Mobil putih dengan variasi ban off-road berbelok ke Pondok Pesantren Asmaul Husna.
Para santri terlihat membungkuk hormat kala mobil itu melewati gerbang menuju tempat parkir. Mereka sudah sangat hafal siapa pemiliknya, meski sang empunya tak membuka kaca jendela.
"Alhamdulillah sudah sampai, Dia," seru Abah pada Ayudia, membangunkan tidur nyaman Umi Aida.
"Iya Bah, Alhamdulillah," jawab Ayudia.
Umi Aida mengedip beberapa kali, lalu bergerak membenarkan posisi duduknya. Umi Aida juga mengusap wajah. Mungkin takut kalau ada kotoran mata maupun air liur yang tertinggal di sana.
"Sudah sampai, Bah?" tanya Umi setelah sadar sepenuhnya.
"Sudah, Mi. Ayo turun, pasti Nak Dia sudah lelah dan pengen istirahat."
"Iya iya, ayo Am, ajak Nak Dia," ujar Umi Aida.
"Iya, Mi."
Akan tetapi, itu hanya jawaban yang keluar dari mulut Ammar, nyatanya begitu turun dari mobil, Ammar berjalan sendiri tanpa beban masuk ke rumahnya. Ayudia berdiri diam, menggendong ransel hitam berisi baju-baju miliknya.
Sedangkan, Abah Ahmad dan Umi Aida sudah mendahului menantu dan anak-anak. Waktu di pergelangan tangan Abah, sudah pukul setengah empat sore. Azan juga tengah dikumandangkan oleh santri, sehingga Abah dan Umi tak bisa menunggu anak-anak turun dan berjalan bersama menuju rumah.
Abah serta Umi cepat-cepat masuk ke rumah, guna mengambil sajadah dan mukena untuk menunaikan salat berjamaah di masjid.
"Ayo, Mbak Dia. Sini, tasnya biar Fatma bawakan." Fatma meminta ransel yang Ayudia gendong.
Beruntungnya Ayudia memiliki adik-adik ipar yang perhatian. Ayudia sedikit mengulas senyum, lalu menggeleng.
"Ndak usah Dek, biar Mbak bawa sendiri."
"Ya udah, ayo masuk Mbak." Najma menggandeng tangan Ayudia.
Ammar juga Muha sudah lebih dulu masuk. Ayudia hanya mengikuti.
Jika boleh, Ayudia ingin pulang saja. Ia merasa asing di sana, apalagi suaminya sendiri pun tak memperlakukannya dengan baik.
"Mbak Dia, kamar Mas Ammar yang ini. Mbak Dia masuk saja, istirahat di dalam. Kalau mau mandi, di dalam juga ada, Mbak. Najma juga mau mandi, ba'da Asar mau ngaji." Najma menunjukkan kamar paling depan.
Fatma juga sudah masuk ke kamar. Kini Ayudia berdiri di ruang tamu sendirian. Pintu kamar Ammar memang berada di ruang tamu, sehingga jika ada acara apa pun, sulit untuk masuk atau keluar kamar tersebut.
"Dia ingin pulang, Ti," gumam Ayudia.
"Dia ndak mau di sini."
Gadis itu menitikkan air mata. Karena merasa lelah, ia duduk di sofa berwarna merah bergambar kembang.
Bingung hendak melakukan apa, Ayudia membuka resleting tas cangklongnya. Mengambil ponsel, membuka galeri. Napasnya justru semakin berat kala melihat ratusan foto anak-anak didiknya.
Belum juga genap dua puluh empat jam, Ayudia sudah merindukan mereka. Lama kelamaan, air matanya semakin deras berjatuhan.
"Uti ... ." lirihnya hampir seperti tak terucap. Lima sekon kemudian, mata belok Ayudia meredup.
Gadis itu tertidur di sofa dengan ponsel di tangan.
"Assalamualaikum."
Tak ada jawaban dari dalam, Umi pun segera masuk. Umi sangat kaget melihat menantunya tertidur di sofa.
"Astagfirullah," pekik Umi Aida.
"Ammar, Am ... buka pintunya!" Umi lalu menggedor pintu kamar Ammar yang terkunci dari dalam.
"Ada apa, Mi?" tanya Ammar ketika sudah berada di depan pintu. Pria itu terlihat mengucek kedua mata.
"Astaghfirullah ... Am. Umi ndak pernah ngajarin kamu memperlakukan istri seperti itu. Kamu lihat di sana! Lihat itu. Dia tertidur di sofa karena terlalu lelah. Kamu ndak lupa kan, kalau Dia adalah istrimu?"
"Maaf, Mi, Ammar ndak tahu."
"Kamu beneran ndak tahu, atau ndak mau tahu? Bawa masuk Dia ke kamar!"
Ammar serta merta melangkah ke tempat di mana Ayudia sedang tertidur dengan tenang. Ammar menepuk lengan Ayudia beberapa kali. Namun, tak sampai membangunkan Ayudia, Umi Aida kembali menegur tindakan Ammar tersebut.
"Jangan dibangunkan, kasihan," kata Umi.
"Lalu bagaimana Ammar bisa membawa Dia masuk, Mi?"
Entah polos atau memang sok bodoh. Ammar seolah tak mengetahui apa gerangan yang bisa ia perbuat untuk memindahkan tubuh terkapar Ayudia.
Kamu sudah besar, Am ... begitu saja ndak tahu.
Ingin sekali Umi mengatakan hal itu, tetapi yang dilakukan hanyalah menggeleng-gelengkan kepala heran dengan anak bujangnya. Kemudian memilih memberi saran untuk Ammar agar menggendong Ayudia masuk ke kamar.
Ammar diam sesaat di hadapan Ayudia yang terpejam. Tangannya beberapa kali terulur dan ia urungkan kembali. Sampai yang keempat kali, akhirnya Ammar berhasil meraih tubuh Ayudia.
Seeett!
Ammar menyaruk tubuh perempuan itu.
Ayudia memiliki tinggi 160 cm, diikuti berat badan 50 kg. Bukankah itu merupakan berat badan ideal yang diimpikan setiap perempuan? Terutama untuk para gadis. Ayudia tak perlu kepayahan mengontrol makanan yang masuk ke tubuhnya untuk menjaga berat badan. Mau makan apa pun, berat badannya tetap di angka 50. Jika naik pun hanya lebih satu atau dua angka di atasnya.
Lumayan pegal di lengan Ammar membawa Ayudia.
Ammar merasakan respon aneh
pada tubuhnya saat ia menggendong Ayudia. Kala ia memerhatikan lekat detail wajah gadis tersebut.
Hanya beberapa sekon, lalu ia tepis pandangan dengan mengibas tangan ke depan wajah.
Ammar menjatuhkan tubuh Ayudia sedikit kasar, tujuannya agar gadis itu kaget dan terbangun.
Akan tetapi, Ayudia tak terusik sama sekali. Dengan rasa kesal, Ammar melempar tas ransel berisi baju ke lantai di samping ranjang. Ponsel Ayudia ia letakkan di meja. Lepas itu, Ammar ke mushola yang terletak di bagian belakang.
Umi sibuk memasak untuk makan malam, ditemani Ammar yang hendak menyeduh kopi hitam. Najma, Fatma juga Muha sudah berangkat mengaji.
Biasanya, sore hari ketika sedang masak, ada saja santri yang datang berniat membantu. Yang tak pernah absen adalah Nur. Gadis sempurna di mata Muammar.
Sudah pukul lima sore, Umi selesai menyiangi sayuran.
"Assalamualaikum, Umi," ucap seorang gadis yang berdiri di depan pintu dapur, menunggu dipersilakan masuk.
"Walaikumsalam. Eh, Nur? Sini masuk," kata Umi.
Nur dengan semangat, masuk ke dapur. Karena sudah biasa membantu Umi masak, Nur tak kebingungan dengan aktivitas di sana. Nur juga sudah paham tata letak perkakas dapur yang biasa dipakai memasak.
Umi menatap lekat wajah Nur. Ada yang berbeda dengan gadis itu.
"Nur, Umi ndak larang kamu untuk memakai perias wajah, tetapi ... alangkah baiknya, kalau merias diri cukup di dalam rumah. Jangan biarkan dirimu menjadi pusat perhatian semua lelaki ya, Nur." Umi memberi nasihat.
Umi tak tahu apa tujuan Nur melakukan itu. Yang Umi yakin, Nur sudah tahu hukum bersolek di depan umum. Beruntung, karena Ammar sudah tak di sana. Entah kemana perginya anak sulung Umi Aida membawa secangkir kopi.
Di dalam kamar bagian depan, Ayudia menggeliat. Sebelum akhirnya mengucek mata dan bangun dengan mata lebar.
"Loh, Dia ada di mana ini?" kata Ayudia yang agak lupa akibat nyawanya masih terkumpul setengah.
Ayudia beranjak, membuka pintu lalu keluar. Mengetahui ruang tamu beserta beberapa figura yang terpajang di bufet, membuat gadis itu ingat status barunya.
Rambut panjangnya tergerai begitu saja. Karet yang ia pakai untuk menguncir, entah jatuh di mana. Selendang yang ia pakai juga tergeletak di ranjang.
Ayudia berpikir. Siapa yang memindahkannya ke dalam kamar.
Kembali bingung dengan keadaan tersebut, Ayudia berdiri mematung di depan pintu kamar. Ingin berjalan ke belakang, tetapi ia takut jika itu salah. Ayudia belum dikenalkan dengan ruangan-ruangan di rumah tersebut, sehingga membuatnya merasa canggung untuk melakukan apa pun.
"Eh, Nak Dia sudah bangun?" tanya Umi agak keras, karena jarak antara dapur dan ruang tamu cukup jauh.
Pintu depan ke arah dapur di buat sejajar, tegak lurus. Namun, pintu keluar di dapur terletak pada bagian samping, sehingga tidak menyalahi aturan yang dipantang orang tua dulu. Katanya - kalau membuat pintu depan selaras sampai pintu keluar dari dapur, pamali - rejekinya akan habis terus tanpa bisa menabung.
"Sudah, Mi."
"Ya sudah, mandi saja dulu. Mandi saja di dalam. Setelah itu kita makan bersama sebelum Maghrib."
Ayudia mengangguk, lalu kembali masuk ke kamar.
Lima belas menit kemudian, Ayudia keluar dari kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka berbarengan dengan pintu kamar yang dibuka oleh Ammar.
Ayudia kaget karena tatapannya bertemu mata Ammar. Lalu ia kembali menunduk.
"Cepat keluar. Umi dah nunggu di meja makan!" perintah Ammar bernada ketus.
Ayudia mengambil selendang lain dari ranselnya. Menyampirkan di kepala, lalu keluar.
"Sini-sini. Nak Dia duduk di sini aja, sebelah Ammar."
Abah Ahmad menarikkan kursi untuk Ayudia.
"Ndak usah, Bah. Dia bisa sendiri, Abah ndak perlu begini."
"Sudah, ndak papa."
Ayudia duduk di sana, Umi sedang mengambil cerek berisi air bening hasil rebusan sendiri. Meja makan besar itu cukup untuk makan orang delapan.
Najma duduk di hadapan Ammar, sebelahnya sudah ada Fatma. Muha berhadapan lurus dengan Abah. Sedang Ayudia berhadapan dengan Umi.
Kursi di samping kanan Ammar, kosong tak berpenghuni.
Muha memimpin doa sebelum makan, selanjutnya mereka makan bersama. Ayudia jadi teringat momen-momen manis seperti itu di gubuk reyot Atuk.
Meski mereka tak makan di meja makan yang terbuat dari kayu jati terbaik, tetapi Ayudia lebih bahagia di sana.
Makanan yang Ayudia telan, terasa sangat hambar. Bukan karena Umi kurang menambah garam pada masakannya. Namun, karena Ayudia tak berhasil menciptakan kegembiraan dalam dirinya.
Lima belas menit berlalu, makan sore itu selesai.
Abah menaruh gelas belimbing yang airnya sudah masuk kerongkongan.
"Nak Dia, mulai besok, Nak Dia bisa ikut mengajar di MI Asmaul Husna. Nak Dia mau kan?" kata Abah.
"Dia mau, Bah," jawab Ayudia antusias.
Dalam hati Ayudia bergembira, karena artinya ia tak akan lagi kesepian melalui hari-hari kaku dengan Muammar sang suami.
* *
Jangan lupa tinggalkan jejak. Vote, like, dan komen.
Ayudia sedikit terhibur dengan keputusan Abah mengajak bergabung di MI Asmaul Husna. Usai makan malam, Abah kembali dengan rutinitasnya bersama santri. Najma, Fatma juga Muha pun sama, kembali mengaji. Umi duduk di ruang tamu, biasanya ada beberapa orang bertamu ataupun para santriwati yang sekedar ingin ilmu tambahan. Ayudia memunguti piring-piring kotor, membawa ke tempat cuci piring. Ammar masuk kamar. Ayudia belum tahu apa saja aktivitas yang Ammar lakukan dalam sehari-hari. "Dia, sudah. Tinggalkan saja, biar Najma dan Fatma yang membereskan semua sepulang ngaji nanti," seru Umi dari ruang tamu. Sayup-sayup, Ayudia mendengar obrolan. Mungkin sudah ada tamu yang datang, batin Ayudia. Ayudia meninggalkan cucian piring sebentar, lalu membuka horden pembatas antara ruang tamu dan dapur. "Ndak papa, Umi. Ini kan kerjaan Dia juga. Dia sudah biasa cuci piring dan baju waktu di rumah Atuk." "Nanti Dia kecapek'an, sudah ... tinggalkan saja." "Dia ndak capek, Mi. Udah ndak papa, mala
Dari kejauhan banyak pasang mata melihat Adam menggendong seorang perempuan. Namun, beruntungnya, bisa dipastikan hanya berapa gelintir yang tahu bahwa Adam menggendong Ayudia, menantu Abah Ahmad. Saat hendak sampai teras rumah Abah, Ammar menghadang langkah Adam. "Dam, sini. Biar aku saja yang gendong. Dia itu istriku, jadi kamu ndak berhak pegang Dia." Sayang sekali, Adam tak acuh. Ia melanjutkan langkah kaki yang tinggal berapa gerakan untuk sampai di ruang tamu. "Assalamualaikum, Mi!" teriak Adam, ia tahu kalau Umi Aida selalu di rumah di jam pagi. "Walaikumsalam. Masyaallah, ada apa Dam? Dia kenapa?" "Tolong bantal, Umi." Umi segera mengambil bantal, Adam menidurkan Ayudia di karpet ruang tamu. Sementara itu Ammar hanya diam saja. "Ada apa dengan Dia, Dam?" Sekali lagi Umi Aida bertanya. "Ndak tahu Umi, tadi Adam lihat dari kelas enam, tubuh Dia limbung. Jadi, Adam lari cepat, lalu sampai di sana, Dia ambruk dan ndak sadar lagi." "Makasih ya, Dam. Makasih karena sudah m
Puas Ayudia memerhatikan interaksi antara Ammar dan Nur, hingga ia merasakan pusing lagi. "Terima kasih ya, Mbak." Kalimat terakhir Ayudia dengar sebelum Nur pergi bersama Ammar. Saat mengatakan itu, Ayudia mendapati mata Ammar sedang memandang lekat perempuan bernama Nur tersebut. Tatapan penuh kekaguman. Ayudia kembali ke kamar, ia duduk di kursi meja rias sambil mengingat bagaimana Ammar ramah tamah dengan Nur. Cara Ammar berbicara pada Nur sangatlah berbeda. Nada bicara lembut dan enak didengar. Meski Ayudia tak pernah pacaran ataupun curi-curi pandang dengan pria lain, tetapi ia cukup paham dengan sorot mata ketertarikan seseorang kala tengah menatap. Jika ditanya apakah Ayudia iri? Jelas saja, rasa itu diam-diam menyusup dan kembali memporak-porandakan hati. Bukan Ayudia ingin Ammar tertarik padanya, tidak seperti itu. Ayudia hanya ingin diperlakukan baik. Diajak bicara dengan baik, terlebih ia yang berhak mendapatkan perhatian bukan perempuan lain. Gadis itu memutuskan u
Semilir angin membelai lembut wajah gadis cantik bermata belok. Sejuk sepoi-sepoi angin sore di pinggir sawah, membikin gadis itu sampai terkantuk-kantuk. Selendang hitamnya sampai jatuh ke tanah sebab tertiup angin. Dengan malas, gadis itu turun dari pagar catur yang mengelilingi pesantren. Sejak tahu ada tempat nyaman untuk menenangkan diri, sejak saat itu Ayudia mulai gemar mengunjungi sudut belakang pondok pesantren yang rimbun dengan tanaman Bambu. Fatma lah orang pertama yang memberitahu tempat tersebut. Ada dua jenis bambu di sana, Bambu Petung berwarna hitam dan Bambu Pagar yang diameternya lebih kecil dari Bambu biasa. Ayudia lebih senang berada di dekat Bambu Pagar karena tidak terlalu rimbun. Sudah dua minggu lebih sejak ia sembuh dari sakit, genap tiga hari berturut-turut Ayudia mendatangi tempat sunyi itu. Di halaman belakang memang sangat sepi, ada satu kursi dan beberapa butir kotak sampah sesuai peruntukannya. Biasa santri akan ke belakang untuk membuang sampah. Bi
Aku ingin mencintaimu yang melengkapi hidupku. Aku ingin dicintai olehmu, seperti tulang rusuk. Seperti Muhammad mencintai Aisyah. Seperti Ali mencintai Fatimah. Akan tetapi, aku tak bisa membohongi sesaknya hati setiap kali kau mengecilkanku. Sulit bagiku bicara tentang kebencian, tetapi air mataku seolah enggan berhenti mengalir. Untuk menangisi semua ke tidak baikkanmu dalam memperlakukan diriku. Aku bahkan rela terhempas olehmu bagai pohon dikoyak badai. Aku rela tetap berdiri meski sebagian rantingku telah patah berserakan, bermandikan tanah. Aku rela tegak berdiri, karena ... kau memang kehormatanku. Sekali lagi, aku bukanlah katak yang terus merindukan hujan. Aku cuma segumpal hati rawan dan mudah tergores oleh lisan. Aku bukan seonggok patung di taman. Aku bisa menjadi penonton, pendengar, juga teman jika diinginkan. Namun, aku akan menjadi debu ketika engkau menghancurkan. Aku bukan pemimpi yang selalu berkhayal bisa dirawat seperti tanaman kesayangan. Aku berjalan sesuai
Angin ... tolong sampaikan pada awan, aku merindukan hujan. Merindukan rintik gemuruh yang membawa ketenangan. Hujan ... turunlah dan sapa aku yang gersang. Menjadilah saksi bisu atas semua deritaku. Ayudia menutup buku diarynya. Di zaman secanggih ini, buku diary bisa dikatakan sangat jadul. Mungkin sudah tak ada lagi yang minat menggunakan walau sekadar menuangkan emosi dan kesal. Lain bagi Ayudia, diary adalah penyelamat. Ya, saat rasa marah mengungkung ego, ia jadi lega setelah meluapkan semua dalam buku kecil bermotif batik pada sampulnya itu. Ayudia duduk sebentar sambil membaca buku. Ia tidak melepas jilbabnya kala di kamar, Ayudia sudah nyaman dan terbiasa seperti itu. Selain terbiasa tertutup, Ayudia juga sudah biasa tidur di bawah beralas karpet dan berbantal ransel, kadang hanya bertumpu tangan. Ia tak ingin manja dan selalu mengeluh. Ia memotivasi dirinya sendiri untuk menjadi perempuan tegar seperti sang nenek. Yang berjuang membesarkan dirinya dengan segala kesulita
Usai menyapu dan mencuci pakaiannya serta milik Ammar, Ayudia bergegas mandi. Pukul setengah tujuh, Ayudia selesai bersiap dengan rok plisket warna hitam dan kemeja putih serta jilbab segi empat warna hitam menutup sampai di bawah dada."Yah, notebook nya error. Untung saja semua data ada di flashdisk." Gumam Ayudia.Setelah mengecek alat kerja yang ternyata bermasalah, Ayudia keluar meninggalkan benda tersebut. Lalu ia ikut bergabung dengan keluarganya di meja makan."Assalamualaikum, Abah. Umi." Dia menyalami Abah dan Umi. Lalu duduk di sana, di depan Muammar.Muha memimpin do'a makan, lanjut santap pagi bersama dengan menu sayur kangkung, tempe goreng dan telur goreng. Ayudia menikmati masakan Umi dengan lahap. Ia harus makan dengan baik, setelah hampir dua bulan ia mengurangi isi yang masuk ke lambung.Kini Ayudia mulai memikirkan kesehatannya, ia mengembalikan napsu makannya yang sempat hilang. Ayudia tak ingin Ammar selalu mengeluh akibat ia
Pukul dua belas siang, lonceng sekolah berdenting. Semua siswa bersorak bahagia karena waktu pulang telah tiba.Sayonara ....Para guru pun ikut senang, hanya saja tak menunjukkan di depan muridnya. Guru juga memiliki tanggung jawab untuk mengurus keluarga di rumah.Ayudia keluar terakhir, ia masuk ke dalam kantor sudah tak ada batang hidung Ammar dan Adam. Ayudia membereskan buku-buku yang ia bawa, memasukkan ke dalam tas.Satu persatu guru pulang, sudah menjadi kebiasaan sejak mengajar di SD Kipyuh, Ayudia selalu pulang paling akhir. Mengunci pintu kantor, sekalipun ada yang bertugas menguncinya.Saat semua sudah beranjak, Ayudia mengambil sulak, membersihkan debu yang menempel di lemari maupun meja guru. Ketika pagi, Ayudia tak selalu sempat bersih-bersih kantor. Datangnya kadang malah terlambat, hingga ia berinisiatif mengganti waktu bersih-bersih saat siang. Di saat semua guru berlomba cepat-cepat untuk sampai di rumah, Ayudia justru memilih b
Tiga hari sudah Ammar menjabat sebagai suami dari Ayudia Prasasti. Ia sangat menikmati perannya tersebut. Ia ingin menjadi suami yang terbaik untuk Ayudia, tidak akan mengulang kesalahan dahulu, atau bisa fatal akibatnya. Selama tiga hari, Ammar senantiasa membantu Ayudia dalam hal apapun. Ia cekatan merawat Fa dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring dan mencuci pakaian. Ammar juga memutuskan untuk tidak pergi ke luar kota, dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Sementara hanya menerima pekerjaan dari rumah, agar bisa menghabiskan banyak waktu bersama.Hari ini, Ammar mengajak Ayudia untuk pindah ke rumah baru mereka. Tempat yang akan menaungi hari-hari keluarga kecil Ammar ke depan. Rumah yang berhasil Ammar wujudkan dalam kurun waktu satu bulan. Ia mendesain sendiri rumah itu. Berkonsep minimalis dan estetik. Sengaja Ammar hanya memberi dua kamar pada rumah tersebut, dengan alasan agar Ayudia tidak kelelahan membereskan pekerjaan rumah saat ia sedang ke luar k
Ayudia mematut dirinya di depan cermin, memandang dan menatap detail tubuhnya yang terbalut gamis berwarna navy dengan kerudung senada, menutup sampai di bawah perut. Pakaian sederhana berbahan brukat tanpa pernak-pernik apapun. Namun, aura kecantikan tetap memancar dari wajah ayu itu. Ia memoles bedak dan lipstik. Tidak perlu foundation, tidak perlu eyeliner, blashon dan lain sebagainya. Ayudia pikir, hanya lamaran, tak perlu tampak berlebihan juga.Fa juga terlihat tampan dengan kemeja abu, pakaian yang Ammar belikan. Bocah kecil itu anteng sekali sejak tadi, seakan ia paham benar suasana hati sang ibu. Bahagia. Sudah pukul delapan malam, Ammar juga sudah mengabarkan jika ia sudah berjalan dengan rombongan menuju rumah Ayudia. Akan tetapi, sudah lebih dari sepuluh menit belum juga sampai."Mbak, ayo keluar. Mas Ammar sudah datang. Biar Fa, aku yang gendong.""Sudah sampai? Kok ndak kedengeran suara mobil?"Najma tersenyum, "Ya ndak, orang jalan kaki."Ayudia membelalak, kurang yakin
Dua hari kemudian Ammar baru menanyakan lagi perihal jawaban Ayudia. Sebab ... semakin ditunggu, Ayudia justru semakin kelihatan menjauh, membuat Ammar dilanda kegalauan. Dengan amat sangat terpaksa, Ammar membuang urat malu dan melapisi wajahnya dengan tembok, Ammar menagih jawaban Ayudia. Dengan santai dan hanya dalam sebuah pesan singkat. Ayudia menjawab dengan Jawaban yang masih sama. Tetap iya, membuat Ammar merasa bingung akibat tak mau terlalu percaya diri dulu dan akhirnya kecewa. Lalu ia desak lagi agar menuliskan jawaban yang jelas menggunakan kalimat, bukan sekedar satu kata. [Iya, Dia mau kembali dengan Kakak.] Pesan yang Ayudia kirim barusan, Ammar pandangi sampai lama, sampai seluruh kepingan jiwa dan kewarasannya kembali. Lalu ... "Yey! Yes! Alhamdulillah ya Allah ...! Alhamdulillah! Hore ... Umi ... Dia mau, Dia mau, Mi ....!" Umi tidak heran, sebab beliau begitu paham dengan tabiat anaknya yang memuja Ayudia. Janggal jikalau Ammar tidak jingkrak-jingkrak. Jika sud
Ayudia memanggil-manggil Umi dan Abah. Sayangnya tidak ada sahutan. Albi lalu meninggalkan Ammar di kursi saja, dan pergi keluar. Fatma malah meringkuk dengan Fa, tidak mungkin Ayudia membangunkan, yang ada Fa akan kaget. Akhirnya ia sendiri yang menangani Ammar."Kak, Dia siapkan air hangat untuk mandi ya? Tapi di kamar mandi belakang, Kakak ambil bajunya dulu di kamar.""Ndak kuat, Dia ... tolong sekalian."Meski ragu-ragu, Ayudia tetap membuka pintu kamar Ammar, lalu menghidupkan lampu kamar."Dia ..." Panggil Ammar,Ayudia terlonjak, "Ya.""Ehm, itu ... itunya ... ndak usah."Ayudia berbalik dan mendekati Ammar. Ia tidak mengerti apa yang sedang Ammar bicarakan. "Itu itunya itu apa sih, Kak?""Ya itu, ndak usah. Di belakang ada."Ayudia menggeleng, masih tidak paham ia melengos dan masuk ke kamar lalu membuka lemari. Barulah saat pupilnya menangkap segitiga berkerut, bulu kuduknya meremang. Ia baru memahami ucapan Ammar tadi. Mengalihkan pandangan lalu menarik satu kaos dan celana
Pukul sebelas malam, Ayudia dan Ammar baru saja akan pulang dari bidan Diva. Fa tidak perlu pengobatan serius karena memang hanya mau pilek biasa. Kegelapan menemani sepanjang perjalanan mereka, tak nampak sepercik sinar kehidupan dari rumah-rumah warga, semua gelap dan mencekam.Cuaca memang sering tidak terduga, bulan yang seharusnya menjadi musim panas, tiba-tiba terguyur hujan lebat. Biasa begitu kalau lama tidak hujan, giliran hujan petir tampil paling garang. Ayudia yang terkantuk-kantuk sambil mengepuk-ngepuk paha Fa, memaksa buka suara untuk menemani Ammar yang tengah menyetir."Kak ... nanti langsung pulang ke rumah Kak Ammar saja, Dia biar pulang sendiri. Baju Kak Ammar kan basah, takut masuk angin."Ammar mengangguk dalam temaram. Entah terlihat atau tidak. Bibirnya sudah tidak mampu lagi mengatup, dingin yang menyeruak sampai ke tulang sumsum, membuat pria itu menekan gigi-giginya untuk menahan getaran pada tubuh. Rasanya Ammar sudah ingin ambruk, akan tetapi ... dua malai
Semua aktivitas sudah berjalan seperti sediakala. Ayudia sudah terlepas dari bayang-bayang trauma. Ia fokus mengasuh Fa dan mengelola rumah semai bersama Najma. Sedang Ammar juga sibuk sendiri dengan proyek yang membanjiri peminat jasanya. Ya, Ammar memutuskan untuk berhenti mengajar, karena merasa bosan dan itu memang bukan bidangnya. Sudah hampir sepuluh hari Ayudia tidak melihat wajah teduh pria yang semakin sering membayangi dirinya. Selama itu juga Ammar hanya beberapa kali mengirim pesan. Terakhir kemarin siang, pesan yang menanyakan kesehatannya dan Fa. Namun, saat Ayudia membalas, pesan hanya centang satu abu-abu ... sampai hari ini. Ingin bertanya kepada Najma, namun Ayudia sedikit malu. Seakan ia tidak bisa menahan rindu yang menggunung. Iapun hanya pasrah menanti kepulangannya. Kadang terbersit prasangka buruk; apakah Ammar benar-benar dengan perasaan dan pernyataannya? Atau sekedar menghibur dirinya yang kesepian? Ayudia tidak paham. Tetapi, lebih dari seminggu tanpa kab
Malam nanti aqiqah akan diselenggarakan, seluruh ketering sudah Ammar serahkan pada pihak pemotongan kambing. Ammar juga yang sibuk memesan berbagai macam kudapan untuk menambah suguhan para tetangga yang hadir. Tak lupa pria tersebut memesan tenda agar seluruh tamu bisa tertampung, dan juga tenang saat sedang menyelenggarakan marhabanan. Tidak takut kalau hujan tiba-tiba mengguyur.Rumah Ayudia sangat sesak dengan kehadiran para guru-guru dari sekolahnya mengajar dan dari Asmaul Husna. Ramai dan penuh tawa kebahagiaan. Banyak yang melempar ledekan kepada Ammar, sayangnya pria itu tak bisa lama-lama menanggapi candaan-candaan receh yang membuatnya tersenyum. Ia harus wara-wiri mendampingi pemasang dekor dan tenda. Ia ingin semua sempurna. Enak dipandang dan indah. Sesuai keinginannya. Ah, sudah seperti pemilik event organizer, saja."Am ... buruan dilamar, keburu disabet bujang-bujang yang lebih unggul darimu!" Kata Iqbal."Santai aja, Bal. Meski banyak yang lebih unggul, tapi pesonak
Ayudia menutup kembali buku itu, meletakkan di laci lemari seperti sediakala. Hatinya sudah plong, pikirannya jauh lebih ringan. Tiba-tiba semua suara yang entah sejak kapan suka sekali berbisik di telinga, lenyap begitu saja. Ayudia bingung, sebenarnya apa yang terjadi? Apakah semua adalah pengaruh dari setan? Ah ya sudah lah, yang terpenting kini ia merasa lebih baik. Perempuan tersebut berjalan menapaki semua ruangan di rumahnya. Mencari dimana gerangan gadis yang izin memasak tadi. Ayudia memanggil-manggil gadis itu. Rasanya tak sabar mengabarkan untuk segera mencari bayi kecilnya yang kemarin ia tolak."Najma ... Najma ... di mana, Najma?" Ayudia bertanya pada dirinya, matanya memindai seluruh ruangan tak terkecuali. Ingin berjalan ke belakang, mencari di 'Rumah Semai', namun kewanitaan miliknya masih terasa nyeri. Darah nifas mengalir dengan derasnya. Akhirnya ia duduk di ruang tamu. Bahkan sekarang perempuan berstatus janda dua kali itu, sedang senyum-senyum sendiri. Hatinya se
Akhirnya Adam kecil dibawa pulang oleh Umi yang diantar Andre. Ammar menunggu Ayudia, dan Najma pergi membeli perlengkapan bayi bersama Habibi. Andre harus mengalah karena diamanahi oleh Najma untuk menjaga rumah semai di kediaman Ayudia. Keesokan pagi, Ammar membawa Ayudia pulang. Kondisinya sudah stabil, meski ia masih tampak lesu dan banyak diam. Najma yang menjaga Ayudia semalaman, ikut pulang dengan mobil Ammar. Dua pria yang tengah gencar mendekatinya sudah kembali ke daerah masing-masing. Gadis itu mencoba membuka obrolan agar Ayudia berbicara. "Mbak Dia, kemarin Andre mengantar benih mahoni 250 pohon. Baru Najma bayar setengah, setengahnya nanti kalau sudah laku seluruhnya." Tidak bergeming, Ayudia tetap diam. Najma dan Ammar saling pandang melalui kaca tengah. Lalu Najma mengangkat bahu, kode bahwa ia tak bisa berbuat banyak. Kini giliran Ammar berusaha mengalihkan perhatian Ayudia dari hilir-mudik kendaraan di jalan. "Dia ... bagaimana jika nanti saat sampai di rumah, aku