Satu minggu berlalu setelah pertemuan dua keluarga digelar. Hari ini tepat hari jum'at, akad nikah Ammar dan Ayudia akan dilaksanakan di rumah mempelai perempuan.
Keluarga Abah Ahmad sudah datang dari kemarin sore, tak banyak yang ikut bertandang ke kediaman Atuk Darmo. Bukan karena tak ingin, melainkan sulitnya medan yang dilalui membuat semua yang ingin ikut menyaksikan mengurungkan niat.Dua mobil meluncur ke rumah Ayudia. Namun, hanya satu mobil yang bisa diajak menaiki perahu dan berperang dengan jalanan berlumpur. Mobil hitam milik Kyai Lutfi terpaksa ditinggalkan di rumah warga yang tak jauh dari dermaga penyeberangan.Di dalam mobil Abah Ahmad telah berisi 6 anggota keluarga Abah. Sedang di mobil Kyai Lutfi beranggotakan Kyai Lutfi sendiri beserta istri dan Adam.Mereka membutuhkan waktu 2 jam untuk menyeberangi lautan. Bersyukur cuaca siang menjelang sore kala itu mendung tanpa angin dan hujan. Sangat bersahabat, niscaya perjalanan laut pun tak terhambat apa pun.Dari tempat pemberhentian perahu, rombongan harus kembali menempuh jalan terjal selama 3 jam. Sebenarnya jarak dari bibir laut ke rumah Ayudia hanya sekitar 15 kilometer. Namun, akibat ekstrimnya medan sehingga memakan waktu tempuh yang begitu lama.Ammar dan rombongan bersinggah di rumah Pak Lik Yono yang berada di sebelah rumah Atuk. Terhalang kebun pisang, sehingga siapa saja yang hendak mencuri-curi pandang tak akan bisa.Seperti Adam yang kala Maghrib tiba, bukannya mengikuti rombongan bertandang ke masjid. Adam justru celingukan mencari sosok cantik Ayudia."Ngapain celingak-celinguk, nyari apa kamu. Dam?" Suara Kyai Lutfi menginterupsi tindakan nekat Adam."Hehehe, ndak papa Yai," ucap Adam setengah malu.Usai mendirikan salat Isya' berjamaah di masjid, semua bersiap untuk istirahat. Semua merasakan badan yang pegal-pegal, efek jalan susah dan uwel-uwelan di dalam mobil Abah Ahmad.Ya, akhirnya mereka semua masuk ke dalam mobil Abah. Ketika sampai di bibir pantai, ternyata tukang ojek yang biasanya mangkal sudah kembali ke rumah masing-masing."Am, jangan lupa hafalkan lafaz akadmu," seru Abah Ahmad. Para pria tidur di ruang tamu termasuk sang pemilik rumah.Sedang Umi Aida dan Ummi Sarah tidur di kamar.Rombongan sama sekali belum menyambangi rumah Ayudia. Atuk bilang, pamali. Sehingga mereka tak ke sana.Ammar hanya mengangguk kala Abah mengingatkan. Wajahnya tampak lesu dan sedih. Tak sedikit pun Ammar menunjukkan kegembiraan."Am, kalo masih ragu, biar aku aja yang gantikan kamu esok hari. Gimana?" Adam mengatakan itu dengan berbisik tepat di telinga Ammar. Dengan memainkan satu alisnya.Sedalamnya hati Adam, ia benar-benar menyimpan rasa untuk Ayudia. Nyatanya Adam telah terbuai pesona anggun nan lugu seorang gadis desa seperti Ayudia.Bhuk!Suara keras tepakan telapak tangan Ammar ke punggung Adam mengalihkan perhatian para bapak-bapak yang sedang tiduran sembari berbincang."Kalian itu ngapain to, sudah besar masih aja kaya bocah." Abah Ahmad menegur keduanya."Adam, Bah ... ," jawab Ammar dengan suara nelangsa."Ammar dan Adam izin nyari angin di teras ya, Bah." Lanjut Ammar kemudian.Abah mengangguk, beliau tahu Ammar membutuhkan waktu untuk menerima perjodohan tersebut. Ammar butuh teman untuk bercerita, Abah tak ingin menjadi orang tua yang terlalu keras. Beliau paham, pernikahan itu sudah membuat Ammar mungkin terpukul.Akan tetapi, itulah yang terbaik menurut Abah. Abah mengenali Ayudia seperti mengenal keempat anaknya.Meski tak sedekat dengan anaknya, karena Abah mengawasi Ayudia dari jauh.Alasan Abah menjodohkan Ayudia dengan Ammar tak lain karena kesepakatan yang beliau buat dengan ayah Ayudia sekitar tiga belas tahun yang lalu.Abah menjadi sedih ketika mengingat kebaikan sahabatnya tersebut."Mad, aku mau wakafin tanahku yang di sini untuk melebarkan pondok pesantrenmu," ucap Pak Jono kala itu."Loh, Jon. Apa kamu ndak mau bikin rumah di sana? Emangnya mau ikut Atuk sampai tua?" Abah bertanya."Ndak perlu, Mad. Aku dan Nilam sebentar lagi juga akan pulang. Ndak perlu bikin rumah di sini. Tapi aku minta sesuatu boleh ya, Mad."
"Lho, kenapa pulang? Kamu tinggal bagusin rumah geribik itu sedikit demi sedikit kan jadi, Jon. Sesuai apa yang kamu mau."Pak Jono dengan mata berkaca-kaca mengungkap rasa sayangnya pada Ayudia putrinya semata wayang."Sudah waktunya. Aku minta tolong sesekali tengokin Dia ya, Mad.""Maksud kamu apa to, Jon?" Abah Ahmad tak mengerti dengan ucapan Pak Jono yang ternyata merupakan wasiat terakhir beliau.Setelah percakapan panjang siang itu, Pak Jono pergi dari Kampung Sandur bersama sang istri juga Ayudia. Sengaja Pak Jono tak berpamitan pada sahabatnya tersebut.Di tengah perjalanan, bus yang mereka tumpangi terguling dan masuk ke dalam jurang.Alhamdulillah, Ayudia selamat dalam kecelakaan maut itu. Dari sana, Abah memahami ungkapan Jono sahabatnya.Abah Ahmad mengawasi Ayudia dari kejauhan. Beliau tak bisa memberikan penghidupan yang layak dan pendidikan yang tinggi.Sebab, Atuk Darmo tak menginginkan hal seperti itu. Atuk Darmo tak ingin ada balas Budi semacam itu, toh Ayudia mampu meraih gelar sarjana meski tanpa bantuan Abah Ahmad.Akan tetapi, untuk perjodohan, Atuk menerima dengan gembira. Atuk merasa kalau ia bersama sang istri tak akan mampu membersamai Ayudia sampai senja. Manusia memiliki batasan umur, sedang ia dan istri sudah memasuki usia lanjut. Tak bisa diperkirakan akan sampai kapan.Atuk Darmo hanya memiliki keinginan sederhana, yaitu menikahkan Ayudia. Menyaksikan Ayudia berpindah tanggung jawab.. .Ammar duduk di teras rumah Pak Lik Yono, tanpa kursi dan tanpa alas.Adam memperhatikan lekat wajah murung Muammar.Ingin sekali Adam mengajukan kembali tawarannya untuk menggantikan posisi Ammar. Namun, sepertinya momennya tidak pas.Ammar memandang langit yang gelap tanpa bulan dan bintang. Seperti hatinya yang gamang untuk melangkah ke jenjang pernikahan.Bukan masalah pernikahannya, tetapi mempelai perempuannya. Ammar memandang Ayudia sebagai gadis biasa yang tak memiliki kelebihan apa pun untuk memikat hatinya."Dam, lomba sholawat putri kemarin siapa yang mendapat juara?" Tiba-tiba Ammar bertanya."Banyak, Am. Kan ada beberapa tingkatan," jawab Adam santai. Sebenarnya Adam sudah bisa menebak kemana arah perbincangan tersebut."Nur juara berapa?" Nah kan, benar dugaan Adam. Tujuan Ammar sebenarnya adalah Nur. Tapi ia harus berbasa-basi lebih dulu."Biasalah, Nur tetap sang juara."Ammar menatap sang sahabat, ia sedikit menyunggingkan senyum. Hanya sedikit, seperti seringaian."Jelas lah, Dam. Pilihanku emang ndak pernah meleset kan?" Ammar membanggakan diri."Inget, Am. Ini malam terakhir sekaligus hari terakhir kamu memuji-muji cewek lain. Besok statusmu sudah menjadi suami Dia," tegas Adam, ada gurat kemarahan di wajahnya."Ya terserah aku to, Dam. Orang kenyataannya, Nur itu lebih dulu tak sebut namanya dibanding siapa tadi ... siapa yang kamu bilang?" Ammar berlagak lupa pada nama calon istrinya."Tak sumpahin ya, Am. Suatu saat kamu menyesal. Kalo nanti kamu nyakitin, Dia, jangan harap bisa memiliki hatinya. Kalo kamu kayak gitu, aku juga ndak punya larangan untuk mencintai Dia meskipun udah sah sama kamu." Setelah mengucapkan kalimat tersebut dengan urat-urat leher yang menonjol, Adam masuk ke dalam.Meninggalkan Ammar yang mematung guna mencerna semua kalimat yang diutarakan Adam."Apa Adam beneran jatuh cinta sama, Dia?" gumam Ammar dengan angin malam.. .Tidak seperti biasanya rumah Pak Lik Yono ramai di jam sepertiga malam.Rombongan Abah seluruhnya telah bangun, menunaikan salat sunah.Pak Lik Yono yang tak biasa dengan aktivitas tersebut, ikut terbangun dan mengambil air wudhu untuk ikut berjamaah.Rumah Atuk Darmo sudah tampak beberapa ibu-ibu sibuk gelontengan di tenda belakang. Tenda yang diperuntukkan sebagai dapur. Meski tak ada acara besar, tetapi Atuk tetap mengundang seluruh warga untuk menyaksikan akad Ayudia. Sekaligus Atuk ingin menjamu tetangganya.Akad direncanakan pagi hari pukul tujuh. Mau bagaimana lagi, rencananya Abah Ahmad akan langsung membawa Ayudia ke kediamannya.
Waktu berjalan begitu cepat, matahari merangkak naik menghangatkan penduduk bumi.Setelah Kampung Kipyuh diguyur hujan selama tiga hari penuh, hari itu mentari benar-benar bertengger gagah.Seperti didukung oleh alam, matahari yang terik tapi menyejukkan. Benar-benar aneh.Semua sudah berkumpul di ruang tamu. Ada dua mempelai, wali, penghulu dan saksi.Tak menunggu lama, karena semua sudah siap.Ammar gugup, tangannya mendadak dingin. Lidahnya seperti kelu.Ketika Atuk menyalami Ammar untuk mengucapkan akad nikah, Ammar justru terbengong.Alhasil ijab qobul diulang kembali, sampai kali ke tiga baru Ammar lancar dan lantang mengucapkan."Alhamdulillah." Semua orang berucap syukur, tak terkecuali Ayudia.Ayudia merasa dirinya adalah perempuan paling beruntung telah diperistri oleh seorang pria sempurna seperti Muammar.Ayudia menyalami dengan hikmat tangan Ammar. Namun, sebelum punggung tangan Ammar menyentuh hidungnya, Ammar lebih dulu menarik. Ayudia sedikit terlonjak dengan sikap kasar yang Ammar tunjukkan.Ammar mengibas desiran yang menyusup ke hatinya kala menatap wajah Ayudia secara gamblang.
Bersambung.
Ayudia, ayo semangat.. ini bukan akhir pencarian, namun awal perjuanganmu mencari cinta sejati.Hai sahabat, terimakasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.Siang itu juga, selepas Salat Dzuhur rombongan Abah Ahmad berpamitan untuk kembali ke Sandur.Tak lupa Abah Ahmad menyampaikan permohonan maaf dan rasa terima kasihnya kepada Atuk Darmo.Abah Ahmad juga meminta izin untuk memboyong Ayudia ke Pondok Pesantren Asmaul Husna.Tangis haru serta bahagia pecah di gubuk sederhana Atuk Darmo. Lebih dari dua puluh tahun Ayudia hidup bahagia di sana, akhirnya tiba juga waktu untuk memisahkan diri.Tentu kesedihan menusuk hingga sum-sum Ayudia. Tak tega meninggalkan dua manusia renta yang telah setia merawatnya hingga dewasa.Ayudia menangis sepilu-pilunya, begitu juga Uti Dijah. Umi Aida mengelus sayang punggung Ayudia.Kini, Ayudia benar-benar akan hijrah ke sana. Ia pun akan membantu mengajar di madrasah milik keluarga Ammar."Nak, Uti titip cucu Uti, ya. Nak Ammar tolong bimbing, Dia. Jangan pernah memarahi Dia ketika melakukan kesalahan. Beritahu saja baik-baik. Sekali lagi Uti titip Dia pada Nak Ammar. Tolong jagain Dia ya, Nak," ucap Uti de
Mobil putih dengan variasi ban off-road berbelok ke Pondok Pesantren Asmaul Husna. Para santri terlihat membungkuk hormat kala mobil itu melewati gerbang menuju tempat parkir. Mereka sudah sangat hafal siapa pemiliknya, meski sang empunya tak membuka kaca jendela. "Alhamdulillah sudah sampai, Dia," seru Abah pada Ayudia, membangunkan tidur nyaman Umi Aida. "Iya Bah, Alhamdulillah," jawab Ayudia. Umi Aida mengedip beberapa kali, lalu bergerak membenarkan posisi duduknya. Umi Aida juga mengusap wajah. Mungkin takut kalau ada kotoran mata maupun air liur yang tertinggal di sana. "Sudah sampai, Bah?" tanya Umi setelah sadar sepenuhnya. "Sudah, Mi. Ayo turun, pasti Nak Dia sudah lelah dan pengen istirahat." "Iya iya, ayo Am, ajak Nak Dia," ujar Umi Aida. "Iya, Mi." Akan tetapi, itu hanya jawaban yang keluar dari mulut Ammar, nyatanya begitu turun dari mobil, Ammar berjalan sendiri tanpa beban masuk ke rumahnya. Ayudia berdiri diam, menggendong ransel hitam berisi baju-baju miliknya
Ayudia sedikit terhibur dengan keputusan Abah mengajak bergabung di MI Asmaul Husna. Usai makan malam, Abah kembali dengan rutinitasnya bersama santri. Najma, Fatma juga Muha pun sama, kembali mengaji. Umi duduk di ruang tamu, biasanya ada beberapa orang bertamu ataupun para santriwati yang sekedar ingin ilmu tambahan. Ayudia memunguti piring-piring kotor, membawa ke tempat cuci piring. Ammar masuk kamar. Ayudia belum tahu apa saja aktivitas yang Ammar lakukan dalam sehari-hari. "Dia, sudah. Tinggalkan saja, biar Najma dan Fatma yang membereskan semua sepulang ngaji nanti," seru Umi dari ruang tamu. Sayup-sayup, Ayudia mendengar obrolan. Mungkin sudah ada tamu yang datang, batin Ayudia. Ayudia meninggalkan cucian piring sebentar, lalu membuka horden pembatas antara ruang tamu dan dapur. "Ndak papa, Umi. Ini kan kerjaan Dia juga. Dia sudah biasa cuci piring dan baju waktu di rumah Atuk." "Nanti Dia kecapek'an, sudah ... tinggalkan saja." "Dia ndak capek, Mi. Udah ndak papa, mala
Dari kejauhan banyak pasang mata melihat Adam menggendong seorang perempuan. Namun, beruntungnya, bisa dipastikan hanya berapa gelintir yang tahu bahwa Adam menggendong Ayudia, menantu Abah Ahmad. Saat hendak sampai teras rumah Abah, Ammar menghadang langkah Adam. "Dam, sini. Biar aku saja yang gendong. Dia itu istriku, jadi kamu ndak berhak pegang Dia." Sayang sekali, Adam tak acuh. Ia melanjutkan langkah kaki yang tinggal berapa gerakan untuk sampai di ruang tamu. "Assalamualaikum, Mi!" teriak Adam, ia tahu kalau Umi Aida selalu di rumah di jam pagi. "Walaikumsalam. Masyaallah, ada apa Dam? Dia kenapa?" "Tolong bantal, Umi." Umi segera mengambil bantal, Adam menidurkan Ayudia di karpet ruang tamu. Sementara itu Ammar hanya diam saja. "Ada apa dengan Dia, Dam?" Sekali lagi Umi Aida bertanya. "Ndak tahu Umi, tadi Adam lihat dari kelas enam, tubuh Dia limbung. Jadi, Adam lari cepat, lalu sampai di sana, Dia ambruk dan ndak sadar lagi." "Makasih ya, Dam. Makasih karena sudah m
Puas Ayudia memerhatikan interaksi antara Ammar dan Nur, hingga ia merasakan pusing lagi. "Terima kasih ya, Mbak." Kalimat terakhir Ayudia dengar sebelum Nur pergi bersama Ammar. Saat mengatakan itu, Ayudia mendapati mata Ammar sedang memandang lekat perempuan bernama Nur tersebut. Tatapan penuh kekaguman. Ayudia kembali ke kamar, ia duduk di kursi meja rias sambil mengingat bagaimana Ammar ramah tamah dengan Nur. Cara Ammar berbicara pada Nur sangatlah berbeda. Nada bicara lembut dan enak didengar. Meski Ayudia tak pernah pacaran ataupun curi-curi pandang dengan pria lain, tetapi ia cukup paham dengan sorot mata ketertarikan seseorang kala tengah menatap. Jika ditanya apakah Ayudia iri? Jelas saja, rasa itu diam-diam menyusup dan kembali memporak-porandakan hati. Bukan Ayudia ingin Ammar tertarik padanya, tidak seperti itu. Ayudia hanya ingin diperlakukan baik. Diajak bicara dengan baik, terlebih ia yang berhak mendapatkan perhatian bukan perempuan lain. Gadis itu memutuskan u
Semilir angin membelai lembut wajah gadis cantik bermata belok. Sejuk sepoi-sepoi angin sore di pinggir sawah, membikin gadis itu sampai terkantuk-kantuk. Selendang hitamnya sampai jatuh ke tanah sebab tertiup angin. Dengan malas, gadis itu turun dari pagar catur yang mengelilingi pesantren. Sejak tahu ada tempat nyaman untuk menenangkan diri, sejak saat itu Ayudia mulai gemar mengunjungi sudut belakang pondok pesantren yang rimbun dengan tanaman Bambu. Fatma lah orang pertama yang memberitahu tempat tersebut. Ada dua jenis bambu di sana, Bambu Petung berwarna hitam dan Bambu Pagar yang diameternya lebih kecil dari Bambu biasa. Ayudia lebih senang berada di dekat Bambu Pagar karena tidak terlalu rimbun. Sudah dua minggu lebih sejak ia sembuh dari sakit, genap tiga hari berturut-turut Ayudia mendatangi tempat sunyi itu. Di halaman belakang memang sangat sepi, ada satu kursi dan beberapa butir kotak sampah sesuai peruntukannya. Biasa santri akan ke belakang untuk membuang sampah. Bi
Aku ingin mencintaimu yang melengkapi hidupku. Aku ingin dicintai olehmu, seperti tulang rusuk. Seperti Muhammad mencintai Aisyah. Seperti Ali mencintai Fatimah. Akan tetapi, aku tak bisa membohongi sesaknya hati setiap kali kau mengecilkanku. Sulit bagiku bicara tentang kebencian, tetapi air mataku seolah enggan berhenti mengalir. Untuk menangisi semua ke tidak baikkanmu dalam memperlakukan diriku. Aku bahkan rela terhempas olehmu bagai pohon dikoyak badai. Aku rela tetap berdiri meski sebagian rantingku telah patah berserakan, bermandikan tanah. Aku rela tegak berdiri, karena ... kau memang kehormatanku. Sekali lagi, aku bukanlah katak yang terus merindukan hujan. Aku cuma segumpal hati rawan dan mudah tergores oleh lisan. Aku bukan seonggok patung di taman. Aku bisa menjadi penonton, pendengar, juga teman jika diinginkan. Namun, aku akan menjadi debu ketika engkau menghancurkan. Aku bukan pemimpi yang selalu berkhayal bisa dirawat seperti tanaman kesayangan. Aku berjalan sesuai
Angin ... tolong sampaikan pada awan, aku merindukan hujan. Merindukan rintik gemuruh yang membawa ketenangan. Hujan ... turunlah dan sapa aku yang gersang. Menjadilah saksi bisu atas semua deritaku. Ayudia menutup buku diarynya. Di zaman secanggih ini, buku diary bisa dikatakan sangat jadul. Mungkin sudah tak ada lagi yang minat menggunakan walau sekadar menuangkan emosi dan kesal. Lain bagi Ayudia, diary adalah penyelamat. Ya, saat rasa marah mengungkung ego, ia jadi lega setelah meluapkan semua dalam buku kecil bermotif batik pada sampulnya itu. Ayudia duduk sebentar sambil membaca buku. Ia tidak melepas jilbabnya kala di kamar, Ayudia sudah nyaman dan terbiasa seperti itu. Selain terbiasa tertutup, Ayudia juga sudah biasa tidur di bawah beralas karpet dan berbantal ransel, kadang hanya bertumpu tangan. Ia tak ingin manja dan selalu mengeluh. Ia memotivasi dirinya sendiri untuk menjadi perempuan tegar seperti sang nenek. Yang berjuang membesarkan dirinya dengan segala kesulita
Tiga hari sudah Ammar menjabat sebagai suami dari Ayudia Prasasti. Ia sangat menikmati perannya tersebut. Ia ingin menjadi suami yang terbaik untuk Ayudia, tidak akan mengulang kesalahan dahulu, atau bisa fatal akibatnya. Selama tiga hari, Ammar senantiasa membantu Ayudia dalam hal apapun. Ia cekatan merawat Fa dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring dan mencuci pakaian. Ammar juga memutuskan untuk tidak pergi ke luar kota, dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Sementara hanya menerima pekerjaan dari rumah, agar bisa menghabiskan banyak waktu bersama.Hari ini, Ammar mengajak Ayudia untuk pindah ke rumah baru mereka. Tempat yang akan menaungi hari-hari keluarga kecil Ammar ke depan. Rumah yang berhasil Ammar wujudkan dalam kurun waktu satu bulan. Ia mendesain sendiri rumah itu. Berkonsep minimalis dan estetik. Sengaja Ammar hanya memberi dua kamar pada rumah tersebut, dengan alasan agar Ayudia tidak kelelahan membereskan pekerjaan rumah saat ia sedang ke luar k
Ayudia mematut dirinya di depan cermin, memandang dan menatap detail tubuhnya yang terbalut gamis berwarna navy dengan kerudung senada, menutup sampai di bawah perut. Pakaian sederhana berbahan brukat tanpa pernak-pernik apapun. Namun, aura kecantikan tetap memancar dari wajah ayu itu. Ia memoles bedak dan lipstik. Tidak perlu foundation, tidak perlu eyeliner, blashon dan lain sebagainya. Ayudia pikir, hanya lamaran, tak perlu tampak berlebihan juga.Fa juga terlihat tampan dengan kemeja abu, pakaian yang Ammar belikan. Bocah kecil itu anteng sekali sejak tadi, seakan ia paham benar suasana hati sang ibu. Bahagia. Sudah pukul delapan malam, Ammar juga sudah mengabarkan jika ia sudah berjalan dengan rombongan menuju rumah Ayudia. Akan tetapi, sudah lebih dari sepuluh menit belum juga sampai."Mbak, ayo keluar. Mas Ammar sudah datang. Biar Fa, aku yang gendong.""Sudah sampai? Kok ndak kedengeran suara mobil?"Najma tersenyum, "Ya ndak, orang jalan kaki."Ayudia membelalak, kurang yakin
Dua hari kemudian Ammar baru menanyakan lagi perihal jawaban Ayudia. Sebab ... semakin ditunggu, Ayudia justru semakin kelihatan menjauh, membuat Ammar dilanda kegalauan. Dengan amat sangat terpaksa, Ammar membuang urat malu dan melapisi wajahnya dengan tembok, Ammar menagih jawaban Ayudia. Dengan santai dan hanya dalam sebuah pesan singkat. Ayudia menjawab dengan Jawaban yang masih sama. Tetap iya, membuat Ammar merasa bingung akibat tak mau terlalu percaya diri dulu dan akhirnya kecewa. Lalu ia desak lagi agar menuliskan jawaban yang jelas menggunakan kalimat, bukan sekedar satu kata. [Iya, Dia mau kembali dengan Kakak.] Pesan yang Ayudia kirim barusan, Ammar pandangi sampai lama, sampai seluruh kepingan jiwa dan kewarasannya kembali. Lalu ... "Yey! Yes! Alhamdulillah ya Allah ...! Alhamdulillah! Hore ... Umi ... Dia mau, Dia mau, Mi ....!" Umi tidak heran, sebab beliau begitu paham dengan tabiat anaknya yang memuja Ayudia. Janggal jikalau Ammar tidak jingkrak-jingkrak. Jika sud
Ayudia memanggil-manggil Umi dan Abah. Sayangnya tidak ada sahutan. Albi lalu meninggalkan Ammar di kursi saja, dan pergi keluar. Fatma malah meringkuk dengan Fa, tidak mungkin Ayudia membangunkan, yang ada Fa akan kaget. Akhirnya ia sendiri yang menangani Ammar."Kak, Dia siapkan air hangat untuk mandi ya? Tapi di kamar mandi belakang, Kakak ambil bajunya dulu di kamar.""Ndak kuat, Dia ... tolong sekalian."Meski ragu-ragu, Ayudia tetap membuka pintu kamar Ammar, lalu menghidupkan lampu kamar."Dia ..." Panggil Ammar,Ayudia terlonjak, "Ya.""Ehm, itu ... itunya ... ndak usah."Ayudia berbalik dan mendekati Ammar. Ia tidak mengerti apa yang sedang Ammar bicarakan. "Itu itunya itu apa sih, Kak?""Ya itu, ndak usah. Di belakang ada."Ayudia menggeleng, masih tidak paham ia melengos dan masuk ke kamar lalu membuka lemari. Barulah saat pupilnya menangkap segitiga berkerut, bulu kuduknya meremang. Ia baru memahami ucapan Ammar tadi. Mengalihkan pandangan lalu menarik satu kaos dan celana
Pukul sebelas malam, Ayudia dan Ammar baru saja akan pulang dari bidan Diva. Fa tidak perlu pengobatan serius karena memang hanya mau pilek biasa. Kegelapan menemani sepanjang perjalanan mereka, tak nampak sepercik sinar kehidupan dari rumah-rumah warga, semua gelap dan mencekam.Cuaca memang sering tidak terduga, bulan yang seharusnya menjadi musim panas, tiba-tiba terguyur hujan lebat. Biasa begitu kalau lama tidak hujan, giliran hujan petir tampil paling garang. Ayudia yang terkantuk-kantuk sambil mengepuk-ngepuk paha Fa, memaksa buka suara untuk menemani Ammar yang tengah menyetir."Kak ... nanti langsung pulang ke rumah Kak Ammar saja, Dia biar pulang sendiri. Baju Kak Ammar kan basah, takut masuk angin."Ammar mengangguk dalam temaram. Entah terlihat atau tidak. Bibirnya sudah tidak mampu lagi mengatup, dingin yang menyeruak sampai ke tulang sumsum, membuat pria itu menekan gigi-giginya untuk menahan getaran pada tubuh. Rasanya Ammar sudah ingin ambruk, akan tetapi ... dua malai
Semua aktivitas sudah berjalan seperti sediakala. Ayudia sudah terlepas dari bayang-bayang trauma. Ia fokus mengasuh Fa dan mengelola rumah semai bersama Najma. Sedang Ammar juga sibuk sendiri dengan proyek yang membanjiri peminat jasanya. Ya, Ammar memutuskan untuk berhenti mengajar, karena merasa bosan dan itu memang bukan bidangnya. Sudah hampir sepuluh hari Ayudia tidak melihat wajah teduh pria yang semakin sering membayangi dirinya. Selama itu juga Ammar hanya beberapa kali mengirim pesan. Terakhir kemarin siang, pesan yang menanyakan kesehatannya dan Fa. Namun, saat Ayudia membalas, pesan hanya centang satu abu-abu ... sampai hari ini. Ingin bertanya kepada Najma, namun Ayudia sedikit malu. Seakan ia tidak bisa menahan rindu yang menggunung. Iapun hanya pasrah menanti kepulangannya. Kadang terbersit prasangka buruk; apakah Ammar benar-benar dengan perasaan dan pernyataannya? Atau sekedar menghibur dirinya yang kesepian? Ayudia tidak paham. Tetapi, lebih dari seminggu tanpa kab
Malam nanti aqiqah akan diselenggarakan, seluruh ketering sudah Ammar serahkan pada pihak pemotongan kambing. Ammar juga yang sibuk memesan berbagai macam kudapan untuk menambah suguhan para tetangga yang hadir. Tak lupa pria tersebut memesan tenda agar seluruh tamu bisa tertampung, dan juga tenang saat sedang menyelenggarakan marhabanan. Tidak takut kalau hujan tiba-tiba mengguyur.Rumah Ayudia sangat sesak dengan kehadiran para guru-guru dari sekolahnya mengajar dan dari Asmaul Husna. Ramai dan penuh tawa kebahagiaan. Banyak yang melempar ledekan kepada Ammar, sayangnya pria itu tak bisa lama-lama menanggapi candaan-candaan receh yang membuatnya tersenyum. Ia harus wara-wiri mendampingi pemasang dekor dan tenda. Ia ingin semua sempurna. Enak dipandang dan indah. Sesuai keinginannya. Ah, sudah seperti pemilik event organizer, saja."Am ... buruan dilamar, keburu disabet bujang-bujang yang lebih unggul darimu!" Kata Iqbal."Santai aja, Bal. Meski banyak yang lebih unggul, tapi pesonak
Ayudia menutup kembali buku itu, meletakkan di laci lemari seperti sediakala. Hatinya sudah plong, pikirannya jauh lebih ringan. Tiba-tiba semua suara yang entah sejak kapan suka sekali berbisik di telinga, lenyap begitu saja. Ayudia bingung, sebenarnya apa yang terjadi? Apakah semua adalah pengaruh dari setan? Ah ya sudah lah, yang terpenting kini ia merasa lebih baik. Perempuan tersebut berjalan menapaki semua ruangan di rumahnya. Mencari dimana gerangan gadis yang izin memasak tadi. Ayudia memanggil-manggil gadis itu. Rasanya tak sabar mengabarkan untuk segera mencari bayi kecilnya yang kemarin ia tolak."Najma ... Najma ... di mana, Najma?" Ayudia bertanya pada dirinya, matanya memindai seluruh ruangan tak terkecuali. Ingin berjalan ke belakang, mencari di 'Rumah Semai', namun kewanitaan miliknya masih terasa nyeri. Darah nifas mengalir dengan derasnya. Akhirnya ia duduk di ruang tamu. Bahkan sekarang perempuan berstatus janda dua kali itu, sedang senyum-senyum sendiri. Hatinya se
Akhirnya Adam kecil dibawa pulang oleh Umi yang diantar Andre. Ammar menunggu Ayudia, dan Najma pergi membeli perlengkapan bayi bersama Habibi. Andre harus mengalah karena diamanahi oleh Najma untuk menjaga rumah semai di kediaman Ayudia. Keesokan pagi, Ammar membawa Ayudia pulang. Kondisinya sudah stabil, meski ia masih tampak lesu dan banyak diam. Najma yang menjaga Ayudia semalaman, ikut pulang dengan mobil Ammar. Dua pria yang tengah gencar mendekatinya sudah kembali ke daerah masing-masing. Gadis itu mencoba membuka obrolan agar Ayudia berbicara. "Mbak Dia, kemarin Andre mengantar benih mahoni 250 pohon. Baru Najma bayar setengah, setengahnya nanti kalau sudah laku seluruhnya." Tidak bergeming, Ayudia tetap diam. Najma dan Ammar saling pandang melalui kaca tengah. Lalu Najma mengangkat bahu, kode bahwa ia tak bisa berbuat banyak. Kini giliran Ammar berusaha mengalihkan perhatian Ayudia dari hilir-mudik kendaraan di jalan. "Dia ... bagaimana jika nanti saat sampai di rumah, aku