“Mom sepertinya kau telah lupa padaku,” gumam Milly cemberut.Lalu tanpa merasa keanehan apapun ia menjalankan aktifitasnya seperti biasa. Menarik nafas singkat dan menuju dapur. Membuka lemari kecil di atas, mengambil sekotak sereal, juga mangkok kemudian meletakkannya di meja bar.Namun tidak lama suara ketukan pintu mengagetkannya, sangat heboh. “Milly. Apa kau ada di dalam?” Itu adalah suara Bibi Rachel, terdengar rentan dan rapuh.Bergegas, Milly melangkah menuju pintu, tapi sebelum itu ia menggeser
KericuhanSeminggu kemudian…“Kemana Elena?” tanya Fernandez kepada gadis yang melayaninya. Bola mata gadis itu terasa familiar di matanya, tapi ia tidak yakin mirip siapa hingga tidak terlalu memusingkan. Terlebih wajahnya sebagian tertutup masker.“Elena?” suara gadis itu agak teredam karena masker yang dikenakannya. Ekspresinya tampak bingung. Ekor matanya sekilas melirik ke arah pintu yang tertutup tidak jauh dari posisinya berdiri, tepat di sebelah kanan.“Ya. Ia bekerja di sini dan hanya ia yang tahu jelas seperti apa pesananku.” Alis Fernandez terangkat sebelah dan kedua tangannya berada di saku.“Aku ingin ia yang berdiri di depanku sekarang.”“Untuk sementara kau bisa—” Kalimat gadis itu tidak selesai karena pintu itu terbuka lebar dan memunculkan sosok Elena Corrigan yang beruraian air mata.
Sebuah KesepakatanHal pertama yang didapati Milly ketika pintu itu telah terbuka adalah penampilan Elena yang tampak agak berantakan. Rambutnya dicepol sembarangan. Blouse pinknya terlihat compang-camping. Muka temannya itu memerah.“Maaf aku baru bisa membuka pintu sekarang. Tadi aku sedikit mengatasi sesuatu hal,” jelas Elena ngos-ngosan, membuat Milly mengernyit.“Apa kau terjatuh?”Elena tertawa. “Tidak Milly.”“Aku mendengar suara-”“Tidak. Tidak ada apa-apa Milly,” potong Elena cepat. Kemudian melebarkan pintunya dan mempersilahkan Milly.“Masuklah.”Milly pun masuk ke dalam aparteman sederhana Elena. Ia lalu bertanya pada Elena. “Jadi untuk apa kau memanggilku?” Pandangannya kemudian berhenti pada satu titik. Kepada lelaki yang tadi dilihatn
Mawar Merah“Hei, Mom,” sapa Axton kepada Wella yang hanya duduk mematung di tepi kasur. Tatapannya kosong dan tampak sedang melamunkan sesuatu.Axton membuang nafas lelah. Tapi ia berusaha mengukir senyum dan menutup pintu kamar. Kemudian berjalan ke arah jendela. Melirik kebun kecil mawar merah di bawah sana. Suasana musim semi pagi ini membuat bunga-bunga itu tampak mekar dengan indah.Ia tahu betul bahwa Ibunya suka bercengkraman dengan bunga-bunga itu—sebelum pengkhianatan Ayahnya terjadi dan merusak momen kebersamaan mereka selama ini. Bunga-bunga itu bahkan dulu menjadi saksi bisu setiap aktifitas keluarga mereka di pagi hari.Kecupan mesra yang diberikan Ayahnya kepada Ibunya…Elusan lembut di puncak kepalanya sebagai bukti kasih sayang seorang Ayah untuknya…Dan Axton tidak akan membiarkan bunga-bunga itu mati. Ia tidak ingin Ayahnya tertawa dan
Kejutan Pahit“Anda Milly Kincaid?” tanya Thomas yang berjaga di pintu ruang kerja Axton.Milly yang tampak ling lung akibat tidak terbiasa dengan luasnya setiap area di gedung ini lantas menatap Thomas. Ia tadi diperintahkan untuk menuju ke lantai ini. Tepatnya lantai 30. Semburat senyum tipis dipamerkannya.“Kau teman Andez?”Thomas berdeham ketika meneliti penampilan Milly dari atas sampai bawah secara terang-terangan. Gadis itu mengenakan dress peach tanpa lengan namun panjangnya melewati lutut. Juga sepatu converse. Padanan yang cukup aneh. Terlebih masker bunga-bunga yang menutupi sebagian wajah gadis itu.“Saya bukan teman Tuan Andez.”“Lalu?”“Anda tidak perlu tahu siapa saya. Mari saya antarkan anda bertemu dengan Tuan Ax. Karena Tuan Ax sudah menunggu anda sejak tadi.”
Gila kamu, Indira! protes Ava begitu Pak De tak terlihat lagi.Indira hanya menunduk dengan wajah merah padam, menahan malu dan jengah yang menerpa begitu birahinya mereda. Ava sadar, dirinyapun ikut bersalah dalam hal ini, terbawa suasana hingga terlarut dalam persetubuhan yang beresiko itu, tapi tetap saja…Kalau ketahuan Pak De gimana?! kalau kamu hamil?Aku suruh pacarku tanggung jawab, sahut Indira, lalu memalingkan muka.Angin berhembus masuk ke dalam studio, menghembuskan suatu perasaan yang aneh di dada Ava. Seharusnya ia merasa lega, namun perkataan Indira yang terakhir itu seperti seserpih perih yang menari pelan di permukaan hatinya.Ava, maaf… nggak seharusnya aku ngelakuin ini sama kamu… dan… umm… Indira terdiam, seperti hendak tak jadi melanjutkan kata-katanya.Terus apa?Yang tad
Apa istimewanya seorang mas-mas brewokan bernama Mustava Ibrahim? batin Indira berusaha memungkiri. Dewa dan mantan-mantannya yang lain jauh lebih tampan daripada pemuda itu!7 hari sudah berlalu, tapi Indira terus mencoba memahami teka-teki di hatinya sendiri, pun demikian hati wanita memang sulit dimengerti. Tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga si wanita itu sendiri. Kehadiran Ava dalam hidupnya benar-benar mengubah tone hidup-nya menjadi lebih berwarna. Berwarna seperti pelangi! Berwarna seperti lukisan! Marah, sedih, benci, bahagia, bercampur seperti palet-palet warna cat minyak yang dibaurkan ke dalam sanubarinya!Indira tertawa mengingat bagaimana ia pertama berjumpa Ava di air terjun, betapa tengik dan menyebalkannya anak itu! Huh! Tapi juga… remaja itu tersipu sendiri hingga pipinya perlahan bersemu.Dalam keheningan malam, Benak Indira kembali mengenang. Bagaimana saat Ava membelanya di Pub minggu lalu. Bagaimana saat Ava menampung isak tangisny
Taksi yang ditumpangi Ava dan Indira melaju di sepanjang Jl. By Pass, jalan besar yang sekilas mengingatkan Ava pada Ringroad di Jogja. Cahaya lampu jalan yang berwarna jingga berpendar di wajah Indira yang duduk di sampingnya.“Ava,” Indira memecah kebisuan.“Ya?”Gadis itu memandangi pipi Ava yang membiru terkena bogem. “Aku beneran nggak nyangka semuanya jadi kaya gini.”Ava tak langsung menjawab.“Yang tadi pagi juga…” Indira menyebut peristiwa di air terjun tadi pagi, di mana ia telah mengata-ngatai Ava sebagai teroris.Bisu menyelinap lagi di antara jarak yang memisahkan tempat duduk mereka. Ava menarik nafas panjang. “Kenapa sih, kamu?” tanya Ava.“Nggak tahu,” jawab Indira pelan. Sungguh, dirinya sendiri pun tidak tahu kenapa ia bisa membenci pemuda itu.Ava mendengus, nafasnya mengembun pada kaca mobil yang dingin. “Pasti gara-gara nam
Senja datang menjelang di Kuta yang semakin temaram. Matahari sudah menyembunyikan diri di balik horizon, menyisakan gradasi berwarna biru keunguan yang menyemburat dari balik kaki langit. Jalanan yang tadinya terik segera digantikan dengan riuh rendah dunia malam yang memenuhi setiap sudut jalan. Arus lalu lintas semakin padat merayap, dan trotoar mulai dipenuhi wisatawan asing yang baru pulang berselancar atau hendak keluar mengisi perut.Jalan Legian. Jika kalian kebetulan melancong ke Bali, sempatkanlah mengunjungi tempat ini. Lewat tengah malam, niscaya engkau akan mendapati klub-klub yang menyesaki kiri-dan kanan jalan seolah saling berlomba dan tak mau kalah dalam menarik perhatian setiap calon pengunjung, maka didentamkanlah musik sekeras-kerasnya dan dinyalakan lampu sorot sekilau-kilaunya. Jangan heran jika nanti engkau melihat bule-bule yang berjoget hingga trotoar di antara kemacetan yang berarak-arak.Seorang wanita dengan danda
Siang itu jalan menuju pantai tampak tidak sanggup lagi menampung volume kendaraan berplat luar kota yang semakin padat dari tahun ke tahun. Beberapa wisatawan asing melintas buru-buru di atas trotoar di kiri dan kanan jalan, menghindari panas matahari di balik baju-baju dan cinderamata yang dipajang bergantung-gantung pada art shop di pinggir jalan.Indira meliuk-liuk dengan skuter matic di antara kemacetan itu. Wajah blasterannya tampak berkerut-kerut melawan terik matahari. Siang itu benar-benar panas, angin yang berhembus juga angin yang benar-benar gersang, mengibarkan dress putih sepaha dan cardigans hitam yang dikenakannya untuk melawan terik.Indira melengguh kesal. Ia benar-benar kesal hari ini. Kesal kepada kemacetan ini, kesal kepada ayahnya, kesal pada Dewa, pacarnya yang tidak bisa dihubungi, kesal kepada semua! Terlebih lebih kepada mas-mas brewokan yang bernama Mustava Ibrahim itu.Sungguh, udara yang panas itu membuat kemarahan di dada Indira men
Hanyalah sesosok pohon beringin yang berdiri angkuh bak raksasa hijau di sekian sisa aroma kematian. Daunnya demikian merimbun, bertumpuk-tumpuk menghalangi jatuh cahaya ke puluhan orang yang berlalu di bawahnya. Ava berjalan dengan takut-takut, menghindari akar gantung yang menjuntai ke sampai tanah. Pohon Beringin itu nampak benar-benar wingit, apalagi dengan kain kotak-kotak hitam-putih yang dilingkarkan di sekelilingnya.Pagi itu hari Minggu, Galeri Pakde tentu tidak buka di hari Minggu. Maka Ava dan Kadek menyanggupi untuk menggantikan Pak De kerja bakti membersihkan areal Pura Dalem, yakni tempat peribadatan yang terletak di sekitar pekuburan untuk pemujaan alam kosmis demi menetralisir kekuatan positif dan negatif.Pekuburan itu nyaris tanpa nisan, karena prosesi pemakaman di tempat ini mengharuskan jenazah si Mati di lebur dalam api pralina [SUP](1)[/SUP] -dilebur oleh Sang Siwa, sehingga menyisakan bade [SUP](2)[/SUP] -sarkofagus w
The Lost AngelUfuk timur sudah benderang ketika Ava terbangun enggan dari tidurnya. Udara masih dingin dan kabut tipis masih melayang-layang di atas sawah. Ava menuruni tangga kayu di depan kamarnya dengan malas sambil merenggangkan tubuh.Pemandangan menakjubkan kemarin sore masih saja terbayang-bayang di kepala Ava. Hari sudah berganti, namun pemuda itu tak bisa berhenti tersenyum membayangkan apa lagi petualangan yang menantinya di tempat ini.Sepasang mata Ava tertuju pada Pura kecil di pojok belakang rumah. Di sampingnya berdiri pohon kamboja, dahannya menjuntai ke udara serupa tangan seorang Pandhita Ratu, menebarkan taksu ke sekujur bangunan batu bata merah di bawahnya.Ava melihat seorang bidadari sedang memegang dupa, menghaturkan doa dan sesaji sambil memejam khusyuk.Indira; Ava tahu nama bidadari itu dari Kadek. “Wuih, aslinya cantik dah pokoknya, bro!” p
Ubud, 2012…Hanyalah pemadangan sawah bertingkat-tingkat yang indah, dan deru skuter tua yang seolah tak mau lagi hidup yang menyusur di tengahnya. Matahari bersinar tinggi di langit biru tanpa awan, menyisakan silau di balik kacamata hitam Ava yang bundar besar.Skuter yang ditumpangi Ava berjalan perlahan melewati jalan kecil berkelok di tengah persawahan, mereka sedikit melambat saat melewati sekumpulan orang berpakaian hitam-hitam di jalan itu.Bli, Bli Kadek, ada apa ini ramai-ramai? Pemuda dengan brewok tebal itu menepuk pundak orang yang duduk di depannya.Kadek namanya, ia adalah kakak kelas Ava waktu kuliah di Institut Seni di Jogja. Kadek ini pula yang menawari Ava pekerjaan di tempat seorang seniman terkenal di kampungnya, setelah Ava lulus bulan lalu.Oh, ini ada pengabenan[SUP](1)[/SUP][SUP],[/SUP] Kadek menyahut tanpa menoleh.(1) Upa
Selamanya BersamaEmpat Bulan Kemudian…Milly telah menghabiskan banyak waktu bersama Axton, dan sekarang ia sedang merealisasikan rencana yang telah mereka susun bersama.Tepatnya di sini.Pada outdoor salah satu hotel Axton di Los Angeles yang sukses diubah menjadi begitu indah. Halaman itu telah dihiasi berikat-ikat bunga.Dalam gaun putih pengantin yang elegan, Milly berjalan pelan didampingi Thomas menelusuri karpet putih yang tergelar di tengah, sementara di sekelilingnya terdapat beragam meja yang dilapisi kain putih beserta kursi berjejer rapi. Semua terisi penuh oleh para tamu yang hadir.Michelle juga memakai gaun berwarna putih. Rambutnya tergerai indah dan ditata bergelombang. Gadis kecil itu terlihat bahagia berdiri bersama Rachel yang diikuti oleh para tamu menyambut kedatangan Milly.Rachel tersenyum lebar, matanya berpendar haru