Mbah Raji berdiri di halaman rumahnya, dia sejak tadi berdiri lama bergeming, tak tahu apa yang dilakukannya. Matanya menatap ke langit dengan garapan kosong, namun di wajahnya yang telah penuh dengan keriput kerjaannya itu, keningnya berkerut, seakan ada hal berat yang tengah dipikirkannya.
Usia Mbah Raji telah mencapai angka delapan puluhan, namun kondisi fisiknya masih terlihat seperti usia lima puluhan, hari-harinya selain sibuk di kebunnya sendiri dia kadang berada di pemakaman. Jika ada yang meninggal Mbah Raji lah yang menunjukan tanah yang tepat untuk digali, dia yang juga ditugasi membersihkan makam agar tak terlalu suram dan penuh rumputan liar, dia juga dipercaya memegang kunci gudang alat-alat pemakaman yang letaknya berada dalam area makam.
Dulu istrinya yang bertugas memandikan jenazah khusus bagi perempuan, untuk jenazah lelaki Mbah Raji sendiri yang pegang. Namun istrinya lebih dulu dipanggil oleh Allah. Selama kurang lebih tiga bulan mengalami sakit dan hanya terbaring di kasur. Penyakit yang dideritanya adalah penyakit yang umumnya diderita oleh orang-orang yang sudah mulai uzur. Komplikasi dari beberapa penyakit, dan saat tubuhnya tak sanggup lagi menanggungkan sakit maka istri Mbah Raji akhirnya menghembuskan napas terakhir, meninggalkan Mbah Raji seorang yang kini menempati rumah kecil yang berdindingkan papan.
Sesekali kilat mulai terlihat di kejauhan, gemuruh suara petir menggelegar bergulung-gulung, seakan memberi isyarat kalau malam ini akan turun hujan lebat.
Dari halaman rumahnya Mbah Raji melihat iringan pembawa jenazah yang semakin lama semakin mendekat. Mbah Raji kemudian melangkah mendekat ke arah iringan jenazah itu.
"Maaf. Aku tak bisa datang ke rumahmu, kondisi fisikku kurang baik, sepertinya aku masuk angin, biasalah penyakit tua." Mbah Raji menjajari berjalan di samping Pak Baruna, orang tua dari Arini yang jenazahnya sebentar lagi akan dikuburkan.
"Tak apa, Mbah. Lagi pula alhamdulillah semuanya berjalan dengan lancar, dari mulai memandikan sampai mengkafani, tinggal sekarang dikuburkan saja," ujar Pak Baruna dengan menyunggingkan sebuah senyuman, satu senyuman yang terasa dipaksakan.
Rombongan pembawa jenazah itu mulai memasuki area pemakaman Desa Tirtamaya. Yang berjalan paling depan adalah Jaka dengan memegang petromak di tangan kanannya. Diikuti empat orang yang menggotong keranda jenazah, lalu di belakangnya Pak Baruna dan Mbah Raji dan beberapa orang pelayat lain yang ikut serta mengiringi jenazah sampai ke peristirahatannya yang terakhir.
"Lho kok jadi pendek begini?" Jaka tampak kebingungan sekali, bagaimana tidak, dia ingat betul kalau dirinya dan dua orang temannya Eko dan Darno sudah melakukan penggalian dengan kedalaman hampir mencapai tinggi tubuh mereka sendiri, dan itu sudah lebih dari ukuran yang biasanya mereka buat, satu setengah meter. Tetapi apa yang Jaka lihat kini adalah tinggi tanah yang mereka gali baru mencapai satu meteran saja.
Keranda di letakkan di sebelah kiri tanah galian. Mbah Raji mendekat untuk melihat kenapa Jaka terlihat seperti orang kebingungan begitu.
"Ini kenapa kurang dari semeter, Ka? Bukankah aku sudah meminta untuk menggali mencapai dua meteran?" tanya Mbah Raji pada Jaka.
"Sumpah, Mbah. Saya dan dua teman saya sudah Menggalinya sampai mencapai kepala kami, saya tidak sedang berdusta." Jaka berusaha meyakinkan Mbah Raji.
"Darno! Eko! Ke sini kalian!" teriak Mbah Raji yang tampak marah.
"Ada apa, Mbah?" tanya Darno saat dia dan Eko berdiri di dekat Mbah Raji.
"Kalian lihat saja sendiri," ucap Mbah Raji dingin.
Baik Darno maupun Eko melihat ke dalam lubang yang baru mereka gali, keduanya sama terperanjat. Mustahil! Bagaimana mungkin liang kubur yang mereka gali bisa mendadak ukurannya berubah, yang semula setinggi kepala mereka, kini andai mereka berdua masuk maka ukurannya tak lebih dan tak kurang hanya sebatas pinggang mereka.
"Kami sudah menggali sampai batas kepala kami, Mbah!" ucap Darno, seakan tak ingin disalahkan dengan kejadian aneh yang terjadi pada lubang kuburan Arini.
Mbah Raji yang tak mau terjadi perdebatan berlarut-larut akhirnya meminta ketiganya menggali kembali, kali ini dengan diawasi langsung oleh Mbah Raji.
Belum lagi Arini dimakamkan, di antara para pengantar jenazah itu sudah mulai terjadi pergunjingan, bagi yang tak percaya lubang makam itu memendek sendiri menduga kalau ketiga pemuda itu memang sengaja Menggalinya hanya segitu saja, karena mereka enggan harus menggali kubur malam-malam. Namun bagi yang percaya dengan keganjilan tersebut mulai menghubung-hubungkan dengan almarhumah Arini yang meninggal karena ditabrak mobil, beberapa ada yang menduga kalau ada yang tak beres dengan kematian Arini.
Selanjutnya setelah lubang makam mencapai ukuran setinggi kepala ketiga pemuda yang menggalinya, Mbah Raji meminta ketiganya untuk naik ke atas. Lalu beberapa orang lelaki lain termasuk Pak Baruna ganti masuk ke dalam liang kubur untuk mulai menguburkan jenazah Arini.
Perlahan keranda jenazah dibuka, jenazah Arini diangkat dan diturunkan pelan-pelan.
Usai Pak Baruna mengumandangkan adzan dan iqamat, beberapa orang yang saat itu sudah bersiap dengan cangkul di tangan masing-masing langsung mulai mengurug kembali tanah makam sedikit demi sedikit.
"Ko, kamu yakin sudah mengukur tanah makam itu lebih panjang dari tingginya jenazah?" Suara Darno berbisik Ada rasa sangsi dalam hati Darno, sejak tadi dia terlihat sangat serius memandangi proses penimbunan kembali tanah makam.
"Maksudmu apa to, Dar? Aku nggak paham." Eko menoleh dengan wajah penuh tanya, tak mengerti maksud kata-kata Darno.
Darno lebih mendekat ke arah Eko, lantas berkata setengah berbisik. "Aku lihat tadi ukuran jenazah Arini kok bisa pas saat diturunkan ke liang kubur. Seharusnya kan lebih pendek dan ada lebih sejengkal dua jengkalan."
Eko langsung terperanjat, dia menarik lengan Darno dan berjalan mundur beberapa langkah, menjauh dari kerumunan pelayat lain.
"Kamu tuh jangan mengada-ada, Dar. Sejak tadi kita menggali sudah banyak keganjilan-keganjilan yang kita alami," kata Eko.
"Aku tak mengada-ada. Sebaiknya nanti kamu coba tanya juga si Jaka, apa dia juga melihat keganjilan yang aku lihat, kalau iya maka kita harus melaporkannya pada Pak RT, atau paling tidak kita ceritakan pada Mbah Raji. Kamu tahu kan kalau Arini itu meninggal karena kecelakaan, aku cuma khawatir dia meninggalnya tak wajar," tambah Darno, dia sangat yakin kalau penggalian makam yang mereka lakukan untuk jenazah Arini memang banyak ditemui keganjilan yang tidak biasa.
Tak terasa acara pemakaman jenazah Arini akhirnya bisa selesai dengan cepat. Walaupun saat adzan isya mereka tadi masih dalam proses penimbunan tanah makam.
Setelah sedikit pengumuman dan ditutup oleh doa oleh Ustadz Jamaksari, rombongan pengantar jenazah akhirnya pulang.
Darno, Eko dan Jaka membereskan alat-alat yang mereka pakai untuk menggali makam, termasuk keranda jenazah, semuanya dikembalikan ke gudang di mana mereka mengambil sebelumnya.
"Jaka! Eko! Tunggu dong. Masak aku mau ditinggalkan di sini? Aku mau mengunci pintunya dulu nih." Darno berteriak memanggil dua temannya yang tampak buru-buru ingin meninggalkan area makam.
Ketika ketiganya sudah keluar dari area makam, barulah Darno memberanikan bertanya kepada pada Jaka, apakah dia melihat juga kalau jenazah Arini panjangnya bisa pas dengan panjang makam yang mereka gali. "Kupikir cuma aku saja yang melihatnya, rupanya kamu juga, Dar? Aku nggak mau bilang pada kalian berdua karena khawatir kalian akan menanggap aku halu. Makanya aku memilih diam saja dari tadi." Kata-kata Jaka menguatkan apa yang telah dilihat sendiri oleh mata kepala Darno. Dengan ekspresi kemenangan dia berkata kepada Eko. "Nah kan, apa kubilang. Aku nggak mungkin salah lihat." Eko tak menjawab, dia hanya diam tanpa reaksi. Tetapi di dalam kepalanya jadi berkecamuk berbagai pertanyaan dan dugaan terkait meninggalnya Arini. === Semua warga yang tadi mengantarkan jenazah Arini ke peristirahatan terakhirnya tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, tetapi kembali ke rumah Pak Baruna karena malam itu juga akan dilaksanakan tahlilan mala
Suasana Desa Tirtamaya tak seperti malam-malam biasanya, terasa lebih sunyi, bahkan suara binatang malam pun tak terdengar, seolah-olah berhenti.Arina tak dapat melupakan, dia masih teringat pertemuan terakhir dengan adiknya sebelum dia meninggal, sebuah keributan kecil dan mereka belum sempat berbaikan.Lamunan Arina buyar tatkala dia mendengar suara ketukan halus di kaca jendelanya."Ah ... mungkin hanya perasaanku saja, bisa jadi itu karena hembusan angin," ujar Arini pada dirinya sendiri, karena kalau mau jujur kesunyan malam ini benar-benar membuat perasaannya tak enak.
Bangunan Pondok Pesantren Modern El Fikr berdiri di sebuah tanah yang cukup luas tepat di tengah-tengah kota, namun sekalipun letaknya yang berada di tengah perkotaan tidak mengurangi suasana kondusif untuk belajar, kota itu adalah sebuah kota yang baru berkembang dan dalam beberapa tahun belakangan ini saja mulai banyak dibangun ruko-ruko di pinggiran jalan besar, terutama jalan besar yang ada di tengah kota, berada di tengah-tengah kota di antara ruko-ruko itu, Pesantren Modern El Fikr tetap diminati banyak orang tua yang ingin memondokkan anaknya.Dari pintu depan pesantren keluar dua orang, yang seorang lelaki setengah baya dengan memakai kemeja hitam dengan lis dua garis berwarna kuning di kedua lengannya. Kopiahnya pun berwarna hitam, perawakan wajahnya teduh dengan aura kewibawaan bagi siapa saja yang melihatnya.Sementara itu yang seorang lagi adalah seorang pemuda yang usianya berkisar dua puluhan,
Dering smartphone yang diletakkan di saku celananya mengagetkan Reza Reinaldy yang tengah fokus mengendarai jeep.[Ya Hallo, ada apa, Ma?] ujar Reza yang menggenggam smartphone di tangan kirinya, karena tangan kanan tetap memegang stir jeep merahnya.[Lekas pulang, Re. Papamu masuk rumah sakit lagi. Susah dibilangin sih, masih bandel juga, Papamu makan apa yang jadi pantangan oleh dokter.] Suara perempuan yang ternyata adalah mamanya Reza.[Iya, Ma. Ini Reza sudah di jalan, mau pulang.]Reza mematikan telpon, ditambahnya kecepatan laju jeepnya agar secepatnya keluar dari kota ini, lalu memasuki kotanya dan menuju rumah sakit tempat biasa Papanya dirawat selama ini.Pak Burhanuddin Alif, adalah seorang pemilik hotel bintang lima di kotanya, namun kesederhanaan yang jadi teladan
"Bagaimana dengan kondisi Papa, Ma?" tanya Reza seraya tangannya meraih sebuah kursi dalam ruangan tempat Papanya dirawat. Dia duduk berhadapan dengan Mamanya, sementara Papanya masih terbaring tertidur di pembaringan."Untunglah Papamu cepat ditangani, Re. Jika terlambat sedikit saja mungkin...." Mamanya Reza tak meneruskan kata-katanya. Karena kata bisa menjadi doa. Ya, tentu saja."Reza menabrak seorang gadis, Ma. Dia meninggal saat hendak dirawat di IGD terdekat. Makanya Reza telat sampai sini."Mamanya Reza tak terlalu terkejut, karena sebelumnya memang Reza telah mengirimkan pesan teks alasan keterlambatannya. "Lantas bagaimana tanggapan keluarga korban, Nak? Apakah mereka akan menuntutmu, atau ba
Darno mencoba mendorong dengan bantuan bahunya, tetap sama saja hasilnya. Daun pintu tetap tak membuka atau bergeser."Jangan bercanda dong, Dar. Hari semakin gelap nih!" protes Eko."Siapa juga yang mau bercanda, coba saja sendiri nih, pintunya memang keras tak mau membuka." Darno lantas menjauh dari pintu, berganti Eko yang kini mendekat dan berusaha menarik gagang pintu gudang.Mata Eko membelalak, seakan tak percaya maka dicobanya beberapa kali mendorong pintu gudang untuk meyakinkan kalau memang pintu tersebut tak mau dibuka."Sialan betul, mana hari makin gelap tapi malah pintu gudang ini seakan tak mau membuka." Ke
Ketika ketiganya sudah keluar dari area makam, barulah Darno memberanikan bertanya kepada pada Jaka, apakah dia melihat juga kalau jenazah Arini panjangnya bisa pas dengan panjang makam yang mereka gali. "Kupikir cuma aku saja yang melihatnya, rupanya kamu juga, Dar? Aku nggak mau bilang pada kalian berdua karena khawatir kalian akan menanggap aku halu. Makanya aku memilih diam saja dari tadi." Kata-kata Jaka menguatkan apa yang telah dilihat sendiri oleh mata kepala Darno. Dengan ekspresi kemenangan dia berkata kepada Eko. "Nah kan, apa kubilang. Aku nggak mungkin salah lihat." Eko tak menjawab, dia hanya diam tanpa reaksi. Tetapi di dalam kepalanya jadi berkecamuk berbagai pertanyaan dan dugaan terkait meninggalnya Arini. === Semua warga yang tadi mengantarkan jenazah Arini ke peristirahatan terakhirnya tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, tetapi kembali ke rumah Pak Baruna karena malam itu juga akan dilaksanakan tahlilan mala
Mbah Raji berdiri di halaman rumahnya, dia sejak tadi berdiri lama bergeming, tak tahu apa yang dilakukannya. Matanya menatap ke langit dengan garapan kosong, namun di wajahnya yang telah penuh dengan keriput kerjaannya itu, keningnya berkerut, seakan ada hal berat yang tengah dipikirkannya. Usia Mbah Raji telah mencapai angka delapan puluhan, namun kondisi fisiknya masih terlihat seperti usia lima puluhan, hari-harinya selain sibuk di kebunnya sendiri dia kadang berada di pemakaman. Jika ada yang meninggal Mbah Raji lah yang menunjukan tanah yang tepat untuk digali, dia yang juga ditugasi membersihkan makam agar tak terlalu suram dan penuh rumputan liar, dia juga dipercaya memegang kunci gudang alat-alat pemakaman yang letaknya berada dalam area makam.
Darno mencoba mendorong dengan bantuan bahunya, tetap sama saja hasilnya. Daun pintu tetap tak membuka atau bergeser."Jangan bercanda dong, Dar. Hari semakin gelap nih!" protes Eko."Siapa juga yang mau bercanda, coba saja sendiri nih, pintunya memang keras tak mau membuka." Darno lantas menjauh dari pintu, berganti Eko yang kini mendekat dan berusaha menarik gagang pintu gudang.Mata Eko membelalak, seakan tak percaya maka dicobanya beberapa kali mendorong pintu gudang untuk meyakinkan kalau memang pintu tersebut tak mau dibuka."Sialan betul, mana hari makin gelap tapi malah pintu gudang ini seakan tak mau membuka." Ke
"Bagaimana dengan kondisi Papa, Ma?" tanya Reza seraya tangannya meraih sebuah kursi dalam ruangan tempat Papanya dirawat. Dia duduk berhadapan dengan Mamanya, sementara Papanya masih terbaring tertidur di pembaringan."Untunglah Papamu cepat ditangani, Re. Jika terlambat sedikit saja mungkin...." Mamanya Reza tak meneruskan kata-katanya. Karena kata bisa menjadi doa. Ya, tentu saja."Reza menabrak seorang gadis, Ma. Dia meninggal saat hendak dirawat di IGD terdekat. Makanya Reza telat sampai sini."Mamanya Reza tak terlalu terkejut, karena sebelumnya memang Reza telah mengirimkan pesan teks alasan keterlambatannya. "Lantas bagaimana tanggapan keluarga korban, Nak? Apakah mereka akan menuntutmu, atau ba
Dering smartphone yang diletakkan di saku celananya mengagetkan Reza Reinaldy yang tengah fokus mengendarai jeep.[Ya Hallo, ada apa, Ma?] ujar Reza yang menggenggam smartphone di tangan kirinya, karena tangan kanan tetap memegang stir jeep merahnya.[Lekas pulang, Re. Papamu masuk rumah sakit lagi. Susah dibilangin sih, masih bandel juga, Papamu makan apa yang jadi pantangan oleh dokter.] Suara perempuan yang ternyata adalah mamanya Reza.[Iya, Ma. Ini Reza sudah di jalan, mau pulang.]Reza mematikan telpon, ditambahnya kecepatan laju jeepnya agar secepatnya keluar dari kota ini, lalu memasuki kotanya dan menuju rumah sakit tempat biasa Papanya dirawat selama ini.Pak Burhanuddin Alif, adalah seorang pemilik hotel bintang lima di kotanya, namun kesederhanaan yang jadi teladan
Bangunan Pondok Pesantren Modern El Fikr berdiri di sebuah tanah yang cukup luas tepat di tengah-tengah kota, namun sekalipun letaknya yang berada di tengah perkotaan tidak mengurangi suasana kondusif untuk belajar, kota itu adalah sebuah kota yang baru berkembang dan dalam beberapa tahun belakangan ini saja mulai banyak dibangun ruko-ruko di pinggiran jalan besar, terutama jalan besar yang ada di tengah kota, berada di tengah-tengah kota di antara ruko-ruko itu, Pesantren Modern El Fikr tetap diminati banyak orang tua yang ingin memondokkan anaknya.Dari pintu depan pesantren keluar dua orang, yang seorang lelaki setengah baya dengan memakai kemeja hitam dengan lis dua garis berwarna kuning di kedua lengannya. Kopiahnya pun berwarna hitam, perawakan wajahnya teduh dengan aura kewibawaan bagi siapa saja yang melihatnya.Sementara itu yang seorang lagi adalah seorang pemuda yang usianya berkisar dua puluhan,
Suasana Desa Tirtamaya tak seperti malam-malam biasanya, terasa lebih sunyi, bahkan suara binatang malam pun tak terdengar, seolah-olah berhenti.Arina tak dapat melupakan, dia masih teringat pertemuan terakhir dengan adiknya sebelum dia meninggal, sebuah keributan kecil dan mereka belum sempat berbaikan.Lamunan Arina buyar tatkala dia mendengar suara ketukan halus di kaca jendelanya."Ah ... mungkin hanya perasaanku saja, bisa jadi itu karena hembusan angin," ujar Arini pada dirinya sendiri, karena kalau mau jujur kesunyan malam ini benar-benar membuat perasaannya tak enak.