Malam hari, Abah baru sampai di rumah. Butuh perjuangan untuk bertandang ke rumah Atuk Darmo. Kampung Kipyuh merupakan desa tertinggal di Kabupaten Pagar Emas. Kampung tersebut memisahkan diri dengan desa lain. Kipyuh berada di kepulauan sendiri, tetapi masih mengikut dengan Kabupaten Pagar Emas.
Untuk sampai di sana, seseorang harus menaiki perahu. Jika membawa kendaraan sendiri, maka kendaraannya harus ikut naik. Kendaraan yang bisa dibawa pun harus kendaraan yang memiliki roda gunung. Ya, ban yang dipakai khusus. Tidak ada akses jalan lain menuju ke sana. Satu-satunya cara ya menyeberangi lautan. Sekitar 2-3 jam dalam perahu.Belum ada penerangan dari pemerintah, jalan pun masih tanah. Kalau hujan akan menjadi jalan berlumpur yang sulit dilalui."Assalamu'alaikum," ucap Abah dan Umi bersamaan."W*'alaikum salam." Ammar menyahut dari dalam kamar, kemudian ia keluar.Tak perlu membukakan pintu, karena pintu memang tak pernah tertutup jika belum larut malam.Momen yang tepat untuk berbicara serius dengan anak sulungnya. Abah meminta Ammar untuk menunggu sebentar. Abah berlalu untuk membersihkan diri.Tak lama, Umi keluar membawa nampan berisi pisang goreng dan dua gelas kopi hitam. Abah dan Ammar sangat hobi dengan minuman berkafein tersebut.Ammar mengukir senyum lebar. Tampak kebahagiaan sedang merajai hatinya.Abah menyusul keluar, membawa ponsel pintar yang telah diisi dengan foto calon menantu."Abah mau ngomong, apa?" tanya Ammar sambil menyomot pisang goreng di piring."Mau ngomongin pernikahan, kamu." Celetuk Abah."Uhuk-uhuk." Ammar tersedak pisang goreng. Umi menepuk pelan punggung putranya, lalu menyodorkan segelas kopi milik Ammar."Sudah? Pelan-pelan kalo makan, jangan lupa bismillah dulu." Umi mengingatkan.Ammar mengangguk, ia kembali menatap Abah dengan serius."Maksud, Abah, apa? Ammar ndak ngerti. Menikah dengan siapa? Ammar kan belum ta'aruf dengan, Nur," ucap Ammar santai.Ammar sempat mengatakan jika dirinya mengagumi seorang santri yang bernama Nur. Santri yang merupakan teman dari adik pertamanya Najma."Ndak perlu ta'aruf, Abah akan langsung menikahkan kamu dengan Ayudia."Ammar menautkan kedua alisnya, ia sangat asing dengan nama itu. Bahkan belum pernah mendengarnya."Ayudia? Santri darimana, Bah?""Ayudia bukan santri, tapi Abah jamin kalau dia perempuan baik dan bernasab jelas," jawab Abah datar."Tapi, Bah? Nur juga jelas nasabnya, Nur sudah terbukti perempuan soliha. Dia santri di sini.""Manusia ndak berhak menilai seseorang dari ilmu agamanya, atau dari penampilannya. Ukuran akhlaq itu, di sini." Abah menunjuk ke dadanya.Ammar diam, ia kehabisan kata-kata mencari alasan untuk menolak."Nih, kamu lihat fotonya. Abah mengundang, Ayudia kemari esok lusa. Jadi, Abah harap kamu ndak kemana-mana." Setelah mengucapkan itu, Abah meninggalkan ruangan keluarga dan menghambur keluar menuju masjid."Mi, Umi setuju? Dia bahkan bukan perempuan berhijab, Mi? Darimana Abah tahu kalau dia perempuan baik?" Ammar bertanya pada Umi Aida."Suatu saat kamu akan tahu, Nak. Umi juga setuju dengan pendapat Abahmu. Kamu ndak boleh menilai orang dari luarnya. Bahkan, apel yang dibungkus rapat dan dijual mahal, masih bisa busuk." Ammar mati kutu, ia tak mendapat dukungan dari siapa saja.Adik-adiknya? Tentu saja pendapat mereka tak akan didengar. Lalu, Ammar akan mengadu pada siapa?Ammar menyusul Abah ke masjid, di tengah perjalanan menuju masjid, Ammar bertemu Kyai Lutfi. Salah satu adik Abah Ahmad yang ikut membantu mengurus Pondok Pesantren Asmaul Husna."Apa aku cerita aja sama, Yai Lutfi, ya?" gumam Ammar."Eh, Ammar. Wah, sepertinya wajahmu sedang cerah? Apa karena, Abah sudah mengkhitbah seorang gadis cantik, untukmu?" seru Kyai Lutfi.Ammar yang hendak berucap, menelan pahit semua kalimatnya."Yai Lutfi, tahu darimana?""Ya dari, Abah. Tadi pagi Abah pamitan sama saya dan yang lain."
Yang lain? Siapa lagi? Ammar tak habis pikir, ternyata kabar pernikahannya menyebar dengan cepat. Bahkan sebelum ia tahu."Dia bukan perempuan soliha, Yai. Nyatanya ... dia ndak menutup aurat dengan sempurna," ucap Ammar dengan nada kesal."Nah, itu tantanganmu. Bagaimana caranya kamu membawa dia menuju kebaikan. Paman yakin, pilihan Abah, yang terbaik. Walaupun dia ndak berhijab, bukan berarti dia ndak baik. Kamu harus ikhlas menerima takdir, bersyukur karena Abah mau capek-capek menyambangi gadis itu ke desa terpencil." Kiyai Lutfi menepuk-nepuk pundak Ammar dengan pelan.Ammar melihat sekelebat Abahnya keluar masjid, berjalan menuju ke arahnya. Kyai Lutfi sudah pergi.Ammar menyalami Abah. "Bah, Ammar ndak mau menikah dengan perempuan itu. Ammar ndak cinta, Bah. Ammar mau menikah dengan, Nur, saja."Abah Ahmad tetap berjalan, tak berhenti meski Ammar mengucapkan banyak kalimat."Sekarang kamu memang menolak, suatu saat, pasti akan jatuh cinta juga," ucap Abah."Dia perempuan terbaik pilihan Abah." Lanjut Abah."Tapi, Bah? Dia bukan perempuan soliha." Lagi, Ammar terlalu merendahkan marwah Ayudia."Ayudia bukan perempuan seperti santri di sini, itu memang benar. tapi ... kalau kamu menilai buruk Ayudia, suatu saat kamu akan menyesal."Ammar bungkam dengan kalimat Abah. Ia berhenti mengikuti langkah Abah. Ammar takut dimurkai malaikat karena berani melawan orang tua. Dengan berat hati, ia menerima perjodohan itu.Ia pun membuka ponsel, mencoba melihat ulang foto yang Abah kirimkan.Hanya sekilas, tidak ada menariknya di mata Ammar. Ketika Ammar akan menutup galeri, ponselnya dirampas oleh Adam."Wow, cantik banget ... siapa gadis ini?" ujar Adam."Cantik darimana, ndak ada manisnya sama sekali, iya.""Jadi, ini yang mau Abah jodohin sama kamu, Am?" tanya Adam."Kamu juga tahu, Dam? Aku jelas pilih, Nur.""Kalo kamu ndak mau, biar aku aja yang nikahin." Tukas Adam tanpa penyaringan."Heh, ngawur kamu, Dam. Bisa ngamuk, Abah sama Umi.""La kamu lho, Am, udah dipilihan sama Abah dan Umi, masih ndak terima juga. Cobalah bersyukur. Nanti kalo kamu beneran ndak mau, biar aku yang ngomong ke Abah.""Jangan cari gara-gara kamu, Dam." Ammar merebut ponsel yang masih di genggam Adam. Lalu ia pergi dengan amarah."Hey, Ammar! Jangan marah, gitu aja marah!" teriak Adam yang tak mendapat jawaban dari Ammar.Ammar masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Ia kembali membuka ponsel, kali ini ia berselancar di sosial media miliknya. Untuk apa lagi, tentu saja untuk melihat aktivitas bersosial media Nur sang gadis yang ia kagumi.Nur merupakan gadis yang usianya lebih muda dari Ayudia, 21 tahun.Gadis tersebut mengabdi di pondok pesantren seperti Adam. Di sosial media milik Nur, banyak sekali foto selfi dirinya sendiri. Dengan berbagai pose, Nur aktif mengirim sebuah foto setiap harinya. Jelas, foto yang menampakkan wajah ayu Nur.Ammar kemudian mengunggah satu foto yang memiliki tulisan indah. Tulisan yang bisa menggambarkan isi hatinya saat itu.Ting!Pemberitahuan love pertama dari akun bernama Ayudia Prasasti.Seketika, mata Ammar melebar. Ia melacak akun itu. Ayudia telah mengikuti sosial media miliknya. Ammar menilik sosial media milik Ayudia, beruntung akun gadis itu tidak diprivat.Hanya ada satu foto di dalamnya. Itu pun, foto sama dengan yang Abah kirim ke ponselnya.Lebih banyak foto anak-anak kecil dengan berbagai aktivitas. Ammar yakin, jika itu adalah Ayudia yang sama. Gadis yang kini sedang digadang-gadang akan menjadi istrinya."Dasar gadis aneh. Bukannya memajang fotonya sendiri, malah pajang foto anak-anak. Ah, jangan-jangan ... dia janda!" Prasangka buruk mengusik pikiran Ammar.Ayudia yang aneh, atau Ammar yang kelewat aneh, ya??
Bersambung..Keesokan pagi, dapur Umi diramaikan oleh santri yang tengah membantu mempersiapkan sajian untuk menyambut calon menantu Abah.Nur juga ada di sana sedang menyiangi sayuran. Ammar yakin kalau gadis itu tengah menyimpan luka akibat dirinya sudah dijodohkan.Ammar duduk di sofa depan televisi, ia menyetel berita terkini. Namun, mata Ammar sebentar-sebentar berlari ke dapur yang kebetulan terlihat dari ruang keluarga.Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang membersihkan karpet dari debu, menyapu halaman, dan sebagian santri perempuan membuat masakan."Gus, kok belum mandi? Ini sudah jam sepuluh, lho. Kata Umi, sebentar lagi Mbak Dia datang," seru Fatma adik nomor dua."Hm." Ammar hanya bergumam, tak juga menoleh ke arah Fatma.Fatma berlalu, sepertinya gadis bertubuh kecil itu turut sibuk menerima perintah dari Umi."Adam, pasang karpetnya, ya. Dia sudah hampir sampai." Suara Umi mengganggu indra pendengaran Ammar. Entah kenapa Ammar kesal sendiri."Siap, Mi." Adam menjawab de
Satu minggu berlalu setelah pertemuan dua keluarga digelar. Hari ini tepat hari jum'at, akad nikah Ammar dan Ayudia akan dilaksanakan di rumah mempelai perempuan.Keluarga Abah Ahmad sudah datang dari kemarin sore, tak banyak yang ikut bertandang ke kediaman Atuk Darmo. Bukan karena tak ingin, melainkan sulitnya medan yang dilalui membuat semua yang ingin ikut menyaksikan mengurungkan niat.Dua mobil meluncur ke rumah Ayudia. Namun, hanya satu mobil yang bisa diajak menaiki perahu dan berperang dengan jalanan berlumpur. Mobil hitam milik Kyai Lutfi terpaksa ditinggalkan di rumah warga yang tak jauh dari dermaga penyeberangan.Di dalam mobil Abah Ahmad telah berisi 6 anggota keluarga Abah. Sedang di mobil Kyai Lutfi beranggotakan Kyai Lutfi sendiri beserta istri dan Adam.Mereka membutuhkan waktu 2 jam untuk menyeberangi lautan. Bersyukur cuaca siang menjelang sore kala itu mendung tanpa angin dan hujan. Sangat bersahabat, niscaya perjalanan laut pun tak terhambat apa pun.Dari tempat p
Siang itu juga, selepas Salat Dzuhur rombongan Abah Ahmad berpamitan untuk kembali ke Sandur.Tak lupa Abah Ahmad menyampaikan permohonan maaf dan rasa terima kasihnya kepada Atuk Darmo.Abah Ahmad juga meminta izin untuk memboyong Ayudia ke Pondok Pesantren Asmaul Husna.Tangis haru serta bahagia pecah di gubuk sederhana Atuk Darmo. Lebih dari dua puluh tahun Ayudia hidup bahagia di sana, akhirnya tiba juga waktu untuk memisahkan diri.Tentu kesedihan menusuk hingga sum-sum Ayudia. Tak tega meninggalkan dua manusia renta yang telah setia merawatnya hingga dewasa.Ayudia menangis sepilu-pilunya, begitu juga Uti Dijah. Umi Aida mengelus sayang punggung Ayudia.Kini, Ayudia benar-benar akan hijrah ke sana. Ia pun akan membantu mengajar di madrasah milik keluarga Ammar."Nak, Uti titip cucu Uti, ya. Nak Ammar tolong bimbing, Dia. Jangan pernah memarahi Dia ketika melakukan kesalahan. Beritahu saja baik-baik. Sekali lagi Uti titip Dia pada Nak Ammar. Tolong jagain Dia ya, Nak," ucap Uti de
Mobil putih dengan variasi ban off-road berbelok ke Pondok Pesantren Asmaul Husna. Para santri terlihat membungkuk hormat kala mobil itu melewati gerbang menuju tempat parkir. Mereka sudah sangat hafal siapa pemiliknya, meski sang empunya tak membuka kaca jendela. "Alhamdulillah sudah sampai, Dia," seru Abah pada Ayudia, membangunkan tidur nyaman Umi Aida. "Iya Bah, Alhamdulillah," jawab Ayudia. Umi Aida mengedip beberapa kali, lalu bergerak membenarkan posisi duduknya. Umi Aida juga mengusap wajah. Mungkin takut kalau ada kotoran mata maupun air liur yang tertinggal di sana. "Sudah sampai, Bah?" tanya Umi setelah sadar sepenuhnya. "Sudah, Mi. Ayo turun, pasti Nak Dia sudah lelah dan pengen istirahat." "Iya iya, ayo Am, ajak Nak Dia," ujar Umi Aida. "Iya, Mi." Akan tetapi, itu hanya jawaban yang keluar dari mulut Ammar, nyatanya begitu turun dari mobil, Ammar berjalan sendiri tanpa beban masuk ke rumahnya. Ayudia berdiri diam, menggendong ransel hitam berisi baju-baju miliknya
Ayudia sedikit terhibur dengan keputusan Abah mengajak bergabung di MI Asmaul Husna. Usai makan malam, Abah kembali dengan rutinitasnya bersama santri. Najma, Fatma juga Muha pun sama, kembali mengaji. Umi duduk di ruang tamu, biasanya ada beberapa orang bertamu ataupun para santriwati yang sekedar ingin ilmu tambahan. Ayudia memunguti piring-piring kotor, membawa ke tempat cuci piring. Ammar masuk kamar. Ayudia belum tahu apa saja aktivitas yang Ammar lakukan dalam sehari-hari. "Dia, sudah. Tinggalkan saja, biar Najma dan Fatma yang membereskan semua sepulang ngaji nanti," seru Umi dari ruang tamu. Sayup-sayup, Ayudia mendengar obrolan. Mungkin sudah ada tamu yang datang, batin Ayudia. Ayudia meninggalkan cucian piring sebentar, lalu membuka horden pembatas antara ruang tamu dan dapur. "Ndak papa, Umi. Ini kan kerjaan Dia juga. Dia sudah biasa cuci piring dan baju waktu di rumah Atuk." "Nanti Dia kecapek'an, sudah ... tinggalkan saja." "Dia ndak capek, Mi. Udah ndak papa, mala
Dari kejauhan banyak pasang mata melihat Adam menggendong seorang perempuan. Namun, beruntungnya, bisa dipastikan hanya berapa gelintir yang tahu bahwa Adam menggendong Ayudia, menantu Abah Ahmad. Saat hendak sampai teras rumah Abah, Ammar menghadang langkah Adam. "Dam, sini. Biar aku saja yang gendong. Dia itu istriku, jadi kamu ndak berhak pegang Dia." Sayang sekali, Adam tak acuh. Ia melanjutkan langkah kaki yang tinggal berapa gerakan untuk sampai di ruang tamu. "Assalamualaikum, Mi!" teriak Adam, ia tahu kalau Umi Aida selalu di rumah di jam pagi. "Walaikumsalam. Masyaallah, ada apa Dam? Dia kenapa?" "Tolong bantal, Umi." Umi segera mengambil bantal, Adam menidurkan Ayudia di karpet ruang tamu. Sementara itu Ammar hanya diam saja. "Ada apa dengan Dia, Dam?" Sekali lagi Umi Aida bertanya. "Ndak tahu Umi, tadi Adam lihat dari kelas enam, tubuh Dia limbung. Jadi, Adam lari cepat, lalu sampai di sana, Dia ambruk dan ndak sadar lagi." "Makasih ya, Dam. Makasih karena sudah m
Puas Ayudia memerhatikan interaksi antara Ammar dan Nur, hingga ia merasakan pusing lagi. "Terima kasih ya, Mbak." Kalimat terakhir Ayudia dengar sebelum Nur pergi bersama Ammar. Saat mengatakan itu, Ayudia mendapati mata Ammar sedang memandang lekat perempuan bernama Nur tersebut. Tatapan penuh kekaguman. Ayudia kembali ke kamar, ia duduk di kursi meja rias sambil mengingat bagaimana Ammar ramah tamah dengan Nur. Cara Ammar berbicara pada Nur sangatlah berbeda. Nada bicara lembut dan enak didengar. Meski Ayudia tak pernah pacaran ataupun curi-curi pandang dengan pria lain, tetapi ia cukup paham dengan sorot mata ketertarikan seseorang kala tengah menatap. Jika ditanya apakah Ayudia iri? Jelas saja, rasa itu diam-diam menyusup dan kembali memporak-porandakan hati. Bukan Ayudia ingin Ammar tertarik padanya, tidak seperti itu. Ayudia hanya ingin diperlakukan baik. Diajak bicara dengan baik, terlebih ia yang berhak mendapatkan perhatian bukan perempuan lain. Gadis itu memutuskan u
Semilir angin membelai lembut wajah gadis cantik bermata belok. Sejuk sepoi-sepoi angin sore di pinggir sawah, membikin gadis itu sampai terkantuk-kantuk. Selendang hitamnya sampai jatuh ke tanah sebab tertiup angin. Dengan malas, gadis itu turun dari pagar catur yang mengelilingi pesantren. Sejak tahu ada tempat nyaman untuk menenangkan diri, sejak saat itu Ayudia mulai gemar mengunjungi sudut belakang pondok pesantren yang rimbun dengan tanaman Bambu. Fatma lah orang pertama yang memberitahu tempat tersebut. Ada dua jenis bambu di sana, Bambu Petung berwarna hitam dan Bambu Pagar yang diameternya lebih kecil dari Bambu biasa. Ayudia lebih senang berada di dekat Bambu Pagar karena tidak terlalu rimbun. Sudah dua minggu lebih sejak ia sembuh dari sakit, genap tiga hari berturut-turut Ayudia mendatangi tempat sunyi itu. Di halaman belakang memang sangat sepi, ada satu kursi dan beberapa butir kotak sampah sesuai peruntukannya. Biasa santri akan ke belakang untuk membuang sampah. Bi
Tiga hari sudah Ammar menjabat sebagai suami dari Ayudia Prasasti. Ia sangat menikmati perannya tersebut. Ia ingin menjadi suami yang terbaik untuk Ayudia, tidak akan mengulang kesalahan dahulu, atau bisa fatal akibatnya. Selama tiga hari, Ammar senantiasa membantu Ayudia dalam hal apapun. Ia cekatan merawat Fa dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring dan mencuci pakaian. Ammar juga memutuskan untuk tidak pergi ke luar kota, dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Sementara hanya menerima pekerjaan dari rumah, agar bisa menghabiskan banyak waktu bersama.Hari ini, Ammar mengajak Ayudia untuk pindah ke rumah baru mereka. Tempat yang akan menaungi hari-hari keluarga kecil Ammar ke depan. Rumah yang berhasil Ammar wujudkan dalam kurun waktu satu bulan. Ia mendesain sendiri rumah itu. Berkonsep minimalis dan estetik. Sengaja Ammar hanya memberi dua kamar pada rumah tersebut, dengan alasan agar Ayudia tidak kelelahan membereskan pekerjaan rumah saat ia sedang ke luar k
Ayudia mematut dirinya di depan cermin, memandang dan menatap detail tubuhnya yang terbalut gamis berwarna navy dengan kerudung senada, menutup sampai di bawah perut. Pakaian sederhana berbahan brukat tanpa pernak-pernik apapun. Namun, aura kecantikan tetap memancar dari wajah ayu itu. Ia memoles bedak dan lipstik. Tidak perlu foundation, tidak perlu eyeliner, blashon dan lain sebagainya. Ayudia pikir, hanya lamaran, tak perlu tampak berlebihan juga.Fa juga terlihat tampan dengan kemeja abu, pakaian yang Ammar belikan. Bocah kecil itu anteng sekali sejak tadi, seakan ia paham benar suasana hati sang ibu. Bahagia. Sudah pukul delapan malam, Ammar juga sudah mengabarkan jika ia sudah berjalan dengan rombongan menuju rumah Ayudia. Akan tetapi, sudah lebih dari sepuluh menit belum juga sampai."Mbak, ayo keluar. Mas Ammar sudah datang. Biar Fa, aku yang gendong.""Sudah sampai? Kok ndak kedengeran suara mobil?"Najma tersenyum, "Ya ndak, orang jalan kaki."Ayudia membelalak, kurang yakin
Dua hari kemudian Ammar baru menanyakan lagi perihal jawaban Ayudia. Sebab ... semakin ditunggu, Ayudia justru semakin kelihatan menjauh, membuat Ammar dilanda kegalauan. Dengan amat sangat terpaksa, Ammar membuang urat malu dan melapisi wajahnya dengan tembok, Ammar menagih jawaban Ayudia. Dengan santai dan hanya dalam sebuah pesan singkat. Ayudia menjawab dengan Jawaban yang masih sama. Tetap iya, membuat Ammar merasa bingung akibat tak mau terlalu percaya diri dulu dan akhirnya kecewa. Lalu ia desak lagi agar menuliskan jawaban yang jelas menggunakan kalimat, bukan sekedar satu kata. [Iya, Dia mau kembali dengan Kakak.] Pesan yang Ayudia kirim barusan, Ammar pandangi sampai lama, sampai seluruh kepingan jiwa dan kewarasannya kembali. Lalu ... "Yey! Yes! Alhamdulillah ya Allah ...! Alhamdulillah! Hore ... Umi ... Dia mau, Dia mau, Mi ....!" Umi tidak heran, sebab beliau begitu paham dengan tabiat anaknya yang memuja Ayudia. Janggal jikalau Ammar tidak jingkrak-jingkrak. Jika sud
Ayudia memanggil-manggil Umi dan Abah. Sayangnya tidak ada sahutan. Albi lalu meninggalkan Ammar di kursi saja, dan pergi keluar. Fatma malah meringkuk dengan Fa, tidak mungkin Ayudia membangunkan, yang ada Fa akan kaget. Akhirnya ia sendiri yang menangani Ammar."Kak, Dia siapkan air hangat untuk mandi ya? Tapi di kamar mandi belakang, Kakak ambil bajunya dulu di kamar.""Ndak kuat, Dia ... tolong sekalian."Meski ragu-ragu, Ayudia tetap membuka pintu kamar Ammar, lalu menghidupkan lampu kamar."Dia ..." Panggil Ammar,Ayudia terlonjak, "Ya.""Ehm, itu ... itunya ... ndak usah."Ayudia berbalik dan mendekati Ammar. Ia tidak mengerti apa yang sedang Ammar bicarakan. "Itu itunya itu apa sih, Kak?""Ya itu, ndak usah. Di belakang ada."Ayudia menggeleng, masih tidak paham ia melengos dan masuk ke kamar lalu membuka lemari. Barulah saat pupilnya menangkap segitiga berkerut, bulu kuduknya meremang. Ia baru memahami ucapan Ammar tadi. Mengalihkan pandangan lalu menarik satu kaos dan celana
Pukul sebelas malam, Ayudia dan Ammar baru saja akan pulang dari bidan Diva. Fa tidak perlu pengobatan serius karena memang hanya mau pilek biasa. Kegelapan menemani sepanjang perjalanan mereka, tak nampak sepercik sinar kehidupan dari rumah-rumah warga, semua gelap dan mencekam.Cuaca memang sering tidak terduga, bulan yang seharusnya menjadi musim panas, tiba-tiba terguyur hujan lebat. Biasa begitu kalau lama tidak hujan, giliran hujan petir tampil paling garang. Ayudia yang terkantuk-kantuk sambil mengepuk-ngepuk paha Fa, memaksa buka suara untuk menemani Ammar yang tengah menyetir."Kak ... nanti langsung pulang ke rumah Kak Ammar saja, Dia biar pulang sendiri. Baju Kak Ammar kan basah, takut masuk angin."Ammar mengangguk dalam temaram. Entah terlihat atau tidak. Bibirnya sudah tidak mampu lagi mengatup, dingin yang menyeruak sampai ke tulang sumsum, membuat pria itu menekan gigi-giginya untuk menahan getaran pada tubuh. Rasanya Ammar sudah ingin ambruk, akan tetapi ... dua malai
Semua aktivitas sudah berjalan seperti sediakala. Ayudia sudah terlepas dari bayang-bayang trauma. Ia fokus mengasuh Fa dan mengelola rumah semai bersama Najma. Sedang Ammar juga sibuk sendiri dengan proyek yang membanjiri peminat jasanya. Ya, Ammar memutuskan untuk berhenti mengajar, karena merasa bosan dan itu memang bukan bidangnya. Sudah hampir sepuluh hari Ayudia tidak melihat wajah teduh pria yang semakin sering membayangi dirinya. Selama itu juga Ammar hanya beberapa kali mengirim pesan. Terakhir kemarin siang, pesan yang menanyakan kesehatannya dan Fa. Namun, saat Ayudia membalas, pesan hanya centang satu abu-abu ... sampai hari ini. Ingin bertanya kepada Najma, namun Ayudia sedikit malu. Seakan ia tidak bisa menahan rindu yang menggunung. Iapun hanya pasrah menanti kepulangannya. Kadang terbersit prasangka buruk; apakah Ammar benar-benar dengan perasaan dan pernyataannya? Atau sekedar menghibur dirinya yang kesepian? Ayudia tidak paham. Tetapi, lebih dari seminggu tanpa kab
Malam nanti aqiqah akan diselenggarakan, seluruh ketering sudah Ammar serahkan pada pihak pemotongan kambing. Ammar juga yang sibuk memesan berbagai macam kudapan untuk menambah suguhan para tetangga yang hadir. Tak lupa pria tersebut memesan tenda agar seluruh tamu bisa tertampung, dan juga tenang saat sedang menyelenggarakan marhabanan. Tidak takut kalau hujan tiba-tiba mengguyur.Rumah Ayudia sangat sesak dengan kehadiran para guru-guru dari sekolahnya mengajar dan dari Asmaul Husna. Ramai dan penuh tawa kebahagiaan. Banyak yang melempar ledekan kepada Ammar, sayangnya pria itu tak bisa lama-lama menanggapi candaan-candaan receh yang membuatnya tersenyum. Ia harus wara-wiri mendampingi pemasang dekor dan tenda. Ia ingin semua sempurna. Enak dipandang dan indah. Sesuai keinginannya. Ah, sudah seperti pemilik event organizer, saja."Am ... buruan dilamar, keburu disabet bujang-bujang yang lebih unggul darimu!" Kata Iqbal."Santai aja, Bal. Meski banyak yang lebih unggul, tapi pesonak
Ayudia menutup kembali buku itu, meletakkan di laci lemari seperti sediakala. Hatinya sudah plong, pikirannya jauh lebih ringan. Tiba-tiba semua suara yang entah sejak kapan suka sekali berbisik di telinga, lenyap begitu saja. Ayudia bingung, sebenarnya apa yang terjadi? Apakah semua adalah pengaruh dari setan? Ah ya sudah lah, yang terpenting kini ia merasa lebih baik. Perempuan tersebut berjalan menapaki semua ruangan di rumahnya. Mencari dimana gerangan gadis yang izin memasak tadi. Ayudia memanggil-manggil gadis itu. Rasanya tak sabar mengabarkan untuk segera mencari bayi kecilnya yang kemarin ia tolak."Najma ... Najma ... di mana, Najma?" Ayudia bertanya pada dirinya, matanya memindai seluruh ruangan tak terkecuali. Ingin berjalan ke belakang, mencari di 'Rumah Semai', namun kewanitaan miliknya masih terasa nyeri. Darah nifas mengalir dengan derasnya. Akhirnya ia duduk di ruang tamu. Bahkan sekarang perempuan berstatus janda dua kali itu, sedang senyum-senyum sendiri. Hatinya se
Akhirnya Adam kecil dibawa pulang oleh Umi yang diantar Andre. Ammar menunggu Ayudia, dan Najma pergi membeli perlengkapan bayi bersama Habibi. Andre harus mengalah karena diamanahi oleh Najma untuk menjaga rumah semai di kediaman Ayudia. Keesokan pagi, Ammar membawa Ayudia pulang. Kondisinya sudah stabil, meski ia masih tampak lesu dan banyak diam. Najma yang menjaga Ayudia semalaman, ikut pulang dengan mobil Ammar. Dua pria yang tengah gencar mendekatinya sudah kembali ke daerah masing-masing. Gadis itu mencoba membuka obrolan agar Ayudia berbicara. "Mbak Dia, kemarin Andre mengantar benih mahoni 250 pohon. Baru Najma bayar setengah, setengahnya nanti kalau sudah laku seluruhnya." Tidak bergeming, Ayudia tetap diam. Najma dan Ammar saling pandang melalui kaca tengah. Lalu Najma mengangkat bahu, kode bahwa ia tak bisa berbuat banyak. Kini giliran Ammar berusaha mengalihkan perhatian Ayudia dari hilir-mudik kendaraan di jalan. "Dia ... bagaimana jika nanti saat sampai di rumah, aku