Share

Chapter 03

Penulis: Deva Shastravan
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-01 01:04:36

Dering smartphone yang diletakkan di saku celananya mengagetkan Reza Reinaldy yang tengah fokus mengendarai jeep. 

[Ya Hallo, ada apa, Ma?] ujar Reza yang menggenggam smartphone di tangan kirinya, karena tangan kanan tetap memegang stir jeep merahnya.

[Lekas pulang, Re. Papamu masuk rumah sakit lagi. Susah dibilangin sih, masih bandel juga, Papamu makan apa yang jadi pantangan oleh dokter.] Suara perempuan yang ternyata adalah mamanya Reza. 

[Iya, Ma. Ini Reza sudah di jalan, mau pulang.]

Reza mematikan telpon, ditambahnya kecepatan laju jeepnya agar secepatnya keluar dari kota ini, lalu memasuki kotanya dan menuju rumah sakit tempat biasa Papanya dirawat selama ini. 

Pak Burhanuddin Alif, adalah seorang pemilik hotel bintang lima di kotanya, namun kesederhanaan yang jadi teladannya telah berbekas dalam diri Reza, sekalipun dia punya orang tua yang kaya raya tak lantas membuatnya jadi suka menghambur-hamburkan uang. Justru kekayaan itu semakin memacu Reza untuk banyak menuntut ilmu baik secara formal maupun informal. Reza punya dua orang adik, seorang lelaki dan yang paling bungsu seorang perempuan. Baik adiknya yang lelaki maupun yang perempuan juga tumbuh dan besar dalam didikan yang baik dari sang Ayah. 

Jalan yang saat ini dilaluinya terlihat lengang, Reza menambah laju kecepatan jeep merah. Namun secara tiba-tiba seorang gadis menyeberang jalan tanpa melihat ke kiri dan kanan, hal itu mengejutkan Reza, dia spontan menginjak rem namun kecepatan tinggi jeepnya membuat kecelakaan itu tak bisa dihindari. 

Tubuh gadis berbaju merah itu terpental beberapa meter setelah terkena hantaman jeep merah, Reza bergegas turun untuk melihat korban yang ditabraknya, di sekitar situ tak terlihat seorang pun, ada sedikit terlintas niatan untuk lari saja, tetapi hati kecilnya menolak, bagaimanapun dia haruslah bertanggung jawab. 

Tubuh yang tergeletak itu bersimbah darah yang keluar dari mulut dan hidungnya, tangan dan kakinya seperti mengejang, apakah gadis itu tengah sekarat? 

Reza langsung membopongnya dan membawanya masuk ke dalam jeep dan segera dia putar arah untuk menuju ke rumah sakit terdekat di kota ini. 

Setelah membayar biaya administrasi, tubuh bersimbah darah itu segera dibawa masuk ke dalam ruangan IGD. Reza segera menelpon polisi dan melaporkan kalau dirinya baru saja menabrak seseorang. 

Lewat pesan w******p Reza mengirim pesan pada Ibunya kalau dia akan terlambat pulang karena berada di rumah sakit akibat menabrak seseorang.

Beberapa menit kemudian seorang polisi memasuki ruangan rumah sakit. 

"Tuan Reza?" tanya polisi itu, di ruangan tunggu itu memang hanya ada Reza, Pak Polisi itu hanya ingin memastikan kalau yang menelpon tadi adalah orang yang duduk tersebut.

"Benar, Pak. Saya Reza Reinaldy, saat ini pasien sedang dalam perawatan di IGD," jawab Reza menyambut uluran tangan Pak Polisi yang mengajaknya bersalaman. 

"Kalau begitu sebaiknya Bapak ikut saya ke kantor polisi untuk membuat laporan." 

"Tapi, Pak. Apa tak sebaiknya saya menunggu sebentar, saya ingin tahu keadaan korban dulu, setelah itu saya akan ikut Bapak ke kantor polisi untuk membuat laporan." 

Baru saja Reza berkata-kata pada Pak Polisi, seorang dokter pria keluar, dia membuka masker yang dikenakannya dan berkata. "Mohon maaf, pasien korban tabrakan tak bisa kami selamatkan, sebelum kami mulai melakukan penanganan dia sudah menghembuskan napas terakhirnya."

Lemas sudah Reza kala itu, disatu sisi dia ditunggu Ibunya di rumah sakit karena Ayahnya kini kembali di rawat di sana, di sisi lain dia tak bisa meninggalkan begitu saja korban yang ditabraknya.

Dokter lalu menyerahkan tas milik korban pada Pak Polisi, dan Reza mengikuti Pak Polisi keluar untuk membuat laporan di kantor polisi. 

Di kantor polisi, tas milik korban dibuka dan isinya ditumpahkan di meja. Isinya hanya beberapa alat kosmetik, dompet dan sebuah pisau. Pak Polisi itu mengernyitkan keningnya. "Untuk apa dia membawa pisau ini?" 

Reza diam tak berkomentar karena dia sendiri tak tahu menahu dengan korban maupun isi tas korban. 

Dari dalam dompet ditemukan KTP korban yang ternyata beralamat di Desa Tirtamaya, tak jauh dari kota, Pak Polisi itu lalu mengutus dua orang anak buahnya berangkat ke rumah korban untuk memberitahukan keluarga korban kalau ada salah seorang kerabatnya meninggal karena tabrakan. 

"Kalau begitu sekarang kita kembali ke rumah sakit saja, sambil menunggu keluarga korban." Pak Polisi itu berkata sambil berjalan keluar dari kantor polisi, Reza mengikuti saja dari belakang dengan pikiran yang kalut. 

Tak butuh waktu lama, keluarga korban akhirnya datang. Arina masuk ke dalam ruangan IGD, ia ingin memastikan bahwa mayat yang kini terbaring dalam ruangan itu adalah memang benar adiknya Arini yang baru saja pergi meninggalkan rumah dengan sikap dinginnya. 

Tak kuasa membendung air matanya, Arina lantas keluar setelah memastikan memang itu adalah adiknya, dia tak kuasa melihat mayat sang adik yang berlumur darah. 

"Kalau begitu, Mbak bisa tunggu sebentar, dengan mobil jenazah nanti kami akan bawa jenazah adik Mbak." 

Akhirnya, setelah perundingan singkat, Reza dibolehkan pulang tetapi dengan kewajiban untuk mengganti biaya pemakaman jenazah Arini.

Sementara Arina yang datang ke rumah sakit hanya dengan menggunakan ojek akhirnya ikut pulang dengan naik ambulans jenazah.

Entah apa yang kini berkecamuk dalam hatinya, Arina hanya terdiam membisu sepanjang perjalanan pulang menuju Desa Tirtamaya.

Sesampainya jenazah Arini Darmawangsa di kediamannya. Disambut dengan jerit tangis ibunya yang tak kuasa menahan diri dari kesedihan yang datang begitu cepat tanpa diduga-duga.

Sementara Pak Baruna lebih bisa bersikap tegar, walau juga tampak matanya sedikit berkaca-kaca.

Beberapa warga desa yang sudah diberitahu sebelumnya akan kedatangan jenazah Arini sudah berkumpul di rumah Pak Baruna.

Dua orang warga bangkit ikut membantu menurunkan brankar jenazah Arini dari mobil ambulans dan lalu membawa jasadnya masuk dan meletakkan di ruangan tengah.

Ambulans jenazah kembali ke rumah sakit setelah menunaikan tugas mengantarkan jenazah Arini. Lalu memasuki halaman parkir rumah sakit dan memarkirkan mobil.

"Ndra, buka pintu belakang dan turunkan Brankarnya, ya." kata sang Sopir.

"Siap, Bos," jawab Hendra yang bertugas menemani sang Supir tadi mengantarkan jenazah Arini Darmawangsa ke Desa Tirtamaya.

Hendra turun dari mobil dan menuju ke bagian belakang, namun langkahnya terhenti saat dia mulai mengendus sesuatu, aroma yang menyengat dan mulai membuatnya merasa mual. Dia mencium bau bangkai yang seakan keluar dari bagian belakang mobil jenazah itu.

Perlahan dia membuka pintu dengan keberanian yang dipaksakan sekalipun saat itu jantungnya berdegup demikian kencang.

Tiba-tiba meloncatlah seekor kucing hitam saat pintu dibuka, kucing itu berlari cepat dan menghilang di gelapnya malam.

Brankar jenazah diturunkan lalu dibawanya ke gudang penyimpanannya.

Sepanjang jalan Hendra tak habis pikir dengan kejadian yang baru saja dialaminya itu, kenapa bisa tercium bau bangkai yang sangat menyengat dan membuat mual? Dan dari mana datangnya kucing hitam yang tahu-tahu muncul di belakang mobil jenazah?

Bab terkait

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 04

    "Bagaimana dengan kondisi Papa, Ma?" tanya Reza seraya tangannya meraih sebuah kursi dalam ruangan tempat Papanya dirawat. Dia duduk berhadapan dengan Mamanya, sementara Papanya masih terbaring tertidur di pembaringan."Untunglah Papamu cepat ditangani, Re. Jika terlambat sedikit saja mungkin...." Mamanya Reza tak meneruskan kata-katanya. Karena kata bisa menjadi doa. Ya, tentu saja."Reza menabrak seorang gadis, Ma. Dia meninggal saat hendak dirawat di IGD terdekat. Makanya Reza telat sampai sini."Mamanya Reza tak terlalu terkejut, karena sebelumnya memang Reza telah mengirimkan pesan teks alasan keterlambatannya. "Lantas bagaimana tanggapan keluarga korban, Nak? Apakah mereka akan menuntutmu, atau ba

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 05

    Darno mencoba mendorong dengan bantuan bahunya, tetap sama saja hasilnya. Daun pintu tetap tak membuka atau bergeser."Jangan bercanda dong, Dar. Hari semakin gelap nih!" protes Eko."Siapa juga yang mau bercanda, coba saja sendiri nih, pintunya memang keras tak mau membuka." Darno lantas menjauh dari pintu, berganti Eko yang kini mendekat dan berusaha menarik gagang pintu gudang.Mata Eko membelalak, seakan tak percaya maka dicobanya beberapa kali mendorong pintu gudang untuk meyakinkan kalau memang pintu tersebut tak mau dibuka."Sialan betul, mana hari makin gelap tapi malah pintu gudang ini seakan tak mau membuka." Ke

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 06

    Mbah Raji berdiri di halaman rumahnya, dia sejak tadi berdiri lama bergeming, tak tahu apa yang dilakukannya. Matanya menatap ke langit dengan garapan kosong, namun di wajahnya yang telah penuh dengan keriput kerjaannya itu, keningnya berkerut, seakan ada hal berat yang tengah dipikirkannya. Usia Mbah Raji telah mencapai angka delapan puluhan, namun kondisi fisiknya masih terlihat seperti usia lima puluhan, hari-harinya selain sibuk di kebunnya sendiri dia kadang berada di pemakaman. Jika ada yang meninggal Mbah Raji lah yang menunjukan tanah yang tepat untuk digali, dia yang juga ditugasi membersihkan makam agar tak terlalu suram dan penuh rumputan liar, dia juga dipercaya memegang kunci gudang alat-alat pemakaman yang letaknya berada dalam area makam.

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-16
  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 07

    Ketika ketiganya sudah keluar dari area makam, barulah Darno memberanikan bertanya kepada pada Jaka, apakah dia melihat juga kalau jenazah Arini panjangnya bisa pas dengan panjang makam yang mereka gali. "Kupikir cuma aku saja yang melihatnya, rupanya kamu juga, Dar? Aku nggak mau bilang pada kalian berdua karena khawatir kalian akan menanggap aku halu. Makanya aku memilih diam saja dari tadi." Kata-kata Jaka menguatkan apa yang telah dilihat sendiri oleh mata kepala Darno. Dengan ekspresi kemenangan dia berkata kepada Eko. "Nah kan, apa kubilang. Aku nggak mungkin salah lihat." Eko tak menjawab, dia hanya diam tanpa reaksi. Tetapi di dalam kepalanya jadi berkecamuk berbagai pertanyaan dan dugaan terkait meninggalnya Arini. === Semua warga yang tadi mengantarkan jenazah Arini ke peristirahatan terakhirnya tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, tetapi kembali ke rumah Pak Baruna karena malam itu juga akan dilaksanakan tahlilan mala

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-10
  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 01

    Suasana Desa Tirtamaya tak seperti malam-malam biasanya, terasa lebih sunyi, bahkan suara binatang malam pun tak terdengar, seolah-olah berhenti.Arina tak dapat melupakan, dia masih teringat pertemuan terakhir dengan adiknya sebelum dia meninggal, sebuah keributan kecil dan mereka belum sempat berbaikan.Lamunan Arina buyar tatkala dia mendengar suara ketukan halus di kaca jendelanya."Ah ... mungkin hanya perasaanku saja, bisa jadi itu karena hembusan angin," ujar Arini pada dirinya sendiri, karena kalau mau jujur ​​​​kesunyan malam ini benar-benar membuat perasaannya tak enak.

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 02

    Bangunan Pondok Pesantren Modern El Fikr berdiri di sebuah tanah yang cukup luas tepat di tengah-tengah kota, namun sekalipun letaknya yang berada di tengah perkotaan tidak mengurangi suasana kondusif untuk belajar, kota itu adalah sebuah kota yang baru berkembang dan dalam beberapa tahun belakangan ini saja mulai banyak dibangun ruko-ruko di pinggiran jalan besar, terutama jalan besar yang ada di tengah kota, berada di tengah-tengah kota di antara ruko-ruko itu, Pesantren Modern El Fikr tetap diminati banyak orang tua yang ingin memondokkan anaknya.Dari pintu depan pesantren keluar dua orang, yang seorang lelaki setengah baya dengan memakai kemeja hitam dengan lis dua garis berwarna kuning di kedua lengannya. Kopiahnya pun berwarna hitam, perawakan wajahnya teduh dengan aura kewibawaan bagi siapa saja yang melihatnya.Sementara itu yang seorang lagi adalah seorang pemuda yang usianya berkisar dua puluhan,

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01

Bab terbaru

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 07

    Ketika ketiganya sudah keluar dari area makam, barulah Darno memberanikan bertanya kepada pada Jaka, apakah dia melihat juga kalau jenazah Arini panjangnya bisa pas dengan panjang makam yang mereka gali. "Kupikir cuma aku saja yang melihatnya, rupanya kamu juga, Dar? Aku nggak mau bilang pada kalian berdua karena khawatir kalian akan menanggap aku halu. Makanya aku memilih diam saja dari tadi." Kata-kata Jaka menguatkan apa yang telah dilihat sendiri oleh mata kepala Darno. Dengan ekspresi kemenangan dia berkata kepada Eko. "Nah kan, apa kubilang. Aku nggak mungkin salah lihat." Eko tak menjawab, dia hanya diam tanpa reaksi. Tetapi di dalam kepalanya jadi berkecamuk berbagai pertanyaan dan dugaan terkait meninggalnya Arini. === Semua warga yang tadi mengantarkan jenazah Arini ke peristirahatan terakhirnya tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, tetapi kembali ke rumah Pak Baruna karena malam itu juga akan dilaksanakan tahlilan mala

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 06

    Mbah Raji berdiri di halaman rumahnya, dia sejak tadi berdiri lama bergeming, tak tahu apa yang dilakukannya. Matanya menatap ke langit dengan garapan kosong, namun di wajahnya yang telah penuh dengan keriput kerjaannya itu, keningnya berkerut, seakan ada hal berat yang tengah dipikirkannya. Usia Mbah Raji telah mencapai angka delapan puluhan, namun kondisi fisiknya masih terlihat seperti usia lima puluhan, hari-harinya selain sibuk di kebunnya sendiri dia kadang berada di pemakaman. Jika ada yang meninggal Mbah Raji lah yang menunjukan tanah yang tepat untuk digali, dia yang juga ditugasi membersihkan makam agar tak terlalu suram dan penuh rumputan liar, dia juga dipercaya memegang kunci gudang alat-alat pemakaman yang letaknya berada dalam area makam.

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 05

    Darno mencoba mendorong dengan bantuan bahunya, tetap sama saja hasilnya. Daun pintu tetap tak membuka atau bergeser."Jangan bercanda dong, Dar. Hari semakin gelap nih!" protes Eko."Siapa juga yang mau bercanda, coba saja sendiri nih, pintunya memang keras tak mau membuka." Darno lantas menjauh dari pintu, berganti Eko yang kini mendekat dan berusaha menarik gagang pintu gudang.Mata Eko membelalak, seakan tak percaya maka dicobanya beberapa kali mendorong pintu gudang untuk meyakinkan kalau memang pintu tersebut tak mau dibuka."Sialan betul, mana hari makin gelap tapi malah pintu gudang ini seakan tak mau membuka." Ke

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 04

    "Bagaimana dengan kondisi Papa, Ma?" tanya Reza seraya tangannya meraih sebuah kursi dalam ruangan tempat Papanya dirawat. Dia duduk berhadapan dengan Mamanya, sementara Papanya masih terbaring tertidur di pembaringan."Untunglah Papamu cepat ditangani, Re. Jika terlambat sedikit saja mungkin...." Mamanya Reza tak meneruskan kata-katanya. Karena kata bisa menjadi doa. Ya, tentu saja."Reza menabrak seorang gadis, Ma. Dia meninggal saat hendak dirawat di IGD terdekat. Makanya Reza telat sampai sini."Mamanya Reza tak terlalu terkejut, karena sebelumnya memang Reza telah mengirimkan pesan teks alasan keterlambatannya. "Lantas bagaimana tanggapan keluarga korban, Nak? Apakah mereka akan menuntutmu, atau ba

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 03

    Dering smartphone yang diletakkan di saku celananya mengagetkan Reza Reinaldy yang tengah fokus mengendarai jeep.[Ya Hallo, ada apa, Ma?] ujar Reza yang menggenggam smartphone di tangan kirinya, karena tangan kanan tetap memegang stir jeep merahnya.[Lekas pulang, Re. Papamu masuk rumah sakit lagi. Susah dibilangin sih, masih bandel juga, Papamu makan apa yang jadi pantangan oleh dokter.] Suara perempuan yang ternyata adalah mamanya Reza.[Iya, Ma. Ini Reza sudah di jalan, mau pulang.]Reza mematikan telpon, ditambahnya kecepatan laju jeepnya agar secepatnya keluar dari kota ini, lalu memasuki kotanya dan menuju rumah sakit tempat biasa Papanya dirawat selama ini.Pak Burhanuddin Alif, adalah seorang pemilik hotel bintang lima di kotanya, namun kesederhanaan yang jadi teladan

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 02

    Bangunan Pondok Pesantren Modern El Fikr berdiri di sebuah tanah yang cukup luas tepat di tengah-tengah kota, namun sekalipun letaknya yang berada di tengah perkotaan tidak mengurangi suasana kondusif untuk belajar, kota itu adalah sebuah kota yang baru berkembang dan dalam beberapa tahun belakangan ini saja mulai banyak dibangun ruko-ruko di pinggiran jalan besar, terutama jalan besar yang ada di tengah kota, berada di tengah-tengah kota di antara ruko-ruko itu, Pesantren Modern El Fikr tetap diminati banyak orang tua yang ingin memondokkan anaknya.Dari pintu depan pesantren keluar dua orang, yang seorang lelaki setengah baya dengan memakai kemeja hitam dengan lis dua garis berwarna kuning di kedua lengannya. Kopiahnya pun berwarna hitam, perawakan wajahnya teduh dengan aura kewibawaan bagi siapa saja yang melihatnya.Sementara itu yang seorang lagi adalah seorang pemuda yang usianya berkisar dua puluhan,

  • Kuntilanak dan Bunga Kematian   Chapter 01

    Suasana Desa Tirtamaya tak seperti malam-malam biasanya, terasa lebih sunyi, bahkan suara binatang malam pun tak terdengar, seolah-olah berhenti.Arina tak dapat melupakan, dia masih teringat pertemuan terakhir dengan adiknya sebelum dia meninggal, sebuah keributan kecil dan mereka belum sempat berbaikan.Lamunan Arina buyar tatkala dia mendengar suara ketukan halus di kaca jendelanya."Ah ... mungkin hanya perasaanku saja, bisa jadi itu karena hembusan angin," ujar Arini pada dirinya sendiri, karena kalau mau jujur ​​​​kesunyan malam ini benar-benar membuat perasaannya tak enak.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status