Share

Chapter 05

Penulis: Deva Shastravan
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-01 21:20:55

Darno mencoba mendorong dengan bantuan bahunya, tetap sama saja hasilnya. Daun pintu tetap tak membuka atau bergeser.

"Jangan bercanda dong, Dar. Hari semakin gelap nih!" protes Eko.

"Siapa juga yang mau bercanda, coba saja sendiri nih, pintunya memang keras tak mau membuka." Darno lantas menjauh dari pintu, berganti Eko yang kini mendekat dan berusaha menarik gagang pintu gudang.

Mata Eko membelalak, seakan tak percaya maka dicobanya beberapa kali mendorong pintu gudang untuk meyakinkan kalau memang pintu tersebut tak mau dibuka.

"Sialan betul, mana hari makin gelap tapi malah pintu gudang ini seakan tak mau membuka." Kemarahan dan kekesalan menguasai diri Eko, Darno diam saja sambil tersenyum mengejek melihat temannya yang kesal itu.

Eko mundur beberapa langkah dan bersiap untuk mendobrak pintu tersebut dengan menabrakkan dirinya ke arah pintu.

Eko berlari ke arah pintu dengan cepat. Tiba-tiba tanpa diduga ternyata pintu gudang di area pemakaman itu terbuka dengan sendirinya, teriakan Darno yang mencoba menahan Eko untuk berhenti jelas terlambat, tubuhnya yang seharusnya menabrak pintu kini malah terus melaju ke dalam gudang dengan limbung lalu jatuh.

Nyaris saja kepalanya terbelah kalau saja dia tak menahan tubuhnya dengan kedua siku, ujung besi pacul yang runcing hampir-hampir menancap di keningnya, seketika itu juga keringat dingin mengucuri kening dan menetes di sekitar pipi. Eko bangkit perlahan, wajahnya memucat.

"Kenapa, Ko? Wajahmu pucat begitu seperti habis melihat setan saja." Darno mengamati perubahan di wajah Eko.

Dia masuk ke dalam lalu mengambil tiga buah pacul dan meletakkannya di luar. Kemudian diambilnya sebuah lampu petromak tua, diperiksanya bahan bakar yang berupa minyak tanah yang ternyata terisi penuh, Mbah Raji memang rajin mengisi bahan bakar petromak sampai penuh, berjaga-jaga untuk kondisi atau keadaan darurat sehingga bisa langsung digunakan, Darno hanya tinggal menyalakannya saja.

Eko masih terdiam tak menjawab pertanyaan Darno tadi, tetapi dia mengambil dua pacul dan langsung berjalan makin ke dalam pemakaman. Darno sendiri mengikuti di belakang, di tangan kirinya membawa pacul sedang di tangan kanannya membawa petromak yang sudah menyala terang.

"Lama betul kalian, hampir-hampir aku pulang." Jaka menumpahkan kekesalannya akibat menunggu Darno dan Eko yang lama ditunggunya dan baru tiba, dia melirik jam tangannya, waktu sudah pukul enam lewat tiga puluh menit. Setengah jam lagi adzan maghrib berkumandang. 

"Kita gali sekarang apa nanti saja bakda maghrib?" tanya Eko. 

"Sekarang lah. Kalau kita pulang dan ditanya Pak RT. Kita bisa diomeli kalau meninggalkan makam belum sama sekali menggali, sekalipun dapat setengahnya toh sisanya bisa kita lanjutkan bakda maghrib." Jaka menimpali.

Ketiga pemuda Desa Tirtamaya itu mulai sibuk menggali tanah yang sudah ditentukan oleh Mbah Raji. Jaka yang memilih tepatnya di mana lokasi lubang kubur itu akan digali. 

Langit semakin mendung, udara kian terasa dingin. Baik Darno, Eko dan Jaka tak terlalu merasakan dinginnya udara sore itu karena derasnya keringat yang mengucur dari tubuh mereka masing-masing.

"Sial." Darno mendesah pelan, hal itu menarik perhatian Jaka dan Eko. 

"Kenapa?" tanya Jaka. 

"Tuh. Lihat saja sendiri." 

Jaka berbalik untuk melihat apa yang membuat temannya menghentikan pekerjaannya menggali tanah. 

"Waduuh. Lekas tutup lagi, Dar. Ngundang bolo koen!" Jaka menepuk keras pundak temannya.

Rupanya pacul Darno mengenai kain kafan dari makam yang ada di sebelah lubang yang kini mereka gali. Kafan itu sudah rapuh dan warnanya nyaris hitam, dan dari robekan kain kafan itu jelas terlihat tulang dari tengkorak bagian kepala yang retak akibat terkena pacul.

Tanpa menunggu lagi Darno langsung menutup kembali batok kepala tengkorak itu dengan kain kafan yang sudah robek dan menghitam. Lalu ditimbuni dengan tanah sehingga tertutup kembali. Keringat dingin mengucuri kening Darno, jantungnya berdebar kencang, dia sangat takut kalau-kalau ada akibat dari perbuatannya tadi yang sebenarnya tak dia sengaja itu. 

Tanah yang mereka gali sudah cukup dalam untuk ukuran menimbun jenazah. Bakda maghrib nanti mereka tak perlu lagi melanjutkan penggalian, tinggal memasukkan jenazah dan menimbunnya saja. 

"Adzan maghrib sudah berkumandang. Langit sudah mulai gelap. Ayo kita pulang dulu dan mengabarkan pada Pak RT kalau tugas kita sudah selesai."

Eko dan Jaka kemudian naik dan melemparkan pacul mereka masing-masing ke atas. 

"Jangan taruh semua pacul di atas, Ko. Sisakan satu di dalam lubang kuburnya. Itu pesan Mbah Raji tadi padaku." Darno lah yang akhirnya melemparkan cangkulnya sendiri kembali ke dalam lubang kubur. 

"Kakehan mitos koen." celetuk Eko. Eko memang yang paling menentang kalau bicara segala sesuatu yang dianggapnya sebagai mitos dan cerita isapan jempol semata. 

"Dikandani kok mbantah. Kesusulan pocong modar, cuk!" Darno berkata dengan nada tinggi, dia seakan tak terima kata-katanya disepelekan, lagi pula yang dia bilang barusan bukan kata-katanya sendiri, tapi pesan dari Mbah Raji.

Eko hendak membalas kata-kata Darno, dia berbalik namun tak sepatah katapun yang terucap dan keluar dari mulutnya, dia kembali berbalik dan berjalan lebih cepat. Untunglah Jaka yang berjalan di tengah membawa petromak yang digunakan untuk menerangi saat menggali tadi, jadi buat Eko maupun Darno cahaya yang berpendar di sekitar mereka sudah cukup untuk menerangi.

Suara adzan maghrib sudah selesai dan berhenti, sementara Eko berjalan semakin cepat, lebih mirip berlari kecil dibandingkan berjalan. Baik Jaka maupun Darno cukup heran juga melihat tingkah aneh Eko tersebut. 

Akhirnya mereka keluar juga dari area pemakaman Desa Tirtamaya. Mereka terus berjalan menuju rumah Pak Baruna, bukan ke rumah Mbah Raji, lagi pula siapa tahu Mbah Raji justru sudah lebih dahulu berada di rumahnya Pak Baruna. 

"Bagaimana pekerjaan kalian, Dar?" tanya Pak RT kepada Darno setelah ketiga pemuda itu sampai di rumah Pak Baruna. Rupanya Pak RT sengaja menunggu ketiga pemuda tersebut. 

"Sudah siap, Pak RT. Lubangnya sudah kami gali seukuran yang Pak RT perintahkan." Yang menjawab adalah Jaka.

Sementara Eko langsung menuju meja yang terdapat gelas-gelas dan teko berisi air putih di dalamnya. Dia menuang air dari teko ke gelas dan meneguknya hingga habis. 

Pak RT lalu mengajak ketiga pemuda itu untuk menuju musholla desa, untuk menunaikan sholat maghrib. Suara amiin dari jamaah terdengar kuat dan serentak, rupanya mereka terlambat dan sholat maghrib berjamaah telah didirikan. 

Pak RT lalu menuju tempat wudhu diikuti Jaka, sedang Eko dan Darno menunggu gilirannya di luar, tempat wudhu hanya ada dua pancuran saja, yang artinya Eko dan Darno harus mengalah menunggu giliran. 

"Kamu kenapa tadi, Ko. Mukamu pucat dan jalanmu kayak dikejar setan gitu, ada yang kamu lihat kah?" 

"Asu koen, Dar. Gara-gara cocotmu ngomongin pocong, saat aku berbalik ke belakang tadi di pemakaman aku melihat pocong yang kafannya sudah menghitam. Hiii ...." Eko merinding, terbayang kembali sosok yang tadi dilihatnya di makam. 

Darno jelas kaget, dia pun jadi ikutan merinding, untung dia tak berbalik untuk ikut melihat apa yang sudah dilihat oleh Jaka.

"Jangan-jangan itu pocong yang tadi tengkorak kepalanya kena pacul olehku," gumam Darno. 

Pak RT dan Jaka selesai wudhu lalu masuk ke musholla, bergegas Darno dan Eko mengambil wudhu, mereka wudhu terburu-buru, rasa takut mulai menyusup dalam diri keduanya.

Bab terkait

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 06

    Mbah Raji berdiri di halaman rumahnya, dia sejak tadi berdiri lama bergeming, tak tahu apa yang dilakukannya. Matanya menatap ke langit dengan garapan kosong, namun di wajahnya yang telah penuh dengan keriput kerjaannya itu, keningnya berkerut, seakan ada hal berat yang tengah dipikirkannya. Usia Mbah Raji telah mencapai angka delapan puluhan, namun kondisi fisiknya masih terlihat seperti usia lima puluhan, hari-harinya selain sibuk di kebunnya sendiri dia kadang berada di pemakaman. Jika ada yang meninggal Mbah Raji lah yang menunjukan tanah yang tepat untuk digali, dia yang juga ditugasi membersihkan makam agar tak terlalu suram dan penuh rumputan liar, dia juga dipercaya memegang kunci gudang alat-alat pemakaman yang letaknya berada dalam area makam.

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-16
  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 07

    Ketika ketiganya sudah keluar dari area makam, barulah Darno memberanikan bertanya kepada pada Jaka, apakah dia melihat juga kalau jenazah Arini panjangnya bisa pas dengan panjang makam yang mereka gali. "Kupikir cuma aku saja yang melihatnya, rupanya kamu juga, Dar? Aku nggak mau bilang pada kalian berdua karena khawatir kalian akan menanggap aku halu. Makanya aku memilih diam saja dari tadi." Kata-kata Jaka menguatkan apa yang telah dilihat sendiri oleh mata kepala Darno. Dengan ekspresi kemenangan dia berkata kepada Eko. "Nah kan, apa kubilang. Aku nggak mungkin salah lihat." Eko tak menjawab, dia hanya diam tanpa reaksi. Tetapi di dalam kepalanya jadi berkecamuk berbagai pertanyaan dan dugaan terkait meninggalnya Arini. === Semua warga yang tadi mengantarkan jenazah Arini ke peristirahatan terakhirnya tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, tetapi kembali ke rumah Pak Baruna karena malam itu juga akan dilaksanakan tahlilan mala

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-10
  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 01

    Suasana Desa Tirtamaya tak seperti malam-malam biasanya, terasa lebih sunyi, bahkan suara binatang malam pun tak terdengar, seolah-olah berhenti.Arina tak dapat melupakan, dia masih teringat pertemuan terakhir dengan adiknya sebelum dia meninggal, sebuah keributan kecil dan mereka belum sempat berbaikan.Lamunan Arina buyar tatkala dia mendengar suara ketukan halus di kaca jendelanya."Ah ... mungkin hanya perasaanku saja, bisa jadi itu karena hembusan angin," ujar Arini pada dirinya sendiri, karena kalau mau jujur ​​​​kesunyan malam ini benar-benar membuat perasaannya tak enak.

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 02

    Bangunan Pondok Pesantren Modern El Fikr berdiri di sebuah tanah yang cukup luas tepat di tengah-tengah kota, namun sekalipun letaknya yang berada di tengah perkotaan tidak mengurangi suasana kondusif untuk belajar, kota itu adalah sebuah kota yang baru berkembang dan dalam beberapa tahun belakangan ini saja mulai banyak dibangun ruko-ruko di pinggiran jalan besar, terutama jalan besar yang ada di tengah kota, berada di tengah-tengah kota di antara ruko-ruko itu, Pesantren Modern El Fikr tetap diminati banyak orang tua yang ingin memondokkan anaknya.Dari pintu depan pesantren keluar dua orang, yang seorang lelaki setengah baya dengan memakai kemeja hitam dengan lis dua garis berwarna kuning di kedua lengannya. Kopiahnya pun berwarna hitam, perawakan wajahnya teduh dengan aura kewibawaan bagi siapa saja yang melihatnya.Sementara itu yang seorang lagi adalah seorang pemuda yang usianya berkisar dua puluhan,

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 03

    Dering smartphone yang diletakkan di saku celananya mengagetkan Reza Reinaldy yang tengah fokus mengendarai jeep.[Ya Hallo, ada apa, Ma?] ujar Reza yang menggenggam smartphone di tangan kirinya, karena tangan kanan tetap memegang stir jeep merahnya.[Lekas pulang, Re. Papamu masuk rumah sakit lagi. Susah dibilangin sih, masih bandel juga, Papamu makan apa yang jadi pantangan oleh dokter.] Suara perempuan yang ternyata adalah mamanya Reza.[Iya, Ma. Ini Reza sudah di jalan, mau pulang.]Reza mematikan telpon, ditambahnya kecepatan laju jeepnya agar secepatnya keluar dari kota ini, lalu memasuki kotanya dan menuju rumah sakit tempat biasa Papanya dirawat selama ini.Pak Burhanuddin Alif, adalah seorang pemilik hotel bintang lima di kotanya, namun kesederhanaan yang jadi teladan

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 04

    "Bagaimana dengan kondisi Papa, Ma?" tanya Reza seraya tangannya meraih sebuah kursi dalam ruangan tempat Papanya dirawat. Dia duduk berhadapan dengan Mamanya, sementara Papanya masih terbaring tertidur di pembaringan."Untunglah Papamu cepat ditangani, Re. Jika terlambat sedikit saja mungkin...." Mamanya Reza tak meneruskan kata-katanya. Karena kata bisa menjadi doa. Ya, tentu saja."Reza menabrak seorang gadis, Ma. Dia meninggal saat hendak dirawat di IGD terdekat. Makanya Reza telat sampai sini."Mamanya Reza tak terlalu terkejut, karena sebelumnya memang Reza telah mengirimkan pesan teks alasan keterlambatannya. "Lantas bagaimana tanggapan keluarga korban, Nak? Apakah mereka akan menuntutmu, atau ba

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01

Bab terbaru

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 07

    Ketika ketiganya sudah keluar dari area makam, barulah Darno memberanikan bertanya kepada pada Jaka, apakah dia melihat juga kalau jenazah Arini panjangnya bisa pas dengan panjang makam yang mereka gali. "Kupikir cuma aku saja yang melihatnya, rupanya kamu juga, Dar? Aku nggak mau bilang pada kalian berdua karena khawatir kalian akan menanggap aku halu. Makanya aku memilih diam saja dari tadi." Kata-kata Jaka menguatkan apa yang telah dilihat sendiri oleh mata kepala Darno. Dengan ekspresi kemenangan dia berkata kepada Eko. "Nah kan, apa kubilang. Aku nggak mungkin salah lihat." Eko tak menjawab, dia hanya diam tanpa reaksi. Tetapi di dalam kepalanya jadi berkecamuk berbagai pertanyaan dan dugaan terkait meninggalnya Arini. === Semua warga yang tadi mengantarkan jenazah Arini ke peristirahatan terakhirnya tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, tetapi kembali ke rumah Pak Baruna karena malam itu juga akan dilaksanakan tahlilan mala

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 06

    Mbah Raji berdiri di halaman rumahnya, dia sejak tadi berdiri lama bergeming, tak tahu apa yang dilakukannya. Matanya menatap ke langit dengan garapan kosong, namun di wajahnya yang telah penuh dengan keriput kerjaannya itu, keningnya berkerut, seakan ada hal berat yang tengah dipikirkannya. Usia Mbah Raji telah mencapai angka delapan puluhan, namun kondisi fisiknya masih terlihat seperti usia lima puluhan, hari-harinya selain sibuk di kebunnya sendiri dia kadang berada di pemakaman. Jika ada yang meninggal Mbah Raji lah yang menunjukan tanah yang tepat untuk digali, dia yang juga ditugasi membersihkan makam agar tak terlalu suram dan penuh rumputan liar, dia juga dipercaya memegang kunci gudang alat-alat pemakaman yang letaknya berada dalam area makam.

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 05

    Darno mencoba mendorong dengan bantuan bahunya, tetap sama saja hasilnya. Daun pintu tetap tak membuka atau bergeser."Jangan bercanda dong, Dar. Hari semakin gelap nih!" protes Eko."Siapa juga yang mau bercanda, coba saja sendiri nih, pintunya memang keras tak mau membuka." Darno lantas menjauh dari pintu, berganti Eko yang kini mendekat dan berusaha menarik gagang pintu gudang.Mata Eko membelalak, seakan tak percaya maka dicobanya beberapa kali mendorong pintu gudang untuk meyakinkan kalau memang pintu tersebut tak mau dibuka."Sialan betul, mana hari makin gelap tapi malah pintu gudang ini seakan tak mau membuka." Ke

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 04

    "Bagaimana dengan kondisi Papa, Ma?" tanya Reza seraya tangannya meraih sebuah kursi dalam ruangan tempat Papanya dirawat. Dia duduk berhadapan dengan Mamanya, sementara Papanya masih terbaring tertidur di pembaringan."Untunglah Papamu cepat ditangani, Re. Jika terlambat sedikit saja mungkin...." Mamanya Reza tak meneruskan kata-katanya. Karena kata bisa menjadi doa. Ya, tentu saja."Reza menabrak seorang gadis, Ma. Dia meninggal saat hendak dirawat di IGD terdekat. Makanya Reza telat sampai sini."Mamanya Reza tak terlalu terkejut, karena sebelumnya memang Reza telah mengirimkan pesan teks alasan keterlambatannya. "Lantas bagaimana tanggapan keluarga korban, Nak? Apakah mereka akan menuntutmu, atau ba

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 03

    Dering smartphone yang diletakkan di saku celananya mengagetkan Reza Reinaldy yang tengah fokus mengendarai jeep.[Ya Hallo, ada apa, Ma?] ujar Reza yang menggenggam smartphone di tangan kirinya, karena tangan kanan tetap memegang stir jeep merahnya.[Lekas pulang, Re. Papamu masuk rumah sakit lagi. Susah dibilangin sih, masih bandel juga, Papamu makan apa yang jadi pantangan oleh dokter.] Suara perempuan yang ternyata adalah mamanya Reza.[Iya, Ma. Ini Reza sudah di jalan, mau pulang.]Reza mematikan telpon, ditambahnya kecepatan laju jeepnya agar secepatnya keluar dari kota ini, lalu memasuki kotanya dan menuju rumah sakit tempat biasa Papanya dirawat selama ini.Pak Burhanuddin Alif, adalah seorang pemilik hotel bintang lima di kotanya, namun kesederhanaan yang jadi teladan

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 02

    Bangunan Pondok Pesantren Modern El Fikr berdiri di sebuah tanah yang cukup luas tepat di tengah-tengah kota, namun sekalipun letaknya yang berada di tengah perkotaan tidak mengurangi suasana kondusif untuk belajar, kota itu adalah sebuah kota yang baru berkembang dan dalam beberapa tahun belakangan ini saja mulai banyak dibangun ruko-ruko di pinggiran jalan besar, terutama jalan besar yang ada di tengah kota, berada di tengah-tengah kota di antara ruko-ruko itu, Pesantren Modern El Fikr tetap diminati banyak orang tua yang ingin memondokkan anaknya.Dari pintu depan pesantren keluar dua orang, yang seorang lelaki setengah baya dengan memakai kemeja hitam dengan lis dua garis berwarna kuning di kedua lengannya. Kopiahnya pun berwarna hitam, perawakan wajahnya teduh dengan aura kewibawaan bagi siapa saja yang melihatnya.Sementara itu yang seorang lagi adalah seorang pemuda yang usianya berkisar dua puluhan,

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 01

    Suasana Desa Tirtamaya tak seperti malam-malam biasanya, terasa lebih sunyi, bahkan suara binatang malam pun tak terdengar, seolah-olah berhenti.Arina tak dapat melupakan, dia masih teringat pertemuan terakhir dengan adiknya sebelum dia meninggal, sebuah keributan kecil dan mereka belum sempat berbaikan.Lamunan Arina buyar tatkala dia mendengar suara ketukan halus di kaca jendelanya."Ah ... mungkin hanya perasaanku saja, bisa jadi itu karena hembusan angin," ujar Arini pada dirinya sendiri, karena kalau mau jujur ​​​​kesunyan malam ini benar-benar membuat perasaannya tak enak.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status