Puas Ayudia memerhatikan interaksi antara Ammar dan Nur, hingga ia merasakan pusing lagi. "Terima kasih ya, Mbak." Kalimat terakhir Ayudia dengar sebelum Nur pergi bersama Ammar. Saat mengatakan itu, Ayudia mendapati mata Ammar sedang memandang lekat perempuan bernama Nur tersebut. Tatapan penuh kekaguman. Ayudia kembali ke kamar, ia duduk di kursi meja rias sambil mengingat bagaimana Ammar ramah tamah dengan Nur. Cara Ammar berbicara pada Nur sangatlah berbeda. Nada bicara lembut dan enak didengar. Meski Ayudia tak pernah pacaran ataupun curi-curi pandang dengan pria lain, tetapi ia cukup paham dengan sorot mata ketertarikan seseorang kala tengah menatap. Jika ditanya apakah Ayudia iri? Jelas saja, rasa itu diam-diam menyusup dan kembali memporak-porandakan hati. Bukan Ayudia ingin Ammar tertarik padanya, tidak seperti itu. Ayudia hanya ingin diperlakukan baik. Diajak bicara dengan baik, terlebih ia yang berhak mendapatkan perhatian bukan perempuan lain. Gadis itu memutuskan u
Semilir angin membelai lembut wajah gadis cantik bermata belok. Sejuk sepoi-sepoi angin sore di pinggir sawah, membikin gadis itu sampai terkantuk-kantuk. Selendang hitamnya sampai jatuh ke tanah sebab tertiup angin. Dengan malas, gadis itu turun dari pagar catur yang mengelilingi pesantren. Sejak tahu ada tempat nyaman untuk menenangkan diri, sejak saat itu Ayudia mulai gemar mengunjungi sudut belakang pondok pesantren yang rimbun dengan tanaman Bambu. Fatma lah orang pertama yang memberitahu tempat tersebut. Ada dua jenis bambu di sana, Bambu Petung berwarna hitam dan Bambu Pagar yang diameternya lebih kecil dari Bambu biasa. Ayudia lebih senang berada di dekat Bambu Pagar karena tidak terlalu rimbun. Sudah dua minggu lebih sejak ia sembuh dari sakit, genap tiga hari berturut-turut Ayudia mendatangi tempat sunyi itu. Di halaman belakang memang sangat sepi, ada satu kursi dan beberapa butir kotak sampah sesuai peruntukannya. Biasa santri akan ke belakang untuk membuang sampah. Bi
Aku ingin mencintaimu yang melengkapi hidupku. Aku ingin dicintai olehmu, seperti tulang rusuk. Seperti Muhammad mencintai Aisyah. Seperti Ali mencintai Fatimah. Akan tetapi, aku tak bisa membohongi sesaknya hati setiap kali kau mengecilkanku. Sulit bagiku bicara tentang kebencian, tetapi air mataku seolah enggan berhenti mengalir. Untuk menangisi semua ke tidak baikkanmu dalam memperlakukan diriku. Aku bahkan rela terhempas olehmu bagai pohon dikoyak badai. Aku rela tetap berdiri meski sebagian rantingku telah patah berserakan, bermandikan tanah. Aku rela tegak berdiri, karena ... kau memang kehormatanku. Sekali lagi, aku bukanlah katak yang terus merindukan hujan. Aku cuma segumpal hati rawan dan mudah tergores oleh lisan. Aku bukan seonggok patung di taman. Aku bisa menjadi penonton, pendengar, juga teman jika diinginkan. Namun, aku akan menjadi debu ketika engkau menghancurkan. Aku bukan pemimpi yang selalu berkhayal bisa dirawat seperti tanaman kesayangan. Aku berjalan sesuai
Angin ... tolong sampaikan pada awan, aku merindukan hujan. Merindukan rintik gemuruh yang membawa ketenangan. Hujan ... turunlah dan sapa aku yang gersang. Menjadilah saksi bisu atas semua deritaku. Ayudia menutup buku diarynya. Di zaman secanggih ini, buku diary bisa dikatakan sangat jadul. Mungkin sudah tak ada lagi yang minat menggunakan walau sekadar menuangkan emosi dan kesal. Lain bagi Ayudia, diary adalah penyelamat. Ya, saat rasa marah mengungkung ego, ia jadi lega setelah meluapkan semua dalam buku kecil bermotif batik pada sampulnya itu. Ayudia duduk sebentar sambil membaca buku. Ia tidak melepas jilbabnya kala di kamar, Ayudia sudah nyaman dan terbiasa seperti itu. Selain terbiasa tertutup, Ayudia juga sudah biasa tidur di bawah beralas karpet dan berbantal ransel, kadang hanya bertumpu tangan. Ia tak ingin manja dan selalu mengeluh. Ia memotivasi dirinya sendiri untuk menjadi perempuan tegar seperti sang nenek. Yang berjuang membesarkan dirinya dengan segala kesulita
Usai menyapu dan mencuci pakaiannya serta milik Ammar, Ayudia bergegas mandi. Pukul setengah tujuh, Ayudia selesai bersiap dengan rok plisket warna hitam dan kemeja putih serta jilbab segi empat warna hitam menutup sampai di bawah dada."Yah, notebook nya error. Untung saja semua data ada di flashdisk." Gumam Ayudia.Setelah mengecek alat kerja yang ternyata bermasalah, Ayudia keluar meninggalkan benda tersebut. Lalu ia ikut bergabung dengan keluarganya di meja makan."Assalamualaikum, Abah. Umi." Dia menyalami Abah dan Umi. Lalu duduk di sana, di depan Muammar.Muha memimpin do'a makan, lanjut santap pagi bersama dengan menu sayur kangkung, tempe goreng dan telur goreng. Ayudia menikmati masakan Umi dengan lahap. Ia harus makan dengan baik, setelah hampir dua bulan ia mengurangi isi yang masuk ke lambung.Kini Ayudia mulai memikirkan kesehatannya, ia mengembalikan napsu makannya yang sempat hilang. Ayudia tak ingin Ammar selalu mengeluh akibat ia
Pukul dua belas siang, lonceng sekolah berdenting. Semua siswa bersorak bahagia karena waktu pulang telah tiba.Sayonara ....Para guru pun ikut senang, hanya saja tak menunjukkan di depan muridnya. Guru juga memiliki tanggung jawab untuk mengurus keluarga di rumah.Ayudia keluar terakhir, ia masuk ke dalam kantor sudah tak ada batang hidung Ammar dan Adam. Ayudia membereskan buku-buku yang ia bawa, memasukkan ke dalam tas.Satu persatu guru pulang, sudah menjadi kebiasaan sejak mengajar di SD Kipyuh, Ayudia selalu pulang paling akhir. Mengunci pintu kantor, sekalipun ada yang bertugas menguncinya.Saat semua sudah beranjak, Ayudia mengambil sulak, membersihkan debu yang menempel di lemari maupun meja guru. Ketika pagi, Ayudia tak selalu sempat bersih-bersih kantor. Datangnya kadang malah terlambat, hingga ia berinisiatif mengganti waktu bersih-bersih saat siang. Di saat semua guru berlomba cepat-cepat untuk sampai di rumah, Ayudia justru memilih b
Ayudia tak henti-hentinya terisak pelan. Umi Aida sungguh prihatin menyaksikan kepedihan itu. Bingung harus melakukan apa, karena Ayudia tak ingin kalau sampai Abah mengetahui semua kenyataan pahit yang terjadi di rumah tangganya. "Nduk, ayo masuk kamar. Istirahat dulu, nanti Umi akan coba kembali bicara sama Ammar." Kata Umi Aida. "Ndak perlu, Umi. Kalau diizinkan, Dia mau tidur di kamar Najma saja, Mi. Dia ndak mau selalu membuat Kak Ammar ndak nyaman. Sekali ini saja, Dia mohon, Mi." Ucap Ayudia memelas. "Ya sudah, ayo ke kamar Najma." "Sebentar, Mi. Dia mau mengambil barang-barang Dia dulu." Kamar Najma tidak dikunci, meski penghuninya belum pulang. Ayudia masuk ke dalam, dan Umi pergi entah kemana. Gadis itu segera masuk kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air wudhu. Lalu Ayudia sholat Dzuhur. Hatinya sudah lebih tenang, ia kembali berpikir keras bagaimana cara agar masalahnya tidak melebar kemana-mana. Perpisahan bukan
Sepeninggal Ayudia, Ammar menjalankan aktivitas seperti biasa. Ia sekolah, saat sampai di sekolah. Ammar berniat pergi ke ruang kepala sekolah, memberikan surat izin yang ia tulis atas nama Ayudia."Mau kemana, Am?" Tanya Adam."Ke ruang kepsek. Ada perlu.""Perlu apa, aku juga dari sana. Tadi Pak Abdul bilang mau rapat di luar.""Kamu ngapain, Dam?""Ngantar titipan surat dari Dia. Tadi Najma yang ngasih ke aku pagi-pagi."Deg!Bagaimana dengan perasaan Ammar, hanya dia yang tahu. Hihi.Bukan apa-apa, Adam juga tak seberani itu jika tahu Ammar memperlakukan Ayudia dengan baik. Adam seperti itu juga karena Ammar, karena pria tersebut tidak bisa menghargai Ayudia, tidak bisa sedikit saja menganggapnya sebagai istri.Ammar berbalik badan, melenggang masuk ke dalam kantor. Mengambil buku untuk mengajar dan pergi ke kelas enam tanpa menoleh lagi."Ndak inget apa, kalo udah punya suami, dasar cewek ndak bener." Gumamny
Tiga hari sudah Ammar menjabat sebagai suami dari Ayudia Prasasti. Ia sangat menikmati perannya tersebut. Ia ingin menjadi suami yang terbaik untuk Ayudia, tidak akan mengulang kesalahan dahulu, atau bisa fatal akibatnya. Selama tiga hari, Ammar senantiasa membantu Ayudia dalam hal apapun. Ia cekatan merawat Fa dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring dan mencuci pakaian. Ammar juga memutuskan untuk tidak pergi ke luar kota, dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Sementara hanya menerima pekerjaan dari rumah, agar bisa menghabiskan banyak waktu bersama.Hari ini, Ammar mengajak Ayudia untuk pindah ke rumah baru mereka. Tempat yang akan menaungi hari-hari keluarga kecil Ammar ke depan. Rumah yang berhasil Ammar wujudkan dalam kurun waktu satu bulan. Ia mendesain sendiri rumah itu. Berkonsep minimalis dan estetik. Sengaja Ammar hanya memberi dua kamar pada rumah tersebut, dengan alasan agar Ayudia tidak kelelahan membereskan pekerjaan rumah saat ia sedang ke luar k
Ayudia mematut dirinya di depan cermin, memandang dan menatap detail tubuhnya yang terbalut gamis berwarna navy dengan kerudung senada, menutup sampai di bawah perut. Pakaian sederhana berbahan brukat tanpa pernak-pernik apapun. Namun, aura kecantikan tetap memancar dari wajah ayu itu. Ia memoles bedak dan lipstik. Tidak perlu foundation, tidak perlu eyeliner, blashon dan lain sebagainya. Ayudia pikir, hanya lamaran, tak perlu tampak berlebihan juga.Fa juga terlihat tampan dengan kemeja abu, pakaian yang Ammar belikan. Bocah kecil itu anteng sekali sejak tadi, seakan ia paham benar suasana hati sang ibu. Bahagia. Sudah pukul delapan malam, Ammar juga sudah mengabarkan jika ia sudah berjalan dengan rombongan menuju rumah Ayudia. Akan tetapi, sudah lebih dari sepuluh menit belum juga sampai."Mbak, ayo keluar. Mas Ammar sudah datang. Biar Fa, aku yang gendong.""Sudah sampai? Kok ndak kedengeran suara mobil?"Najma tersenyum, "Ya ndak, orang jalan kaki."Ayudia membelalak, kurang yakin
Dua hari kemudian Ammar baru menanyakan lagi perihal jawaban Ayudia. Sebab ... semakin ditunggu, Ayudia justru semakin kelihatan menjauh, membuat Ammar dilanda kegalauan. Dengan amat sangat terpaksa, Ammar membuang urat malu dan melapisi wajahnya dengan tembok, Ammar menagih jawaban Ayudia. Dengan santai dan hanya dalam sebuah pesan singkat. Ayudia menjawab dengan Jawaban yang masih sama. Tetap iya, membuat Ammar merasa bingung akibat tak mau terlalu percaya diri dulu dan akhirnya kecewa. Lalu ia desak lagi agar menuliskan jawaban yang jelas menggunakan kalimat, bukan sekedar satu kata. [Iya, Dia mau kembali dengan Kakak.] Pesan yang Ayudia kirim barusan, Ammar pandangi sampai lama, sampai seluruh kepingan jiwa dan kewarasannya kembali. Lalu ... "Yey! Yes! Alhamdulillah ya Allah ...! Alhamdulillah! Hore ... Umi ... Dia mau, Dia mau, Mi ....!" Umi tidak heran, sebab beliau begitu paham dengan tabiat anaknya yang memuja Ayudia. Janggal jikalau Ammar tidak jingkrak-jingkrak. Jika sud
Ayudia memanggil-manggil Umi dan Abah. Sayangnya tidak ada sahutan. Albi lalu meninggalkan Ammar di kursi saja, dan pergi keluar. Fatma malah meringkuk dengan Fa, tidak mungkin Ayudia membangunkan, yang ada Fa akan kaget. Akhirnya ia sendiri yang menangani Ammar."Kak, Dia siapkan air hangat untuk mandi ya? Tapi di kamar mandi belakang, Kakak ambil bajunya dulu di kamar.""Ndak kuat, Dia ... tolong sekalian."Meski ragu-ragu, Ayudia tetap membuka pintu kamar Ammar, lalu menghidupkan lampu kamar."Dia ..." Panggil Ammar,Ayudia terlonjak, "Ya.""Ehm, itu ... itunya ... ndak usah."Ayudia berbalik dan mendekati Ammar. Ia tidak mengerti apa yang sedang Ammar bicarakan. "Itu itunya itu apa sih, Kak?""Ya itu, ndak usah. Di belakang ada."Ayudia menggeleng, masih tidak paham ia melengos dan masuk ke kamar lalu membuka lemari. Barulah saat pupilnya menangkap segitiga berkerut, bulu kuduknya meremang. Ia baru memahami ucapan Ammar tadi. Mengalihkan pandangan lalu menarik satu kaos dan celana
Pukul sebelas malam, Ayudia dan Ammar baru saja akan pulang dari bidan Diva. Fa tidak perlu pengobatan serius karena memang hanya mau pilek biasa. Kegelapan menemani sepanjang perjalanan mereka, tak nampak sepercik sinar kehidupan dari rumah-rumah warga, semua gelap dan mencekam.Cuaca memang sering tidak terduga, bulan yang seharusnya menjadi musim panas, tiba-tiba terguyur hujan lebat. Biasa begitu kalau lama tidak hujan, giliran hujan petir tampil paling garang. Ayudia yang terkantuk-kantuk sambil mengepuk-ngepuk paha Fa, memaksa buka suara untuk menemani Ammar yang tengah menyetir."Kak ... nanti langsung pulang ke rumah Kak Ammar saja, Dia biar pulang sendiri. Baju Kak Ammar kan basah, takut masuk angin."Ammar mengangguk dalam temaram. Entah terlihat atau tidak. Bibirnya sudah tidak mampu lagi mengatup, dingin yang menyeruak sampai ke tulang sumsum, membuat pria itu menekan gigi-giginya untuk menahan getaran pada tubuh. Rasanya Ammar sudah ingin ambruk, akan tetapi ... dua malai
Semua aktivitas sudah berjalan seperti sediakala. Ayudia sudah terlepas dari bayang-bayang trauma. Ia fokus mengasuh Fa dan mengelola rumah semai bersama Najma. Sedang Ammar juga sibuk sendiri dengan proyek yang membanjiri peminat jasanya. Ya, Ammar memutuskan untuk berhenti mengajar, karena merasa bosan dan itu memang bukan bidangnya. Sudah hampir sepuluh hari Ayudia tidak melihat wajah teduh pria yang semakin sering membayangi dirinya. Selama itu juga Ammar hanya beberapa kali mengirim pesan. Terakhir kemarin siang, pesan yang menanyakan kesehatannya dan Fa. Namun, saat Ayudia membalas, pesan hanya centang satu abu-abu ... sampai hari ini. Ingin bertanya kepada Najma, namun Ayudia sedikit malu. Seakan ia tidak bisa menahan rindu yang menggunung. Iapun hanya pasrah menanti kepulangannya. Kadang terbersit prasangka buruk; apakah Ammar benar-benar dengan perasaan dan pernyataannya? Atau sekedar menghibur dirinya yang kesepian? Ayudia tidak paham. Tetapi, lebih dari seminggu tanpa kab
Malam nanti aqiqah akan diselenggarakan, seluruh ketering sudah Ammar serahkan pada pihak pemotongan kambing. Ammar juga yang sibuk memesan berbagai macam kudapan untuk menambah suguhan para tetangga yang hadir. Tak lupa pria tersebut memesan tenda agar seluruh tamu bisa tertampung, dan juga tenang saat sedang menyelenggarakan marhabanan. Tidak takut kalau hujan tiba-tiba mengguyur.Rumah Ayudia sangat sesak dengan kehadiran para guru-guru dari sekolahnya mengajar dan dari Asmaul Husna. Ramai dan penuh tawa kebahagiaan. Banyak yang melempar ledekan kepada Ammar, sayangnya pria itu tak bisa lama-lama menanggapi candaan-candaan receh yang membuatnya tersenyum. Ia harus wara-wiri mendampingi pemasang dekor dan tenda. Ia ingin semua sempurna. Enak dipandang dan indah. Sesuai keinginannya. Ah, sudah seperti pemilik event organizer, saja."Am ... buruan dilamar, keburu disabet bujang-bujang yang lebih unggul darimu!" Kata Iqbal."Santai aja, Bal. Meski banyak yang lebih unggul, tapi pesonak
Ayudia menutup kembali buku itu, meletakkan di laci lemari seperti sediakala. Hatinya sudah plong, pikirannya jauh lebih ringan. Tiba-tiba semua suara yang entah sejak kapan suka sekali berbisik di telinga, lenyap begitu saja. Ayudia bingung, sebenarnya apa yang terjadi? Apakah semua adalah pengaruh dari setan? Ah ya sudah lah, yang terpenting kini ia merasa lebih baik. Perempuan tersebut berjalan menapaki semua ruangan di rumahnya. Mencari dimana gerangan gadis yang izin memasak tadi. Ayudia memanggil-manggil gadis itu. Rasanya tak sabar mengabarkan untuk segera mencari bayi kecilnya yang kemarin ia tolak."Najma ... Najma ... di mana, Najma?" Ayudia bertanya pada dirinya, matanya memindai seluruh ruangan tak terkecuali. Ingin berjalan ke belakang, mencari di 'Rumah Semai', namun kewanitaan miliknya masih terasa nyeri. Darah nifas mengalir dengan derasnya. Akhirnya ia duduk di ruang tamu. Bahkan sekarang perempuan berstatus janda dua kali itu, sedang senyum-senyum sendiri. Hatinya se
Akhirnya Adam kecil dibawa pulang oleh Umi yang diantar Andre. Ammar menunggu Ayudia, dan Najma pergi membeli perlengkapan bayi bersama Habibi. Andre harus mengalah karena diamanahi oleh Najma untuk menjaga rumah semai di kediaman Ayudia. Keesokan pagi, Ammar membawa Ayudia pulang. Kondisinya sudah stabil, meski ia masih tampak lesu dan banyak diam. Najma yang menjaga Ayudia semalaman, ikut pulang dengan mobil Ammar. Dua pria yang tengah gencar mendekatinya sudah kembali ke daerah masing-masing. Gadis itu mencoba membuka obrolan agar Ayudia berbicara. "Mbak Dia, kemarin Andre mengantar benih mahoni 250 pohon. Baru Najma bayar setengah, setengahnya nanti kalau sudah laku seluruhnya." Tidak bergeming, Ayudia tetap diam. Najma dan Ammar saling pandang melalui kaca tengah. Lalu Najma mengangkat bahu, kode bahwa ia tak bisa berbuat banyak. Kini giliran Ammar berusaha mengalihkan perhatian Ayudia dari hilir-mudik kendaraan di jalan. "Dia ... bagaimana jika nanti saat sampai di rumah, aku