"Bagaimana dengan kondisi Papa, Ma?" tanya Reza seraya tangannya meraih sebuah kursi dalam ruangan tempat Papanya dirawat. Dia duduk berhadapan dengan Mamanya, sementara Papanya masih terbaring tertidur di pembaringan.
"Untunglah Papamu cepat ditangani, Re. Jika terlambat sedikit saja mungkin...." Mamanya Reza tak meneruskan kata-katanya. Karena kata bisa menjadi doa. Ya, tentu saja.
"Reza menabrak seorang gadis, Ma. Dia meninggal saat hendak dirawat di IGD terdekat. Makanya Reza telat sampai sini."
Mamanya Reza tak terlalu terkejut, karena sebelumnya memang Reza telah mengirimkan pesan teks alasan keterlambatannya. "Lantas bagaimana tanggapan keluarga korban, Nak? Apakah mereka akan menuntutmu, atau bagaimana?"
Tak bisa dipungkiri kalau Mamanya Reza jadi cemas juga akan nasib putra tercintanya, karena seperti yang Reza katakan kalau korban yang ditabraknya meninggal dunia.
"Keluarga mereka baik, Ma. Mungkin karena Almarhumah meninggalnya di IGD dan bukan di jalan setelah Reza menabraknya. Juga mereka bisa menilai ketulusan Reza yang bersedia untuk bertanggung jawab, makanya mereka hanya meminta Reza membiayai untuk urusan dari mulai pemakaman sampai acara tahlil selama tujuh harinya."
"Kalau begitu sebaiknya kamu hadir dari sekarang sampai hari ketujuh. Mereka baik sekali tak menuntutmu lebih."
"Terus bagaimana dengan Papa, Ma?" tanya Reza.
"Biar Mama saja yang nungguin Papamu, lagi pula dua adikmu juga bisa bergiliran untuk menjaga Papa jika Mama capek."
"Kalau begitu Reza mau pulang dulu, Ma. Mungkin Reza akan seminggu ini menginap di rumah salah seorang teman mondok Reza yang tinggal di kota itu, rumahnya tak terlalu jauh dari rumahnya almarhumah."
"Hati-hati saja di jalan, Nak. Mama pasti selalu mendoakan kebaikan buat kamu."
"Terima kasih, Ma."
Reza lalu berpamitan, jeep merahnya melaju meninggalkan rumah sakit di mana Papanya saat itu tengah dirawat menuju rumahnya, Reza akan mempersiapkan pakaian yang akan dikenakannya selama seminggu menginap di rumah temannya.
===
"Apa tidak sebaiknya kita kuburkan jenazah Arini besok saja, Pak? Mengingat bahwa agak sulit menggali kuburan di malam hari." Pak RT bingung ketika Pak Baruna meminta agar jenazah putrinya dikuburkan malam itu juga.
"Saya rasa tidak sulit, Pak RT. Kalau kendalanya soal penerangan, bisa meminta warga terdekat untuk menyalurkan listriknya ke area dalam pemakaman. Soal biaya listriknya saya yang akan menanggungnya."
"Tapi, Pak Baruna...."
Kata-kata Pak RT terputus, disela oleh Pak Baruna yang lantas berkata, "Tidak baik menunda pemakaman jenazah, Pak RT. Itu menyelisihi sunnah. Tidak ada yang ditunggu lagi, jamaah yang hadir juga tampaknya lebih dari empat puluh orang."
Pak RT tak bisa membantah, apalagi jika sudah bicara hukum agama. Dia segera memanggil beberapa orang yang biasa bertugas untuk menggali makam. Darno, Eko dan Jaka.
"Dar, ajak dua temanmu itu ke makam, tapi temui dulu Mbah Raji selaku yang bertanggung jawab mengurusi makam, katakan kalau malam ini kita akan menguburkan jenazah putrinya Pak Baruna. Listriknya sekalian nyalur aja dari rumah Mbah Raji yang kebetulan paling dekat dengan area pemakaman. Oh ya jangan lupa, pacul ada di gudang makam, kuncinya ya kamu pinjam dari Mbah Raji."
"Baik, Pak RT. Kami berangkat sekarang," ujar Darno seraya matanya melirik dan memberi kode pada dua orang temannya, Eko dan Jaka. Saat itu Eko dan Jaka sedang menikmati kopi sore sembari menunggu keputusan kapan jenazah Arini akan dikuburkan. Waktu saat itu memang masih menunjukkan pukul lima sore.
Darno diikuti oleh Jaka dan Eko berjalan cepat, mereka tahu kalau Pak RT sedang kesal dengan Pak Baruna yang ngotot agar jenazah putrinya dikuburkan malam itu juga.
Jarak dari rumah Pak Baruna ke rumah Mbah Raji sekaligus ke area pemakaman tidaklah terlampau jauh, sesampainya di depan rumah Mbah Raji segera Darno mengetuk pintu rumahnya. Sebuah pintu kayu yang reyot dan sudah banyak berlubang termakan rayap.
"Mbah... Mbah Raji, iki aku, Darno. Buka lawange, Mbah. Mbah Raji!" Darno mengetuk pintu itu berkali-kali sambil mulutnya berteriak-teriak memanggil-manggil Mbah Raji.
"Dar, ojo banter-banter nyeluk'e. Koen pikir Mbah Raji tuli tah?" Eko menepuk keras pundak Darno untuk mengingatkannya.
Belum lagi Darno menimpali kata-kata temannya itu, terdengar derit suara pintu dibuka perlahan. Lalu muncullah sosok Mbah Raji.
"Kalian pasti ke sini mau pinjam pacul dan izin menggali kubur, kan? Ini kuncinya dan galilah tanah dekat rimbunan bambu di tengah pemakaman, di sana tanahnya masih banyak yang belum terisi." Mbah Raji memberikan kunci gudang makam di mana alat-alat milik rukun kematian desa itu tersimpan semuanya di sana.
Darno memandang heran pada Mbah Raji, bagaimana dia bisa tahu maksud dan tujuan mereka bertiga ke rumahnya sore-sore begini?
"Aku sudah dengar tentang kematian Arini, putrinya Pak Baruna. Sayangnya aku sedang tidak enak badan jadi tak sempat melayat ke sana." Kata-kata yang barusan diucapkan oleh Mbah Raji membuat Darno lega, kalau Mbah Raji tak menjelaskan tentu dia akan mengira Mbah Raji punya kesaktian sehingga bisa tahu maksud dan tujuan mereka sebelum mereka menjelaskan.
Tapi siapa yang dapat menduga, apakah Mbah Raji benar-benar memiliki ilmu kesaktian atau tidak, terbukti dari semua yang rumahnya dekat dengan makam hanya Mbah Raji lah yang menyanggupi untuk menerima amanat mengurusi tanah pemakaman.
Setelah mendapatkan izin dan petunjuk tentang letak tanah yang akan mereka gali untuk pemakaman jenazah Arini, ketiga pemuda itu berpamitan, kunci gudang peralatan pemakaman digenggam erat oleh Darno.
Sekalipun hari belum terlalu gelap, tetapi suasana suram terlihat di area dalam pemakaman, mendung di langit bergelayut dan hembusan angin kencang terasa dingin menusuk hingga ke dalam tulang.
Sesekali mereka menggigil menahan rasa dinginnya angin. Namun tak menyurutkan langkah mereka bertiga untuk menggali tanah makam.
Mereka telah memasuki pemakaman, Darno menatap Jaka dan berkata, "Jak, kamu duluan ke tempat yang tadi ditunjukkan Mbah Raji, aku dan Eko ke gudang untuk mengambil pacul."
Jaka seakan ingin protes, letak rimbunan pohon bambu itu masih jauh di tengah-tengah pemakaman, sementara makin ke dalam suasana makin suram dan gelap.
"Nanti kunyalakan petromak, gak lama kok." Darno seakan ingin menghilangkan perasaan was-was yang berkecamuk dalam hati Jaka.
"Kamu kayak baru pertama kali menguburkan jenazah saja," timpal Eko.
Jaka yang tak mau diomeli lebih lanjut akhirnya memilih pergi menuju ke tengah pemakaman sambil sesekali mendenguskan napas berat.
"Buruan, Dar. Buka pintunya." Eko seperti tak sabaran.
"Tadi Jaka, sekarang kamu. Sabar napa, ini juga baru mau dibuka pintunya," sungut Darno.
Terdengar suara anak kunci membuka, dua kali klik. Tetapi saat Darno hendak membuka pintu, tiba-tiba pintu seakan macet tak mau terbuka, seperti terkunci dari dalam, atau seperti ada sesuatu yang mengganjal, hingga walau sudah tak terkunci namun pintu tetap tak mau membuka.
Darno mencoba mendorong dengan bantuan bahunya, tetap sama saja hasilnya. Daun pintu tetap tak membuka atau bergeser."Jangan bercanda dong, Dar. Hari semakin gelap nih!" protes Eko."Siapa juga yang mau bercanda, coba saja sendiri nih, pintunya memang keras tak mau membuka." Darno lantas menjauh dari pintu, berganti Eko yang kini mendekat dan berusaha menarik gagang pintu gudang.Mata Eko membelalak, seakan tak percaya maka dicobanya beberapa kali mendorong pintu gudang untuk meyakinkan kalau memang pintu tersebut tak mau dibuka."Sialan betul, mana hari makin gelap tapi malah pintu gudang ini seakan tak mau membuka." Ke
Mbah Raji berdiri di halaman rumahnya, dia sejak tadi berdiri lama bergeming, tak tahu apa yang dilakukannya. Matanya menatap ke langit dengan garapan kosong, namun di wajahnya yang telah penuh dengan keriput kerjaannya itu, keningnya berkerut, seakan ada hal berat yang tengah dipikirkannya. Usia Mbah Raji telah mencapai angka delapan puluhan, namun kondisi fisiknya masih terlihat seperti usia lima puluhan, hari-harinya selain sibuk di kebunnya sendiri dia kadang berada di pemakaman. Jika ada yang meninggal Mbah Raji lah yang menunjukan tanah yang tepat untuk digali, dia yang juga ditugasi membersihkan makam agar tak terlalu suram dan penuh rumputan liar, dia juga dipercaya memegang kunci gudang alat-alat pemakaman yang letaknya berada dalam area makam.
Ketika ketiganya sudah keluar dari area makam, barulah Darno memberanikan bertanya kepada pada Jaka, apakah dia melihat juga kalau jenazah Arini panjangnya bisa pas dengan panjang makam yang mereka gali. "Kupikir cuma aku saja yang melihatnya, rupanya kamu juga, Dar? Aku nggak mau bilang pada kalian berdua karena khawatir kalian akan menanggap aku halu. Makanya aku memilih diam saja dari tadi." Kata-kata Jaka menguatkan apa yang telah dilihat sendiri oleh mata kepala Darno. Dengan ekspresi kemenangan dia berkata kepada Eko. "Nah kan, apa kubilang. Aku nggak mungkin salah lihat." Eko tak menjawab, dia hanya diam tanpa reaksi. Tetapi di dalam kepalanya jadi berkecamuk berbagai pertanyaan dan dugaan terkait meninggalnya Arini. === Semua warga yang tadi mengantarkan jenazah Arini ke peristirahatan terakhirnya tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, tetapi kembali ke rumah Pak Baruna karena malam itu juga akan dilaksanakan tahlilan mala
Suasana Desa Tirtamaya tak seperti malam-malam biasanya, terasa lebih sunyi, bahkan suara binatang malam pun tak terdengar, seolah-olah berhenti.Arina tak dapat melupakan, dia masih teringat pertemuan terakhir dengan adiknya sebelum dia meninggal, sebuah keributan kecil dan mereka belum sempat berbaikan.Lamunan Arina buyar tatkala dia mendengar suara ketukan halus di kaca jendelanya."Ah ... mungkin hanya perasaanku saja, bisa jadi itu karena hembusan angin," ujar Arini pada dirinya sendiri, karena kalau mau jujur kesunyan malam ini benar-benar membuat perasaannya tak enak.
Bangunan Pondok Pesantren Modern El Fikr berdiri di sebuah tanah yang cukup luas tepat di tengah-tengah kota, namun sekalipun letaknya yang berada di tengah perkotaan tidak mengurangi suasana kondusif untuk belajar, kota itu adalah sebuah kota yang baru berkembang dan dalam beberapa tahun belakangan ini saja mulai banyak dibangun ruko-ruko di pinggiran jalan besar, terutama jalan besar yang ada di tengah kota, berada di tengah-tengah kota di antara ruko-ruko itu, Pesantren Modern El Fikr tetap diminati banyak orang tua yang ingin memondokkan anaknya.Dari pintu depan pesantren keluar dua orang, yang seorang lelaki setengah baya dengan memakai kemeja hitam dengan lis dua garis berwarna kuning di kedua lengannya. Kopiahnya pun berwarna hitam, perawakan wajahnya teduh dengan aura kewibawaan bagi siapa saja yang melihatnya.Sementara itu yang seorang lagi adalah seorang pemuda yang usianya berkisar dua puluhan,
Dering smartphone yang diletakkan di saku celananya mengagetkan Reza Reinaldy yang tengah fokus mengendarai jeep.[Ya Hallo, ada apa, Ma?] ujar Reza yang menggenggam smartphone di tangan kirinya, karena tangan kanan tetap memegang stir jeep merahnya.[Lekas pulang, Re. Papamu masuk rumah sakit lagi. Susah dibilangin sih, masih bandel juga, Papamu makan apa yang jadi pantangan oleh dokter.] Suara perempuan yang ternyata adalah mamanya Reza.[Iya, Ma. Ini Reza sudah di jalan, mau pulang.]Reza mematikan telpon, ditambahnya kecepatan laju jeepnya agar secepatnya keluar dari kota ini, lalu memasuki kotanya dan menuju rumah sakit tempat biasa Papanya dirawat selama ini.Pak Burhanuddin Alif, adalah seorang pemilik hotel bintang lima di kotanya, namun kesederhanaan yang jadi teladan
Ketika ketiganya sudah keluar dari area makam, barulah Darno memberanikan bertanya kepada pada Jaka, apakah dia melihat juga kalau jenazah Arini panjangnya bisa pas dengan panjang makam yang mereka gali. "Kupikir cuma aku saja yang melihatnya, rupanya kamu juga, Dar? Aku nggak mau bilang pada kalian berdua karena khawatir kalian akan menanggap aku halu. Makanya aku memilih diam saja dari tadi." Kata-kata Jaka menguatkan apa yang telah dilihat sendiri oleh mata kepala Darno. Dengan ekspresi kemenangan dia berkata kepada Eko. "Nah kan, apa kubilang. Aku nggak mungkin salah lihat." Eko tak menjawab, dia hanya diam tanpa reaksi. Tetapi di dalam kepalanya jadi berkecamuk berbagai pertanyaan dan dugaan terkait meninggalnya Arini. === Semua warga yang tadi mengantarkan jenazah Arini ke peristirahatan terakhirnya tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, tetapi kembali ke rumah Pak Baruna karena malam itu juga akan dilaksanakan tahlilan mala
Mbah Raji berdiri di halaman rumahnya, dia sejak tadi berdiri lama bergeming, tak tahu apa yang dilakukannya. Matanya menatap ke langit dengan garapan kosong, namun di wajahnya yang telah penuh dengan keriput kerjaannya itu, keningnya berkerut, seakan ada hal berat yang tengah dipikirkannya. Usia Mbah Raji telah mencapai angka delapan puluhan, namun kondisi fisiknya masih terlihat seperti usia lima puluhan, hari-harinya selain sibuk di kebunnya sendiri dia kadang berada di pemakaman. Jika ada yang meninggal Mbah Raji lah yang menunjukan tanah yang tepat untuk digali, dia yang juga ditugasi membersihkan makam agar tak terlalu suram dan penuh rumputan liar, dia juga dipercaya memegang kunci gudang alat-alat pemakaman yang letaknya berada dalam area makam.
Darno mencoba mendorong dengan bantuan bahunya, tetap sama saja hasilnya. Daun pintu tetap tak membuka atau bergeser."Jangan bercanda dong, Dar. Hari semakin gelap nih!" protes Eko."Siapa juga yang mau bercanda, coba saja sendiri nih, pintunya memang keras tak mau membuka." Darno lantas menjauh dari pintu, berganti Eko yang kini mendekat dan berusaha menarik gagang pintu gudang.Mata Eko membelalak, seakan tak percaya maka dicobanya beberapa kali mendorong pintu gudang untuk meyakinkan kalau memang pintu tersebut tak mau dibuka."Sialan betul, mana hari makin gelap tapi malah pintu gudang ini seakan tak mau membuka." Ke
"Bagaimana dengan kondisi Papa, Ma?" tanya Reza seraya tangannya meraih sebuah kursi dalam ruangan tempat Papanya dirawat. Dia duduk berhadapan dengan Mamanya, sementara Papanya masih terbaring tertidur di pembaringan."Untunglah Papamu cepat ditangani, Re. Jika terlambat sedikit saja mungkin...." Mamanya Reza tak meneruskan kata-katanya. Karena kata bisa menjadi doa. Ya, tentu saja."Reza menabrak seorang gadis, Ma. Dia meninggal saat hendak dirawat di IGD terdekat. Makanya Reza telat sampai sini."Mamanya Reza tak terlalu terkejut, karena sebelumnya memang Reza telah mengirimkan pesan teks alasan keterlambatannya. "Lantas bagaimana tanggapan keluarga korban, Nak? Apakah mereka akan menuntutmu, atau ba
Dering smartphone yang diletakkan di saku celananya mengagetkan Reza Reinaldy yang tengah fokus mengendarai jeep.[Ya Hallo, ada apa, Ma?] ujar Reza yang menggenggam smartphone di tangan kirinya, karena tangan kanan tetap memegang stir jeep merahnya.[Lekas pulang, Re. Papamu masuk rumah sakit lagi. Susah dibilangin sih, masih bandel juga, Papamu makan apa yang jadi pantangan oleh dokter.] Suara perempuan yang ternyata adalah mamanya Reza.[Iya, Ma. Ini Reza sudah di jalan, mau pulang.]Reza mematikan telpon, ditambahnya kecepatan laju jeepnya agar secepatnya keluar dari kota ini, lalu memasuki kotanya dan menuju rumah sakit tempat biasa Papanya dirawat selama ini.Pak Burhanuddin Alif, adalah seorang pemilik hotel bintang lima di kotanya, namun kesederhanaan yang jadi teladan
Bangunan Pondok Pesantren Modern El Fikr berdiri di sebuah tanah yang cukup luas tepat di tengah-tengah kota, namun sekalipun letaknya yang berada di tengah perkotaan tidak mengurangi suasana kondusif untuk belajar, kota itu adalah sebuah kota yang baru berkembang dan dalam beberapa tahun belakangan ini saja mulai banyak dibangun ruko-ruko di pinggiran jalan besar, terutama jalan besar yang ada di tengah kota, berada di tengah-tengah kota di antara ruko-ruko itu, Pesantren Modern El Fikr tetap diminati banyak orang tua yang ingin memondokkan anaknya.Dari pintu depan pesantren keluar dua orang, yang seorang lelaki setengah baya dengan memakai kemeja hitam dengan lis dua garis berwarna kuning di kedua lengannya. Kopiahnya pun berwarna hitam, perawakan wajahnya teduh dengan aura kewibawaan bagi siapa saja yang melihatnya.Sementara itu yang seorang lagi adalah seorang pemuda yang usianya berkisar dua puluhan,
Suasana Desa Tirtamaya tak seperti malam-malam biasanya, terasa lebih sunyi, bahkan suara binatang malam pun tak terdengar, seolah-olah berhenti.Arina tak dapat melupakan, dia masih teringat pertemuan terakhir dengan adiknya sebelum dia meninggal, sebuah keributan kecil dan mereka belum sempat berbaikan.Lamunan Arina buyar tatkala dia mendengar suara ketukan halus di kaca jendelanya."Ah ... mungkin hanya perasaanku saja, bisa jadi itu karena hembusan angin," ujar Arini pada dirinya sendiri, karena kalau mau jujur kesunyan malam ini benar-benar membuat perasaannya tak enak.